Kamis, 28 April 2016

MAIN GEMBOT LAGI SETELAH 26 TAHUN

Akhirnya, bisa juga sambalbawang bermain "gembot", malam ini. Setelah terakhir kali memainkannya tahun 1990 lalu. Busyet, dah. Dua puluh enam tahun kemudian, baru nemu nih barang, dalam kondisi nyala pula.

Dua "gembot" sekaligus, malah. Judulnya Western Bar dan Heli-Battle. Temu komunitas penggemar hape jadul di Balikpapan, malam tadi kopi darat, sekaligus mendeklarasikan terbentuknya Bahenol, alias Balikpapan Hape Nostalgia.

Puluhan hape jadul yang dipasang, sudah bikin terharu. Namun mata semakin berkaca-kaca, mbrambangi, tatkala memandang dua gembot itu, yang dibawa seorang kawan. Jadi, ni gembot mau diangkut saat pameran tema 90's, bulan depan.

Berhubung ada di depan mata, dan dibilangi benda itu masih hidup, langsung tunjuk jari untuk mencicipi. Pertama Heli-Battle. Helinya disuruh nembakin pesawat musuh yang bersenjata, ditambah tank yang melontarkan misil ke atas.


Gembot kedua, Western Bar, sambalbawang jadi koboi yang masuk bar. Tugasnya nembaki gelas yang dilempar bartender. Cukup beberapa menit saja saya mencicip, sampai game over, mengingat barang milik orang itu adalah "harta karun".

Itu sudah cukup. Ingatan terasa terlempar ke belakang, saat sambalbawang duduk di kelas V-VI SD Xaverius di Ambon, tahun 89-90. Ketika gembot sedang ngetop-ngetopnya, dan tetris poket belum nongol. Hanya segelintir teman yang punya itu. Saya perkirakan, jika dikurs, harga gembot, jika dikalibrasi ke sekarang, pasti di atas Rp 1 juta. Ha mbok suwer...

Karena itu urusan bermain gembot, akhirnya harus gantian. Setelah si empunya puas bermain dan merelakan gembotnya dipinjem sebentar. Sampai suatu hari, eorang temen cewek, yang bertampang manis-imut, merelakan gembotnya saya pinjem beberapa hari.

Sebuah sensasi tak terlukiskan kala memainkan benda yang nama resminya "game watch" dan bikinan Casio ini. Karena susah melafalkan kata tersebut, maka "game watch" lalu disebut "gembot". Biar gampang menyebut benda yang sebenarnya adalah perangkat game portable ini.

Gambar (bergerak) di layar seukuran sekitar 4,5 inci, di gembot, sebenarnya kaku, Suaranya pun cempreng ala monoponik. Namun percayalah, itu suara yang merdu dan "nagih" bagi telinga anak-anak SD pada 26 tahun silam.

Melongok ke bagian bawah gembot Heli-Battle, tertera tahun 1987. Aha, ketahuan deh kamu munculnya tahun berapa. Aku memainkanmu lagi ! Jempol kiri siaga di atas tombol "missile" dan "bomb" sedangkan jempol kanan bertugas mengarahkan gerak heli.

 Let's fight, honey  !!!

NB: trims berat seberat gerombolan siberat utk si empunya dua gembot ini... you saved my life...

BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :
MAMMA MIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
BLOGER BALIKPAPAN RAYAKAN HARI BLOGER NASIONAL 2019
BANYAK MOTOR SEDIKIT MEREK, SEDIKIT MOBIL BANYAK MEREK

Senin, 25 April 2016

ASYIKNYA PIKNIK YANG REPOT

Sejak kecil, piknik adalah sebuah rutinitas yang wajib dilakukan saat musim liburan, hari "kejepit", merayakan sesuatu yang bersamaan dengan akhir pekan, hingga merupakan realisasi agenda yang sudah disusun jauh hari sebelumnya.

Selalu membawa termos berisi minuman panas, rantang berisi aneka sayuran dan gorengan, hingga ceting nasi. Tak ketinggalan serbet, meja kecil, sendok-garpu, piring, gelas, bahkan aneka wadah untuk jaga-jaga. Tikar berukuran gede, jelas dibawa.

Selimut pun dibawa, juga mainan-mainan, buku cerita kesayangan, hingga radio. Begitulah yang terjadi, sejak eyang buyut mengajak piknik pertama yang saya ingat, ke Kaliurang. Masih terbayang termosnya yang penyumpalnya dari gabus.

Juga rantang-rantang yang isinya selalu membuat sambalbawang kalap. Dulu. Santap siang di tengah embusan angin nan sejuk, dibawah pepohonan, sambil ketap-ketip memandang sekitar. Ah, menyenangkan. Meski, itu adalah piknik repot.

Dan sekarang sambalbawang meneruskan rutinitas piknik repot itu. Bersama sodara bojo, sibuk bersiap malam hari. Satu jam sebelum berangkat, teh sudah dibikin dan dituang ke termos. Piring, gelas, sendok, tisu, masukkan keranjang.

Tak ketinggalan buku satu-dua biji, diangkut. Meja lipat, kursi santai, tikar, koran bekas, hingga botol berisi air bersih, adalah piranti wajib. Satu lokasi favorit sambalawang dalam kurun 4 tahun terakhir ini adalah Pantai Tanah Merah, di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Lokasinya sekitar 60 km dari rumah. Jauh? Jelas. Lalu, apakah itu menghalangi piknik? Jelas tidak. Memakai mobil lawas yang sebentar lagi ultah ke-25, nggak takut macet? Enggak, lah, karena kendaraan selalu dalam kondisi ciip.

Sesampai di lokasi, segera dimulai "perang" darat. Tikar dibentangkan, dan segera menyusun perbekalan. Lalu, prosesi santap siang pun digelar.... Menyeruput teh yang nasgitel-pet, lalu biasanya mulai membaca buku. Duduk selonjor, santai, sembari menikmati pantai dan teduhnya pepohonan. Kadang dapat "bonus" dikerubung semut yang ikut berpesta mencicipi remahan kue yang berhamburan, atau tetesan air teh di tikar.

Mungkin sudah 15 kali sambalbawang piknik ke Pantai Tanah Merah. Tak pernah bosan. Capek, tentu saja. Namun semua terbayar saat sudah leyeh-leyeh di sini. Membaca buku, dan seminimal mungkin menengok hape. Nyetatus, biar urusan bojo.

Piknik ke tempat terbuka itu, ya sebenarnya repot. Dari menyiapkan pernak-pernik di rumah, hingga menggelarnya ke alam, itu ya ribet. Kalau mau piknik tapi yang enggak repot, atau ribet, ya ada baiknya piknik saja ke mal yang adem dan sekalian bisa belanja.


BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
MENGAPA HARUS NGEBLOG
BLOGER BALIKPAPAN RAYAKAN HARI BLOGER NASIONAL 2019
THE AQUARIAN ?

Selasa, 12 April 2016

BASA JAWA (4) NGOKO, KRAMA MADYA, KRAMA INGGIL

Barangkali, dan semoga benar, tingkat bahasa Jawa yang paling enak disimpelkan dalam tiga kategori, yakni Ngoko, Krama Madya, dan Krama Inggil. Penggolongan ini sebagai representasi level “kehalusan” dalam memilih kata. Ngoko adalah tingkatan yang paling “kasar” sedangkan Krama Inggil paling “halus”.

Jika berbicara dengan orang yang lebih tua, wajib memakai kata dan kalimat yang halus, minimal memakai krama madya itu. Demikian pula sebaliknya, orang tua akan ngomong ngoko terhadap anak atau yang lebih muda. Nah, kalau lawan bicara kita sebaya, alias teman, ya pilih aja ngoko.

Ada setumpuk kosa kata, yang bisa dilevelkan kehalusannya. Tentu saja, tidak akan sambalbawang ulas satu persatu, karena baru akan selesai saat kick-off Piala Eropa dua bulan mendatang.

Namun ada baiknya kita mengerti dulu bahwa tidak selalu tingkatan kehalusan itu sama. Maksudnya, bisa jadi kata benda maupun kata sifat, juga kata kerja, dalam krama madya sama dengan krama inggil. Atau ngoko sama dengan krama madya.

Beberapa contoh, misalnya “jari tangan”. Dalam ngoko, itu disebut “driji”, demikian juga dalam krama madya. Baru dalam krama inggil, disebut “racikan”. Aha, jadi paham kan mengapa urusan kuliner sering diimbuhi kata “racikan”...

“Kepala”, dalam ngoko disebut “endhas”, sedangkan dalam krama madya, disebut “sirah”, dan dalam krama inggil disebut “mustaka”.  Kalau “mata”, dalam ngoko, dinamakan ”mata”, dalam krama madya “mripat”, sedangkan krama inggil dinamakan “soca” atau “paningal”.  

“Pasangan hidup” (suami/istri), dalam ngoko disebut “bojo”, sedangkan dalam krama madya “semah”, dan pada krama inggil kita sebut “garwa”. Adapun garwa ini, diartikan sebagai sigaraning nyawa, alias separuh nyawa.

Kosa kata lain, seperti “mau”, dalam ngoko diistilahkan “gelem”, krama madya “purun”, dan krama inggil “kersa”.  Kalau “ikut”, ngokonya “melu”, sedangkan krama madya dan krama inggilnya adalah “tumut” dan “ndherek”.

“Aku”, dalam ngoko juga “aku”, sedangkan dalam krama madya “kula” dan krama inggilnya “kawula” atau “dalem”. Sedangkan “kamu”, ngokonya “kowe”, krama madyanya “sampeyan”, dan krama inggilnya “panjenengan”.

“Itu”, ngokonya “kuwi”, sedangkan krama madyanya “niku” dan krama inggilnya “punika”. Nah kalau “makan”, ngokonya “mangan”, krama madyanya “nedha”, dan krama inggilnya “dhahar”.

Kalau “laki-laki”, ngokonya “lanang”, sedangkan krama madya dan krama inggilnya “kakung” serta “jaler”. Kalau “perempuan”, urutannya adalah “wedhok”, lalu “wadon” dan “estri” atau “setri”.

Jadi, kalau kita (anak muda) bertanya ke simbah, misalnya menanyakan sudah makan atau belum, bahasanya gini: simbah sampun dhahar? Jangan sampai salah ngomongnya. Ah, jadi teringat eyang/simbah, dan simbah buyut, yang sudah meninggal.

Bagaimana, cukup rumit bukan tingkatan dalam Bahasa Jawa. Namun percayalah, itu adalah kekayaan budaya yang unik, keren, dan tak terhingga nilaiya. Ada keasyikan saat melafalkan dan menerapkannya dalam percakapan. Ada keindahan di sana...



Baca Juga   : 
CHINMI JAGOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN 
HAPPY MOTHER'S DAY 2019. LIVE ACCOUSTIC "MAMA" 
10 BREGADA KERATON YOGYAKARTA YANG KEREN
TEH NASGITEL PET
SARADAN
HOMPIMPA ALAIUM GAMBRENG