Rabu, 03 Februari 2016

SATU MASA DI GUNUNG BUTHAK

Kami serombongan mahasiswa yang akan menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN), berdesakan di atas truk yang melaju mendaki Gunung Kidul. Suatu waktu di pertengahan tahun 2001. Satu demi satu teman telah turun, sudah sampai ke lokasi.

Tinggal kami berenam, satu kelompok, satu kloter terakhir. Persis ketika kami sudah tidak lagi melihat tiang listrik, salah seorang teman berseru ,” Selamat tinggal, peradaban,”. Gunung Buthak, nama dusun yang terletak di Kecamatan Tepus, telah menanti.

Bebatuan tandus, tidak ada listrik, tidak ada air PDAM, tidak ada warung makan, tidak ada jalan beraspal, dan tidak ada tambal ban. Sekitar 6 km jarak dusun ini dari jalan raya terdekat. Kami saling berpandangan. Yeah, apa boleh buat.

Dan begitulah, dua bulan ke depan, kami berenam menjalani KKN di dusun ini.  Tiga cewek, tiga cowok. Lima orang ribut, satu orang rada kalem. Enam orang, dua motor. Kami tinggal di salah satu rumah warga, yang seisi rumah sangat ramah.

Hari pertama sudah diwarnai beberapa kejadian. Begitu perkenalan dengan empunya rumah, jam biologis berdentang. Terbiasa tidak menunda, sambalbawang langsung ngacir ke belakang dan menjumpai toilet khas desa masa lalu. Terbuka atapnya, pintunya hanya anyaman bambu.

Di dekat WC sempit berukuran 1,5 x 1,5 meter ini, ada komplet. Kandang kambing, sapi, dan ayam. Hm, ya, Anda benar. Asyik juga kok beol sambil rada-rada kepanasan gitu. Bisa mengaburkan kenyataan bahwa air tadah hujan yang dipakai ini, tidak sepenuhnya bening. Ada partikel-partikel warna hitamnya. Ah.

Seorang kawan yang tidak terbiasa beol dalam situasi open, mencoba menahan. Tiga hari, pertahanan pun jebol. Dia pun menyerah. Dan begitulah lama-lama kami terbiasa. Mulai dari mencuci baju di danau, hingga mandi sekalian.

Dan saya “beruntung” pernah mandi satu danau dengan sapi. Agak gimana-gimana gitu saat mencebur dan mata para sapi itu memandangi saya. Akhirnya ya cuek saja. Yang penting kan dia tidak nyenggol gua.

Skip skip lah tentang acara KKN. Yang menarik justru beberapa kegiatan yang mungkin paling nyentrik dilakukan mahasiswa KKN. Kawan saya, kebetulan bisa nukang, dan nambal ban, membawa alat tambal ban. Dan ternyata itu sangat berguna.

Jadi, singkat kata, ada sedikit kursus tentang menambal ban yang pelaksaannya acak dan sesuai order. Dan kadang, jika kami keluar dusun, alat itu kami bawa sekaligus. Bukan untuk gaya-gayaan, loh, tapi untuk antisipasi.

Dan, ah, tentu saja kami ikut banyak kegiatan kampung. Dari pertemuan RT, kenduri, hingga Cuma nongkrong doank di malam hari. Gelap gelapan, tentu saja. Ndak usah bicara berapa kali kaki saya kesandung batu, ya. Malu..

Dan, kami tidur di atas tempat tidur beralas tikar, yang bersuara “kriiiet..krieet”. Menjelang tidur, kami berenam sering mengobrol, dengan empunya rumah. Tentu saja sering disertai camilan khas desa, seperti ubi dan kacang tanah.

Jika ingin beranjangsana ke dusun sebelah, saya berangkat pagi hari. Berlari-lari kecil 20-25 menit mencapai dusun sebelah. Teman kami di sana, sedikit lebih beruntung karena dusunnya dialiri listrik meski yah, begitulah.

Namun anehnya, kami yang berada di dusun paling terpencil, malah betah di Gunung Buthak. Praktis selama dua bulan, tidak ada yang mengagendakan pulang rumah. Kami nyaman di sini, merasa asyik, entah mengapa.

Kami menikmati semua keterbatasan. Menikmati setiap lenguhan sapi. Menikmati tontonan kelahiran anak sapi, hingga memasak. Menikmati setiap teh yang kami seruput di pagi hari begitu bangun pagi. Menikmati mandi dengan air hujan.

Dan ketika kami berpamitan pertanda selesai tugas KKN, beberapa warga menangis. Ah, jujur saja, saya pun menangis. Kami melambai tangan pada mereka yang sebagian melepas kepulangan kami. Dan, ah, ya, kami meninggalkan oleh-oleh: alat tambal ban.


BACA JUGA :

CHINMI JAGHOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN
HOMPIMPA ALAIUM GAMBRENG UNYIL KUCING
PELUKAN (CERPEN)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar