Rabu, 06 Januari 2016

BASA JAWA (3) DARI MECUCU SAMPAI NYANDRA

       Satu lagi “kekayaan” Bahasa Jawa, adalah keberagaman kosa kata yang terkait dengan anggota tubuh maupun panca indera, dan kadang bersinggungan dengan kondisi emosi. Mulai dari mata, mulut, hingga tangan dan kaki, aktivitasnya cukup komplet tercakup dalam kosa kata. Dan itu bakalan panjang jika di-Bahasa Indonesia-kan maupun di-Bahasa Inggris-kan.  
      Mau tahu apa saja itu, yuk. Kita mulai dari mulut dan mata dulu ya, hehe. Ada beberapa aktivitas atau perilaku menarik dari mulut, seperti  “mecucu”, “menjeb”, “klecam-klecem”. Apa itu mecucu? Secara garis besar, itu diartikan kondisi bibir bawah dan bibir atas diposisikan mengerucut ke arah depan. Sehingga bibir atas nempel ke hidung, dan hidung terlihat pesek. Nah, mecucu ini menyiratkan kondisi bad mood, namun juga rasa jengkel.
       Lalu “menjep”, adalah ketika bibir bawah ditekuk melengkung ke bawah. Nekuknya boleh dikit, boleh sampai menyentuh dagu. Menjep adalah ekspresi kecewa, ketidakpercayaan, atau meng-underestimate seseorang.
       Kemudian “klecam-klecem”. Ini adalah kondisi orang tersenyum malu-malu. Biasanya terbungkus dengan isin (malu). Tersenyum malu-malu, seakan (dan biasanya memang begitu) menyembunyikan sesuatu yang ingin diungkapkan.  Senyum yang mengandung setumpuk makna, kira-kira demikian. Dan entah mengapa, semoga saya benar, klecam-klecem ini lebih cocok diekspresikan seseorang yang dalam posisi berdiri.
         Untuk panca indera mata, dalam Bahasa Jawa, ada beberapa aktivitas terkait tatapan mata, seperti “ndelok”, “nyawang”, “mandeng”, “ngematke”, “mlirik”, “mlerok”, “metoto”, "mecicil" dan “nyandra”. Yang pertama, “ndelok”, diartikan sebagai melihat sesuatu atau seseorang secara umum. Hanya sebagai penegas bahwa kita pernah menyaksikan seseorang atau sesuatu itu. Misalnya, aku ndelok kowe ning stasiun (saya melihat kamu di stasiun), atau aku ndelok TV (saya melihat siaran TV).
      Nah, kalau “nyawang”, berhubungan dengan obyek pandangan yang indah dan menarik, seperti suasana pantai, gunung, dan wanita cantik. Khusus yang terakhir ini, “nyawang” kadang dipakai.  Misalnya, Aku nyawang sliramu (aku memandang wajahmu).  
      Sedangkan “ngematke” lebih seperti kondisi melihat seseorang atau sesuatu, selama beberapa saat, namun sembari otak berpikir (plus menganalisis) tentang obyek pandangan tersebut. Jika Anda ingin menyelidiki seseorang, dan anda menemukan orang itu, maka tatapan mata anda adalah “ngematke”. Hehehe. Kira-kira begitu.
     “Mlirik” berarti melirik alias mengerlingkan mata dalam kondisi mata tidak membuka penuh dan berdurasi singkat, sepersekian detik-lah, myehehe. Sementara “mlerok” berarti melirik yang kondisi mata cukup terbuka penuh. Mlerok biasanya berkaitan dengan ekspresi ketidaksukaan.
Kalau “metoto” itu kondisi mata yang melotot penuh, fokus ke depan. Bisa diartikan sebuah ekspresi keheranan level tinggi. Kadang lebih mantap dibarengi mulut yang menganga.
      Sedangkan "mecicil" adalah kondisi mata mendelik, fokus ke arah lawan bicara, yang biasanya dipicu perselisihan yang dipadu dengan adu mulut. Bisa juga ditambah visual berupa tangan menuding-nuding lawan bicara. Namun mecicil juga dapat dipakai dengan kondisi mata melotot gitu, tapi mengirim pesan menantang balik.
     Satu lagi, mecicil ini bisa juga kondisi mata melotot, dibarengi gerakan menendang, mengerang, alias kesurupan. Yup, jika kesurupan, maka biasanya mata yang kesurupan kan melotot-lotot gitu, nah itulah mecicil. Hampir saja istilah mecicil ini terlewat saya tulis, hehe, untunglah seorang kawan tak sengaja menyebutkan kosakata itu, dan langsung "tuing", muncul ide..
        Lantas, bagaimana dengan “nyandra” yang dibaca “nyondro” ? Nyandra (semoga benar), sejauh saya tahu, lebih pada aktivitas melihat benda yang menarik perhatian. Sesuatu yang biasanya benda kesukaan. Misalnya, Anda penyuka sepeda kuno, dan suatu ketika anda kedatangan tamu. Seorang teman, membawa sepeda kuno.
      Anda tidak pernah melihat sepeda jenis itu, atau jarang. Maka Anda akan mengamati sepeda itu dari ujung ke ujung, melihat lekuk demi keluk. Dari atas, bawah, samping kiri dan kanan. Dan mungkin berulang kali, hingga bermenit-menit, bahkan berpuluh menit. Lalu dipungkasi dengan asumsi atau kesimpulan. Itulah “nyandra”.
Begitu, Jreng....

