Rabu, 10 Februari 2016

COKLAT VALENTINE - 1


Aku mendatangimu lagi malam itu, dengan setumpuk resah dan sebungkus tanda tanya. Seturut janji tadi pagi saat bersua denganmu di parkiran kampus. Hujan masih mengguyur deras saat sampai ke teras rumahmu. Sebentuk wajah mungil menyeruak dari helai-helai gorden kamar tamu.

Pintu dibuka seiring aku yang langsung meloncat ke dalam rumah. Kedinginan. “Bagaimana hasilnya tadi?” begitu pertanyaanmu sembari memandangiku. Aku masih menggigil. “Oke, aku buatkan minuman hangat dulu, ya,” lanjutnya lagi, dengan tatapan penuh selidik, dan mungkin berbalut iba.

Hujan malam ini sungguh kejam. Satu jam untuk menerabasnya sungguh membuat nyeri sampai ke dalam tulang. Belum lagi motor tuaku yang karena disiram hujan yang disempurnakan angin, ditambah melindas puluhan genangan, maka jalannya pun terkentut-kentut sepanjang jalan. 

Begitu dingin malam ini. Sungguh. Gigi mulai bergemeletuk. Kulit ujung jariku sudah nampak berkerut, Tetes-tetes air masih meluncur deras membasahi lantai. Maaf aku membuat lantai rumahmu menjadi basah. 

Sekian menit berlalu, sejenak waktu untuk menata jiwa. Engkau menghampiriku dengan segelas teh panas yang segera kuseruput. Tenggorokan yang nyaris beku ini, perlahan menghangat. Gelas kudekap erat dengan kedua telapak tanganku. Aku sejenak melihat senyummu. Hangat namun entah.

“Bagaimana hasilnya tadi? Apakah masih tetap sama seperti sebelumnya. Kamu baik-baik saja, kah?” sederet pertanyaan meluncur dari bibirnya yang mungil, mengarah telak ke arahku. Aku mengatupkan kedua bibirku, sembari menatapmu. “Begitulah....bukan kabar baik,” jawabku pelan dan lirih, dan sepertinya nyaris tak terdengar olehnya.

“Oh...” katamu. Selama beberapa menit selanjutnya, ruangan kamar tamu yang sempit ini lantas hening. Kami saling berpandangan. Di luar hujan masih deras mengguyur, dengan kilat yang menyambar. “Jadi, sekarang apa yang akan kamu lakukan? Seperti kesepakatan semula, kah?” tanyamu memecah kesenyapan.

“Sepertinya begitu..” sahutku. Aku membuka tas, mengeluarkan plastik kecil, dan mengeluarkan isinya. Sebungkus coklat. Kubeli tadi pagi, khusus untuk seseorang yang sejam lalu enggan mempersilakanku masuk ke rumahnya.

“Ini untukmu, saja. Aku tidak bisa menyimpan coklat ini, apalagi memakannya. Dan nampaknya lebih baik kuberikan ke orang lain. Kamu. Seperti yang kubilang tadi pagi. Janji, lho,” kataku seraya mengulurkan coklat itu.

Sedetik-dua detik dia menatapku lekat, sebelum kemudian tersungging senyum simpul. Aku tahu coklat itu tidak terlalu membuatmu gembira. Kamu menanti coklat dari lelaki lain yang beberapa kali kamu kisahkan ke aku. 

Namun mungkin kedatanganku yang sejenak, ditambah momen yang kurang tepat ini cukup bisa membuatnya terhibur. Meski aku yakin tidak. Tapi setidaknya kamu mau menemuiku, dan masih sudi melempar senyum.  

Aku ingin yang didepanku adalah dia. Aku ingin yang di depanku ini nanti menggantikan dia. Namun perempuan manis bertubuh kecil dan berambut sedikit poni di depanku ini pun juga resah karena mestinya bukan aku yang mendatanginya di tengah sambaran kilat.

Perempuan yang menatapku ini masih mencoba melabuhkan hati kepada lelaki lain. 
Pelabuhannya pun belum teraih. Ah. Kembali tatapanmu menyudutkanku. Aku melihat lagi bening dan bundar bola matamu.

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
PELUKAN (CERPEN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar