Selasa, 30 Desember 2014

TIDAK KUAT DIEMBUS ANGIN AC

     Seorang kawan pernah ketawa heran, ketika mengetahui sambalbawang kurang suka (baca : tahan) terkena embusan pendingin udara (AC). Sambalbawang sendiri pun heran. Apa mau dikata, tiupan dingin dari mesin ini sering membuat kelabakan, padahal yang lain justru tersenyum damai.
     Barangkali sambalbawang mewarisi DNA dari ibu, yang juga tidak kuat menahan dingin AC. Kondisi ini sudah teramati sejak kecil. Selama ini, tidak terjadi sesuatu. Sampai pada satu pengalaman tahun lalu.
     Situasinya adalah berada di dalam pesawat, selama empat jam, menuju Shanhai, China. Dua jam berlalu dengan penuh perjuangan. Selimut sudah dibenamkan ke badan, penutup kepala, kaus kaki dan kaus tangan terpasang sempurna, jaket menempel badan. Bahkan kaos sampai dobel selapis.
    Namun tetap jua tidak kuasa mengusir hawa dingin yang merasuk kulit, menembus daging, dan menyapa tulang sampai ke sumsumnya. Sel-sel otak serasa mulai membeku. Mata serasa kering.  
     Ujung jari nampak mengerut, tengkorak kepala serasa menciut, kepala mulai berdenging dan pusing. Perlahan, badan serasa mati rasa. Bolak-balik terpaksa ke bilik kamar mandi yang ukurannya, karena hanya itulah tempat terhangat di dalam kabin pesawat.    
    Sampai tujuan, turun pesawat, tubuh terasa ringan. Seakan menerapkan "Langkah Sutera", jurus andalan Master Lone, tokoh protagonis di komik kungfu Tiger Wong. Selang beberapa saat, dunia serasa membaik. 
    Pengalaman lainnya berurusan dengan AC, yakni saat menumpang mobil travel alias "taksi gelap" trayek Balikpapan-Samarinda. Jika keripik Maicih yang terpedas adalah level 10, maka dinginnya AC di mobil ini ya sepertinya level 10. Atau level 9. 
    Tak tahan dingin, sambalbawang membuka jendela, dan langsung kena semprot penumpang lain. Alhasil sampai Samarinda, badan sudah meriang, tengkorak kepala seakan menciut, dan mata berkunang-kunang.
    Apakah masalah selesai jika naik mobil sendiri? Saya dan saudara bojo juga sering cepat-cepatan. Maksudnya istri cepat-cepat menghidupkan AC jika mulai berkeringat. Sedangkan saya cepat-cepat mematikan AC jika merasa hawa di dalam mobil sudah lumayan sejuk. 
     Sebenarnya, embusan AC tidak jadi soal jika desirannya pelan, sepoi, dan tidak terlalu menusuk. Sederhananya, embusan AC cukup bersuhu 25 derajat celcius dan kekuatan embusan cukup seperempat dari embusan level nomor 1 di mobil. Idealnya lagi, lubang AC di mobil ditaruh di deket kaca belakang. Bingung, kan?
     Tapi, tidak kuat tersiram angin AC bukan berarti fatal. Karena itu pula, saya masih bisa enjoy mengerjakan banyak hal walau keringat bercucuran. Bahkan, terpapar sengatan mentari selama berjam-jam, saya masih sehat. Masih bisa dadah-dadah. 
    Berdiri di lapangan saat matahari tepat menerpa ubun-ubun, sejauh ini aman-aman saja. Ketika yang lain mulai mengomel kepanasan, saya masih anteng. Ketika yang lain mulai kipas-kipas, saya masih juga anteng. Dan ketika tiba-tiba AC berhembus, saya malah pusing. Saya mah gitu orangnya...
    Tapi tunggu dulu, kalau dingin alami yang bukan AC, daya tahan tubuh saya tidak terlalu buruk. Masih bisa. “Itu karena ada sirkulasi udara. Jadi ada angin keluar, ada angin yang masuk,” begitu kata seorang kawan, menjelaskan. Masuk logika, masuk.
     Pernah seseorang pernah bertanya. Saya disuruh memilih. Mau piknik ke luar negeri secara gratis tapi saat musim dingin, atau piknik ke dalam negeri. Sembari ketawa saya menjawab cepat, “Piknik di dalam negeri, lah,". 

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
MENGAPA HARUS NGEBLOG
   

Senin, 29 Desember 2014

PONSEL-PONSELKU

       Benda ini, yang bernama ponsel, sekarang benar-benar melekat erat di tangan. Bukan dalam level kecanduan, atau ketagihan akut, tetapi telah menjadi kebutuhan sangat mendesak maha penting. Menunjang pekerjaan, begitulah. 
      Dulu waktu masih kuliah, sambalbawang sempat berikrar bahwa tidak butuh ponsel dan berharap pekerjaan ke depan bisa sejalan dengan keinginan. Ini tak lepas dari kondisi mata yang memang tidak terlalu mendukung untuk menatap layar. 
      Tetapi zaman kiranya bergerak cepat melampaui kemampuan otak dan keinginan hati menerima kenyataan. Mau tidak mau, sambalbawang--dan hampir semua penghuni bumi ini--takluk juga oleh teknologi dan hal terkait. Ponsel akhirnya jadi kebutuhan.
      Ponsel pertama koleksi sambalbawang adalah Nokia 5110. Dibeli persis ketika baru melakoni pekerjaan sebagai juru warta di awal tahun 2014 lalu. Ponsel yang masih menggunakan antena itu keluaran lawas, karena sudah nongol tahun 1998 silam. Sambalbawang masih ingat harga ponsel itu, Rp 350.000, kala ditebus dari salah satu konter di kawasan Demangan, Yogyakarta. 
      Ponselnya berstatus Black Market (BM), yang berarti hanya garansi toko. Beresiko sih, sebenarnya. Namun saat itu tidak terlalu memerhatikan hal-hal seperti itu. Pokoknya bisa dapat ponsel yang hidup, bisa menelpon-ditelepon, bisa mengirim dan menerima pesan singkat (SMS), maka, bereslah sudah.
      Saat itu, seri Nokia yang ngetren adalah Nokia 3310. Bentuknya candybar, simpel, dan tidak pake antene. Kemunculannya menghebohkan. Sebabnya ya karena ponsel ini tidak pakai antena, dan gampang dipakai. Keypad-nya lumayan empuk. Saya yakin Nokia mendapat julukan hape sejuta umat dari publik, karena kesuksesan seri 3310 dan 5110.
      Melongok ke para kompetitor, ponsel yang trendi waktu itu adalah Siemens, khususnya seri C35. Ponselnya juga bertipe candybar, dan merupakan suksesor Siemens seri C25. Nah, "si-emen" serti C35 ini punya salah satu fitur unik yakni internet, tapi saya dan semua kawan enggak paham bagaimana memanfaatkan fitur itu. 
        Harga Siemens C35 yang baru, dulu, berkisar sejutaan. Kalau bekas, sekitar Rp 600.000. Lumayan mencekik leher dompet . Hanya bisa gigit jadi sambil memandanginya terpajang menggoda di etalase toko. Jadi, tetap berpuas diri dengan Nokia 5110. 
     Seiring kebutuhan, sambalbawang membutuhkan satu ponsel lagi. Mulai rajin, deh, menyambangi kios-kios ponsel di seantero Klaten, kota pertama penempatan bekerja. Setelah menanti dua pekan, dapatlah hape idaman Nokia 3310 itu, meski berstatus second. Hape ini dibanderol Rp 400.000. 
    Nokia 3310, ehm, adalah ponsel pertama yang bisa dimasukkan ke kantong celana. Cukup fenomenal, lho. Setidaknya mungkin separuh dari narasumber saya, sepertinya punya ponsel tersebut. 
     Di penghujung 2004, ponsel layar warna mulai menyeruak muncul. Cetar membahana gaungnya, memicu semua konter untuk memajang habis-habisan. Konter-konter baru tumbuh dengan gegap gempita.
    Tak hanya warna layar, tapi fitur ponsel pun mulai berjibun dan variatif. Kelebihannya antara lain, bisa memutar musik, nada deringnya poliponik, dan tentu saja, lebih banyak game-nya. Tak hanya Snake, doang.
    Dan tentu saja, game itu langsung terlihat jadul. Sulit membayangkan bahwa saya dulu cukup gembira menjumpai ada game ini. Benda untuk nelpon yang bisa untuk nge-game. Sekarang, saya yakin, game ini pun bahkan tidak menarik bagi anak TK.
    Geliat ponsel layar warna makin gencar di akhir 2005. Saya juga ikut heboh dengan membeli beberapa tabloid untuk memantau pergerakannya. Namun belum memutuskan membeli karena harganya muahal. 
    Kesempatan merehabilitasi ponsel, akhirnya tiba, ketika pulang ke Jogja, akhir 2005. Setelah berkeliaran ke sana-sini, sasaran tembak adalah Nokia 3210. Akhirnya doi dapat dibawa pulang,sekaligus menandai ponsel layar warna pertama di rumah. 
     Dua tahun ponsel ini menemani, sebelum akhirnya diminati ayahanda.Seiring ponsel GSM yang tumbuh dan modelnya makin keren, awal 2006, ponsel CDMA mulai menampakkan wujudnya.
    Walaupun ponsel CDMA zaman itu masih dengan layar monokrom. Namun pelan-pelan ponsel CDMA mulai dikenal dan saya pun terpaksa ikut mengoleksi dengan alasan tuntutan pertemanan dan pekerjaan.
     Pilihan jatuh ke Nokia 1255. Ponsel CDMA yang ini dulu banyak versi black market (BM)-nya, yang dibanderol jauh lebih murah ketimbang ponsel berstatus garansi resmi. Tapi banyak kawan yang menenteng ponsel 1255 kualitas BM itu. Dan benar saja, ponsel satu ini tidak cihui, sering henghong
     Nasib 1255 ini berakhir dengan barter di konter, diganti Motorola W150i. Ponsel baru lebih tahan banting, tapi juga tidak terlalu nyaman dipakai. Keypad keras, letak fitur dan tombol pun membingungkan.
     W150i pun, dengan berat hati dilego kembali ke konter, dan sebagai gantinya Nokia 2112 karena tetap butuh ponsel format CDMA. Nokia yang ini pun ternyata henghong melulu, sehingga harus dievakuasi dari kantong. Berikutnya datang Samsung SCH S299 yang untunglah, waras performanya.
     Tahun berganti tahun, ponsel selanjutnya datang dan pergi menghuni saku celana. Seiring meredupnya dunia CDMA, maka ponsel CDAM pun mulai tiarap. Nomor Fleksi, dan sempat juga Esia, terpaksa dikubur.
     Jagat perponselan lantas dikuasai Blackberry, yang setelah setahun di Balikpapan, terpaksa saya beli di akhir 2011. Blackberry Bold ini awalnya berkinerja baik, tapi setelah dua tahun, mulai sering rewel.
      Setelah dua kali kerusakan, BB sambalbawang bawa lagi ke service center-nya. Mbak-nya bilang biaya reparasi total bisa mencapai Rp 1,5 juta. Terima kasih banyak, saya pulang, dan BB saya bungkus di kardus.
    Era BB masih berkuasa, hape android perlahan masuk dan berlari cepat. BB-pun menjadi terasa lamban dan tidak trendi. Hape android berjuluk Oppo Clover pun menjadi tawaran menarik, karena harganya terjangkau. Dik Oppo ini yang saya genggam sampai sekarang.
     Kembali ke kisah ponsel-ponsel masa lalu, beberapa masih disimpan dengan baik dan terawat. Seperti Nokia 1200, yang lebih kodang disebut Nokia senter karena ada fasilitas senter-nya. Nokia 5110 juga masih dipelihara walau kondisinya sudah tewas dengan damai 3-4 tahun silam. 
    Nokia 3210 juga sudah pensiun, tapi kardusnya masih terpelihara baik, juga struk pembeliannya. Juga Samsung SCH S299, ponsel CDMA layar warna pertama yang saya punya, masih tergeletak di kotak, dengan kondisi cukup sehat.
    Mereka ditemani beberapa ponsel yang pernah sambalbawang tenteng wira-wiri liputan. Kadang, koleksi ponsel ini masih sambalbawang pandangi. Dilap satu per satu. Sambil merentang kisah dahulu kala, sembari menyeruput kopi. 
    Betapa....

BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :
MENGAPA HARUS NGEBLOG

Senin, 22 Desember 2014

PENDEKAR TONGKAT EMAS, WELL DONE

Tidak mengecewakan meskipun masih di bawah ekspektasi. Kira-kira begitu pendapat sambalbawang setelah nonton film Pendekar Tongkat Emas. Harus diakui, ini film laga bergenre silat produksi dalam negeri yang bisa jadi paling menarik.

Sebenarnya jalinan cerita lumayan gampang ditebak. Menceritakan ambisi kekuasaan berbalut dendam, merangkul kisah masa lalu, ditempeli cerita pengkhianatan, tapi tetap ditaburi contoh perbuatan baik. Hasil akhir, si baik pemenangnya.

Cempaka, diperankan secara apik oleh aktris kawakan Cristine Hakim menjadi pembuka cerita. Hanya saja durasi bermenit-menit kelamaan. Tapi barangkali itulah pengantar terbaik untuk mempercepat penonton memahami alur cerita.

Usia uzur memaksa Cempaka yang menguasai jurus Tongkat Melingkar Bumi--yang konon tak terkalahkan--meski menurunkan ilmu ke satu dari empat murid. Jurus keramat itu hanya bisa menitis ke pribadi yang baik. Satu "paket" dengan ilmu itu adalah tongkat emas.

Tiga dari empat murid Cempaka adalah anak dari musuh-musuh yang pernah ditaklukkan Cempaka. Mereka adalah Biru (diperankan Reza Rahardian), Gerhana (Tara Basro), dan Dara (Eva Celia). Satu murid lainnya, dan yang termuda, adalah Angin (Aria Kusumah). Angin adalah murid "temuan", lantaran dibuang oleh orang tuanya.

Dari sinilah jalinan cerita menggelinding. Cempaka yang sakit--karena diracun Gerhana dan Biru--merasa saatnya sudah dekat. Cempaka lantas memutuskan menyerahkan tongkat emas ke Dara. Itu membuat Biru dan Gerhana marah. Tongkat emas seharusnya diwariskan ke Biru, murid paling senior. Angin--yang masih usia anak--memihak Dara.

Biru dan Gerhana lalu mengawali aksi keji membunuh sang guru, Cempaka. Sayangnya Cempaka enggak diberi ruang untuk unjuk kebolehan di sisa akhir tenaganya. Sedikit ngganjel di hati karena Cempaka kok gampang dibunuh, tapi ya sudahlah, itu haknya si pembuat film.

Sebelum tewas, Cempaka sempat berpesan ke Dara. Apabila Cempaka tewas sebelum sempat menurunkan ilmunya itu, Dara harus menemui seseorang bernama Naga Putih.

Sementara itu, Biru dan Gerhana terus mencari korban. Dara dan Angin tentu saja yang ada dalam daftar. Untunglah di saat genting muncul Elang (Nicholas Saputra), yang belakangan diketahui adalah anak Naga Putih. 

Siapa Naga Putih? Usut punya usut, Naga Putih dan Cempaka itu pernah terlibat cinta sesaat saat mereka muda, yang akhirnya "menghasilkan" si Elang tadi.


