Selasa, 30 Juni 2020

NAIK KELAS : DARI NYETIR MOBIL "KURANG SEHAT" KE MOBIL BOKS

Suatu hari di tahun 2001. 

Keringat semakin deras keluar dari semua penjuru badan. Benda beroda empat ini menggeram, meraung-raung seperti singa yang tidak tahu harus berbuat apa. “Kopling, lepas. Gasnya, injak. Rem tangan, angkat, cepat. Gas, gaass !!” bapak berulang memberi instruksi seperti komandan prajurit yang gemes melihat anak buahnya kebingungan.


“Lho, kok malah mundur?” teriak bapak lagi yang langsung dibarengi “paduan suara” klakson di belakang bersamaan suara berdecit, bersumber dari sekian ban yang dipaksa berhenti secara serentak.Terdengar aneka “pisuhan” yang jauh dari kata merdu. Panik ! Kunci kontak langsung putar ke kiri, rem tangan pun angkat lagi ke atas. Dan, saya pun meloncat ke luar.


Meninggalkan bapak yang menyelesaikan semua urusan agar benda ini tak melintang di simpang empat salah satu ruas jalan di Jogja. Suasana semakin chaos. “Mata’ne !!” teriak seorang pengendara mobil. Saya hanya bisa berdiri gemetar di tepi jalan, menunggu bapak meminggirkan mobil. Jelas ini pengalaman cukup buruk untuk saya yang baru belajar nyetir dan langsung dipaksa ke jalan raya.


“Mobilnya enggak beres, pak,” protes saya ke bapak. Saya enggak paham apapun tentang kendaraan, apalagi mobil. Tapi yakin mobil ini pasti kurang sehat. Di tahun segitu, mobil station wagon keluaran era awal 1980-an, yang notabene keluar setelah “era pikap trontong”, sudah termasuk sepuh. Belum tua-tua amit sih. Tapi mobil ini sudah nampak payah, barangkali kurang dirawat pemilik sebelumnya. 
Oke, baiklah, ini memang tentang daya beli dan kebutuhan, ketika bapak memutuskan membeli mobil berwarna hijau. Tapi masalahnya lebih pada kondisi mobil—yang karena sesuai harga—jauh dibawah kondisi ideal, atau normalnya kendaraan. Ada harga ada barang, memang tidak semata hanya ungkapan.


Gara-gara kondisi keuangan juga, bapak batal langsung memasukkan mobil ke bengkel untuk servis besar. Hanya servis ringan. Hanya sedikit lebih membaik, setidaknya dari volume dan warna asap yang berkurang. Masalah intinya jelas tak diselesaikan. Mesin 1.000 CC terasa kurang bertenaga, knalpot menyembur asap (agak) hitam, rem depan-belakang masih kurang pakem, kopling yang “pendek”, hingga  rem tangan yang kagak “menggigit”. 

Getaran mesin juga tidak bisa stasioner. Kalau pedal gas enggak diinjak, deru mesin akan (langsung) mati. Komplet deh kisah “neraka” belajar nyetir. Tapi bapak bersikeras agar saya mulai belajar. “Sebelum mobil ini nanti mungkin dijual, kamu harus bisa nyetir,” kata bapak. Sebagai anak, saya hanya bisa nurut dan pasrah. Hari-hari mendebarkan pun selanjutnya terjadi. Again and again.

Harus saya akui, bapak punya skill lumayan untuk urusan nyetir. Sejak tahun 1970 dan bahkan sampai terakhir kali memegang stir tahun 2014, bapak tidak pernah mengalami insiden. Nyenggol saja belum pernah. Berkendara tanpa emosi dan selalu tidak pernah terlihat mengantuk. Parkir pun bisa dibilang sekali jadi. Nyetir mobil yang “tidak beres” seperti ini, sepertinya bukan masalah baginya.


Terlepas dari hiruk-pikuk belajar nyetir, akhirnya saya pun bisa. Horeee. Meski sebetulnya lebih tepat ke berani nyetir daripada bisa nyetir. Kalau harus dikasih nilai, skil nyetir saya di masa-masa awal itu pastilah (maksimal) 6. Tapi kalau urusan berani, bisa jadi lumayan (nekat). Skil (masih) minim tapi tak berpikir demikian. 

“Skil itu dimulai dari sikil” begitu ‘kata pegangan’ saya. Btw gimana visual Suzi Carry th 1983/1984, seperti yang saya cantumin di atas. Nah Carry yang punya bapak saya, penampakannya jauh lebih buruk dari gambar mobil itu..

Bahkan hal terburuk mobil my lovely dad itu, selain tenaganya yang rada melempem adalah asap hitam pekat yang semakin menyembur "riang gembira" dari knalpot terlebih saat menanjak.Belum lagi bodi mobil yang rada bolong sana-sini sehingga panas mesin naik menghangatkan pantat, dan asap lolos menyeruak masuk kabin. 

Semua kursi berderit, tak ada AC, plafon seperti tidak menempel atap, tak ada musik, hingga lantai yang tak terlapis karpet. Semua kaca sepertinya juga enggak rapat menempel, sehingga pada bergetar. Mungkin angkot pun masih lebih good looking--karena minimal ada piranti musiknya.


Dan begitulah. Tapi dari mobil begitu itu, saya berlanjut ke petualangan selanjutnya yang seru. Belum genap sebulan bisa menjinakkan mobil (dan dapat SIM), sebuah tantangan datang tanpa diundang. Seorang kawan, Vendy, mengajak, tepatnya meminta saya nyetir mobil operasional kantornya untuk nganterin barang makanan. Dia kerja di perusahaan yang mendistribusikan makanan. 

Saya sih mengaku bisa nyetir, meski secara teknis ya cuma nyetir khusus maju. Urusan atret (memundurkan mobil), belum bisa mulus. Selalu bikin alur "ular" yang bikin siapa saja pemirsanya pasti akan mesam-mesem. Saya cuma paham menggerakkan tuas persneling-nya ke posisi “R” dan langkah berikutnya adalah gas tipis-tipis.Yang penting mobilnya mundur, berarti sudah bener mengoperasikan kopling, persneling, dan gas. Mundur ke arah mana, dan analisis jarak, itu mah, beda soal.


Singkat cerita, tantangan tadi saya terima. Mobil boks Mitsubishi Colt L300 yang mesti saya kemudikan. Kawan saya itu bilang, temannya yang biasa jadi sopir, lagi sakit. Tapi barang-barang harus diantar ke sejumlah toko di Sleman dan Bantul. Tidak bisa tidak. Bagi saya (yang waktu itu masih berbadan kurus-gepeng), varian L 300 terlihat berukuran lumayan besar. Mengingat sebelumnya latihan nyetir memakai mobil yang lebih kecil dan mungil.


Beruntungnya, masa muda memang tidak atau belum kenal rasa takut. Pikiran belum cukup ribet dan panjang. Nyali juga masih setebal tali tambang yang baru keluar dari pabrik. Saya mikirnya simpel : mobil milik bapak saya lebih buruk kondisinya ketimbang kendaraan perusahaan ini. Apalagi coba, yang lebih parah dari sebuah mobil lawas "antimainstream"? Mobil lawas yang pedal gas, kopling, dan rem-nya kayak musuh’an, ngajak berantem driver-nya? Selain itu, kapan lagi coba, bisa nyetir mobil boks.Uui..

Oke berangkaat. Tapi, begitu masuk ruang kemudi L300, saya bingung. Blaiiiik, mana tongkat persneling-nya. Kok enggak ada di sebelah bawah-kiri. Ternyata... ada di sebelah stir, area dasbor. Lhaa, lhaaa, kok beda posisi gini? Matiii, belandaaaa. Gimana, jreng. Telanjur masuk kokpit, nih, tak mungkin batal. Harga diri, broo... Akhirnya ya tetap berpikir untuk nekat. 

“Piye (bagaimana). Piye?” tanya Vendy yang notabene juga temen saya satu band ini, berkali-kali. Ada nada-nada cemas melihat saya lumayan lama “ungkak-ungkek” hanya untuk sekedar mengeluarkan kendaraan ini dari parkiran kantornya ke tepi jalan raya. Padahal parkiran kantornya lapang, dan jalanan pun (saat itu) belum terlalu ramai.

Akhirnya setelah sekian menit, sepertinya oke. Sepintas kondisi kendaraan memang terbukti seperti perkiraan, lebih sehat dari mobil saya. Lha iya, lah. Secara tahun keluaran saja sudah menandakan. Yang ini masih terbilang baru, setidaknya belum lima tahun. Sedangkan mobil saya sudah 20-an tahun umurnya.


Tapi masalah masih ada karena spion tengah di ruang kemudi L300 seakan tidak berfungsi. Lha? Namanya aja kendaraan yang belakangnya boks, mana kelihatan suasana belakang mobil via spion tengah? Berkendara hanya mengandalkan spion kanan dan kiri. Dan ini berarti butuh penyesuaian. Solusinya : Vendy yang saya paksa agar sering menongolkan kepalanya ke luar, sebagai “spion tambahan” untuk live report setiap saat.  


Dan meluncurlah saya pakai kendaran itu. Bukan hal mudah beraptasi. Jika sebelumnya, saya nyetir mobil yang blas kurang bertenaga, begitu di mobil ini, mendadak bisa langsung ngacir begitu gas diinjak. Biasa ngerem "jauh hari" gegara rem tidak pakem, eh di L300 remnya langsung bereaksi. Rasanya seperti mau nabrak-nabrak larinya. Apalagi setelah melepas rem tangan, mobil terasa meloncat.

My life is my adventure ini berlangsung pagi sampai sore, Enggak cuma nyetir, saya juga sekalian membantu angkat-junjung kardus keluar-masuk sekian toko. Akhirnya selesai. Eh sebentar. Apakah terjadi insiden selama perjalanan? Oh…. ada. Beberapa. Sepanjang durasi seharian wira-wiri yang totalnya bisa puluhan km itu, pasti kawan saya pasti "senam jantung". Wajahnya tegang dan selalu komat-kamit "Ati-ati, ati.. awas, awas,".  

Insiden lain yang saya ingat adalah hampir menabrak buk--semacam bangku terbuat dari semen yang ada di tepi jalan, biasanya di sisi kanan-kiri jembatan. Setiap mau parkir juga bikin kawan saya jantungan, karena belum paham soal mengalisis jarak. Doa saya sesaat sebelum sampai tiap toko adalah "semoga jangan sampai berurusan sama parkir mundur". Doa hanya terkabul beberapa.

Hanya saja, untungnya, parkir mundur dengan kondisi belakang lapang. Lega, tapi juga masih "kayak uler". Dan tentu saja pakai acara teriak dari teman saya. Begitulah. Berharap tidak ada insiden terjadi, tapi sayangnya itu terjadi juga. Dan insiden "terberat" adalah bemper belakang menabrak pohon kelapa----tapi hanya terhantam sedikit (menurut versi saya) karena refleks cepat menginjak rem.


“Pohonnya gak kelihatan dari spion kanan dan kiri,” begitu alasan saya. Lha, pohonnya kan di belakang mobil, di tengah-tengah pula, sedangkan saya lagi posisi atret (mundur). Dan itu repot. Alasan saja sih, sebenarnya, hehehe. “Mata’ne !! Pohon kelapa lumayan gede gini masa gak kelihatan?” dia membalas. “Konsentrasi penuh mundurin mobil, nih. Mana sempat lihat pohon di belakang,” jawab saya sekenanya. 


Kowe iso ngundurke mobil ora tho (Kamu bisa memundurkan mobil tidak)?” dia bertanya, walau saya yakin dia tahu jawabannya. “Belum bisa,sih. Tapi sudah tahu gimana caranya secara teori,” jawab saya. Ah… Kawan saya pasti pusing gimana laporan soal mobil kantornya ini. Bagian ini enggak perlu saya tulis, ya, hehe. Tapi kawan saya pasti tahu, ketika kami pulang selamat, itu sudah anugerah.

Yang pasti, hari itu saya merasa "naik kelas". Menjadi lebih pede menyetir mobil jenis apapun--sampai kemudian berani ambil alih kemudi, nyetir ke Jakarta dan sukses "selamat" keluar-masuk tol untuk pertama kali. Lalu apakah urusan atret sudah lancar? Jujur saja, ya belum. Tapi yang penting mobilnya tetap bisa mundur, dan enggak nabrak, bukan?
(Nb : dua foto mobil lejen ini ambil dari internet yaks) 

Senin, 15 Juni 2020

SECUIL MILITAN DIBALIK KEBERANIAN NGAMEN "OUT OF THE BOX"


Masih anyaran jadi mahasiswa. Saya mencoba sok gaul keluar lingkup kampus dan akhirnya kenalan sama kawan lumayan "gila". Topik obrolan ternyata nyambung, kami pun cepat akrab. Sampai kemudian berujung sebuah ajakan. "Kamu punya gitar, kan. Ayo ngamen besok," begitu katanya di suatu malam, seusai kami nongkrong di warung angkringan. 

Darah muda saya sedang membara waktu itu. Hawa reformasi masih terasa, mungkin itu sebab ajakannya langsung saya sanggupi. Yang penting, tidak sendirian ngamennya. Saya berharap dia yang akan di depan, vokalis utama merangkap gitaris. Sedangkan saya cukup gitaris kedua, tepatnya mbantuin nge-ritem. 

Saya juga berharap gitarnya lebih bagus dari gitar saya, dan tentu juga suaranya. Tapi blaiiiiik, kedua-duanya malah lebih buruk. Gitarnya "remuk", susah disetem. Bunyinya pun standar, kalau tidak mau dibilang ya fales. Tapii.. hal terburuk bukan itu. Melainkan saya juga mesti ikut nyanyi. "Mosok aku sing nyonthong (ngomong/nyanyi) terus berjam-jam," begitu katanya. 

Kecut.. But that's Oke, tantangan diterima walau tetap cemas karena akan jadi pengalaman pertama mbarang (ngamen-Bahasa Jawa) yang enggak hore. Terasa bakal dapat pengalaman horor. Tapi pantang mundur. Hitung-hitung pengalaman pertama nyanyi yang bisa berujung rupiah. 

Pokoknya siap dikritik, karena suara saya jelas tidak "suara-genic". Apalagi skil bergitar yang masih minimalis. Belum ditambah, perkara ngomong di depan umum yang saat itu ya bisa dan belum pede. Saya takut diketawain. Tapi tak mungkin balik kanan. 

Dan hari "bersejarah" berbalut "kutukan" itu tiba. Sebelum berangkat, dia membeberkan strateginya ngamen. Nyanyi bergantian, dan rutenya dari sini ke sana. But, wait..... lho kok bawa toples yang terisi separuh dengan uang logam??? 

"Kamu dan aku ngamennya gini. Kita malah sarankan orang untuk mengambil duit ini, tapi jangan banyak-banyak. Yang penting orang itu mau dengerin kita," kata dia. 

Perkara apakah orang itu akan ambil duit, atau malah nambahin duit ke toples, biarkan jadi misteri. Cara gitu, lanjutnya, malah memacu adrenalin. "Ini cara ngamen model opo?" sempat saya protes. 

Dia cuma ketawa. Akhirnya malam itu beneran kejadian, kami menyusur jalanan. Singgah dari lesehan satu ke lesehan lain, dan ...menjadi bahan ketawaan. Ada beberapa yang langsung menggeleng dan bilang "sanes'e", artinya "lainnya". Artinya lagi, silakan ngamen di tempat lain. Aseeem, iiik. 

Waktu sampai di pasangan yang lagi pacaran, seketika si cowok bertindak seperti melindungi yayangnya. Saya jelas tersinggung. Tapi ketika menoleh sebelah, ke teman saya itu, saya jadi punya cukup gambaran, si cowok tadi ya tidak salah. 

Dengan penampilan lumayan "ambyar", kaos dan jins bolong-bolong, plus sebatang rokok diselipkan di daun telinga, kawan saya ini sah terlihat "kurang higienis" dan barangkali cukup menakutkan. Belum lagi suaranya yang kurang (baca: tidak) merdu. Belum lagi pedenya yang enggak ketulungan.

Tapiii, "Neraka" sebenarnya adalah ketika saya giliran nyanyi. Berbekal kesepakatan bahwa opsi lagu harus lagu yang kami berdua tahu, maka yang dipilih hanya lagu-lagu simpel yang berkunci gitar seputar C, D, G dan F. Diselingi AM, DM, Em. Begitulah. 

Sepanjang "pertunjukan", serasa semua orang menahan tawa. Sudah tak menghitung berapa puluh penonton yang geleng-geleng dan hanya melongo takjub menyaksikan (kualitas) perform kami. Kaos yang melapis tubuh kurus ceking ini sudah basah. Saking derasnya keringat. 

Yang saya nyanyikan antara lain lagunya Koes Plus dan Gombloh. Mungkin kalau ada personel Koes Plus dan Gombloh (almarhum) melihat, pasti bakalan nangis tersedu-sedu. Celakanya lagi, begitu nyanyi, saya nyaris lupa apa chord-nya. "Santai saja, salah ya tinggal ganti chord," kata teman saya itu. Enteng bener ngomongnya. 
 
Untunglah, masih muda. Darah muda banyak menolong. "Ketebalan" muka yang sudah diseting "setembok-temboknya" lumayan jadi bekal agar kuat ngamen (sembari menahan malu). Bagaimana teman saya? Ohoho, wajahnya sudah jadi tembok.

Akhirnya setelah keliling dari petang sampai tengah malam, acara ngamen selesai. Lega. Segera menuju angkringan untuk mengaso. Bergelas teh hangat saya tenggak, sembari komat-kamit "Slamet, slamet, slamet...Syukur nggak ada yang ngantemi (mukulin) saya". 

Sementara kawan saya cengengesan menunjukkan toplesnya. Yang ajaibnya malah terlihat lebih penuh dari sebelumnya. Secara hitung-hitungan rupiah, sebenarnya hasil ngamen sudah habis untuk beli makan malam dan udud.. 

Oke cerita ngamen tadi sudah berakhir. Besok-besoknya masih merasa "trauma" sih. Bukan ngamen cara gini yang saya pikirkan bakal menjadi pengalaman ngamen (serius) pertama. Tapi karena sudah telanjur, kebacut, ya sudah. 

Tapi saya tetap berharap identitas saya tidak ketahuan. Syukur juga enggak ketemu teman pas ngamen. Bisa rontok pede saya kalau itu terjadi. Ketauan ngamen sih gak masalah, malah bisa bangga. Tapi ketahuan ngamen dengan modal suara cempreng, dengan tandem yang kondisinya "sebelas-dua belas" sama saya, ditambah cara ngamen yang tak lazim, itu barulah potensi masalah. 

Sampai suatu ketika, selang sekiaan minggu, saya "kepaksa" mampir ke salah satu warung lesehan yang kami datangi ngamen. Ditraktir temen, judulnya. Blaiiik, yang jual masih mengingat saya. 

Dan sapaannya kira-kira gini, "Eh mas yang kapan hari mbarang ya. Mana temennya sampeyan? Lagi off ya hari ini? Oya ngamennya kemaren itu, wangun lho,". Dan saya cuma bisa bales nyengir garing. 

Wangun (Bahasa Jawa) itu berarti "bagus". Tapi di satu sisi, wangun juga bisa bermakna sindiran halus yang berarti kebalikannya dari "bagus. Dengan kata lain, artinya : jelek, atau minimal : wagu.  

Alhasil, acara makan malam, malah menjadi siksaan kedua. Rasanya pengen segera lari ke luar warung dan menuju kantor kelurahan untuk ganti KTP. Secara mental, waktu itu, di umur yang belum genap 20 tahun, saya enggak siap. Selama beberapa waktu setelah itu, pengalaman ngamen tadi serasa aib. 

Mungkin, mungkin kalau saya sekarang punya mesin waktu, bakal kembali di malam di mana saya ngamen. Mau mencari saya sendiri ....lalu saya jotosi dan pisuhi. "Enggak ada aktivitas lainnya po yaa, sampai harus ngamen cara gitu," paling gitu makian saya. 

Tapi kayaknya, saya akan bilang terima kasih. Makasih pernah melakukan hal konyol dan "tidak penting" itu. Makasih pernah diketawain banyak orang, sampai dengkul ini gemetar. Makasih sudah pernah diajak gila. 

Minimal saya belajar bagaimana satu lagi definisi dan praktik lapangan tentang "militan". Bukan tentang melakukan hal terbaik seturut kebisaan atau keterampilan. Tapi memilih berani, sebisa mungkin, sepede mungkin (meski cukup ketakutan), menampilkan apa yang kita tidak cukup bisa atau menguasai. Yang penting nampil dulu, pasang badan. Urusan lain, termasuk dampaknya, ya pikir belakangan.



Dan sekian tahun berselang, saya masih mengukur kadar kemilitanan saya.... (catatan malam hari, sembari bergitar. Yap gitar yang saya pakai ngamen 22 tahun silam itu).