Sore ini nan cerah. Seharian mendung menggelayut namun tiada hujan tercurah. Motor bututku, sayangnya, seperti tak mendukung. Dua kali aku menghindari orang yang menyeberang mendadak, dan dua kali itu pula mesin motor ini ikutan kaget lalu ngadat.
Sedikit "terbatuk" motor dua tak warisan budhe ini, terus melaju. Membelah jalanan. Akhirnya sampai juga di depan rumahmu. Nampak sebuah motor yang sangat kukenal, terparkir di halaman rumah itu. Semoga itu pertanda si empunya berada di dalam.
Ternyata kau sudah menantiku. Hati setengah bersorak ketika kamu mempersilakanku masuk dan duduk di ruang tamu yang lapang nan bersih. Aku mendadak merasa bahwa "kasta" kita cukup jauh terentang. Aku membenamkan diri dalam sofa yang empuk, memandang dinding tembok yang penuh benda foto. Dan kupandangi perempuan di depanku ini. Ah manisnya.
Baru saja mulutku akan membuka, engkau sudah mendahului obrolan. "Maaf ya, aku tidak punya banyak waktu. Mau keluar, ketemu teman," katamu. Datar. Tanpa ekspresi. "Kamu enggak apa-apa, kan. Aku pas sibuk nih," sambungmu lagi.
Kupandangi lagi seraut wajah itu, dan bibir yang baru saja menguncapkan kata-kata itu. Tenangkan dirimu, dinginkan kepalamu, begitu suara hati berbisik. Ingat siapa dirimu, dan siapa dirinya. Suasana mendadak terasa dingin.
"Oh, baiklah. Apakah besok sore aku boleh kemari lagi? Atau lusa? Atau kapan pun kamu ada waktu?" balasku. Penuh harap, meski sebenarnya sudah tak lagi berharap.
Dan dia menjawab kalau aku tidak perlu repot-repot ke rumahnya, "Takut entar nggak ketemu. Ketemu di kampus saja," katamu. Ah, sebuah sindiran halus. Eh, bukan. Ini kata-kata bernada mengusir. Ya, mengusir aku dari kehidupannya.
Kupandangi lagi seraut wajah itu, dan bibir yang baru saja menguncapkan kata-kata itu. Tenangkan dirimu, dinginkan kepalamu, begitu suara hati berbisik. Ingat siapa dirimu, dan siapa dirinya. Suasana mendadak terasa dingin.
"Oh, baiklah. Apakah besok sore aku boleh kemari lagi? Atau lusa? Atau kapan pun kamu ada waktu?" balasku. Penuh harap, meski sebenarnya sudah tak lagi berharap.
Dan dia menjawab kalau aku tidak perlu repot-repot ke rumahnya, "Takut entar nggak ketemu. Ketemu di kampus saja," katamu. Ah, sebuah sindiran halus. Eh, bukan. Ini kata-kata bernada mengusir. Ya, mengusir aku dari kehidupannya.
Ah, begini juga akhirnya. "Baiklah. Sepertinya aku juga sibuk dalam waktu dekat ini. Mungkin juga enggak akan sempat mampir sini lagi. Takut menganggu kamu. Tapi boleh enggak kalau aku memberimu coklat? Kali ini saja, terimalah," kataku.
Dia mengangguk. Kukeluarkan sebungkus coklat dari balik saku bajuku. Kuulurkan coklat itu ke arahnya, sembari menatap matanya yang bulat. "Makasih, ya," katanya. Sedetik kemudian dia bersuara lagi, "Mau pulang sekarang?"
Oh tentu. Kedatanganku memang harus dipersingkat. Sepuluh menit di ruangan ini pun sudah terasa sangat lama bagiku. Aku berlalu. Sore ini menyisakan setumpuk penyesalan mengapa aku membeli dan memberikan coklat itu.
"Jika hadiahmu tidak berkenan baginya, bolehlah kamu memberikan itu untukku,", terngiang-ngiang ucapan salah satu sahabat wanitaku. Tempat curhatku. Ah mungkin dia yang lebih layak mendapat hadiah ini.
"Jika hadiahmu tidak berkenan baginya, bolehlah kamu memberikan itu untukku,", terngiang-ngiang ucapan salah satu sahabat wanitaku. Tempat curhatku. Ah mungkin dia yang lebih layak mendapat hadiah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar