Selasa, 24 Mei 2016

PETE YANG MENGHARUKAN

       Obrolan malam itu, bersama seorang kawan, membahas tentang pete. Topik tidak penting, sebenarnya, tetapi sungguh menggelitik.“Mana, mana, tunjukkan saya manfaat pete secara medis,” begitu ujar kawan sambalbawang yang “mengharamkan” pete. Iya lah, wong dia tidak pernah menyantap pete. 
       Sambalbawang pun merasa terenyuh. Ternyata masih ada orang di republik tercinta ini yang mati-matian menolak citarasa menakjubkan dari pete. Walau kami sepakat hitam di atas putih tentang enaknya cabai, namun kami jauh berbeda prinsip dan haluan soal pete.
       Kawan sambalbawang ini, memang tidak pernah berurusan dengan pete di sepanjang umurnya yang kini menyentuh kepala empat. Sedangkan sambalbawang menempatkan pete sebagai menu istimewa, dan bahkan sempat bercita-cita punya kebun pete sehektar.
       Sebenarnya, sambalbawang tidak akrab dengan pete sejak kecil. Karena orangtua memang tidak suka pete, maka sepertinya tidak pernah ada menu pete yang terhidang di meja. Namun saat urusan makan di warung, barulah sambalbawang mencicipinya. Ternyata suka.
       Pete, celakanya, memang masih dianggap bagai anak tiri. Ibarat dalam sebuah permainan sepak bola, pete adalah pemain cadangan, yang dianggap kualitasnya kelas dua. Tidak pernah turun sebagai starter, tidak pula ada jaminan main pada babak kedua, tapi harus ada di deretan pemain.
       Pete sejatinya adalah pesona. Dalam sayur lodeh, pete adalah rahasia kelezatan, bersama dengan tempe besengek. Demikian juga dalam sayur jipang, bahkan nasi goreng. Ibuk sambalbawang pernah memasak lodeh memakai pete, tapi petenya diangkat saat sayur matang. Beneran anak tiri, kan..
      Untunglah, dalam perjalanan, sambalbawang ketemu sodara bojo yang maniak pete. Hasrat malu-malu akan pete, langsung terkelupas. Pete pun jadi menu wajib, setidaknya beberapa minggu sekali. Dikonversi menjadi sambal pete, digoreng, dan sebagai bumbu lodeh.
      Menyantap menu pete selalu menjadi kegembiraan yang akut. Layaknya sambalbawang dulu semasa kecil menyantap dua bungkus Anak Mas dalam sehari, dan masih memiliki sekantong Chiki di lemari. Apalagi petenya seger, berwarna hijau merona. Sakau, deh.
     Kembali ke kawan sambalbawang itu, agaknya memang butuh pete. Oh ya untuk manfaat pete yang sekuat tenaga dia tentang ini, solusinya memang mesti dicari sendiri. Dicari sembari mengunyah pete yang “berendam” dalam kubangan sambal rawit.
       Dicari dalam sepiring nasi pulen yang direndam sayur lodeh. Dicari dalam butiran-butiran pete yang sedikit item-gosong karena efek minyak goreng. Nikmati saja dan rasakan kegembiraan tatkala pete merasuki rongga mulut, dan turun ke perut.
      Lupakan soal bau mulut dan bau kentut. Bukankah untuk mencapai keinginan, memang dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan? Bukankah semua orang juga mengesampingkan kolesterol saat gembira mengigit jeroan dan sate kambing?
      Satu-satunya hal ketika pete tidak terlalu menarik adalah saat ada si ulil nyembul keluar malu-malu tanpa rasa bersalah, dari permukaan mengkilat si pete. Tetapi itu lebih sebatas kasuistik saja, kok. Percayalah sama sambalbawang. Pete itu penting untuk manusia.
     Tidak perlu sungkan mengakui ketergantungan akan pete. Banggalah bahwa pete enak itu ada di Indonesia. Bergembiralah, karena cita rasa pete itu .... mengharukan.... 

BACA JUGA
TEH NASGITEL PET
KOKORO NO TOMO
10 BREGADA KERATON YOGYAKARTA YANG KEREN
JADI "GURU" DADAKAN DI PERBATASAN
PELUKAN (CERPEN)

Senin, 16 Mei 2016

MELEBARKAN SAYAP SAMANTHA PROJECT

Dan, menyalak-lah mesin jahit malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Waktu yang nampaknya paling ideal bagi saudara bojo menuangkan idenya. Merancang baju, atau mengerjakan order jahitan, dengan segenap jiwa. Membawa bendera modiste Samantha Balikpapan alias “Samantha Project”.

Usaha jahit sudah ditetapkan. Skala rumahan. Tapi, jangan salah, ini bisa sama seriusnya seperti eyang Claudio Ranieri meramu starting-XI pasukan Leicester City, wkwkwkw. Bedanya, eyang Ranieri sehari-hari menganalisa video pertandingan di King Power Stadium sono, sedangkan dek bojo mantengin buku mode dan tayangan fashion dari youtube di Ndalem Samantha yang full musik.


Tak terasa 1,5 tahun Samantha“mewarnai” Kota Balikpapan tercinta. Ada dua ranah dijabani seturut namanya itu. Pertama, usaha jahit pastinya, yang dikasih nama Modiste Samantha. Kedua, brand fashion yang dikasih label Samantah Project. Masih tergolong bayi, masih balita bingit, yang untuk jalan pun merangkak dan musti pelan-pelan. Asyiknya, namanya juga bayi, melakoni hal baru dan menjumpai barang baru, tentu bersemangat penuh.  

Setelah meninggalkan dunia jurnalistik yang digeluti 6 tahun, menekuni pernak-pernik kerajinan selama hampir setahun, disambung nyambi freelancer setahunan juga, saudara bojo banting stir ke dunia fashion.  Buka lapak modiste, jadi tukang jahit.

Berguru di “Sri Jiwo Insitute” alias mamah sendiri sejak kecil, sodara bojo akhirnya melengkapi takdir. Masuk ke dalam keluarga besar penjahit, meski nggabungnya di kloter terakhir. Mungkin, ini semua memang soal waktu saja. Waktu yang berbalut kesempatan, dan tempat, tentu saja.

Ketika menebus mesin jahit konvensional, empat tahun lalu, saudara bojo masih belum minat. Mungkin masih terbayang keasyikan sebagai jurnalis (dulu), maka tulis-menulis masih dihayati. Lha wong mendatangkan dollar juga, ternyata, walau sebatas uang lelah.

Sejumlah karya “embiro” Samanta, lahir dari mesin jahit konvensional ini, yang sekarang lebih banyak sambalbawang pakai sebagai meja untuk meletakkan laptop. Termasuk baju-baju anak, yang dulu memang konsep awal Samantha Project. Konsepnya bergeser seiring kenyataan bahwa yang suka tampil modis-gaya, bukan si anak. Tapi ibuknya, hehe.

Tapi, mesin jahit konvensional lama-lama terlihat kurang cepet “berlari”. Juga terasa lebih ribet. Posisinya mesti terdegradasi, menepi, digantikan mesin jahit listrik. Dan sekarang, peralatan jahit-menjahit pun memenuhi ruangan rumah. Kain-kain pun mulai disusun memenuhi rak, sebagai opsi bagi pelanggan untuk memadu-padankan selera berbusana.

“Mbaknya desainer, belajar di mana?” begitu tanya beberapa orang. “Belum desainer kok, saya masih tukang jahit. Belajarnya di Sri Jiwo Institute,” begitu kadang-kadang jawaban sodara bojo sembari tertawa. “Mbaknya bisa nggambar sket baju?” tanya beberapa teman. “Masih belajar nggambar,” balas sodara bojo.

Oh memang, sodara bojo masih belajar nggambar sket. Beberapa gambarnya pun bikin Sambalbawang ngekek ketawa lantaran gambar kakinya kepanjangan. “Ah tapi kan, yang penting bisa merancang, dan menjahit,” begitu sambalbawang, menghibur.

Maka, dengan senang hati, Samantha Project meluncurkan satu demi satu produk hand-made yang “tidak biasa”, desainnya “ringan” alias simpel-sederhana, dan asyik dipakai harian. Hm.. mana kainmu, atau pilih dari koleksi kami, dan jahitkan ke Samantha Project.

Penasaran? Silahkan kunjungi Instagram kami:  @samanthaproject  @samantha_project_storehouse
kunjungi juga di website : www.modistesamantha.com


BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
GATOTKACA TAK HANYA OTOT KAWAT BALUNG WESI
PETE YANG MENGHARUKAN


Jumat, 13 Mei 2016

KAKEK-KAKEK AIR SUPPLY

“2 Maret 1994”, tanggal ini tertera di kaset Air Supply Love Songs milik sambalbawang. Untuk ukuran remaja SMP, waktu itu, Air Supply sebenarnya sudah termasuk band yang hampir habis masanya. Lagu hits grup itu yang terakhir, “Goodbye” muncul di tahun 1990.


Grup musik asal Australia ini digawangi duo: Graham Russel dan Russel Hitchcock. Mereka mulai tenar di era akhir 70-an dan semakin berkibar di awal 80-an. Siapa sih yang enggak kenal lagu mereka "Making Love Out Of Nothing At All" yang dirilis tahun 1983 itu.

Sejak remaja, sambalbawang sudah akrab dengan lagu-lagu mereka, bahkan sebagian sampai hapal. Lagu-lagu asmara-romantis, sepertinya cukup cocok dengan suasana hati yang sedang mencari dan meratapi kelamnya masa-masa remaja yang salah satunya lantaran tanpa pacar.

Air Supply menemani di hampir setiap acara belajar sambalbawang-selain juga band/penyanyi lain macam Bon Jovi, The Beatles, Metallica, KLa Project, Iwan Fals, Queen, Aerosmith, White Lion, Cranberries, Nirvana, Metallica, GNR, Roxette, Dewa 19, Gigi, dan Chrisye. Saat hujan adalah salah satu waktu paling pas untuk menyetel Air Supply. Kena di hati.

Tak pernah membayangkan kalau 20 tahun kemudian, sambalbawang bakalan bisa nonton Air Supply. Dan enggak pernah pula mengira nontonya bisa sampai dua kali. Iyak, dua kali. Kesempatan pertama jatuh pada 5 Maret 2013, saat mereka menggelar konser bertajuk “Air Supply World Tour-Asia 2013” di Hotel Novotel, Balikpapan, Kaltim. Saat itu, sambalbawang ke sana dalam rangka liputan. Asik. Itu di atas fotonya, tercipta dari kamera sendiri.

Kesempatan kedua, 11 Maret 2015, bertajuk Air Supply 40, yang dihelat di Hotel Tentrem, Yogyakarta. Ini menandai kiprah mereka bermusik selama 40 tahun. Saat cuti dan mendapat tiket limpahan dari sodara, menjadi sebab mengapa saya ke sana. Meski tentu saja, jika mesti bayar tiket pun, saya akan bayar. Hehe. Gile apa, ndrok, kalau enggak nonton. Ini band yang bikin sambalbawang lumayan jadi nuansa "melo-nya" pas SMP dan SMA.

Pada kesempatan kedua, barulah sodara bojo yang notabene adalah pemilik usaha jahit Modiste Samantha a.k.a Samantha Project, bisa nemenin. Di tengah kerumunan penonton, seiring Graham dan Russel memulai lagu “Even The Nights Are Better”, sambalbawang pun mulai "sakau". Tereak-tereak. Lupakan malu, hehe.

Berikutnya meluncur “Just As I Am’, kemudian “Every Woman In The World”, trus “Here I Am”. Next, ada “I Can Wait Forever”, lanjut “Two Less Lonely People In The World”, trus “Lost In Love”. Dan sudah bisa ditebak, berikutnya “Making Love Out Of Nothing At All” itu. Lagu wajib "Goodbye" tentu saja ada di daftar lagu..

Lengkingan vokal Russel Hitchcock yang sudah berumur 65 tahun, memang tidak lagi setinggi saat masih muda. Graham Russel yang kidal, main gitar, dan berumur 64 tahun, juga rada membatasi nada-nada tinggi. Tapi aksi mereka tetap keyeeeen.

Semangat membahana sembari lantang bernyanyi. Sampai tiba-tiba sodara bojo berteriak kencang di telinga sambalbawang. “Kok kayaknya cuman kamu yang paling hapal lirik lagunya?” Ah, pertanyaan yang sama ketika temen nyeletuk pas di konser band ini di Balikpapan. “Mas Adi hapal banget liriknya. Ketahuan usianya...” Blaiiik...

Antara susah dan gampang sih, menjawab mengapa banyak lirik masih hapal. Ah, kalian tidak mengerti gimana lirik itu sangat berarti bagi sambalbawnag. Dulu. Iya,laaaaah dulu. Sekarang sih, ya masih, hehe. Hingga detik ini sambalbawang juga tetap ngefans sama dua kakek ini. Tjatet !!


BACA JUGA  :
LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK
ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA
24 FINALIS DUTA WISATA BALIKPAPAN 2017 PAKAI BAJU SAMANTHA
FORD LASER SONIC - BALADA FORDI (2)
HOMPIMPA ALAIUM GAMBRENG UNYIL KUCING
MENGAPA HARUS NGEBLOG

Kamis, 12 Mei 2016

MBANGUN DESA YANG NGANGENI

Iseng-iseng menonton sebuah sinetron, ternyata daya tahan sambalbawang hanya lima menit. Langsung berpindah saluran agar jiwa lebih sehat. Dan, mendadak teringat sinetron Si Doel Anak Sekolahan, lalu terlempar lagi ke Mbangun Desa. Ah, yang terakhir ini, berkesan banget.

Era 90-an lalu, TVRI Yogyakarta menayangkan "Mbangun Desa", setiap akhir pekan. Ini sinetron yang sambalbawang rindu dan sepertinya nyaris tidak pernah absen menontonnya. Tayangan berbahasa Jawa dan kadang dicampur Bahasa Indonesia ini, betul-betul keren. Bikin gemes, gregetan, lalu ketawa. Akhirnya jadi “candu”, ketagihan level dewa.

Memang, memang, nuansanya masih berbalut Orde Baru karena tema tayangannya biasanya diembel-embeli “pesan” pemerintah terkait pembangunan desa. Topiknya beragam. Dari pentingnya KB, hingga program pertanian, pendidikan, keamanan kampung, dan seterusnya. 

Tokoh utamanya, Susilo Nugroho yang berperan sebagai Den Baguse Ngarso; Heru Kesawa Murti sebagai Pak Bina alias pak kades; Sepnu Heriyanto sebagai Kuriman; Sudiharjo sebagai Kang Sronto; dan Muji Rahayu sebagai Yu Sronto. 

Dalam dunia nyata, Muji Rahayu ini adalah istrinya Heru Kesawa Murti. Nah, pak Heru ini juga sebagai penulis naskah Mbangun Desa. Terus, dalam perkembangan sinetron bergenre situasi komedi ini, ada pula sejumlah tokoh lain seperti Yati Pesek, yang didapuk sebagai istri Den Baguse. 

Selama 30-an menit, Mbangun Desa diisi suasana, obrolan, intrik, "adu mulut" dan gambaran-gambaran yang “desa banget”. Den Baguse, didapuk peran sebagai orang lumayan kaya di kampungnya, tapi sekaligus sok tahu, sok pinter, sombong, suka perintah sana-sini, maklum "priyayi" sih. Hehe. Den Bagus ini juga sering “tombak cucukan”, penyebar gosip.

Lalu, Kuriman, si pemuda desa, berambut gondrong, yang temperamental, grusa-grusu, dan kadang berpijak ke kubu yang memberinya keuntungan. Kuriman sepertinya diplot gampang dipengaruhi sana-sini dan ditarik kesana-kemari, Tapi hatinya, baik, loh. Kuriman sering tampil sebagai pemuda desa yang apikan, gapyak, dan mengomando gotong-royong.

Pak Bina, si tokoh bijaksana, mengambil porsi sebagai penengah dan pembuat solusi. Apapun masalahnya, dia bisa dimintai saran. Dia dihormati warga karena sederhana, otaknya "mlethik" alias cukup moncer. Namun kadang-kadang ya salah perhitungan, dan rada pelupa. Kadang juga "keminther". Seingat sambalbawang sih, gitu.

Nah, "duet" Sronto, yang akhirnya akrab dipanggil Sronto Lanang-Sronto wedhok, menjadi “bumbu” penyegar dan gregetan karena tampang dan karakter ke-ndesoan-nya. Sronto ini, dalam cerita, adalah orang suruhan (dan kepercayaan) Den Baguse Ngarso. Sronto orangnya lugu, polos, apik'an, sederhana, dan nrimo, tapi karena itu gampang dikibulin.

Jalinan cerita Mbangun Desa, yang memotret kehidupan desa ini, kadang juga terkait pesan pemerintah. Nah, pesan pemerintah itu jadi asyik “disantap” tatkala para pemeran memang orang “seni” yang berkarakter dan jempolan. Den Baguse sukses bikin saya sebel sepanjang tayangan, karena kemaki, kemlethak, jemotos, lah. Sronto, tokoh senior ketoprak ini, juga berhasil bikin saya gemes karena selalu nrimo.

Kekuatan utama Mbangun Desa, ada pada tokoh pemeran yang sudah matang pentas dari panggung ke panggung. Meski, tak bisa dimungkiri, faktor Den Baguse yang juga bernama lain "Ngarso Pareng" ini, yang paling menyita perhatian (karena nyebelin, hehe). Meski sejujurnya, sebagai penonton, kita menanti Den Baguse ini di skak mat oleh Pak Bina dkk, atau sial sepanjang tayangan. 

Den Baguse bikin geretan, tapi gregetan pula melihat Sronto yang pasif, tidak pernah membantah, dan sering diperalat Den Baguse. Yu Sronto terkadang lebih “berani” ketimbang suaminya, tapi juga hanya satu strip di atasnya. Sami mawon. Tapi, keduanya saling mendukung. 

Kuriman hadir sebagai sosok yang kadang nyebai, kadang menyenangkan, dan kadang ra dong-an. Tergantung siapa yang memengaruhi, ke situlah Kuriman berkiblat. Tapi karena Kuriman termasuk tokoh pemuda, maka penting juga perannya. Urusan mengerahkan pemuda desa, kadang bisa mengandalkan masbro Kuriman ini.

Salah satu dari beberapa tokoh yang muncul belakangan di serial ini, adalah Yati Pesek sebagai Den Ayune Ngarso. Juga ada anaknya Pak Bina. Yati Pesek misalnya cukup memberi “warna” karena dialah yang ternyata ditakuti Den Baguse Ngarso. Hohoho. Kalau Den Ayune Ngarso marah, Den Baguse bakal bingung, panik.

Dalam setiap episode, Den Baguse selalu “ngisruh” dan Pak Bina jadi tukang penjelas situasi. Banyak masalah, akhirnya dipungkasi Pak Bina yang kalem. Kuriman bisa reda tensinya, Den Baguse bisa manthuk-manthuk sambil mbesengut. Tapi intinya, ada solusi.

Sering digambarkan, pungkasan cerita sinetron tanpa iklan ini, semua pihak nglurug ke rumahnya Pak Bina malam-malam. Masalah dibawa ke forum, dirembug, dan selesai. Semua bisa jabat tangan. Musyawarah mufakat, lah, intinya.

Tak hanya dapat ketawanya. Tapi ada nilai kebersamaan, kerukunan yang disematkan. Tak ada yang ngomong SARA, tak ada yang tokoh yang mendelik-mendelik.  Nggak ada yang menye-menye. Dan itu tidak ada di sinetron-sinetron sekarang, yang sudah nggak lucu, ndak mutu pula.

Mbangun Desa diselingi suasana khas pedesaan yang asyik. Lokasi syuting sering di sawah, kebun, jalanan kampung. Anak-anak sliweran,atau lagi mainan di halaman rumah (tanah). Ayam-ayam berlarian. Unen-unen (tembang) tak ketinggalan. Acara wedangan minum teh, jelas ada. Ahahaha, Jogja bangeeet...

Ah, jadi teringat Pak Heru Kesawa Murti, yang meninggal tahun 2011 lalu. Sambalbawang pernah ketemu beberapa kali, dan tanpa sadar selalu memanggil dengan “Pak Bina”. Sduah seperti otomatis memanggil demikian. Begitu juga pas ketemu Pak Susilo, manggilnya ya “Den Bagus”. Saat bersua pak Sudiharjo, sambalbawang pun memanggilnya pak Sronto. Hehe. (Sronto meninggal Juli 2016).