Sabtu, 28 September 2013

VEGETARIAN ITU EKSTREM ? AH MASA IYA SIH, AH YANG BENER AJA

      "Wah, kamu termasuk vegetarian yang ekstrem ya," begitu komentar banyak orang terhadap saya. Kalau dijumlah, yang bilang begitu ke saya, sudah puluhan orang. Tentu, sah-sah saja pendapat orang.
      Cuma, saya heran ketika komentar itu dialamatkan ke saya. Orang lain heran, saya juga berhak heran, bukan? Bukannya saya mempertanyakan untuk mengajak debat kusir, tapi mengajak melihat dari sisi yang logis.
     Baiklah, karena saya memang penyantap sayuran, bisa disebut vegetarian yang ekstrem. Kesannya kok ngeri. Namun bagaimana dengan para penyantap satwa darat dan satwa air? Mereka kan juga bisa disebut "karnivora ekstrem" ? Mm, atau perokok berat, wajar jika dikategorikan "perokok ekstrem" ?
     Menurut saya, menjadi vegetarian itu tidak ekstrem. Malah kembali ke konsep alam, back to nature. Lha wong semakin sayang binatang kok dikatakan semakin ekstrem. Betul, kan? 
     Saya jadi teringat kicauan seseorang beberapa hari lalu, saat siang hari yang terik dan menuju acara makan siang.  "Wah kamu vegetarian ya. Itu tuh, ada daun, makan saja, hahaha," guraunya.
    Sebenarnya saya hendak membalas berkicau ke dia. Tapi sayangnya, siang itu kok tidak ada ayam broiler, sapi, atau kambing yang melintas, agar saya bisa berkata "Wah kamu karnivora? Itu tuh ada ayam broiler, sapi, dan kambing. Makan tuh (mentah-mentah)," ....
     Tetapi tenang saja, saya tidak akan seperti itu kok dalam konsep serius. Bagi saya, candaan yang gitu tidaklah penting. Gimana ya, tapi maaf saja, "level" saya dalam menjalani pola makan vegetarian ini, bukan untuk mengurusi pendapat orang. 
    Level saya sudah bisa merasakan enaknya sayuran. Saya bisa merasakan enaknya sawi hijau, pete, kangkung, oseng-oseng godhong telo, tempe goreng, sambal, es degan, es jeruk, es teh.  Demikian juga saya menyukai lodeh, plus tempe bacem, sambal tomat, dan kerupuk. Bisa geleng-geleng kepala, deh. Apalagi dilengkapi keroto dan irisan pete. Benar-benar enak bukan?
     Habis, itu terus menyeruput wedang teh yang nasgitel (panas-legi-kenthel)... Atau secangkir kopi? Atau segelas jus sirsak, atau teh botol? Enak, bukan?  Kalau Anda setuju, berarti tidak ada vegetarian ekstrem di bumi ini.  Nanti kalau saya sudah tidak vegetarian, misalnya, gimana coba.

 BACA JUGA :
PETE YANG MENGHARUKAN

Rabu, 25 September 2013

MENGAPA TEMPE DAN SAYUR SELALU DIMASAK BELAKANGAN ?


        Hari masih pagi. Sekitar pukul 09.30, beberapa waktu lalu, saya menyambangi sebuah warung makan. Sebuah warung kecil di Balikpapan, yang ruangannya nemplok satu bangunan dengan sebuah kantor, alias kantin kantor. Seorang teman menginformasikan bahwa warung tersebut sudah buka pukul 08.00 dan menunya lumayan sip.
       Karena saya tidak mengonsumsi satwa darat dan air, saya celingak-celinguk memindai setiap baskom dan piring yang berisi lauk-pauk. Tapi ape daye, yang ada cuman potongan jerohan, iwak, sampai iwak pithik.     
     Kemana menu kaporit saya? Kemana tempe, tahu, sayur lodeh, oseng-oseng, dan bakwan jagung? "Waduh, Mas. Belum dimasak," begitu jawab si penjual, ketika saya menanyakan. Saya cuman bisa menjawab,"Ooooo,,,". Garuk-garuk kepala.
    Peserta berikut, seorang bapak yg masuk ke warung juga ikut tengak-tengok mencari lauk tempe. Tak mendapat yang dicari, ia akhirnya menjumput ikan goreng, lalu bersantap. Bisa terbaca si bapak juga kecewa. Singkat kata, menu saya pagi itu hanya mi goreng. 
      Kejadian seperti ini,  masuk warung makan di pagi hari tetapi tempe tahu belum digoreng, sudah saya alami sekian puluh kali. Berbagai pemikiran nempel dan menari-nari di kepala. "Tempe dan tahu kan masaknya gampang, tinggal cemplung. Beda sama 'i-we-a-ka' yang kudu disiapkan lama,"..
      Mengapa dan mengapa, kok tempe dan tahu selalu dimasak belakangan,  hu,hu,hu? ... Jagad dewa batara, it's not fair ... Bukankah asik kalau tempe dan tahu senantiasa tersedia duluan. Lebih murah, dan mayoritas manusia Indonesia menggemarinya. Iya, kan?
       Selang beberapa hari, seorang teman yang saya sambati soal itu, coba menghibur. "Ya sudah, sabar. Masakan apa dimasak duluan di warung, itu kan terkait kebiasaan. Orang yang biasa nyabut rumput baru beres-beres, tentu akan melakukan itu. Kalau bares-beres dulu baru nyabut rumput, nggak terbiasa," gitu katanya.
     Sebelum saya melontarkan setumpuk argumen, teman saya yang pakar mesin itu, melanjutkan pendapatnya. "Ya di mana-mana, kebiasaan orang yg masuk dalam kategori mayoritas, tidak sejalan dengan yang dikehendaki orang minoritas,"...
      Skak mat, deh. Hm, memang, tak terasa, saya secara sadar dan tidak sadar masuk dalam "golongan minoritas", sudah sekitar lima tahun.  Menjadi penyantap sayuran, atau istilah kerennya diistilahkan vegetarian. 
    Tidak apa-apa dan tidak ada yang salah, ketika kita masuk kategori minoritas. Saia minoritas dalam hal menu makan. Tapi, saia yg "minoritas" juga masih bisa berteman sama sohib saya yang "mayoritas" itu.  
    Meskipun saya tetap mempertanyakan mengapa sayur dan tempe selalu dimasak belakangan, namun saya dan dia masih bisa duduk maem bareng di satu warung. Sering, malah.. Hehehe (jingkrak-jingkrak)...
    Tapi, nanti kalau saya buka warung, yang saya masak duluan tempe dan sayur. Yang saya masak belakangan adalah sayur dan tempe juga. He. 


  

Selasa, 17 September 2013

E HONDA SELALU KALAH OLEH RYU DAN KEN

        Beberapa waktu lalu, sambalbawang iseng berselancar ke dunia maya, sengaja mencari game yang satu ini dan syukur jika nemu dan bisa didonlot. Eureka, ketemu juga gem-nya. Street Fighter, demikian judul gem baku hantam itu.


      Secara visual, gem ini sudah nggak menarik, maklum Street Fighter yang edisi II. Tokok-tokohnya pun terbatas, macam Ryu, Blanka, Guile, Ken, Dhalsim, Zangief, Chun Li, dan tentu saja E. Hondaaaa, jagoan saya.
      Ketika kotak dialog ngasih tau kalo game-nya sukses didonlot, hati bersorak. Tulisan "Capcom" pun muncul di layar. Mari memilih gacoan. Terpilihlah E Honda. "Round one, fight !" begitu teriakan dari spiker pertanda saling jotos dimulai.
     Si Honda ini,punya jurus "tangan cepat". Doi bisa meng-KO Zangief dengan mudah. Chun Li, yang bisa nendang dengan posisi salto, Blanka yang bisa nyetrum,  juga Guile yang bantingannya paling oke, semua keok sama Honda. 
      Namun, giliran bersua mas Ken dan pakde Ryu, entah mengapa kang Honda mendadak melempem. Hilang kesaktian. Kena terus soriyuken sama bulan sabit terbang mereka, tanpa banyak membalas. Ini dia tampilan E Honda melawan Ken, yang saya searching dari internet.


     Dan setelah dua ronde, E Honda kalah nyaris telak. Mau diulang terus, hasilnya sama saja. Kang Honda ini nampaknya emang nggak bisa menang tanding di tanah kelahiran sendiri, di Jepang. Sudah nasib.
      Street Figter, game yang simpel. Tapi yang menarik bukan visualnya, tapi kenangan 20 tahun silam. Ketika kang Honda, mbakyu Chun Li, dkk berjaya. Mereka bisa dijumpai dalam arena dingdong. 
      Masa-masa itu, dingdong-lah yang terkeren, mengawali era ketika gembot mulai menepi. Cukup Rp 100, dimasukkan ke mesin ketika di layar tertulis "insert coin". Ah jadi teringat masa-masa itu.
     Pernah ada pelajar sebaya dari SMP tetangga, yang jago mainin street Fighter. Dia selalu mainkan E Honda. Nah, sambalbawang diam-diam menyerap ilmu cara bermainnya. Mencari trik-trik jurus, yeah.
    Mesti cukup lihai memainkan game ini, karena sambalbawang hanya bisa maksimal menyemplungkan 2 koin ke mesinnya sesuai jatah uang saku. Jadi sambalbawang keterusan memainkan E Honda... Bahkan sampai 20 tahun kemudian ini.
     Dan (masih saja) tidak pernah bisa ngalahkan Ryu sama Ken...  

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
"MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
LEBIH BAIK NAIK VESPA
KONSER REUNI ABBA DALAMBENTUK HOLOGRAM ?
MAMMA MIA ! HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
BASA WALIKAN 

Minggu, 15 September 2013

DEMI PILKADA, DEMIKIANLAH PILKADA

       Pilkada Kaltim sudah berlalu. Coblosan 10 September lalu syukurlah dapat terlampaui dengan aman sentosa. Sambalbawang kembali beringsut pulang ke Balikpapan setelah berjibaku di Samarinda selama lima hari untuk mantengin prosesnya.
      Sudah bisa ditebak, Pilkada Kaltim berjalan datar-datar saja. Hasilnya, juga sudah tertebak. Namun yang menarik bagi saya, bukan siapa menang. Tetapi tentang sulitnya nyoblos di luar kota. Nah, ini yang saya alami di Samarinda. 
      Ceritanya gini, ni.. Karena wajib ke Samarinda untuk memenuhi panggilan tugas negara, maka tentu tak bisa nyoblos di kota asal, yakni Balikpapan. Namun hati berharap tetap dapat undangan untuk memilih, setidaknya itu bisa saya konversi ke kantor kelurahan untuk mendapat blanko pengantar. 
      Sayang, Pak RT atau siapa lah yg kudunya membagi tuh undangan, tak kunjung nongol. Tak punya waktu untuk merunut, ya sudah, lah. Memang, untuk memilih, sejatinya boleh tidak membawa kartu undangan/pemilih, asal bawa KTP sama KK. Asalkan, mencoblosnya di TPS sesuai alamat.
     Dari sini lah masalah berawal, karena sambalbawang tidak bisa masuk bilik TPS di Samarinda di hari H. Petugas di empat TPS yang disambangi, sembari liputan tentunya, pada menggeleng ketika sambalbawang menyodorkan KTP berikut KK. 
      Mau memakai strategi wajah memelas, pun, kayaknya juga sia-sia. "Pakai KTP dan KK bisa, tapi nyoblosnya di Balikpapan, Mas," ujar salah seorang petugas.
   Seorang bapak paruh baya yang mengenakan kostum hijau dengan tulisan "Linmas" di sakunya, memandangi sambalbawang. Wajahnya ikut menunjukkan penyesalan. "Sayang ya Mas, padahal sudah jauh-jauh dari Balikpapan," ucapnya. Saya mengangguk dan ikut ketawa garing, menyikapi kenyataan. 
     Mungkin para kontestan Pilkada tidak terlalu mempedulikan kesulitan-kesulitan teknis seperti kejadian tersebut. Namun seperti lirik lagu Tipe-X, "kamu nggak sendirian", tepat menggambarkan. Bukan sambalbawang saja yang bernasib begitu.
     Respon warga terhadap pesta politik bertajuk Pilkada ini, semakin turun dari waktu ke waktu. Bahkan mungkin respon penyelenggara Pilkada pun merosot, ikut terimbas anjloknya animo masyarakat.
     Mereka yang berteriak kampanye, berkutat di kantor partai, dan menyiapkan manuver demi manuver politik, barangkali hanya sekian persen dari warga. Mayoritas warga memilih mengurusi diri sendiri.
      Tapi, yah, pesta demokrasi memang seperti sudah disiapkan sistemnya oleh mereka yang mengincar kepentingan politik. Untuk memperjuangkan rakyat, maka wakil rakyat butuh terjun ke politik, bukan? 
      Saya tentu memberi apresiasi pada mereka yang terjun ke dunia politik, dengan catatan mereka memang maju untuk memberikan pencerahan dan perbaikan. Namun, jujur saja, susah meraba tujuannya ketika tumpang-menumpang kepentingan menjadi menu yang sudah teramat biasa dalam percaturan politik.
     Apresiasi saya yang tidak luntur adalah kepada warga yang masih mau jadi petugas di TPS, di PPS, maupun PPK. Ditengah apatisme masyarakat menyambut Pilkada, mereka masih mau jadi bemper depan perhelatan 5 tahunan itu. 
     Namun saya juga sedih melihat petugas di TPS. Mereka menyiapkan lokasi beberapa hari sebelum hari-H, datang ke TPS tepat waktu, dan menyiapkan semua formulir. Bahkan mendandani TPS-nya agar keren.
     Hanya saja, sering dalam satu TPS, peserta pencoblosan nggak sampai separuh dari jumlah warga yang tercatat sebagai pemilih. Seperti nampak di sebuah TPS di Samarinda,  sudah dilengkapi alunan musik. Tapi, yah, hanya separo pemilih yang datang.
     Kembali ke persoalan teknis yang saya alami tadi, saya jadi merenung. Jangan-jangan kisah seperti inilah yang ikut menyumbang jumlah golput. Walau demikian, saya pun ragu, kalau toh aturan diperbaiki, apakah itu solusi?
    Seorang teman nyeletuk, "Saya berparitisipasi kok di Pilkada. Kemaren datang ke TPS untuk menghargai petugas di TPS karena dia sudah mengantarkan undangan ke rumah saya," begitu komentar dia. 
    Terus sambalbawang tanya lagi, "Di bilik suara, nyoblos gak?". Dia terkekeh riang, lantas berujar, "Hehe. Nggak ada calon yang cocok. Saya pun nggak kenal calon-calonnya. Saya ya tidak nyobos di bilik suara. Tetapi saye ke TPS," .
      Sambalbawang kembali manggut-manggut, kembali ketawa garing..

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
MAMMA MIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
BLOGER BALIKPAPAN RAYAKAN HARI BLOGER NASIONAL 2019

Jumat, 13 September 2013

SUSAH BENER BIKIN PUISI

      Suatu malam, seusai menyelesaikan kerjaan, saya membuka laptop. Di temani secangkir kopi, saya coba mewujudkan tekad, yakni membuat puisi.Beberapa puluh menit berlalu, tak ada kata tercetak di layar 10 inchi ini. Duuuh, susah beneeer.
    Satu, dua, tiga kata terketik, satu kalimat tercetak, langsung otomatis tangan menyentuh tombol "del".. Kurang pas, lah. Kurang sip, lah. Kurang ritmis, lah. Terlalu lebay,lah. Pokoknya, ndak jadi kalimat.
     Laptop saya tutup. Kepala digaruk-garuk. Apa sebab? Perasaan, dulu saya termasuk "puisi maker" sejak SMP sampai SMA. Bisa dicek kok kebenaran ini, hahaha. Tapi sekarang? Haduh. 
    Seiring waktu, kemampuan bikin puisi, semakin hilang. "Nol puthul", begitu kata orang untuk menggambarkan sesuatu yang benar-benar nol. Padahal dulu, karya puisi saya pernah nongol beberapa kali di surat kabar.
   Kenapa ya? Apa karena dulu adalah zaman susah, maka puisi lebih gampang tersusun? Apa karena dulu kisah cinta saya nan pahit, maka puisi lebih mudah berkobar? Atau karena dulu masih labil jiwa?
     Seorang teman, beberapa waktu lalu, sempat "menantang" saya kembali membikin puisi....Saya bilang, ayoook. Tapi aduuh, susah bener mbikin puisi... Buktinya, malam ini sudah bertekad bikin. Tapi malah nulis di blog.


BACA JUGA ARTIKEL LAIN :

PELUKAN (CERPEN)

Sabtu, 07 September 2013

SIAL, BATAL MERINDING

     "Merinding, boy..," begitu komentar seorang teman yang menonton langsung aksi panggung Metallica di Jakarta, 25 Agustus lalu. Lalu, teman saya itu menceritakan di akun FB-nya, betapa James Hetfield, Lars Ulrich, Kirk Hammet, dan Robert Trujilo, menyulut Gelora Bung Karno (GBK)
      Saya dan istri, adalah fans (lumayan) berat Metallica. Dengan kata lain, ketika mereka tampil di Tanah Air, haram hukumnya jika tidak menonton. Dosa besar jika absen. Namun apa daya, duit habis.. Tiga kali mudik ke Jogja dalam tiga bulan, sudah lebih dari cukup untuk membuyarkan kalkulasi.
     Menyimak cerita teman, saya bisa merasakan kegaduhan GBK malam itu. Sensasinya bisa terasa dari rumah saya yang berjarak 1.000 km dari panggung. Era Metallica memang sudah berlalu 15 tahun silam, namun mereka tetap idola.  
      Membayangkan mas Hammet menyayat senar. Lalu, mas Ulrich yang kadang melet tatkala nggebuk drum. Kemudian, lengkingan serak vokal dari pita suaranya Paman Hetfield dan rythm guitar-nya. Juga Om Trujilo yang powerful nyopotin senar bas sambil "melempar" rambut gondrongnya.
     Rasanya hati teriris-iris.. Sebagai "jamaah" Metallica, saya merasa aneh kok nggak ikut "naik haji" ke GBK. Sebagai (pernah jadi dan merasa agak) anak penyuka musik cadas, rasanya gemanaa gitu, membiarkan Metallica mampir Jakarta tanpa saya sambangin ikut teriak. 
      Untuk pengobat kagol istri, malam itu, saya bermain gitar. Memainkan intro-nya lagu Nothing Else Matter. Lumayan persis, sebetulnya. Setidaknya itu pengakuan sang istri yang menghibur hati.
      Tapi ya tetap enggak mempan sebagai obat. Saat Metallica mulai teriak di Jakarta, CD Metallica kami mulai berputar. Sayangnya, ya ogah manjur... Nggak bisa merinding-merinding amat seperti teman saya itu.. Sial...


BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :
BASA WALIKAN
LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK 

Kamis, 05 September 2013

PILKADA, BUMBU RAWON, DAN NASIB PETANI

      Lima hari lagi, 10 September 2013, masyarakat Kalimantan Timur akan memilih pemimpinnya. Menghelat Pemilihan Gubernur (Pilgub).  Tiga kandidat memperebutkan kursi Kaltim 1 & Kaltim 2. Masa kampanye tinggal sehari, kemudian masa tenang sampai 9 September. 
     Hingga larut malam, menentukan siapa calon yang pas sesuai keinginan, ternyata susah. Swear. Tentu, saya bakal menyambangi Tempat Pemungutan Suara (TPS. Namun, kalau di dalam TPS, tetap belum punya pilihan, bagaimana? Ah jadi teringat Pemilu pertama yang sambal ikuti menjelang tahun 2000 lalu. Bingung di bilik.
    Jadi teringat kicauan seorang teman, "Pilkada memang penting, kah? Emang kamu kenal siapa para calonnya? Tahu rekam jejaknya? Beneran? Bukan karena dia kenal kamu, kan?". 
      Sebagai jurnalis, tentu saja sambalbawang mengenal beberapa dari mereka. Tetapi hanya sebatas urusan kerja. Tidak secara penuh mengenal, bukan? 
     Sambalbawang cukup tahu garis besar program-program mereka, dan  mengerti. Semua memang ingin membawa Kaltim sejahtera. Apa iya sekarang belum sejahtera? Ehm, nampaknya begitu. 
     Program dan janji selalu disuarakan untuk wong cilik. Ngomong-omong perihal wong cilik, sepertinya sambalbawang bisa (dan berhak) termasuk dalam kategori ini. Meski memang bukan wong cilik yang benar-benar "cuiiilik" dan total "terinjak-injak" sampe remuk.
    Wong cilik di sini, dalam arti, golongan rakyat yang cuma bisa berharap dan mendorong agar semua berjalan baik. Sebagai jurnalis, ya mesti memberitakan apa yang layak diberitakan. Kabar yang buruk, dan yang baik, ya mesti disuarakan seimbang sesuai kode etik. Di sisi lain, sebagai warga ya tidak neko-neko. Yah begitulah.
     Sebagai warga Kaltim, yang wong cilik, sambalbawang cuma ingin alam bumi etam ini tetap terjaga hijau, sungai yang tetap bersih, sayur-mayur melimpah. Juga sisi kenyamaanan serta ketertiban. Jangan hanya disodori janji di atas awan, dibalik pengerukan kekayaan alam.
     Jadi teringat perkataan seorang ibu penjual bumbu racikan di pasar deket rumah. Dia pernah berujar, alam Indonesia ini sungguh kaya akan sumber daya. Salah satunya adalah bumbu-bumbu dan beragam. 
     "Semua bumbu masakan, saya yakin, ada di Indonesia," ujar si ibu itu sembari menyendok bumbu komplit untuk bahan masakan rawon, pesanan sambalbawang siang itu. "Yang tidak ada di Indonesia, sepertinya nggak ada," lanjut si ibu ini.
     Lantas, apa hubungan antara Pilkada Kaltim, bumbu rawon, dan kebingungan sambalbawang memilih kandidat? Rada susah memang, untuk menjelaskan. Namun karena telanjur nulis begitu di atas, ya sudah sambalbawang akan coba jelaskan. Tidak boleh protes, hehe.
     Begini, sambalbawang kok kepikiran, kira-kira 50 tahun lagi, apakah kita masih bisa menyantap menu-menu masakan asli Indonesia? Masih ada tanaman bahan baku bumbu? Apakah masih ada petani? Jujur, sambalbawang pesimistis.
     Tentu saja, pemerintah pusat juga daerah, terus menggencarkan pertanian dan menyuarakan keberpihakan pada petani--juga nelayan. Para kandidat kontestan Pilkada juga banyak yang lantang teriak pentingnya pertanian--dan sektor perikanan. 
      Namun apakah 50 tahun dari sekarang, masih ada yang jadi petani padi? Masih ada petani sayur dan petani lain? Saat ini alam Kaltim dan semua tempat di bumi, menuju hancur.
     Di bumi etam, masifnya tambang batubara membabat hutan, mengeruk tanah, hingga berlubang, sampai masifnya pembangunan perumahan, menguras lahan pertanian. Industri pun membuat perairan tercemar. Semua kini ngomong teknologi.
      Siapa anak muda yang masih mau melirik pertanian? Dipersempit lagi, siapa yang mau jadi petani padi yang berjibaku di sawah? Indonesia dulu adalah negara agraris. Tetapi sekarang?
       Bawang putih, beras, dan garam pun kita harus mengimpor. Apa yang terjadi? Apa yang salah? Siapa yang salah? Dan, saling lempar hingga "meratapi nasib" tak terelakkan. Hingga alasan "demi perut terisi". 
      Sambalbawang bermimpi, apakah ada kandidat, entah itu di tingkat legislatif, eksekutif, atau pejabat menteri atau presiden yang berani statemen untuk militan memperjuangkan pertanian. Benar-benar militan.
      Mungkin seperti ini janji yang terbalut sisi militan: "Setiap petani akan saya jadikan PNS, dapat gaji, tunjangan, plus pensiun. Dapat juga asuransi. Hasil panen, uangnya untuk petani. Kalau petani panen gagal, pemerintah siap membeli harga normal,". 
      Apalagi dijanjikan pula pemerintah senantiasa membeli tanah untuk memperluas lahan pertanian, dan memastikan ketersediaan air irigasinya. Juga seluruh urusan pasca panen. Semua aturan yang menghantam pertanian dan petani, harus dihapus.
      Andaikata, jikalau saja ada kandidat berani ngomong begitu, dengan senang hati akan sambalbawang coblos. "Kutusuk kau, kutusuk kau di dalam TPS," begitu nyanyian yang mengalun.
     Sayangnya, belum ada kandidat yang begono. Belum ada yang nampak militan dalam menyuarakan pertanian terutama bagi para petani pada. Dari semua lapisan petani, petani padi yang paling sengsara. Pernah denger ada petani padi bias kaya? 
     Jarum jam terus berdetak. Waktu pencoblosan semakin dekat. Sambalbawang masih bingung. Milih siapa eng ing eng. Hm.. 

 
BACA JUGA : 
THE AQUARIAN ? 
MAMAM MIA ! HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN 
BASA WALIKAN
     


 

Selasa, 03 September 2013

MENCARI TRIO BELANDA, BELUM KETEMU

      Hari ini sambalbawang agak gasik-lebih cepat-membaca berita untuk mendapat kepastian apakah Gareth Bale beneran pindah dari Totenham Hotspur ke Real Madrid. Dan juga apakah Ricardo Kaka bakalan balik ke San Siro. Selepas mantengin berita online, dituntaskan lagi dengan baca koran. Eh masih baca koran? Ya iya, lah. 
       Berita soal Bale, paling utama dibaca. Berita mas Kaka, menyusul kemudian. Tetapi tiba-tiba terlintas di benak, tentang tim bola AC Milan. Bukan soal nilai transfer para pemain di klub tersebut, atau hasil liga Italia--haduh kapan kamu jawara lagi--atau Kevin Prince Boateng yang milih pindahan ke Jerman. Tetapi... tentang buku. 
      Buku itu, sambalbawang miliki sewaktu masih duduk di sekolah dasar. Terimbas demam Piala Dunia Italia 1990. Saat itu masih tercatat di SD Xaverius, Ambon. Sejak Piala Dunia 1986 itulah, sambalbawang mulai terkena virus sepakbola dan gila bola.
    Jadi, lewat buku itu, sambalbawang mulai menuangkan (tepatnya, menempelkan) semua artikel soal sepakbola. Nyaris semuanya, tapi lebih banyak tentang skuat tim AC Milan di era 90-an. Ketika tim dari kota mode itu lagi jayaraya berkat sengatan "trio maut" asal negeri kincir angin Belanda: Van Basten, Ruud Gullit, dan Rijkaard.
    Buku tulis itu full dengan gambar (foto) para pemain, dalam bentuk potongan kertas dari koran, majalah, sampai tabloid. Ada skuat lengkap Milan era itu, yang antara lain: Paolo Maldini, Tasotti, Alberigo Evani, Costacurta, Demetrio Albertini, Franco Baresi, Carlo Ancelotti, Donadoni, dan sang kiper Giovani Galli.. Juga si trio Belanda itu, tentu saja. Ada juga foto satu per satu para pemain itu saat menggiring bola. Tjakep, lah, pokoknya.
     Dulu, sumber kliping buku hanya dari koran dan tabloid Bola. Belum ada internet, pastinya. Komputer pun juga kagak kenal. Untunglah, bapak cukup sering membelikan koran dan tabloid, sehingga sambalbawang rajin mantengin berita olahraga. Tapi saking ngebetnya ingin mendapat banyak gambar, maka koran baru pun tak cukup. Butuh tabloid .
      Berburu gambar, hari demi hari, seruu gila. Masih inget, pernah nemu gambar (lupa siapa) di koran-nya temen. Saya minta sehalaman itu aja dan horenya, dikabulkan. Dan sesampai di rumah, langsung gunting lalu tempel. Satu lagi koleksi bertambah.
     Waktu bergulir, aktivitas menempel itu, terhenti ketika beranjak SMP saat mulai mengenal gitar. Dan sang buku pun hanya mengisi lemari. Kalau tidak salah, terakhir melihat buku itu, sudah lebih 10 tahun silam. Habis itu, entah, kemana dia pergi. Hiks.
    Ketika Juli lalu sambalbawang mudik ke Jogja, tekad mencari buku itu membara tak terkira. Sayang sejuta sayang, meski sudah mengobrak-abrik isi lemari di rumah hingga kolong demi kolong dan tumpukan demi tumpukan, sang buku tetap tidak ketemu. Akhirnya, menyerah.
    Ada sejumput rasa kecewa. Ingin melihat lagi rekam jejak kerajinan tangan zaman purba saya dahulu itu. Namun apa mau dikata. Sambalbawang hanya berharap kalau toh, sang buku itu belum hancur, semoga ditemukan seseorang dan dirawat sepenuh hati.
    Mungkin, ditemukan seorang anak SD yang kebetulan juga ngebet sama sepakbola. Mungkin buku itu sekarang sudah kumal, kumuh, dan buram, andaikan masih ada. Tetapi saya menggaransi, jika anda penggemar rossoneri, buku itu adalah "harta".

BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :
MAMMA MIA ! HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
THE AQUARIAN ? 

Minggu, 01 September 2013

SELAMAT TINGGAL, KASET

        Pagi tadi, ketika menata keping-keping compact disc (CD) yang bertumpuk di rak, perhatian tertuju sebuah benda. Terselip malu-malu. Aha, ternyata itu kaset album Bon Jovi.  
      Ingatan mendadak langsung terlempar ke masa-masa SMA. Usia sambalbawang masih menginjak 16 tahun ketika mendapat kaset itu. Hadiah ultah dari kakak, konteksnya demikian. Oh iya, sekedar informasi untuk adik-adik yang termasuk generasi milenial, album Bon Jovi berjudul Crossroad itu, adalah sesuatu banget !
     Namun, setelah sekian tahun disetel bolak-balik, benda ini memang saatnya menepi, sebelum pitanya beneran putus. Era kaset sudah tergantikan oleh CD, dan kini VCD. Bahkan juga sudah tertanam di youtube. Kaset-kaset mesti "tahu diri", bahwa eranya telah usai. Ibarat pemain bola, saatnya gantung sepatu, kaset juga akan ditinggalkan.
      Sedih kalau mengingat masa lalu. Dan seiring nyaris punahnya kaset dari toko-toko buku, berangsur lenyap pula beberapa benda elektronik seperti tape compo.  
     Dulu, ketika muncul piringan hitam di tahun 30-an sampai tahun 70-an, kaset yang menggusurnya. Dengan bentuk kecil mungil dan bisa ditaruh di saku dan tas kecil, tentulah jadi opsi menarik.  
       Seiring waktu, kaset menjalani "penyegaran" beberapa kali. Perbaikan demi perbaikan, baik bentuk, maupun kualitas.  Awalnya, kaset tampil sederhana, dengan kover plastik warna gelap, yang diatasnya terbentang pita kaset berwarna hitam maupun cokelat. Dan entah mengapa pita warna hitam dianggap lebih bersuara jernih.
    Kaset dilekati stiker penanda album apa, siapa penyanyinya, dan daftar lagu, yang tersemat pada side A dan side B. Di bawah badan kaset, tepatnya di kedua pojoknya, nampak dua cerukan kotak berukuran kecil. Tertutupi bagian kover, dan ini wajib "dihancurkan" agar kita tidak salah langkah gegara memencet tombol "record" alias merekam. Jadi itu seperti pengaman kaset agar rekaman asli tidak tertimpa rekaman lain.
        Tahun berganti, kulit kaset berevolusi. Muncullah kaset dengan kemasan plastik berwarna selain hitam, yakni putih, di akhir tahun 90-an. Lalu bungkus atau bagian belakang kaset yang dulu berwarna hitam, mulai berubah putih, dan bening. 
      Kemudian muncullah kaset model baru, yakni kaset yang bahan plastiknya transparan sehingga terlihat gulungan dan posisi pita kaset. Model kaset ini booming sejak tahun 1991/1992.   
     Album KLa Project berjudul Pasir Putih, yang muncul tahun 1992, mungkin mengawali era kaset berwarna bening-transparan, di Tanah Air. Kaset itu transparan yang berwarna biru. Saat itu, model kayak gini sangat fenomenal. Keren habis.       
     Di eranya, kaset menjadi benda wajib bagi para remaja untuk eksis dan sukses dalam pergaulan kekinian. Namun kaset juga rentan rusak karena sering diputar paksa agar kembali ke lagu pilihan--jika dalam satu kaset itu hanya 1-2 lagu kita sukai. Di sinilah dipakai pensil untuk memutar, dan itu menjadi satu faktor pita kaset rentan rusak.
      Kaset juga dapat dipakai para remaja cowok sebagai senjata untuk menarik perhatian para cewek. Era meminjam catatan memang masih ada. Tapi keren juga jika basa-basi bisa ditambahi kalimat begini, "Bisa pinjam catatan? Ntar tak pinjami kaset..." 
    Nah, celakanya adalah, sambalbawang bukan termasuk remaja yang bisa bela-beli kaset. Sering hanya bisa ndomblong melihat si pujaan hati tukeran kaset sama si dia (baca : rival). Pernah terjadi di depan mata. Resah dan gelisah, lah, pokoknya.
     Waktu itu, urusan membeli kaset juga tidak mudah. Sebagai gambaran,  tahun 1994, kaset lagu barat dibanderol Rp 8.000-10.000, sedangkan kaset dalam negeri Rp 5.000-7.000. Untuk perbandingan, ongkos naik bis Rp 100, dan seporsi mi ayam Rp 350-Rp 400.      
      Karena dulu termasuk remaja kreatif (lantaran terpaksa), maka cara untuk mendapat kaset menjadi penting dilakukan. Pernah lho sambalbawang  jadi penjual kaset selama tiga tahun. Kulakan dari teman dan menjualnya lagi. Tentu saja, kaset yang bagus, tak dijual, tapi dibeli sendiri.
      Begitulah. Dan membahas tentang koleksi kaset, beberapa kaset untunglah masih sambalbawang simpan. Antara lain Air Supply, Bon Jovi, dan The Beatles. Kaset Air Supply, yang berjudul Love Songs itu saya beli di Mirota Kampus, Yogyakarta, tahun 1994, Rp 8.000.
     Saking takutnya rusak, kaset dibungkus plastik klip. Memutarnya pun ekstra hati-hati. Head tape harus bersih dulu, dilap memakai cotton buds yang dikeceri alkohol. Dilarang memutar kaset memakai pensil. 
      Juga sebisa mungkin tidak me-rewind, agar pita kaset tidak mulur atau bundet. Jadi, side A side B harus tuntas sekali jalan. Untunglah lagu-lagunya Air Supply dan Bon Jovi apik-apik, sehingga tak masalah. 
    Dan begitulah, setiap kaset mendapat perlakukan istimewa. Boleh kok ketawa, tapi dulu bagi sambalbawang, kaset adalah barang yang cukup mewah. Satu demi satu kaset didapat dengan menyisihkan uang jajan yang nominalnya tak seberapa. 
    Dari kaset pula, selain dari radio dan TV, sambalbawang mengikuti musik barat. Satu persatu, koleksi mulai dikumpulkan, mulai dari Unplugged-nya Nirvana, Europe, hingga Crash Boom Bang-nya Roxette. Dari Chrisye sampai KLa Project dan Sheila On7.
     Toko kaset di Jalan Mataram Jogja yang dulu full kaset di rak display-nya, sekarang hanya menyisakan sepenggal display untuk benda ini. Kaset-kaset saia pun, bertahun-tahun tidak diputar. Tape compo yg doeloe, rusak. VCD-CD-DVD player pun sudah nongkrong di bawah TV dan diapit mas dan mbak spiker. Tak ada waktu memutar si kaset.
    Ingin mengingat lagi memori masa jaya kaset, sambalbawang membeli tape compo kualitas "apa adanya" di salah satu toko di Plaza Kebun Sayur, Balikpapan. Dengan harga Rp 70.000 untuk menebus tap compo mungil yang ada lampunya LED, yah, tau sendiri gimana bunyinya. 
      Sambalbawang pun coba menyalakan lagi beberapa kaset. Namun, sensasinya kok ya sudah berbeda. Telinga ini sudah terbiasa dengan CD yang bersuara "jernih". Kaset usia lanjut, sudah enggak jernih terdengar, sebab ada instrumen lain ikut mengisi suara (termasuk suara pita diputar). 
       Apa boleh buat, tape compo pun perlahan terpaksa ditaruh di lemari. Nasibnya mirip servis motor, dilakukan 1-2 bulan sekali. Demikian juga si tape , yang difungsikan hanya 1-2 kali sebulan.
   Ape mau dikate, begitu orang Betawi bilang. Piye maneh, begitu orang Jawa menyebut. Bagi sambalbawang yang pernah mengalami era kejayaan kaset, cukup perih juga menerima kenyataan era kaset sudah berakhir. 
    Kalau boleh jujur, fungsi kaset milik sambalbawang yang hanya berjumlah beberapa biji ini, utamanya hanya sebagai pengingat. Mengingatkan bahwa benda ini dulu didapat dengan perjuangan. Bukan hasil abrakadabra-sim salabim, atawa minta ortu trus dikasih jreng.  
      Tetapi, syukurlah. dibalik cerita pahit, tentu ada kenangan manis. Salah satunya ketika berjuang mendapat kaset KLA. 
    "Mas, ada kaset KLa yang Pasir Putih," begitu tanya sambalbawang kecil, kepada karyawan sebuah toko kaset di Jalan Gejayan.  "Belum datang kasetnya, dik, besok kesini lagi saja," begitu jawab si mas karyawan toko.
     Lukas kecil yang masih duduk di bangku SMP, dengan gontai, mengayuh sepedanya pulang ke rumah. Mengecek stok kaset KLA yang itu adalah aktivitas tiap hari selama dua minggu, usai bersekolah.  Akhirnya Lukas kecil mendapatkan kaset warna biru bening, yang merupakan kaset salah satu masterpiece KLa ini.
    Seneng banget, rasanya pengen piknik ke bulan. Sesampai di rumah, segera disetel kaset yang sampulnya gambar matahariii itu. "Membaca lagi surat-suratmu, hatiku jatuh rindu. Tak sadar pada langit kamarku, kulukis kau disitu..." Ah....



BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :

"MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
BLOGER BALIKPAPAN RAYAKAN HARI BLOGER NASIONAL 2019
MAMMA MIA ! HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
BASA WALIKAN
THE AQUARIAN ?