Rabu, 24 Februari 2016

DI WARUNG BAKSO -- CERPEN

Siang ini kita akhirnya bertemu, sepulang kuliah. Di sebuah warung bakso dekat kampus, tempat kesepakatan bersama dua hari lalu. "Tidak ada temanku yang tahu. Tapi kamu juga jangan bilang ke temen karibmu ya. Ini rahasia," katamu.  

Setengah jam berlalu. Canda-tawa seperlunya mengalir. Sedikit berbasa-basi. Sedikit tatap mata. Sedikit respons darimu. Sedikit perhatianmu. Sedikit kata-kata yang terlontar dari bibir kecilmu. Tanpa bertanya, tetapi hanya jawaban sekenanya. Perbincangan yang bikin gerah. Bahkan posisi duduk kita bersebelahan, bukan berhadapan. 

Dudukmu pun mulai nampak jengah. “Ada yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?” tanyamu. Kutatap lekat matanya. “Kamu sudah bisa menebak, atau perlukah aku menegaskannya sekali lagi?" sahutku. “Sekali lagi? Maksudmu?” jawabmu dengan nada keheranan. Kamu memutar tubuhmu, sehingga berhadapan denganku.

Ah, perlukah aku ngomog lagi alasanku sering bertandang kerumahmu? Memberanikan diri datang ke rumahmu dan menjawab satu demi satu pertanyaan ibumu? Menatap rumahmu yang besar saja, aku merasa kecil. Apalagi isi rumah dan isi garasi rumahmu. Apakah kau tahu? Ah tapi sudahlah, tidak perlu juga kamu tahu. Tapi kuyakin kamu tahu jika aku tinggal di rumah kontrakan.

Jadi, membawamu sampai ke warung ini, sudah sebentuk keberhasilan bagiku. Setelah, tentu saja, sekian ajakanku yang kamu tepikan. Tapi mungkin kamu mengiyakan ajakan seorang kawan yang barusan kamu kenal. Sudahlah, aku tahu itu kok. 

“Jadi, maksudmu gimana,” katamu mencoba tersenyum. Aku tahu banget, itu adalah senyum yang dipaksakan. Tapi aku menghargainya. Masih ada sejumput kebaikan di jiwamu. Membolehkan aku menyita waktumu yang padat, dan perhatianmu yang jarang. Iya, lah, siapa juga aku. Tapi aku berhak... Berhak menyatakan rasa.

Aku menatapmu lekat-lekat. Aku suka dua bola mata yang didepannya terlindungi kaca ini. Aku suka gelombang-gelombang rambutmu yang berwarna hitam pekat. Dan aku suka tawamu yang sepertinya dititiskan ibumu padamu. Aku suka apa yang terpampang di seluruh wajahmu. Matamu, hidungmu, telingamu, pipimu, gigimu. Juga tengkukmu. Bahkan betis kakimu dan cempreng suaramu. Oh Tuhan. 

Mendadak aku ingin memegang tanganmu. Sekarang atau tidak. Dirimu sontak terkaget, namun entah mengapa, membiarkan aku mengusap-usap jemarimu. Aku memberanikan diri untuk mengusap-usap keningmu, dan mencium tanganmu. Dua-tiga menit berlalu tanpa kata.  

Beberapa detik, kata itu akhirnya terlontar dariku. Melesat pelan seperti anak panah yang enggan meninggalkan busurnya. Atau mungkin melesat lebih cepat dari kedipan mata. Jawabannya tak butuh waktu lama. Engkau menggeleng pelan. Seperti perkiraanku, memang tidak ada keajaiban menimpaku. 

Pertemuan ini pun usai. Bakso ini langsung terasa hambar, es jeruk pun mendadak terasa pahit. Jarimu tak lagi terasa halus.  "Ini rahasia kita, ya," katamu memecah kesunyian. Datar. Dunia kita jauh berbeda.  

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
PELUKAN (CERPEN)
MENGAPA HARUS NGEBLOG

Minggu, 21 Februari 2016

SIA - SIA


Sayangnya, aku masih ingat apa kostummu saat mengecat tembok kelas, 19 tahun lalu. Kaos putih identitas sekolah, celana pendek, topi bermotif loreng, dan tas selempang kecil berwarna hijau. Satu lagi, sepatu kets putih. Cakep. Aku sangat yakin dirimu perempuan terayu sedunia saat itu.

Minggu pagi ini nampaknya akan berakhir ceria. Aku punya sekian menit untuk mengobrol denganmu. Tadi malam aku sudah berdoa minta keberanian kepada Tuhan.Tapi ternyata kok tidak terjadi. Acara bersih-bersih kelas ini, tak memberi kesempatan. Belum sempat menyusun tekad, rontok lah sudah. Sekompi teman-teman merubungimu, menutup ruang gerakku. 

Rencana kedua, tentu ada. Menyerahkan sepucuk surat. Celakanya, ini pun kandas. Sepertinya hari ini semua berantakan. Empat jam selama mengecat pun mendadak menjadi acara yang sangat kubenci. Berlalu begitu saja, sampai bayangmu menghilang di balik asap knalpot motormu. Aku kalah bertaruh. Temanku tertawa tatkala traktiran tahu goreng wajib kukabulkan. 

Ah, sudahlah. Tapi, esoknya, aku kembali disulut seorang teman. “Kalau dia mau diboncengin kamu pulang sampai rumahnya, kamu boleh bawa motorku,” tantang temanku itu. Taruhan yang kedua kali ini, sulit dibendung. Iseng-iseng berhadiah, ambil saja. 

Atas kebaikan temanku itu, aku bisa meminjam motor bebeknya. Keluaran terbaru, belum genap tiga bulan dikeluarkan dari diler. Motor bututku kutitip sejenak padanya, lengkap dengan sekian panduan lisan jika nanti mesinya ngadat.

Itu jika dalam skenario aku menang. Sayangnya tidak demikian. Entah mengapa, nampaknya kamu memang sudah merancang sejak 100 tahun silam, bersiap menolak ajakanmu. “Nggak mau. Ngapain?” sahutnya dengan nada tinggi, Ah, kalah taruhan lagi.

Kukembalikan anak kunci motor ke temanku, diriingi tatap iba meski separuh mulut ingin memuntahkan tawa. “Next time better,” hiburnya, sembari menawarkan traktiran di kantin sekolah. Next better? Oke. Aku harus tahu rumahnya di mana. Besok, manuver baru, begitu tekadku.

Keesokan hari, dia tidak membawa motor dua taknya. Sedikit diluar rencana, tapi tak masalah. Seorang teman menawarkan bantuan untuk menemani, dengan perjanjian bahwa menjelang rumahnya, dia wajib “menghilang”. Deal, kami berangkat. Maksudnya menanti di tepi jalan, sebelum dia keluar sekolah..

Seiring langkah kakinya meloncat masuk ke mobil omprengan, gas pun dipelintir. Menutup wajah rapat-rapat di balik helm, agar dia tidak tahu. Mirip agen rahasia menguntit korbannya dalam film-film. Begitu dia turun dari omprengan, kami pun menepi.

Dia meloncat lagi ke dalam bus, gas kembali menyalak. Bus berlari kencang, meninggalkan raungan mesin motor butut yang memekik. Dia berganti tumpangan ke omprengan lain, kami menepi lagi. Sampai akhirnya dia berjalan menuju rumahnya.

Temanku harus “dienyahkan” dulu. Sekarang tinggal aku dan engkau. Sekarang atau tidak sama sekali. Sedetik setelah di sampai di halaman rumah, aku menyusulnya, dan langsung disambut kata-kata pedas. “Ngapain kamu nguntit aku?”.

Tak lebih 15 menit, tanpa obrolan. Hanya selaksa tatapan yang sepertinya memaksaku hengkang. Ibumu keluar membawakan teh hangat untukku. Ramah mempersilakanku, meski sembari menatap heran ke arahmu. Mulutmu masih terkunci.

Selesai. Sia-sia. 

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
MENGAPA HARUS NGEBLOG

Rabu, 17 Februari 2016

COKLAT VALENTINE - 3

Aku selalu suka pada wangi bau tubuhmu setelah mandi. Tetapi aku lebih suka senyummu yang renyah mengembang. Lebih suka lagi dengan tawa ceriamu ketika menyambut setumpuk canda dariku. Wajah tirus, rambut ikal berwarna hitam kelam, kerlingan, dan suara kecilmu itu.

Seperti itu juga yang kujumpai malam ini. Matamu berbinar cerah ketika menerima sebatang coklat dariku, yang hanya kubungkus dengan kertas kado bekas. Coklat kelas medium, yang kubeli usai mendapat honor sebagai asisten praktikum di kampus. “Eh, ibukmu jangan sampai tahu, ya,” kataku, takut-takut. Dia mengangguk.

Aku selalu suka kemari, meski itu harus mencari-cari waktu yang tepat, dan sering hanya sekelebat. Tentu saja, aku tidak ingin kawan karibmu tahu. Bukan, bukan karena dia menyukaiku. Melainkan dia, dan teman-teman sekelompok yang selalu bersama-sama seperti pasukan. Siap menertawakan apa saja yang dirasa janggal.

Mengapa coklat ini harus kuberikan kepadamu. Jadi, begini kira-kira sejumput kisahnya. Setahun lalu, usai dentang bel sekolah, ketika aku mengayuh cepat sepedaku mengejar laju sepedamu. Hari itu aku kembali mendapat sedikit “ceramah” darimu.  Aku, muda, kurus, 16 tahun, belum cukup paham mencerna kalimat darimu, yang seumuran denganku.

Tapi itu setahun lalu, bukan? Dan kini, aku masih saja mendatangimu ke rumah. Pasti, dengan tatapan menyelidik dari ibumu, yang segera lumer ketika aku membungkuk dan bersalaman. Dan tak lupa, menyapa adikmu yang ceria itu.

Oh ya, kembali ke coklat tadi, kamu bergegas menyimpannya di dalam lipatan sebuah majalah. “Bener ya, coklatnya dimakan. Jangan dibagi, itu untuk kamu. Jangan ketahuan ibumu. Malu,” kataku lagi. Dia tertawa.

Deretan gigi yang rapi dan berwarna putih, adalah satu hal lagi yang kusuka darimu. Padu-padan pakaian yang indah, melengkapi sore ini. Seperti biasa. “Aku suka dengan hal-hal sederhana,” begitu penjelasanmu.

Aku percaya. Dan coklat ini sebagai bukti, salah satu bukti untuk membenarkan hal itu. Kamu pun tahu. Kesederhanaanmu itulah yang membuatku betah duduk di depanmu hingga satu jam lebih. Satu jam lebih beberapa menit, aku harus pulang.

Aku tak ingin membuat senyummu berkerut. Juga tak ingin membuat ibumu, juga bapakmu tak lagi terkesan. Jadi, aku sudahi dulu perjumpaan ini. Perjumpaan, ya itu istilahku yang dalam bahasamu barangkali hanya “dolan sejenak”.

Oh adikmu melambai juga ke arahku. Tentu, dia mendapat lambaian juga dariku. Sekian menit dari kunjunganku, memang untuk menyapa dia. Kadang, ingin kubisikkan sesuatu ke telinga adikmu itu. “Kakakmu manis. Kakakmu baik...”

“Udah sana pulang. Nggak enak lama-lama di depan pintu,” katamu. “Coklatnya, jangan lupa dimakan. Jangan dibuang ke sampah. Janji, ya?” balasku. “Iya, janji. Aku juga nggak akan bilang kalau dapat coklat darimu,” jawabmu.

Tiga kali valentine aku memberikan coklat untukmu. Aku mendapatkan senyummu, tapi tidak dirimu. “Kau tahu sebabnya....Tidak harus memiliki, kan,” begitu katamu. “Terima kasih atas coklatnya, itu berarti bagiku...”   

BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :
MAMMA MIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN

Jumat, 12 Februari 2016

COKLAT VALENTINE - 2

Satu jam lagi bersua denganmu. Aku membayangkan bidadari cantik nan wangi, menungguku, Dan satu jam lagi aku mungkin bisa menggengam tanganmu. Dan kamu terkejab-kejab gembira menerima coklat yang kubenamkan di saku baju.

Sore ini nan cerah. Seharian mendung menggelayut namun tiada hujan tercurah. Motor bututku, sayangnya, seperti tak mendukung. Dua kali aku menghindari orang yang menyeberang mendadak, dan dua kali itu pula mesin motor ini ikutan kaget lalu ngadat. 

Sedikit "terbatuk" motor dua tak warisan budhe ini, terus melaju. Membelah jalanan. Akhirnya sampai juga di depan rumahmu. Nampak sebuah motor yang sangat kukenal, terparkir di halaman rumah itu. Semoga itu pertanda si empunya berada di dalam. 

Ternyata kau sudah menantiku. Hati setengah bersorak ketika kamu mempersilakanku masuk dan duduk di ruang tamu yang lapang nan bersih. Aku mendadak merasa bahwa "kasta" kita cukup jauh terentang. Aku membenamkan diri dalam sofa yang empuk, memandang dinding tembok yang penuh benda foto. Dan kupandangi perempuan di depanku ini. Ah manisnya.

Baru saja mulutku akan membuka, engkau sudah mendahului obrolan. "Maaf ya, aku tidak punya banyak waktu. Mau keluar, ketemu teman," katamu. Datar. Tanpa ekspresi. "Kamu enggak apa-apa, kan. Aku pas sibuk nih," sambungmu lagi.

Kupandangi lagi seraut wajah itu, dan bibir yang baru saja menguncapkan kata-kata itu. Tenangkan dirimu, dinginkan kepalamu, begitu suara hati berbisik. Ingat siapa dirimu, dan siapa dirinya. Suasana mendadak terasa dingin.

"Oh, baiklah. Apakah besok sore aku boleh kemari lagi? Atau lusa? Atau kapan pun kamu ada waktu?" balasku. Penuh harap, meski sebenarnya sudah tak lagi berharap. 

Dan dia menjawab kalau aku tidak perlu repot-repot ke rumahnya, "Takut entar nggak ketemu. Ketemu di kampus saja," katamu. Ah, sebuah sindiran halus. Eh, bukan. Ini kata-kata bernada mengusir. Ya, mengusir aku dari kehidupannya.

Ah, begini juga akhirnya. "Baiklah. Sepertinya aku juga sibuk dalam waktu dekat ini. Mungkin juga enggak akan sempat mampir sini lagi. Takut menganggu kamu. Tapi boleh enggak kalau aku memberimu coklat? Kali ini saja, terimalah," kataku.

Dia mengangguk. Kukeluarkan sebungkus coklat dari balik saku bajuku. Kuulurkan coklat itu ke arahnya, sembari menatap matanya yang bulat. "Makasih, ya," katanya. Sedetik kemudian dia bersuara lagi, "Mau pulang sekarang?"
  
Oh tentu. Kedatanganku memang harus dipersingkat. Sepuluh menit di ruangan ini pun sudah terasa sangat lama bagiku. Aku berlalu. Sore ini menyisakan setumpuk penyesalan mengapa aku membeli dan memberikan coklat itu. 

"Jika hadiahmu tidak berkenan baginya, bolehlah kamu memberikan itu untukku,", terngiang-ngiang ucapan salah satu sahabat wanitaku. Tempat curhatku. Ah mungkin dia yang lebih layak mendapat hadiah ini.

BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :
MAMMA MIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN

Rabu, 10 Februari 2016

COKLAT VALENTINE - 1


Aku mendatangimu lagi malam itu, dengan setumpuk resah dan sebungkus tanda tanya. Seturut janji tadi pagi saat bersua denganmu di parkiran kampus. Hujan masih mengguyur deras saat sampai ke teras rumahmu. Sebentuk wajah mungil menyeruak dari helai-helai gorden kamar tamu.

Pintu dibuka seiring aku yang langsung meloncat ke dalam rumah. Kedinginan. “Bagaimana hasilnya tadi?” begitu pertanyaanmu sembari memandangiku. Aku masih menggigil. “Oke, aku buatkan minuman hangat dulu, ya,” lanjutnya lagi, dengan tatapan penuh selidik, dan mungkin berbalut iba.

Hujan malam ini sungguh kejam. Satu jam untuk menerabasnya sungguh membuat nyeri sampai ke dalam tulang. Belum lagi motor tuaku yang karena disiram hujan yang disempurnakan angin, ditambah melindas puluhan genangan, maka jalannya pun terkentut-kentut sepanjang jalan. 

Begitu dingin malam ini. Sungguh. Gigi mulai bergemeletuk. Kulit ujung jariku sudah nampak berkerut, Tetes-tetes air masih meluncur deras membasahi lantai. Maaf aku membuat lantai rumahmu menjadi basah. 

Sekian menit berlalu, sejenak waktu untuk menata jiwa. Engkau menghampiriku dengan segelas teh panas yang segera kuseruput. Tenggorokan yang nyaris beku ini, perlahan menghangat. Gelas kudekap erat dengan kedua telapak tanganku. Aku sejenak melihat senyummu. Hangat namun entah.

“Bagaimana hasilnya tadi? Apakah masih tetap sama seperti sebelumnya. Kamu baik-baik saja, kah?” sederet pertanyaan meluncur dari bibirnya yang mungil, mengarah telak ke arahku. Aku mengatupkan kedua bibirku, sembari menatapmu. “Begitulah....bukan kabar baik,” jawabku pelan dan lirih, dan sepertinya nyaris tak terdengar olehnya.

“Oh...” katamu. Selama beberapa menit selanjutnya, ruangan kamar tamu yang sempit ini lantas hening. Kami saling berpandangan. Di luar hujan masih deras mengguyur, dengan kilat yang menyambar. “Jadi, sekarang apa yang akan kamu lakukan? Seperti kesepakatan semula, kah?” tanyamu memecah kesenyapan.

“Sepertinya begitu..” sahutku. Aku membuka tas, mengeluarkan plastik kecil, dan mengeluarkan isinya. Sebungkus coklat. Kubeli tadi pagi, khusus untuk seseorang yang sejam lalu enggan mempersilakanku masuk ke rumahnya.

“Ini untukmu, saja. Aku tidak bisa menyimpan coklat ini, apalagi memakannya. Dan nampaknya lebih baik kuberikan ke orang lain. Kamu. Seperti yang kubilang tadi pagi. Janji, lho,” kataku seraya mengulurkan coklat itu.

Sedetik-dua detik dia menatapku lekat, sebelum kemudian tersungging senyum simpul. Aku tahu coklat itu tidak terlalu membuatmu gembira. Kamu menanti coklat dari lelaki lain yang beberapa kali kamu kisahkan ke aku. 

Namun mungkin kedatanganku yang sejenak, ditambah momen yang kurang tepat ini cukup bisa membuatnya terhibur. Meski aku yakin tidak. Tapi setidaknya kamu mau menemuiku, dan masih sudi melempar senyum.  

Aku ingin yang didepanku adalah dia. Aku ingin yang di depanku ini nanti menggantikan dia. Namun perempuan manis bertubuh kecil dan berambut sedikit poni di depanku ini pun juga resah karena mestinya bukan aku yang mendatanginya di tengah sambaran kilat.

Perempuan yang menatapku ini masih mencoba melabuhkan hati kepada lelaki lain. 
Pelabuhannya pun belum teraih. Ah. Kembali tatapanmu menyudutkanku. Aku melihat lagi bening dan bundar bola matamu.

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
PELUKAN (CERPEN)

Senin, 08 Februari 2016

NGASEM

Setiap kali mudik ke Yogyakarta, setiap kali itu pula sambalbawang sempatkan mampir pasar-pasar tradisional. Sejenak menggali memori masa kecil. Semua berkesan: Pasar Ngading, Ngasem, Prawirotaman, hingga Rejodani.

Tidak ada lagi mbah-mbah tua penjual nangka di dekat tangga Pasar Ngasem yang kini wajahnya telah berubah, tak lagi seperti 30 tahun silam. Mbah penjual lopis di Pasar Ngasem yang waktu sambalbawang SD saja sudah sepuh, juga tak terlihat lagi. Kalau toh dia hidup, umurnya pasti sudah 100 lebih.

Mudik Bulan Januari lalu, sambalbawang hanya sempat menengok Pasar Rejodani dan Ngasem. Tetap berburu menu kesukaan, sayur daun singkong, cap cai, hingga bakmi. Oh ya cap cai di sini dalam artian cap cai murah, cap cai kelas bawah, yang lebih dikenal dengan nama “cap jaek”.  

Bakmi lethek-berwarna putih buthek-juga tak terlewatkan untuk dibeli. Termasuk bakmi kuning yang hanya dihiasi kubis, loncang, taburan bawang merah “sekenanya” dan sambal pedas yang rada cemplang rasanya. Tentu saja, porsi semua menu di atas, untuk anak-anak. Tahu kan, maksud sambalbawang.

Agenda paling menarik, setelah berbelanja menu printhilan tadi, adalah menikmatinya. Nah disinilah yang asyik, karena sambalbawang punya tempat favorit yakni di halaman belakang Pasar Ngasem. Ah, pasar ini akhirnya menjelma menjadi lebih indah, dan menyenangkan.

Duduk di kursi beton, di bawah rerindangan pohon, dengan latar belakang Taman Sari yang memesona. Ah, revitalisasi pasar ini memang tepat. Pasar Ngasem tak lagi identik dengan pasar burung dan satwa, namun para penjualnya pindah ke tempat baru di utara ringroad selatan, yang kini menjadi ikon baru.

Beruntungnya pernah mengalami wajah Ngasem dulu dan sekarang. Juga mencatat sejumput perubahannya dalam sejumlah berita yang saya tulis. Ngasem menjadi lebih bersih dan nyaman. Protes para pedagang yang dipindah, mereda seiring lokasi baru yang ternyata ramai juga.

Ah, jadi ingat pak Herry Zudianto, wali kota Yogyakarta. Sebelum revitalisasi pasar selesai, dia pernah bilang, lihat saja nanti hasilnya. Memang benar. Dan ketika beberapa waktu lalu sambalbawang bersua pak Herry di Samarinda, ah, terlihat betapa leganya dia. Warga Jogja beruntung pernah dipimpin walikota seperti dia.

Kembali ke Ngasem, pasar ini pun lebih memanusiakan pengunjung. Tersedia beberapa titik keran air, tempat sampah plastik, dan tempat parkir yang lumayan. Menyantap menu-menu janan pasar di halaman belakang pasar ini, nampaknya bakal menjadi rutinitas waktu mudik.

Ditambah lagi dengan para penjual yang gigih melancarkan kata-kata rayuan agar dagangannya dibeli. “Menika benguk, mubeng-mubeng njur tetenguk..” ujar salah satu pedagang jajan pasar yang selalu bisa menjadi partner gojek sambalbawang.

“Mboten,” sambalbawang menolak membeli benguknya. “Lha sampun kathah blanjanipun. Lha mangke bengukipun dingge sinten,” sambungku. Mbak penjual itu lalu menyahut,” Lha nggih dingge kegiatan...”. hahaha. Kami pun tertawa bareng.


Dan satu lagi yang bikin sambalbawang kangen adalah, para pedagang, terutama yang sudah rada sepuh, selalu mengatakan “matur sembah nuwun” setiap kali uang diterima pertanda jualannya dibeli. Ah, mengharukan.

Rabu, 03 Februari 2016

SATU MASA DI GUNUNG BUTHAK

Kami serombongan mahasiswa yang akan menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN), berdesakan di atas truk yang melaju mendaki Gunung Kidul. Suatu waktu di pertengahan tahun 2001. Satu demi satu teman telah turun, sudah sampai ke lokasi.

Tinggal kami berenam, satu kelompok, satu kloter terakhir. Persis ketika kami sudah tidak lagi melihat tiang listrik, salah seorang teman berseru ,” Selamat tinggal, peradaban,”. Gunung Buthak, nama dusun yang terletak di Kecamatan Tepus, telah menanti.

Bebatuan tandus, tidak ada listrik, tidak ada air PDAM, tidak ada warung makan, tidak ada jalan beraspal, dan tidak ada tambal ban. Sekitar 6 km jarak dusun ini dari jalan raya terdekat. Kami saling berpandangan. Yeah, apa boleh buat.

Dan begitulah, dua bulan ke depan, kami berenam menjalani KKN di dusun ini.  Tiga cewek, tiga cowok. Lima orang ribut, satu orang rada kalem. Enam orang, dua motor. Kami tinggal di salah satu rumah warga, yang seisi rumah sangat ramah.

Hari pertama sudah diwarnai beberapa kejadian. Begitu perkenalan dengan empunya rumah, jam biologis berdentang. Terbiasa tidak menunda, sambalbawang langsung ngacir ke belakang dan menjumpai toilet khas desa masa lalu. Terbuka atapnya, pintunya hanya anyaman bambu.

Di dekat WC sempit berukuran 1,5 x 1,5 meter ini, ada komplet. Kandang kambing, sapi, dan ayam. Hm, ya, Anda benar. Asyik juga kok beol sambil rada-rada kepanasan gitu. Bisa mengaburkan kenyataan bahwa air tadah hujan yang dipakai ini, tidak sepenuhnya bening. Ada partikel-partikel warna hitamnya. Ah.

Seorang kawan yang tidak terbiasa beol dalam situasi open, mencoba menahan. Tiga hari, pertahanan pun jebol. Dia pun menyerah. Dan begitulah lama-lama kami terbiasa. Mulai dari mencuci baju di danau, hingga mandi sekalian.

Dan saya “beruntung” pernah mandi satu danau dengan sapi. Agak gimana-gimana gitu saat mencebur dan mata para sapi itu memandangi saya. Akhirnya ya cuek saja. Yang penting kan dia tidak nyenggol gua.

Skip skip lah tentang acara KKN. Yang menarik justru beberapa kegiatan yang mungkin paling nyentrik dilakukan mahasiswa KKN. Kawan saya, kebetulan bisa nukang, dan nambal ban, membawa alat tambal ban. Dan ternyata itu sangat berguna.

Jadi, singkat kata, ada sedikit kursus tentang menambal ban yang pelaksaannya acak dan sesuai order. Dan kadang, jika kami keluar dusun, alat itu kami bawa sekaligus. Bukan untuk gaya-gayaan, loh, tapi untuk antisipasi.

Dan, ah, tentu saja kami ikut banyak kegiatan kampung. Dari pertemuan RT, kenduri, hingga Cuma nongkrong doank di malam hari. Gelap gelapan, tentu saja. Ndak usah bicara berapa kali kaki saya kesandung batu, ya. Malu..

Dan, kami tidur di atas tempat tidur beralas tikar, yang bersuara “kriiiet..krieet”. Menjelang tidur, kami berenam sering mengobrol, dengan empunya rumah. Tentu saja sering disertai camilan khas desa, seperti ubi dan kacang tanah.

Jika ingin beranjangsana ke dusun sebelah, saya berangkat pagi hari. Berlari-lari kecil 20-25 menit mencapai dusun sebelah. Teman kami di sana, sedikit lebih beruntung karena dusunnya dialiri listrik meski yah, begitulah.

Namun anehnya, kami yang berada di dusun paling terpencil, malah betah di Gunung Buthak. Praktis selama dua bulan, tidak ada yang mengagendakan pulang rumah. Kami nyaman di sini, merasa asyik, entah mengapa.

Kami menikmati semua keterbatasan. Menikmati setiap lenguhan sapi. Menikmati tontonan kelahiran anak sapi, hingga memasak. Menikmati setiap teh yang kami seruput di pagi hari begitu bangun pagi. Menikmati mandi dengan air hujan.

Dan ketika kami berpamitan pertanda selesai tugas KKN, beberapa warga menangis. Ah, jujur saja, saya pun menangis. Kami melambai tangan pada mereka yang sebagian melepas kepulangan kami. Dan, ah, ya, kami meninggalkan oleh-oleh: alat tambal ban.


BACA JUGA :

CHINMI JAGHOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN
HOMPIMPA ALAIUM GAMBRENG UNYIL KUCING
PELUKAN (CERPEN)