BACA JUGA :
LILAC SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK
THE AQUARIAN ?
HOMPIMPA ALAIUM GAMBRENG UNYIL KUCING
GATOTKACA TAK HANYA OTOT KAWAT BALUNG WESI
TEH NASGITEL PET
YEN ING TAWANG ANA LINTANG
KONSER REUNI ABBA DALAM BENTUK HOLOGRAM ?
KOKORO NO TOMO
BANYAK MOTOR SEDIKIT MEREK, SEDIKIT MOBIL BANYAK MEREK

Senin, 04 Januari 2016

BASA JAWA (2) BEDA KONDISI, BEDA KUANTITAS, BEDA TEMPERATUR, BEDA BAHASA

Bahasa Jawa dialek Yogyakarta punya segudang kisah nan lucu, unik, menarik, sekaligus ribet. Namun saya lebih suka membingkainya dengan satu kata: kaya. Apa saja itu, wah sampai saya jenggoten pun tak bakal habis dibahas.

Maka dari itu, coba saya urai satu demi satu “kekayaan” itu. Yang pertama adalah tentang sesuatu kejadian atau hal yang sama, namun bisa berbeda bahasanya, karena kuantitas dan kondisinya. Apa contohnya?

Kondisi suhu sebuah minuman misalnya. Sering kita dengar orang menyebut “wedangan” yang berarti aktivitas minum. Namun bukan sembarang apa yang diminum karena itu berkonotasi dengan minuman yang hangat dan minuman panas.

Ngobrolin tentang kondisi panas sebuah minuman, Bahasa Jawa pun mengenal beberapa tingkatan sesuai suhu (temperatur) maupun kuantitasnya. Kondisi minuman yang panas biasa dan bisa langsung diseruput tanpa sensasi lidah terbakar, itu, bisa diistilahkan sebagai “kemepyar”.

Kondisi kemepyar ini setidaknya tergambar pada minuman teh yang disajikan oleh warung angkringan atau warung teh yang “serius”. Efek kemepyar itu adalah kepala terasa enteng, pandangan mata menjadi terang, dan sedikit keringat mengalir dari dahi serta kulit kepala.

Kalau lebih panas lagi, panas yang “mongah-mongah”. Entah suhunya berapa namun saya cukup yakin itu hampir 100 derajat Celcius. Air mesti diciduk memakai sendok dulu, lalu ditiup sampai kondisi “kemepyar” tadi. Namun seingat saja, kondisi mongah-mongah ini bisa berlaku pula pada kuah, seperti kuah bakso yang baru dituang penjualnya ke mangkok.

