Kamis, 23 Mei 2019

BASA WALIKAN

"Gek sangi, yo. Mengko 'ndak diseneni sahan pisu,” ujar seorang kawan sembari melihat jam. Dan, kerumunan remaja era 90-an yang lagi semangat-semangatnya hangout tapi masih taat jam malam itu pun, bubar. Sudah dini hari, ternyata. Tapi tak apalah sekali-kali pulang larut, kami kan laki-laki. Poya hoho.

Sambalbawang jadi teringat sejumput obrolan masa lalu, 22-25 tahun silam. Obrolan yang terdengar berbumbu kosakata-kosakata "alien" itu. Sedikit bingung mengartikan beberapa kata di atas seperti sangi, sahan, pisu, dan poya hoho? Itu bukan Bahasa Jawa, melainkan bahasa (basa) walikan. Remaja gaul di Yogyakarta saat itu pasti mengenal bahasa sleng yang mengadopsi aksara Jawa sebagai acuan tersebut.

Ini "bahasa" yang cukup keren dan pernah beken, lho. Setidaknya dari sudut pandang para remaja jadul masa lalu, termasuk sambalbawang. Jadi, mari sedikit mengulik basa walikan seiring menggali memori yang tersisa. Sebelum bahasa "asing" itu punah. Ah...

Sebetulnya kita tidak benar-benar asing dengan bahasa walikan. Sepertinya ada satu kata basa walikan yang sudah familiar yakni “dagadu”. Kalau sudah lupa, ayo diingat sebentar. Dagadu ini juga merek salah satu kaos oblong di Yogyakarta yang menasional. "Dagadu" dalam Bahasa (basa) Jawa artinya "matamu". Logonya bola mata. Cocik. Selain dagadu, ada lagi kosakata basa walikan yang ternyata masih bertahan, yakni sapaan “dab” yang berarti “mas”. Masih sering mendengar orang saling menyapa dengan "Halo, dab !", bukan?

Kembali ke sangi, sahan, pisu, dan poya hoho tadi, itu artinya “bali”—dalam bahasa Indonesia berarti pulang; “bapak”, “ibu”, dan “ora popo”—berarti tidak apa-apa. "Gek sangi, yo. Mengko diseneni sahan pisu" di atas tadi, artinya "segera pulang, yuk, nanti dimarahi bapak ibu".

Masa-masa sambalbawang usia SMP, basa walikan lagi ngetren-ngetrennya. Seperti remaja pada umumnya di kota pelajar, atas nama pergaulan dan "demi kekinian", sambalbawang cukup akrab dengan bahasa gaul itu. Enggak terlalu rumit memelajari, karena basa walikan mengadopsi pengucapan seturut aksara Jawa, yang lumayan sambalbawang paham. Masih ingat hanacaraka dan seterusnya, kan? Lebih susah nulis aksara Jawa ketimbang mengucapkannya--hanacaraka.

Bahasa prokem ini ada “rumusnya”. Tapi sebelumnya, kita rentang dulu aksara Jawa, pelan-pelan, agar mudah memahami dasar basa walikan. Baris pertama berbunyi “ha na ca ra ka”, baris kedua “da ta sa wa la”, baris ketiga “pa dha ja ya nya” sedangkan baris keempat atau terakhir “ma ga ba tha nga”.

Basa walikan diambil dengan cara mengganti kata di baris pertama dengan kata di baris ketiga, serta baris kedua diganti baris keempat. Demikian pula sebaliknya. "Ha" misalnya berpasangan dengan "pa". Contoh lain yakni "na" berpasangan dengan "dha", atau "ka" dengan "nya". Begitu seterusnya (lihat gambar). 

Seingat sambalbawang, tidak semua kata dalam bahasa Jawa yang diganti dengan basa walikan. Alasannya, tidak semua terjemahan kata ke basa walikan terdengar unik. Perlu digarisbawahi, faktor ini penting karena basa walikan tak hanya sebatas pengucapan, tetapi juga intonasi. Maka dari itu, dalam percakapan biasanya basa walikan hanya untuk satu-dua kata, beberapa kata, hingga separuh kalimat. Nyaris tidak pernah digunakan dalam satu kalimat (panjang) utuh. Kalau mengucapkannya terbata-bata  dan pelan (sembari mengingat), kan enggak seru.

Kapan basa walikan dipakai? Basa walikan hanya dipakai untuk percakapan antarteman--biasanya teman sebaya--dan dilarang keras diucapkan ke orang tua. Meskipun dalam perkembangan selanjutnya, sebagian ortu pun akhirnya paham bahasa gaul itu, karena penasaran.