Tapi saat itu Cempaka dan Naga Putih yang berguru dalam satu padepokan, harus berpisah. Sang guru di padepokan memilih Cempaka sebagai pewaris tongkat emas. Naga Putih yang tak mau lagi berjibaku di dunia persilatan, dengan getir membawa bayi Elang. Mereka naik perahu, menyepi jauh dari keramaian. Tak lupa sumpah diucapkan, yang intinya mereka berdua tak akan saling mencampuri urusan masing-masing.

Jalan cerita selanjutnya ya masih mudah ditebak. Biru dan Gerhana mengarang cerita bahwa Dara dan Angin-lah yang membunuh Cempaka. Padepokan silat tetangga percaya cerita itu, dan ikut memburu Dara dan Angin. Pertarungan tak terhindarkan. Dara lolos, tapi Angin menemui ajal karena melindungi Dara.

Dara yang ingin secepatnya balas dendam, ditenangkan Elang. Belum saatnya, karena ilmu Dara tak bakal bisa menandingi Biru, maupun Gerhana. Balas dendam tanpa persiapan hanya berujung kematian sia-sia.

Maka berlatihkan Dara dan Elang. Seiring waktu mereka mengerti kalau ilmu Tongkat Melingkar Bumi akan lebih dasyat jika dipraktekkan berdua. Seperti dahulu ketika Cempaka (muda) dan Naga Putih duet tanding dan menjadi jawara tanpa tanding.

Laga klimaks dalam film tentu saja duel Elang dan Dara melawan Biru dan Gerhana. Tongkat emas di tangan Biru ternyata tak berdaya. Hasil akhir laga, Biru dan Gerhana tewas, meninggalkan anaknya yang lalu diangkat Dara sebagai anak sekaligus murid. 

Film produksi Miles Film dan Kompas Gramedia (KG) Studio ini menjadi menarik karena ada adegan yang menampilkan penggal kata-kata puitis. Misalnya waktu Cempaka memberi wejangan atau saat di awal cerita menyampaikan narasi. Namun kehebatan Cristine Hakim harus diakui membawa pengaruh.

Mira Lesama, Riri Reza, Ifa Isfansyah, Seno Gumira, hingga Jujur Prananto yang didapuk menggarap skenario, cukup sukses menjalin adegan laga yang "berteman" dengan kisah drama. Tapi, asyiknya, mereka masih setia pada alur cerita yang simpel.

Mereka juga jeli memilih pemeran bukan dari atlet beladiri yang dilatih berakting. Melainkan aktor dan aktris yang diajari dulu beladiri oleh penata koreografi asal Hongkong, Xion Xin Xin--yang dulu pernah jadi pemeran pengganti Jet Lee. Setidaknya ada "garansi" kualitas adegan jual-beli pukulan, dan untunglah itu yang tersaji di film.

Kalau mencerna duel demi duel, kentara terlihat kualitas gambar coba digeber total. Adegan-adegan tidak nampak berlebihan. Tidak ada aksi melayang yang kaku, atau naik senjata terbang. Gerhana yang terkena tendangan bertubi-tubi, ya langsung ambruk, diam tak bergerak. Enggak mendelik, mengejang, atau melontarkan satu-dua kata sebelum game over.

Jeritan khas film laga bikinan dalam negeri seperti "ciaaat" dan "Hiyaaat" juga diparkir, kagak dijejalkan ke film. Aksi terbang yang lebay, dentuman tenaga dalam, dan sumpah serapah, juga enggak dikasih tempat. Ini benaran dibikin jadi film laga klasik yang simpel. 

Latar belakang alam Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur yang berupa padang rumput dan sungai berair jernih lumayan memberi nuansa. Mungkin juga jadi indah karena film-film silat sebelumnya kebanyakan berlatar belakang serba Jawa.

Jika pernah nonton film Lord of The Ring dan The Hobbit, tentu akan terpesona akan alam Selandia Baru. Maka barangkali usai menyaksikan film Pendekar Tongkat Emas, bisa mengagendakan piknik ke Sumba. Sambalbawang juga punya rencana itu. Kapan terwujud, ya entah. Siapa tahu ada pembaca review film di blog sambalbawang ini yang akan ngasih sponsor. 

Sebelum lupa, untuk mengakhiri tulisan, sambalbawang akan memberi sedikit kritik. Enggak fair juga kan, jika setelah memuji, tapi enggak memberikan kritik ke film berbiaya Rp 25 miliar itu.

Pertama, sambalbawang agak terganggu dengan istilah "datuk" yang merupakan dewan persilatan tertinggi. Istilah "datuk" ini kan kurang bernuansa Indonesia. Agaknya lebih cocok diganti dengan "sesepuh silat", atau apa lainnya gitu

Kedua, adegan laganya. Memang enggak bisa berharap adegannya setara film laga negara barat. Namun adegan laga di film ini masih terlalu sederhana. Atau mungkin sambalbawang yang terlampau berharap ya. Mungkin agak menarik juga kalau dikasih satu-dua adegan slow motion agar sedikit dramatis. 

Kalau berharap Dara dan Elang akan banyak memakai tongkat emas, juga siap-siap saja kecewa. Gerhana tidak keok dengan tongkat itu. Dan hanya Biru, yang kena ajian pamungkas. Saat Biru mengayun balok kayu dan disambut tongkat emas--yang dipegang bareng oleh Dara dan Elang--tongkatnya menembus kayu. Kemudian menembus badan Biru. Yah nampaknya itulah "kesaktian" si jurus keramat tersebut.

Kritik selanjutnya, adalah penggalan cerita yang rada kurang nendang di beberapa adegan. Cempaka misalnya, kok ya enggak sadar kalau diracun (pelan-pelan) oleh Biru dan Gerhana. Lalu si Naga Putih, di usia tua juga enggak dikasih kesempatan nongol unjuk kebolehan. Padahal si Naga kan mestinya mengajari Elang dan Dara untuk tandem membawakan jurus Tongkat Melingkar Bumi. Dan si Elang kan juga lumayan bisa jurus itu.... Hehe.

Kritik keempat, adalah kok ada penggal adegan yang enggak perlu. Seperti ketika Elang pergi ke desa tapi ternyata hanya untuk menagih utang. Sambalbawang jadi membayangkan, Elang akan lebih bersahaja kalau pekerjaannya bertani atau jadi guru sekolah. Eh ya bener, kan.

Terlepas dari kritik, sambalbawang beri apresiasi ke film ini. Jujur saja, ini film yang sudah dinanti bertahun-tahun. Koreografi beladirinya lebih sip dan serius, serta logis, ketimbang serial Misteri Gunung Merapi--yang pernah tayang 10-15 tahun lalu. Juga ketimbang film kolosal Saur Sepuh di era 80-an silam.

Memang dari segi alur cerita, ya datar. Tapi untung saja, adegan bisa dirangkai efektif, enggak bertele-tele. Fokus pada beberapa tokoh dan setia pada plot cerita. Imbasnya bikin film ini mudah dicerna. Dan bukanlah film silat memang enggak perlu dibikin rumit jalan ceritanya, bukan?

Duel demi duel dan aksi tongkat lumayan memukau. Inilah mungkin puncak tertinggi kualitas film silat di Tanah Air. Pesan yang hendak dituangkan, mengena. Enggak perlu jadi orang paling hebat untuk terpilih sebagai yang paling pantas mengemban tugas berat. Kebaikan dan kerendahan hati adalah modal utama.

Saya bangga nonton film ini meski hanya bareng delapan orang di dalam bioskop. Hiks, tapi tak mengapa. Selamat dan salut untuk semua artis pemeran dan kru film. Salam juga untuk dek Gerhana. Kamu yang paling tjakep, deh. Boleh minta nomer telponnya?


BACA JUGA ARTIKEL LAIN:
EVEREST
MAMMA MIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
MAMMA MIA FILM MUSIKAL FULL LAGU ABBA
MENGAPA HARUS NGEBLOG
JURASSIC WORLD VS JURASSIC PARK
THE BEATLES FOREVER
ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA

Pendekar Tongkat Emas

Minggu, 21 Desember 2014

AKU DI BELAKANGMU, TIGER


Tiger Wong, pendekar kungfu yang masih muda, memutuskan berangkat sendirian ke Thailand. Ini tentang dendam pribadi yang harus dituntaskan : menuntut balas atas kematian sang adik, yakni Little Dragon, yang dibunuh oleh Chan Ou Wan--seorang jagoan kungfu. 

    Tak mudah menemukan Chan. Bahkan, masalah langsung menghadang karena kelompok hitam--organisasi tempat bernaung Chan--menghalalkan semua cara untuk meringkus Tiger. Begitu mendarat di bandara, Tiger sudah dijebak. Dia dituding menyelundupkan narkoba, yang tahu-tahu barang itu sudah di dalam tas.

     Singkat cerita, Tiger diburu. Jelas nekat dia sendirian ke Thailand, yang notabene adalah sarang musuh. Namun pemuda ini, berbekal kungfu andalannya, Sembilan Matahari, cukup pede. Tiger meladeni pertarungan demi pertarungan. Namun lawan seakan tak pernah kekurangan personel, mulai dari tukang pukul, pasukan bersenjata hingga pendekar andalan. Dari yang menyerbu pakai golok, senapan mesin, sampai yang menyamar sebagai penjual nasi goreng.

   Untunglah, beberapa kawan karib Tiger tidak membiarkan Tiger pergi tanpa mereka. Diam-diam Tiger disusul, meskipun semua tahu apa resikonya. Mereka adalah Gold Dragon dan Guy, dua sohib Tiger sejak kecil, yang juga mahir kungfu. Perkiraan mereka berdua benar, Tiger sungguh membutuhkan bantuan. Btw ini vlog review Tiger Wong yang akhirnya saya bikin barusan, agar lebih hore. Silakan dilihat:



    Dua kelompok yang berbisnis ilegal, yakni Merah dan Hitam, berbagi wilayah kekuasaan di negara gajah putih itu. Kelompok Merah, yang dipimpin Barbarian, menguasai lautan. Sementara Kelompok Hitam, yang diistilahkan dengan sebutan "Pemuja Sejagat" dan dikomandani Supreme, areanya daratan. Kedua kelompok itu berbisnis ilegal, salah satunya narkotika.

    Ada satu lagi kelompok, yakni Putih yang diplot sebagai kelompok orang-orang baik, berbisnis legal, dan tidak suka mencari masalah. Infinitive White adalah pimpinan kelompok ini. Putih tidak terlalu menonjolkan kekuatan dan tidak suka membuka konfrontasi. Namun Kelompok Putih juga tidak berdiam diri. Infinitive punya orang-orang yang loyal, dan--tentu saja--pasukan khusus.

    "Tiger Wong" adalah judul komik berformat majalah, yang muncul pertama kali di Indonesia, di rentang tahun 1990-1991 lalu. Komik itu secara garis besar menggambarkan perseteruan tiga kelompok tersebut. Tiger dan kawan-kawan terlibat dalam satu duel ke duel lain, melawan beragam tokoh yang silih berganti.

    Sengitnya duel dan "pendetilan" jurus-jurus kungfu menjadi bumbu utama komik ini. Seperti bagaimana ketika tendangan atau pukulan berdampak ke tulang. Ambil contoh saat duel Tiger versus Pluto, bagaimana tendangan Tiger meremukkan tulang-tulang lawannya--berikut suaranya. 
     
     Dan namanya juga komik kungfu (jadul pula), tak ketinggalan adegan yang serasa tidak logis. Seperti tendangan sekuat tenaga yang dihadapi hanya dengan dua telunjuk jari. Ah, tapi itu tak terlalu menganggu sambalbawang--yang saat itu masih remaja dan hanya sebatas menikmati komik "modern" bertopik kungfu.

    Aksi-aksi kungfu tambah seru karena ditingkahi tipu-tipu-daya, pengkhianatan, asmara yang rumit, hingga kuatnya tali persahabatan. Masing-masing kubu punya keterkaitan jalan cerita, terutama yang pakai bumbu asmara tadi. 

     Sang tokoh, "Mas Macan" punya banyak jurus. Satu jurus paling andalan adalah Sembilan Matahari. Kecepatan dan kuatan kaki Tiger, diceritakan menggetarkan setiap lawannya. Karibnya, Gold Dragon tak kalah keren dalam beraksi. Doi punya jurus andalan Cakar Peremuk Tulang dan Sodokan Penggetar Jantung. Tapi yang istimewa, Dragon menguasai Baju Besi Emas level atas, sebagai pelindung. Satu lagi, Gold Dragon lihai memainkan nunchaku. Pendekar berambut pirang dengan luka sayat di pipi ini, partner duel Tiger.

   Sementara Guy, seorang biarawan muda yang santun, tetapi menguasai jurus-jurus suci. Guy sebenarnya tidak terlalu suka adu jotos dan bahkan terkesan terlalu baik, karena malah mendoakan musuh yang dikalahkan. Guy mendapat kekuatan dari jurus-jurus suci yang dirapal dengan doa. Kekuatannya melebihi perkiraannya sendiri. 

   Para pendekar putih ini punya beberapa teman sealiran yang muncul belakangan. Empat karib masa kecil, yakni Baldie, Kid Ganteng, Ming Mata Empat, dan Draco, ternyata juga tak membiarkan Guy dan Gold Dragon diuber-uber musuh. Keempatnya ini punya ilmu yang sekian tingkat di bawah Tiger, bahkan Guy. Tapi mereka cukup cerdik, dan kompak, untuk saling mendukung.

   Tokoh Putih lainnya adalah Master White, keponakan Infinitive White. Putih juga punya sejumlah anggota militan semisal Furry Rhodent, Sad Administrator, Paman Happy, hingga sejumlah orang di tim (khusus) Hawkeye--yang keberadaannya tak terendus oleh lawan. Hanya saja, kemampuan kungfu mereka masih di bawah para pendekar musuh. Gemes juga sih, hehe, karena mereka cepat game over.
 
   Merah dan Hitam punya segudang pendekar mumpuni. Namun, kalau boleh jujur, dari tiga kelompok itu, kekuatan putih yang terlemah, baik secara kuantitas maupun kualitas. Dalam cerita, kubu Hitam alias Pemuja Sejagat, penuh pendekar yang sepertinya tiada habis hingga episode terakhir. 

   Para punggawa Hitam misalnya Gembong Tengkorak, Chan Ou Wan, Jupiter, Pluto, Panglima Naga IV, Bocah Ajaib, Tiga Iblis, Tendy, Supreme Muda dan Supreme Tua. Ada juga tokoh "kelas" medioker seperti Herman, Nyonya Peracun, hingga Penembak Meriam. Dari semuanya itu, Supreme Tua, ayah Supreme Muda, kungfunya paling jago.

    Dari kubu merah, Barbarian punya anak buah yang setia dan sepertinya lebih kompak ketimbang anggota Pemuja--yang sering terlibat intrik internal. Merah diperkuat antara lain Pterosaur, Rahang Tajam, Hiu Merah, Ayam Hutan, Ular Hijau, Puma, Penyihir Jala, Penyihir Jangkar, hingga Rubah Api. 

    Para pucuk pimpinan punya jurus andalan--tentu saja. Barbarian menguasai level atas jurus Sengatan Listrik Purba, Infinitive White punya Penantang Fuu Hyee, sedangkan Supreme mengandalkan Pembuka Surga Hin Yuen. Kalau merunut ke jalan cerita, Sengatan Listrik Purba yang digambarkan paling top, karena (dahulu) pernah mengalahkan Pembuka Surga Hin Yuen.
    
    Tiger Wong adalah komik berformat majalah yang ngetren di awal tahun 1990, ketika sambalbawang baru saja lulus SD, dan masuk SMP. Inilah komik kungfu pertama yang “mengguncang” para remaja saat itu. Bahkan, sambalbawang sempat mencontoh gaya meditasi ala Sembilan Matahari, kaki di atas sedangkan tangan menekuk di bawah. Hihi.

    Komik terbagi atas 96 edisi ini, terbit dua minggu sekali, harganya Rp 2.000. Meski kertasnya coklat, tapi sudah full color, sehingga puas membacanya sampai halaman terakhir. Tapi di edisi menjelang akhir, harganya merangkak menjadi Rp 2.500. Harganya murah? Eit, tunggu dulu, itu harga zaman purba. Harus dikonversi dulu.

   Dulu, 24 tahun silam, di Yogyakarta, semangkuk mi ayam masih dibanderol Rp 300-Rp 350. Satu bungkus Anak Mas Rp 150. Naik bus umum Damri masih Rp 100. Jadi, kalkulasi sambalbawang, Rp 2.000 waktu itu mungkin setara Rp 45.000-Rp 50.000 di zaman sekarang. Mahal, kan? 

    Menilik gambar dan kualitas gambar dan kertasnya, komik Tiger Wong termasuk biasa-biasa saja. Gambarnya pun terlihat rada kaku, karena kadang proporsi tubuh : kepala-badan-kaki-tangan, tidak kompak. Mungkin sebagian gambar tokoh agak kebesaran otot. Namun itu dulu tidak terlalu diikirkan, sih, hehe.
  
    Keunikan komik ini adalah jalan ceritanya yang lumayan asyik. Sang pengarang, Toni Wong, bisa merangkai cerita yang mudah dipahami, meski kemudian rada njelimet setelah menapak edisi 50 ke atas. Cerita komik ini menyelipkan intrik, alur flash back, dan tentu saja, serba-serbi di luar "jual beli pukulan",  semisal kisah asmara Gold Dragon dengan Chime, adik Barbarian.

    Komik yang judul aslinya “Oriental Heroes” ini memang ingin mengaduk-aduk emosi pembaca. Tokoh-tokoh Putih banyak yang kalah, entah tewas ataupun dipecundangi. Satu demi satu teman Tiger bertumbangan, meski itu juga dialami Merah dan Hitam.

    Pimpinan Putih, Infinitive White, malah yang mati duluan ketika markas besarnya diserbu Hitam. (ada koreksi: Infinitive mati dicakar Pterosaur--makasih). Agak tidak asyik karena masih penasaran. Doi kan belum sempat duel sengit versus Barbarian maupun Supreme. Master White, sayangnya juga tewas duluan karena bunuh diri. 

   Dari kubu Hitam, Pluto yang keok duluan di episode ke-26 karena dituntaskan Tiger. Jupiter (anak Supreme) juga dihabisi Tiger. Dan, seperti sudah bisa ditebak, Chan malah hidup sampai edisi terakhir. Toni Wong juga sukses bikin sambalbawangjengkel. 
   
   Di akhir cerita, digambarkan Tiger dan Gold terkepung oleh para pentolan Kelompok Merah. Posisinya sudah sulit. Akhir cerita pun jadi mengambang. Keinginan sambalbawang menyaksikan Kelompok Putih yang menang, akhirnya sirna. Ending-nya saja tidak paham. Tapi bisa diraba kalau akhirnya, Tiger ya tewas. "Akan ada Tiger yang lain..." begitu narasinya. Ah..

    Tapi ya sudahlah, itu memang haknya Toni Wong untuk memainkan kisah dan mengambangkan ending yang terhenti di edisi ke-96. Terlepas dari akhir cerita, komik ini ingin saya koleksi. Dulu ya pernah berlangganan, tapi hanya bertahan tak lebih enam edisi, karena ortu tidak kuat.

    Mau membeli, kok harganya mahal banget, sehingga hanya beberapa edisi yang terbeli. Beberapa lainnya menyewa dari taman bacaan--dengan kondisi sejumlah halaman disobek orang (sedih). Mulai edisi di atas 30, sepertinya kok makin susah dapat. Atau dulu enggak tahu nyari di mana ya, hehe. 



     Akhirnya ya enggak bisa tuntas baca sampai akhir, juga enggak paham awal cerita komik ini. Tapi setelah 20 tahun berselang, awal tahun 2012 lalu, ada secercah harapan. Ceritanya adalah, sodara bojo a.k.a istri sedang berselancar di jagat internet untuk mencari buku-buku komik. Dan, malah ketemu si pengoleksi komik Tiger Wong yang mau melego komiknya itu, komplet 96 edisi dengan kondisi fisik 70-75 persen. Mata langsung berbinar, komik langung dieksekusi. 

    Dan, di sinilah sekarang--rak buku--mas Tiger Wong dkk.. Malam ini sambalbawang pengen baca kisahmu lagi, mulai dari edisi perdana "Api Balas Dendam" sampai edisi terakhir "Selamat Jalan Tiger?". Masih terus nagih nih, liat jurus Sembilan Matahari dan aksimu saat menuntaskan Pluto.

Dengan mantap, sambalbawang mengikrarkan diri sebagai bagian kelompok Putih. Aku dibelakangmu Tiger, jangan khawatir !


ARTIKEL LAIN :

Baca Juga  :  CHINMI JAGOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN
Baca Juga  :  LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK
Baca Juga  :  "MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
Baca Juga  :  HOMPIMPA ALAIUM GAMBRENG, UNYIL KUCING
Baca Juga  :  KONSER REUNI ABBA DALAM BENTUK HOLOGRAM ?
Baca Juga  :  7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA
Baca Juga  :  HANACARAKA, AKSARA JAWA YANG INDAH
Baca Juga  :  24 FINALIS DUTA WISATA BALIKPAPAN 2017 PAKAI BAJU SAMANTHA
Baca juga  :  MBANGUN DESA YANG NGANGENI
Baca Juga  :  JAHITKAN KAINMU KE MODISTE SAMANTHA BALIKPAPAN
Baca Juga  :  10 BREGADA KRATON YOGYAKARTA YANG KEREN
Baca juga  :  GATOTKACA TAK HANYA OTOT KAWAT TULANG BESI
Baca juga  :  TENTANG HONDA (3) INILAH STAR'S FAMILY
Baca juga  :  BALIKPAPAN JADOEL - NOSTALGIA SEBENTAR SAMA BARANG LAWASAN
Baca Juga  :  THE BEATLES FOREVER
Baca Juga  :  PENDEKAR TONGKAT EMAS, WELL DONE
Baca Juga  :  ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA
Baca Juga  :  LINTAS GENRE, SATU LAGI KUALITAS MUSIK ABBA
Baca Juga  :  LEBIH BAIK NAIK VESPA
Baca Juga  :  JERMAN TERSINGKIR DI PIALA DUNIA 2018 TAK PERLU BERSEDIH
Baca Juga  :  NGGUDEG DULU
Baca Juga  :  AKU, SIANG, DAN MALAM
Baca Juga  :  JURASSIC WORLD vs JURASSIC PARK
Baca Juga  :  AMPAR-AMPAR PISANG, INI LHO ARTINYA
Baca Juga  :  SARADAN
Baca Juga  :  TEH vs KOPI
Baca Juga  :  MENGAPA HARUS NGEBLOG
Baca Juga  :  YEN ING TAWANG ANA LINTANG
Baca Juga  :  BASA WALIKAN
Baca Juga  :  THE AQUARIAN ? 


Minggu, 30 November 2014

I NEED WATER, PLEASE....


     Pengalaman dua bulan menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Gunung Buthak, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, mengajarkan saya banyak hal. Salah satunya untuk menghargai air. Warga sana tidak ada yang keberatan hujan turun deras sewaktu-waktu. Hujan, adalah air.
     Sekarang, 15 tahun berselang, saya kembali mendapat pengalaman, soal susahnya air. Ceritanya gini, Balikpapan diterpa krisis air dalam tiga bulan terahir. Menurut kawan saya, pemerhati lingkugan, juga warga Balikpapan, ini krisis air terparah yang dialami Balikpapan. Waduh.
    Berawal dari kerusakan pada waduk Manggar, disusul hujan yang ogah turun, diperparah kebakaran lahan di provinsi sebelah, berimbas pada tidak adanya air hujan yang turun mengisi Waduk Manggar. Padahal ini waduk sumber utama air baku PDAM.  
     Air waduk pun menyusut drastis. Sampai pada akhirnya 13 Oktober, PDAM terpaksa menerapkan penggiliran jadwal distribusi. Sebab waduk tinggal terisi seperempat. Debit juga musti dipangkas separuh. Itu semua agar air "aman" hingga Desember.
    Dengan penggiliran itu, menurut kalkulasi PDAM, air di kawasan rumah saya akan mengalir pada Kamis-Minggu. Namun faktanya, air mengalir seminggu sekali, tepatnya sehari. Diruncingkan lagi, tidak sampai 24 jam. Itu pun mengucur pelan, seiprit demi seiprit.
    Masalah pun dimulai, dan segera bertubi-tubi. Semua aktivitas yang berhubungan dengan air, langsung terbengkalai. Yang mesti dibasuh air, terpaksa hanya ditumpuk, dan diselesaikan dalam satu "kedipan mata" ketika air mengalir. Biasanya malam hari. Acara memasak juga berantakan level atas.
    Mencuci pakaian, mengepel lantai, membersihkan kamar mandi, hingga menyentor garasi, tidak lagi menjadi agenda wajib yang jamnya baku. Semua aktivitas tadi, akhirnya harus dirampungkan dari malam sampai menjelang subuh, berkejaran dengan waktu karena esok pagi air kembali berhenti.
    Saking paranoid-nya saya, semua yang bisa untuk menampung air, bergegas dikerahkan. Dari jeriken besar-kecil, ember, panci, toples, sampai botol air kemasan plastik. Mungkin, hanya tinggal sendok dan gelas saja yang tidak dipakai.
   Saat masa terparah krisis air, untunglah, saya mendapat tugas kerja ke luar kota. Lumayan bisa cebar-cebur sepuasnya meski hanya empat hari. Merasakan nikmatnya dinginnya air yang menerpa badan, seakan satu hal fantastis. 
   Kembali ke kota, yang masih dilanda krisis air bersih, ini menjadi fenomena yang menunjukkan Balikpapan masih gelagapan ketika terjadi masalah air. Waduk cuma sebiji, jika tak terisi, mau apa coba? Hujan tak bisa dibeli, jeh.
    Mau nyiduk sumber air ke mana, coba? Waduk Teritip, yang diproyeksikan untuk menemani tugas Waduk Manggar, baru selesai dibangun tahun 2017. Sumur-sumur dalam PDAM hanya bisa memasok maksimal seperempat pelanggan.
    Tetangga kanan kiri sudah pada kulakan air, tetapi saya tetap bertahan. Bertekad tidak bakalan menebus air yang setandon 1.000 liter dibanderol Rp 150.000. Untunglah, ada tandon di rumah walaupun hanya khusus untuk air cuci-cuci. Bukan air untuk memasak.
    Karena itu, sebagai konsekuensinya, frekuensi mandi mau tka mau dipangkas. Dua hari sekali, kini cukup. Cadangan air disiapkan seperti tentara bersiaga mempertahankan benteng. Galon air mineral diisi penuh, siap dituang.
    Kondisinya begitu sampai sekarang. Memang setidaknya dua pekan terakhir, air sudah mengalir mulai Jumat malam. Meski diselingi Sabtu kembali mati selama sekian jam. Mati air, masih ditambahi bonus sesekali mati listrik. Ah.
    Kembali ke air, pada Hari Minggu, matinya juga sekian jam. Mengucurnya juga “nyantai”. Padahal, hari Minggu adalah hari kerja bakti massal, bukan? Tetapi, yah, dalam kondisi ini, setidaknya, krisis airnya tak sengeri bulan lalu.

    Semoga segera hujan, ya, Tuhan Yesus..



Jumat, 14 November 2014

ANGKRINGAN OH ANGKRINGAN -- TULISAN I

     Angkringan. Warung dengan ciri khas gerobak dorong, atap terpal seadanya, dan menu andalan teh panas, plus aneka gorengan dan baceman ini, ternyata masih eksis. Semakin eksis malah. Menyebar luas dari asalnya, Klaten, Jawa Tengah.
     Di Kota Balikpapan, Kaltim, angkringan bisa dibilang tumbuh telat banget. Baru muncul pertengahan 2012. Lokasinya di tepi jalan, di kawasan Sepinggan, satu km dari bandara. Penjualnya masih muda, orang Jogja, dan suka pakai blangkon. "Ben kethok seko Jowo," gitu kata si penjual. 
      Warung ini sempat menjadi lokasi favorit saya untuk “ngangkring” di malam hari. Dari sekian menu, sebenarnya, teh nasgitel (panas legi kenthel) yang saya cari. Bukankah angkringan dilihat dari kualitas teh nasgitel-nya?
       Dari angkringan Sepinggan ini, warung serupa secepat kilat bermunculan. Selang beberapa bulan kemudian, angkringan kedua nongol ke permukaan. Barangkali, dalam setahun itu, ada 5-6 angkringan baru. Opsi makin banyak.
       Saat ini, setidaknya dua bulan terakhir, saya memperkirakan terdapat 10 lebih warung angkringan seantero Balikpapan. Dengan menu sama tapi masaknya berbeda. Alhasil rasa gorengan tempe dan tahu pun tidak seragam.
     Dari sekadar tempat makan skala ringan, ditambah nongkrong, angkringan bergeser fungsi menjadi tempat tujuan makan malam. Angkringan juga jadi pilihan ketika saya lagi mati gaya mati ide mau memasak apa. 
       Angkringan menjadi bagian tak terpisahkan. Memang, tak bisa dimungkiri, angkringan menghadirkan (lagi) sejumput keceriaan saat kuliahan dulu. Ketika berkerumun, duduk berimpitan dengan posisi kaki nabrak roda gerobak. 
        Tapi zaman memang sudah berubah. Demikian juga kafe ceret telu (kafe dengan tiga buah ceret/teko), alias angkringan, yang akhirnya terseret juga untuk bertransformasi. Baik dari sisi tampilan, suasana, maupun menu.
      Dulu, angkringan identik dengan makan yang murah. Kantong menuju saldo nol, angkringan jawabannya. Beruntung, dulu, menu angkringan cukup cihui walau dibanderol murah.
       Namun sekarang, makan di angkringan tidak bisa dikatakan murah. Apalagi di Balikpapan ini. Sekali ngangkring, dengan jumlah peserta dua orang, kocek bisa terkuras minimal Rp 25.000. Tanpa ngambil sate telur, lho.
     Kalau lagi lapar total, uang melayang Rp 35.000-Rp 40.000. Mungkin di Jogja, sekarang, masih selisih Rp 10.000-Rp 15.000 lebih murah dari Balikpapan. 
       Tetapi, yang bikin dongkol adalah, menu angkringan tidak lagi nyamleng. Dulu, hampir setiap angkringan menyajikan teh enak-dan tentu saja panas. Tapi sekarang kondisinya tidak seasyik itu. Teh hanya sebatas menu. 
      Tumbuh dari keluarga Jawa ketika ibu selalu menghidangkan teh kualitas prima-ya nasgitel itu, saya cukup faham bagaimana rasa teh semestinya. Saya paham mana teh enak, mana yang tidak. Apalagi istri saya yang lebih Jogja "totok".
      Karena itulah, urusan minum teh bisa jadi masalah yang lumayan menggangu. Persis seperti peminum kopi sejati yang diberi segelas kopi instan. Dahi pasti mengernyit.
      Suatu kali saya pernah nongkrong di salah satu angkringan. Bapak penjualnya tanya, saya orang mana. Obrolan berlanjut sampai segelas teh hadir. Rasanya "ajaib". 
       Lha, rasa tehnya cemplang abis. Bagimana tehnya?” tanya si bapak setelah satu seruputan selesai. Saya dan istri saling pandang. Dengan terpaksa saya jawab,” Kurang nasgitel, Pak,” 
     Teh tersebut lalu diambil, dan akan direvisi rasanya oleh pembantunya si bapak itu. Tapi, hasilnya pun masih mengecewakan. Sekali lagi dengan terpaksa saya bilang,"Kurang mantap,".
      Tidak hanya satu angkringan yang seperti itu, tapi ketika hampir semua angkringan tidak sanggup menyajikan teh rasa istimewa, saya tidak lagi tertarik ngangkring.
      Semakin sulit menemukan kepuasan di angkringan. Barangkali, tinggal satu-dua angkringan yang menyajikan teh dengan rasa yang masih saya tolerir. Meski tetap dengan "catatan", karena menu angkringan tak hanya sekadar teh, bukan?
     Keasyikan nongkrong sembari nyeruput teh nasgitel, idealnya ditunjang dengan si penjual yang aktif berinteraksi. Komunikasi dua arah terjalin, semua saling kenal.     
      Sayangnya, kondisi sekarang tidak seperti itu lagi. Si penjual bisa jadi cuek, tanpa membuka obrolan. Demikian juga pembeli, masuk ke angkringan ya hanya untuk makan. Atau langsung mengambil sego kucing dan gorengan, lalu pulang. Jika dulu angkringan adalah tempat ngumpul dengan suasana bersahaja, sekarang lebih terkesan seperti warung lesehan. Benar-benar lesehan, karena menunya mulai beragam.
      Minuman sachet dan mi instan ikut dimasukkan.  Perubahan zama tidak bisa disalahkan. Namun hasrat ingin menikmati angkringan klasik ala tempo dulu, tidak bisa ditendang begitu saja dari kepala. Jadi, saya masih mendambakan angkringan yang cukup ideal. Parameternya memang bisa subyektif, karena berhubungan dengan selere. Orang Jogja suka menu teh nasgitel, gorengan tempe ala mendoan, juga tahu berisi tauge, wortel, dan kubis.
     Jadi ketika ada angkringan menyediakan tahu isi (bakmi) so'on, itu adalah sebuah "kesalahkaprahan" bagi saya. Atau angkringan jualan ayam goreng, ya agak gimana, gitu. 
Garis besar dari curhat soal angkringan ini adalah, belum ada angkringan di Balikpapan yang memuaskan saya hingga 100 persen. Yah, memang tiada yang sempurna.   (keluh)

Senin, 10 November 2014

AKHIRNYA MENEMUKAN GUDEG

      Akhir-akhir ini sambalbawang keranjingan gudeg. Sebagai orang Jogja, makanan itu memang bercita rasa "Jogja banget" alias manisnya enggak ketulungan--bagi orang luar Jogja. Kangen gudeg ternyata harus jauh dari sumbernya, dan urusannya menjadi tidak mudah jika itu di Balikpapan.

    Enggak mudah menemukan gudeg yang rasanya pas di lidah--wong Jogja. Ada tiga warung gudeg yang pernah saya sambangi di Kota Minyak itu. Warung pertama, gudegnya enggak manis. Oh.. tidaaak. “Ini gudeg apaan, kok dominan asin-gurih. Piye, sih, bikinnya.. Harusnya gudeg itu ..bla, bla, bla…,” begitu komentar kawan karib yang juga pernah mencicipi.

   Sambalbawang akhirnya sepakat sama dia. Ikut manggut-manggut, sembari memberi sedikit argumentasi, bahwa memang terjadi penyesuaian rasa gudeg di luar Jogja. Mau tak mau, ketimbang gudegnya tidak laku, atau hanya dibeli orang Jogja--dan sekitarnya. 

     Kondisi ini tak terelakaan mengingat komposisi warga Balikpapan yang orang Jawa-nya hanya seperempat jumlah penduduk. Itu pun mayoritas dari Jawa Timur. Separuh Jawa timur di arah timur, jelas tidak terbiasa mencicip manis yang "terlalu".  


    Argumentasi kedua--untuk menghibur diri--mungkin yang jual gudeg bukan orang Jogja. Kami yang wong Jogja ini, atau setidaknya nyaris seumur hidup tinggal di sana, mengenal betul cita rasa manis gudeg sejati. 
   
     "Level manisnya makanan di Jogja ini, lebih manis dari standar manis daerah lain di Indonesia," begitu kata Murdijati Gardjito, pakar makanan tradisional dari UGM, pernah menjelaskan, saat sambalbawang tanya, beberapa tahun lalu.

    Seberapa manis rasa gudeg, kalau mau digambarkan, sebanding dengan level pedas keripiknya Mbokde Maicih, oleh-oleh khas dari Bandung, Jawa Barat. Kalau keripik Maicih, pedas sempurna itu dipatok pada level 10. Demikian juga untuk gudeg, skala manisnya wajib level 10, atau setidaknya 9. Alamak.


     Kita tinggalkan warung pertama, dan beranjak ke warung gudeg kedua. Ini lebih tepat seperti warung nasi biasa, dan gudeg hanya salah satu menu, dan bukan menu utama. Secara khusus, warung kedua lebih mirip angkringan. Gudegnya ditaruh di sebuah panci alumunium. Kita akan diambilkan nasi setangkep sama si penjual, trus dituangin gudegnya. 

    Merasa ada yang kurang, mata segera celingak-celinguk ke segenap penjuru. Mencari kuah areh, item wajib dalam menu gudeg, karena tak tergantikan. Blaiiiik, bang bayiik, kok tidak nampak. Si penjual menjawab gini, "Gudeg ya nggak pakai areh..”  Gubrak... Lutut langsung gemetar, bergetar, tenggorokan tercekat. Oh Tuhan.
    
    Sejenak kemudian, barulah pengendalian diri mengambil kesadaran yang sempat "meregang". Dipikir-pikir, si penjual ya tidak salah. Menjual apa, kan ya suka-suka dia. Mana tau juga dia belum pernah mencicip gudeg di sumbernya.

     Mungkin pula dia belajar masak gudeg ya sudah salah. Okelah, jika demikian, apa boleh buat. Tapi sambalbawang kan tetap ngebet gudeg sejati. Gudeg yang disiram areh kuah santan kelapa yang kental, yang manisnya nyaris maksimal itu, hu-hu-hu.

     Beranjak ke warung ketiga, sebersit asa mulai menyeruak. Aha, syukurlah, gudegnya lumayan mewakili cita rasa Jogja. Lupakan sejenak tampilan dan wajah gudeg Wijilan Jogja, gudeg di warung ketiga ini, lumayan enak.
     
     Gudegnya mungkin hanya mencapai level 7 untuk rasa manis, namun secara tampilan dan komposisi, cukup pas. Hanya saja, tetap ada satu yang kurang, yakni kerupuk ndeso.

Kapan pulang Jogja (lagi) ya untuk maem gudeg... (hiks)..


catatan: 
    Dari salah satu warung, saya baca tentang sejarah gudeg. Salah satu varian cerita tentang asal muasal gudeg, sepertinya Kira-kira begini kisahnya. Konon, gudeg adalah masakan seorang istri yang bersuamikan pria Inggris. Nah karena bingung mau masak apa, si istri teringat resep turun-temurun keluarga. 

    Maka, memasaklah ia, dengan bahan utama nangka muda.
Tak disangka, sang suami suka masakannya. “Good, Dek,” kata si bule. Dalam bahasa Inggris, “Good” berarti “bagus” atawa “top markotop” dalam bahasa gaul kita. 

    Sedangkan “Dek” dalam bahasa Jawa berarti panggilan untuk adik. Atau dengan kata lain, “Dek” itu sama dengan sapaan “Dik”. Dan dari lontaran kata “Good, Dek” itulah maka lalu tercipta kata “Gudeg”. 


Minggu, 09 November 2014

IKUT LOMBA KOOR GEREJA (LAGI)


Setelah bertahun-tahun nggak pernah ikut lomba koor di gereja, akhirnya saya melakoni itu lagi, Sabtu (8/11) malam kemarin. Hebatnya, dan asyiknya, hasilnya ternyata happy ending karena menyabet posisi juara dua. Bangga donk, yo'i, so pasti.  

Ehem, tapi sebenarnya apa yang terjadi dan apa gerangan? Jadi, begini garis besar ceritanya. Dalam rangka ultah Paroki Gereja St Theresia, Balikpapan, dihelat aneka lomba untuk memeriahkannya. Salah satunya adalah lomba paduan suara.

Nah, Lingkungan (kring) saya, "Maria Imacullata, Balikpapan Baru", menjadi salah satu pesertanya. Pak Halim, atau yang kadang saya sapa Om Halim, sang ketua kring, menampakkan semangat perjuangan demi lomba ini. Semangatnya menular, om, hehe.
Lagi pula, ikut lomba.. why not? Siapa takut? Sudah 15-an tahun mungkin, saya nggak pernah lomba koor, sejak terakhir kali dalam perayaan HUT Gereja Kumetiran Yogyakarta. Pengen menjajal lagi kemampuan diri. Ciee.

Dan, jadilah saya terdaftar sebagai anggota koor untuk lomba. Aturan tidak tertulisnya, sih, kudunya rutin latihan. Tetapi karena latihan koor-nya berbarengan dengan jam deadline ngetik berita, saya jadi sering absen. Maaf ya

Persiapan untuk lomba, lumayan lama. Latihan koor sudah direntang hampir dua bulan lamanya.  Serius beneran, neh. Lha iya, lah, namanya juga mau lomba. Bahkan, saya mengajukan cuti sehari agar bisa ikut koor dengan tenang. Duile, banget kan?
Sering bolong saat latihan, tiga latihan terakhir saya bela-belain datang. Lagunya untuk lomba ada dua, judulnya "Ekaristi" dan "Kumenghadap Allah Sang Maha Cinta". Seperti biasa, saya memilih posisi di kategori pria bersuara tinggi alias tenor.

Tantangan pertama, adalah lepas teks. Enggak boleh ngintip lirik. Jiaaaa, tidaaaak.  Sekian lama hanya ngikut koor misa mingguan, yang nyanyinya sambil pegang kertas teks, maka, urusan lepas teks ini menjadi tidak mudah.

Sepertinya, selalu saja ada yang salah. “Kuhaturkan puji syukur” kadang terpeleset jadi “Kuhaturkan puji sembah” gara-gara bait sebelumnya ada lirik “menghaturkan puji sembah”. Ada tiga bait di lagu Kumenghadap… itu, yang kadang kebalik.
Sedangkan lagu satunya, Ekaristi, bikin saya megap-megap mengambil nafas. Beberapa kali salah waktu ambil nafas. Imbasnya, lirik jadi tidak terbaca karean sudah kehabisan oksigen di tengah perjalanan. Haduh.
“Harus cermat dan cepat mencuri nafas,” begitu seru Bayu, anggota lingkungan yang didapuk sebagai pelatih. Oleh dia, kami diajari teknik “menggumam” yang membuat mulut dan area sekitar mulut bergetar. Memfokuskan suara.
Juga dikenalkan (diingatkan) lagi cara membuka mulut agar kebiasaan menyanyi dengan mulut direntang ke samping, dihilangkan. Suara harus keras, tapi jangan sampai pecah. Ada kalanya dinyanyikan lembut, tapi tetap terdengar.
Perhatikan lirik mana yang harus dinyanyikan secara lembut, mengeras, melembut, dan seterusnya.  “Juri mungkin akan mengernyitkan dahi untuk membuat kita grogi dan merasa ada yang salah,” begitu kata Bayu.
“Jadi, kalau misalnya ada yang merasa nyanyinya salah saat lomba nanti, sebaiknya menampakkan ekspresi biasa. Tapi ya jangan lalu malah memilih nggak menyanyi pada nada-nada atau bagian yang nggak hapal,” lanjut Bayu lagi.
Haduuh, tambah makin grogi saja sepertinya. Bayangan altar gereja yang akan menjadi TKP lomba, suasananya, para juri yang menatap tajam, ditonton orang, hingga kemungkinan "demam panggung", akhirnya menari-nari di kepala.
Tetapi layar sudah terkembang, perahu harus berlayar. Pantang balik kanan. Ciee.... Jadi saya mesti berusaha keras, ehem, yang dimulai dengan menghapal lirik. Dua hari terakhir, saya banyak berdendang di semua tempat.
Dan, tibalah “hari penghakiman” itu, jreng-jreng-duer. Supaya napas plong-bolong, tak lupa pagi hari saya membeli permen pelega tenggorokan. Untuk meminimalisir grogi, siang hari saya milih jalan-jalan sanntai dan hura-hura sejenak.
Pukul 19.00, begitu misa selesai, lomba siap digelar. Sembari memacu motor, sepanjang perjalanan menuju gereja, mulut saya komat-kamit baca mantra, eh lirik lagu. Jangan sampai lupa, jangan sampai lupa.

Sebentar lagi naik panggung, masih sedikit grogi melanda. Jurinya ada tiga, pakar semua, mulai dikenalkan satu per satu. Satu juri berasal dari Keuskupan Agung Samarinda. Romo Paroki juga ternyata ikut nonton. A,a,a..
Dan, tibalah saat untuk tampil. Kaki mulai melangkah masuk ke dalam gereja, menuju ke altar. Naik satu anak tangga, lantas berbaris. Deg, jantung berdetak kencang. Tiga juri menatap dengan sorot mata yang tajam. Deg. Apakah saya bisa hapal liriknya? Deg.
Kalau nanti saya nyanyinya salah nada, gimana? Kalau salah lirik gimana? Deg, lagi. Bagaimana bisa melantangkan suara jika masih rada grogi gini? Deg, deg. Bagaimana jika… dan  gimana jika….. Deg, deg, deg.
Tiba-tiba saya bisa mensugesti diri sendiri. “Mbok ya sudah nyanyi, saja. Kan dulu juga pernah lomba gini, dan bisa” begitu bisik-bisik suara hati yang nangkring di kepala. Dan, bernyanyilah saya sampai bumi bergetar....
Selesai. Dua lagu sudah usai dinyanyikan. Semua lirik, saya hapal. Semua nada bisa saya lahap, aseek. Tidak sia-sia saya merapal mantra sepanjang hari itu.  Tidak juga ada keringat bercucuran deras seperti perkiraan saya sejam sebelumnya.

Anggota kring pun bersorak ketika juri mengumumkan hasilnya. Juara kedua. Menyenangkan dan hore banget. Lombanya sih sebenarnya, hanya diikuti empat kring, hiks, karena hanya empat kring itulah yang sanggup menjadi peserta lomba.
Tapi tak mengapa. Bukan juara berapa yang terpenting dalam lomba koor seperti ini. Ini kan bukan acara semacam Hell Kitchen? Melainkan kemampuan menumbuhkan kepercayaan diri. Ternyata nggak gampang bernyanyi sesuai patokan baku.
Demam panggung, adalah kendala terbesar untuk lomba-lomba seperti ini. Demam panggung, menurut analisis saya, berperan sampai 80 persen terhadap hasil lomba. Demam yang kayak gitu, bias membuyarkan konsentrasi.
Syukurlah saya tidak demam panggung. Setidaknya, kalau itu diukur dari kondisi keringatan dan level gemetar lutut. Kalau diukur dari indicator itu, berarti saya demam begitu usai turun panggung. Keringat mulai bercucuran.

Ternyata perut mulai lapar..... Padahal belum dua jam perut diisi mi instan dan sepotong lumpia.  Yah begitulah, lomba rupanya membuat perut keroncongan. Untunglah ada nasi kotak, dan gudeg yang dimpor langsung dari kotanya. Nyam.
*thanks atas support rekan-rekan se-kring