Nah, di atas level mongah-mongah tadi, ada “kicat-kicat”. Yang ini kondisi air atau minuman yang panasnya maksimal. Misalnya si penjual merebus air sampai mendidih maksimal, lalu airnya kita ambil pakai sendok dan kita cicipin. Lidah langsung seperti kebas dan terbakar. 
Itulah kondisi minuman pada level kicat-kicat.

Kondisi panas pun bisa berbeda bahasa Jawa-nya, jika itu untuk sesuatu yang bukan minuman. Misalnya panas sinar matahari. Jika panasnya lumayan terik, dan mulai bikin haus, kondisi itu sering diistilahkan "panas ndrandang". Ketika sengatan sinar mentari menjadi sangat terik, berimbas sampai ke ubun-ubun, hingga bikin kepala pusing menjadi seketika, maka, diistilahkan dengan “ngenthang-enthang”. 

Selain tentang minuman itu, hujan (udan dalam Bahasa Jawa) juga punya klasifikasi sesuai kuantitas. Jika rintik-rintik tahap pertama hujan mulai turun-yang biasanya butiran air hujannya masih besar, dan masih bisa dihitung suaranya saat menyentuh genteng, hujan yang demikian dinamakan “tlethik”.

Nah, kalau hujan sudah turun menuju deras, dan butiran hujannya mulai kecil-kecil (lembut menerpa wajah), itu dinamakan “gerimis”. Lalu jika sudah deras dan semakin deras, disebut “udan deres”. Tetapi ketika hujannya mulai mereda, tinggal gerimis skala kecil, kondisi itu dinamakan “trenceng”.

Menangis (bahasa Jawa ngoko: nangis), juga ada tingkatannya, lho, sesuai kuantitas dan kencangnya suara yang ditimbulkan. Saya hanya tahu tingkatannya antara lain “mbrambangi”, “mbrebes mili”, “mewek”, “ngguguk”, “mbeker-mbeker” dan “gero-gero”. 

Untuk "mbrambangi",ini adalah kondisi menangis yang masih dalam tahap berkaca-kaca, persis seperti efek mengiris bawang merah (brambang, dalam bahasa Jawa). Berikutnya, "mbrebes mili", sejauh yang saya tahu, adalah kondisi menangis yang baru mengalir air mata turun ke pipi, namun mulut belum bersuara. 

Level selanjutnya adalah "mewek". Ini kondisi menangis di mana mulut belum bersuara, namun mulut sudah posisi terbuka-mengkerut ke bagian bawah-untuk mengirim pesan siap menangis bersuara. Di atas mewek itu, ada nangis “ngguguk”, yakni kondisi menangis tersedu-sedu. 

Jika sudah melewati tahap ngguguk dan tangisan menjadi lebih keras dan mulai menarik perhatian, kondisinya diistilahkan “mbeker-mbeker”. Sekadar catatan, bayi dan anak kecil biasanya si “pemilik” tangisan yang mbeker-mbeker ini. Hihihi. Semoga saya benar.

Kemudian, jika tangisan mulai lebih keras terdengar, dan terkadang seperti lenguhan keras, itulah nangis “gero-gero”. Durasi gero-gero ini bisa lama bisa sebentar, tergantung stamina. Sebab, level tangisan yang satu ini bisa bikin nafas pendek dan tersengal-sengal. Bahkan bisa berujung sampai pingsan.

Selain sekian level nangis itu, saya masih menemukan satu lagi yakni nangis “keloro-loro”. Ini kondisi menangis yang cukup kencang, berirama mendayu-dayu sedih, dan menyayat hati. Jenis nangis keloro-loro ini, biasanya bernuansa sakit hati akibat perlakuan tidak adil atau tidak menyenangkan.

Rumit, kan, Bahasa Jawa. Hahaha....