Bahasa gaul ini dinamakan basa walikan karena karena membolak-balik (malik, wolak-walik) aksara Jawa. Kalau direntang ke belakang, perihal kapan kemunculan basa walikan, sambalbawang tidak tahu. Konon, dari cerita sambung-menyambung yang sampai ke telinga, basa walikan dulunya bahasa preman untuk menyamarkan maksud tujuan.

Sepertinya tidak ada buku khusus yang membahas basa walikan. Mengubek-ubek buku kawruh basa Jawa, sambalbawang enggak menemukan bab tentang basa walikan. Bahasa "ilegal" sih, hehehe. Meski begitu, ada beberapa aturan tak tertulisnya. Sambalbawang hanya ingat beberapa. Misalnya, huruf vokal (a, i, u, e, dan o) disematkan ke aksara pertama, yakni “ha”. Ambil contoh, poya hoho tadi berarti (h)ora popo.

Aturan lainnya adalah, tidak semua kata mengacu ke rumus baku basa walikan. Sejumlah kata akan dipenggal satu-dua huruf belakangnya agar terdengar enak di telinga dan enak diucapkan. “Dogos” misalnya, yang berarti motor, sebenarnya tidak baku berbunyi atau ditulis “dogos”, melainkan “dogoy”.

Namun karena “rasa” mengucapkan dan mendengarkan “dogos” lebih enak daripada “dogoy”, maka dogos-lah yang dipilih. Contoh lain--kata yang sering dipakai--misalnya“pahin” yang akhirnya digunakan daripada “pahiny”, untuk mengganti kata “apik”--yang berarti bagus dalam bahasa Indonesia.

Atau “jape methe” yang berarti bocahe dewe, untuk menunjukkan kawan baik alias kubu (orang) sendiri,.  Menilik rumus basa walikan di atas, mestinya bukan ditulis "jape methe" tetapi "sojape methe". Namun memang lebih enak mengucapkan “jape methe” bukan? Ada lagi, kata “rokok” ketika diubah ke basa walikan menjadi “bonyon”, bukan “yonyony”. Mengucapkannya jadi agak ribet.

Walaupun kata-kata dalam Basa Jawa bisa semuanya diubah ke basa walikan, namun tidak semua yang diubah. Sejauh sambalbawang tahu, agaknya cukup jarang, kata "kowe" atau kamu (Bahasa Indonesia), diubah menjadi "nyothe" dalam obrolan teman-teman. "Turu" atau tidur (Bahasa Indonesia) juga sepertinya tidak pernah diucapkan "guthu". Atau "aku" yang ketika diubah ke basa walikan menjadi "panyu", juga kurang populer. Mungkin karena nyothe, panyu, dan sejumlah kata lainnya memang jadi malah enggak keren terdengar di telinga.

Namanya juga basa sleng yang mengutak-atik hal baku (aksara Jawa), akhirnya memang sulit sempurna. Kebingungan dan "tabrakan" pemakaian huruf seturut rumus "hanacaraka", tak terhindarkan sehingga ada kata-kata dalam basa walikan yang tidak pas dan wagu kala diucapkan. Tapi, untunglah, ada kesepakatan bersama--tak tertulis--untuk mengondisikan sekian kosakata basa walikan. Ada kata yang diubah (dan diucapkan) menjadi basa walikan, namun ada pula yang tidak.

Beberapa basa walikan lain yang popular adalah muthig (duit), soco (bojo atau suami/istri), dosin/dosing (mobil), hire (piye), themon (wedok/cewek), satub (bagus), daladh (mangan/makan), lodse (ngombe/minum), ledhgug/ledhub (kentut), themi (wedi atau takut), libil (ngising atau buang air besar), gapi (tahi atau kotoran), bubu (susu), dan tentu saja dagadu (matamu).

Basa walikan--sepertinya--sering dipakai untuk menghaluskan umpatan atau kata-kata "terlarang" atau yang kurang patut jika diucapkan keras-keras. Seperti "dagadu" tadi, yang berarti "matamu", bisa diartikan sebagai umpatan. Matamu !! Tetapi karena mengucapkannya "hanya" dagadu--dan tidak semberi berteriak--maka tidak terkesan kata yang kasar, bukan? Begitu juga jika kita bilang "arep libil dhisik", jika hendak BAB, serasa lebih sopan daripada "ngising"--Bahasa Jawa.

Tetapi, sssst... jangan sembarangan mengucapkan pabu sacilad, ya. Atau mengobral kosakata lajel tanpa liat situasi kanan kiri. Hehehe.

*sebenarnya masih ada beberapa kosakata basa walikan yang populer, tapi karena terlalu vulgar, tidak sambalbawang tulis di sini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar