Jumat, 29 Juni 2018

JERMAN TERSINGKIR MEMALUKAN DI PIALA DUNIA 2018, TAK PERLU BERSEDIH

Kejutan yang amat “membahagiakan” terjadi pada Piala Dunia 2018. Timnas Jerman tersingkir di fase awal (grup), dikandaskan oleh para “ksatria Taeguk” Korsel, dua gol tanpa balas. Tim Jerman pulang dengan rasa malu yang tak terkira, karena posisi akhir mereka di dasar klasemen, dengan koleksi gol minus dua.

Mengapa kejutan itu terasa begitu “membahagiakan”, tentu ada alasannya. Bagi mereka yang mengikuti perjalanan Die Mannschaf sejak puluhan tahun, pastilah tak sulit memahami. Salah satunya, ya, karena tim Jerman termasuk pembunuh tim-tim semenjana dan tim-tim yang bermain apik.

Tim-tim yang heroik penampilannya, pun, tumbang menyedihkan jika bersua Jerman. Sebagian kemenangan Jerman menyisakan luka perih bagi lawannya, karena sering tercipta di menit-menit akhir pertandingan. Semakin pedih pula karena gol-gol Jerman pun sering berbau keberuntungan atau kekurangjelian wasit. 

Kita coba buka lembaran Piala Dunia 2014 Brasil. Empat tahun silam, saat bersua Argentina di laga puncak, gol semata wayang tim Jerman tercipta pada menit-menit akhir. Sebagian orang tentu bilang Jerman menang di konsistensi dan konsentrasi, tapi tidak selalu begitu. Sekian puluh persen kemenangan Jerman karena lawannya sedang apes.

Masih dengan keberuntungan Jerman lawan Argentina, tetapi di laga final Piala Dunia 1990. Jerman unggul dengan skor sama, 1-0. Gol kontroversial dari sepakan penalti pada menit ke-85 oleh Andreas Brehme, mengandaskan impian si boncel Maradona merengkuh trofi dunia ketiganya. Jalannya laga ini bahkan sempat dinobatkan sebagai final Piala Dunia terburuk.

Masih kurang? Cungkil lagi turnamen Piala Eropa 1996, pada laga final yang mempertemukan Jerman versus Republik Ceko. Skor 2-1 untuk Jerman. Gol penentu kemenangan Jerman tercipta pada menit ke-95. Di Piala Eropa 1996 itulah, untuk pertama kali aturan golden goal (gol emas) diterapkan, dan Jerman yang memetik keberuntungan.

Balik lagi ke Piala Dunia 2010, tatkala Jerman bersua Inggris di babak 16 besar. Dalam kedudukan tertinggal 1-2, Frank Lampard melesakkan tendangan dan bola masuk gawang Jerman, setelah sebelumnya memantaul ke mistar. Ajaibnya, wasit tidak mengesahkan gol itu. Waktu itu teknologi VAR sayangnya belum ada. Meski begitu, dari tayangan ulang, bola terlihat sudah melewati garis gawang.

Masih ingat juga final Piala Dunia 1974 ketika tim Jerman (Barat) memupus mimpi tim Oranye Belanda memeluk trofi pertamanya? Saat itu Belanda lagi hebat-hebatnya dan indah-indahnya, karena punya Cruyff, yang mempimpin teman-temannya menerapkan filosofi total football. Tapi, Jerman yang punya sang kaisar, Franz Beckenbauer, meredamnya. Skor akhir 2-1, dan pemain Jerman yang mengangkat piala.

Kalau mau dipanjangkan ceritanya, masih banyak rentetan hasil laga Jerman yang dinaungi dewi fortuna, bahkan "dewa" fortuna pun sepetinya ikut, yang semuanya terjadi pada turnamen besar. Belum lagi gol-gol pasukan Jerman di menit akhir juga pada injury time, yang bikin patah hati fans lawan. Berani taruhan, banyak fans tim semenjana, yang masih “dendam” sama Jerman sampai sekarang.

Masih terbayang saat Jerman mencetak gol di “detik” terakhir kala melawan Swedia, pada penyisihan grup Piala Dunia 2018, beberapa hari lalu. Skor pun akhirnya terkunci 2-1 untuk kemenangan Jerman--yang bermain dengan 10 pemain. Meskipun Swedia yang tersenyum belakangan karena malah yang akhirnya lolos, kasus-kasus seperti ini, amat langka menimpa Jerman.

Melawan Jeman dalam turnamen besar dan laga krusial, berarti melawan tim yang seakan-akan “disayang” Tuhan, “dibantu” wasit, dan "dipeluk" oleh dewa-dewi keberuntungan. Saking gimananya, sampai-sampai sambalbawang punya istilah “Waktu Jerman” untuk menunjukkan bagaimana Jerman beneran beruntung lantaran seakan diberi bermenit-menit perpanjangan waktu.  

Enggak perlu mengambil contoh yang jauh tentang seberapa beruntungnya Jerman. Contoh yang dekat-dekat saja. Melawan timnas Korsel, meski laga berakhir 2-0 untuk Korsel, wasit baru meniup peluit akhir 10 menit sesudah waktu normal 90 menit. Sepuluh menit !! Dan sebetulnya, masih banyak contoh lain yang waktu pertandingan bisa bonus bermenit-menit saat Jerman tertinggal atau ketika hanya perlu satu gol.

Kekalahan Jerman atas Korsel akan menjadi topik menarik, sampai bertahun-tahun ke depan. Barangkali, ini salah satu kejutan terbesar Piala Dunia yang sudah berlangsung lebih 80 tahun ini. Pada Piala Dunia 1994 dan Piala Dunia 2002, Jerman selalu menang saat bertemu Korsel, masing-masing dengan skor 3-2 dan 1-0. Korsel memang pernah menang atas Jerman, dengan skor 3-1,  tapi di laga persahabatan tahun 2004. Sejarah memihak Jerman.

Namun, ksatria Korsel yang sudah tersisih dari perhelatan di tanah Rusia ini, masih ingat ketika “kakak-kakak” mereka mengandaskan tim Jerman 14 tahun silam. Kenangan ingin diulang. Mengalahkan Jerman jelas kado terindah untuk warga Korsel. Bukan tiga poin yang dirasakan indahnya, tapi kebanggaan mempermalukan sang juara bertahan. 

Jerman menjadi satu-satunya tim yang menang sempurna di semua laga kualifikasi Piala Dunia 2018. Namun jejak rekam itu, syukurlah, tak dihiraukan Korsel. Sebaliknya, Korsel yang mencetak sejarah karena inilah pertama kali Jerman bisa kecolongan dua gol pada injury time babak kedua. Enggak pernah gawang Jerman sesial ini.

Korsel jugalah tim Asia pertama yang bisa menyegel Jerman di gelaran Piala Dunia. Disiplin menjaga semua jengkal lapangan dan menutup rapat ruang tembak, diterapkan sempurna oleh pasukan gingseng. Tetapi di atas itu semua, Korsel tidak gentar nama besar Jerman. Semangat serupa, sebelumnya ditunjukkan Meksiko, sesama penghuni grup, sehingga bisa menang 1-0 meski digempur habis-habisan oleh Jerman sepanjang laga. 

Nama besar Jerman dari tahun ke tahun di perhelatan akbar dunia, selalu bisa bikin keder lawan. Belum masuk ke lapangan, pun, tim Jerman mungkin sudah 50 persen memenangi laga. Bayangan nama besar ini terus terpupuk, dibesar-besarkan, serta diiringi sejumlah predikat, mulai dari tim spesialis turnamen hingga tim yang bermental juara. 

Dalam sejarah adu penalti Piala Dunia-yang dimulai dalam Piala Dunia 1978-Jerman sudah melakoni empat kali, dan semua berakhir dengan kemenangan. Jika digabung dengan Piala Eropa, Jerman dua kali menjalani, dan dua kali pula menang. Dengan kata lain, sudah enam kali tim Panzer masuk babak tos-tosan, dan seluruhnya berakhir dengan kemenangan. Kurang beruntung apa, coba, tim Jerman ini.

Namun di Rusia, Jerman disadarkan bahwa victory disease, penyakit kemenangan, itu, memang ada. Jerman sekarang bukan Jerman empat tahun lalu yang lapar gelar tetapi anggota tim Jerman yang sudah puas karena negaranya pernah menggenggam trofi juara, tepatnya piala keempat. Mayoritas pemainnya pun veteran episode Brasil 2014.

Jerman agak lupa melihat sejarah nasib para juara bertahan. Jawara Piala Dunia 2010 yakni Spanyol, misalnya, keok dan tersingkir dalam penyisihan grup Piala Dunia 2014. Demikian juga nasib Italia, juara 2006 yang habis di Piala Dunia 2010. Juga pemenang Piala Dunia 1998 Perancis, yang tidak bisa berbicara banyak di Piala Dunia 2002.

Jerman memupuk kebanggaan berlebih sehingga mereka tidak sadar meremehkan kemampuan lawan. Publik Jerman pun, mungkin sudah yakin Jerman menang, apalagi ketika hendak melawan Korsel. Sejak tahun 1990, Jerman sepertinya sangat jarang kalah, dan sangat jarang tidak beruntung. Main datar-datar aja, tim Jerman menang. Main buruk pun, tim Jerman masih juga bisa menang.

Jerman, baru bisa kalah jika bersua tim yang benar-benar sedang mengalami masa keemasan. Seperti Spanyol yang memiliki Xavi dan Iniesta di Piala Dunia 2010 yang mengandaskan Jerman di semifinal, juga di final Piala Eropa 2008. Atau Brasil di Piala Dunia 2002,  dengan "sang fenomena" Ronaldo-nya, yang sukses memukul Jerman di laga puncak dengan skor 2-0. 

Italia saat Piala Dunia 1982, dengan Paolo Rossi-nya, juga mengandaskan Jerman 3-1 di partai final. Atau saat masa kejayaan Argentina tahun 1986 kala Piala Dunia digelar di Meksiko. Dengan daya “sihir” Maradona, Jerman takluk 1-0 di final. Jangan lupakan pula kisah tim dinamit Denmark dengan motor Laudrup bersaudara yang sukses merontokkan Jerman 2-0, di final Piala Eropa 1992. Okelah Jerman kalah, tapi ingat, cerita itu pun berarti Jerman menapak banyak final, meski berakhir sebagai finalis.

Tetapi, cerita kekalahan Jerman itu, pun, masih kalah banyak ketimbang jumlah kisah kesuksesan Jerman. Tim ini telah menggapai 8 final Piala Dunia, dan memenangi 4 kali (termasuk saat masih bernama Jerman Barat). Di gelaran Piala Eropa, Jerman pun sudah mencapai 6 final, dan merengkuh 3 gelar. Kurang apa lagi coba prestasi tim panzer ini.

Panzer Jerman, identik dengan tim yang performa mesinnya lambat panas, persis mesin diesel kendaraan. Terjemahannya adalah permainan Jerman biasanya semakin efektif dan efesien dari laga ke laga. Babak penyisihan, Jerman kadang tak mencerminkan bakal bernasib bagus, tapi saat event digelar, Jerman digdaya. Semakin menuju menit ke-90, Jerman semakin mengerikan dalam menyerang. Dan entah “bumbu”-nya apa, tim Jerman hampir pasti bisa lolos di saat kritis.

Makanya tidak heran, ketika Jerman terlempar dari perhelatan akbar Piala Dunia 2018, banyak kawan bersorak dan berbagia. Menangis terharu saking girangnya. Rasanya memang cukup, keberuntungan Jerman. Panzer Jerman sudah uzur, saatnya diparkir sejenak. Era Jerman, saatnya diganti era tim lain. Pemerataan gelar juara, sepertinya cukup fair. Masa Jerman lagi yang juara, kan enggak seru.

Akan ada banyak analisis, baik sekarang maupun nanti, mengapa Jerman angkat koper lebih cepat di Rusia. Namun satu alasan di antaranya, adalah, Jerman tidak lagi mempunyai striker "killer" seperti Miroslav Klose, Jurgen Klinsmann, atau Oliver Bierhoff. Alasan lain, yang semoga benar, yakni dewi fortuna sedang malas memeluk Jerman. Empat piala dunia, sepertinya cukup dulu bagi Jerman. 

Tetapi, jangan lupa, bahwa Jerman tetaplah Jerman. Benar, mungkin inilah skuat Jerman terburuk sepanjang masa. Tetapi ini adalah Jerman. This is Germany. Sisa-sisa “nafas” Jerman masih ada. Salah satunya “Waktu Jerman” tadi, saat melawan Korsel di mana injury time bisa selama itu. Juga saat melawan Swedia. Dalam Piala Dunia 2018, Jerman hanya kurang beruntung, bukan sial. Dan ingat, kekalahan atas Korsel "hanya" terjadi di fase penyisihan grup, bukan di fase gugur, atau final.


Kekalahan Jerman tak usah disesali. Jerman sudah menumpuk banyak kemenangan dan keberuntungan di turnamen besar. Jerman juga sudah bikin menangis banyak timnas-berikut para fans-yang tersingkir dengan gol-gol kontroversial ala Jerman. Jika ada yang belum percaya sebegitu beruntungnya Jerman dalam ajang Piala Dunia, cobalah sejenak menengok edisi Piala Dunia 1990 sampai sekarang.

Kembali ke Rusia. "Panzer-panzer" Jerman sepertinya memang berat melangkah di tanah Rusia tahun ini. Kalau mengulik sejarah, dalam Perang Dunia II, Jerman pernah melancarkan invasi ke Rusia, lewat Operasi Barbarossa. Namun gagal. Justru tentara Rusia balik mendesak Jerman sampai ke tanahnya sendiri. Rusia militan. Dan di Piala Dunia 2018, Jerman dikandaskan dua tim militan, Korsel dan Meksiko.

Jadi, apa yang terjadi selanjutnya di Piala Dunia 2018? Tentu jauh lebih menarik dan membahagiakan karena Jerman sudah tersingkir. “Bertaruh dalam laga Jerman, kurang seru. Karena bisa dipastikan Jerman yang menang. Apa serunya bertaruh jika hasil laga bisa ditebak,” kata seorang kawan.

Barangkali, tim terbaik dunia memang masih Jerman, jika melihat secara keseluruhan apa yang mereka capai di turnamen-turnamen besar, atau laga-laga krusial. Sedangkan tim terbaik kedua, mungkin juga adalah tim cadangannya. Tapi di Piala Dunia kali ini, lupakan cerita soal tim Jerman.

Jerman sudah pulang kampung, sudah masuk kotak. Bye bye Jerman. Ah, indahnya Piala Dunia 2018 tanpa tim Panzer di babak 16 besar. Setiap pertandingan terasa indah.   


--sambalbawang—penggemar bola di Balikpapan 

BACA JUGA
AKU DI BELAKANGMU, TIGER WONG
LEBIH BAIK NAIK VESPA
GATOTKACA TAK HANYA OTOT KAWAT BALUNG WESI
THE AQUARIAN ?

Selasa, 19 Juni 2018

MEMORI JERSEY JUVENTUS

Jersey Juventus pernah menghuni lemari pakaian sambalbawang, 20-an tahun silam. Kaos seragam resmi klub berjuluk si Nyonya Tua asal  Turin, Italia ini, berwarna biru, dan ber-strip kuning, Bukan jersey utama klub tersebut.

Kala itu, Juventus memang lagi  moncer di liga Italia, dan sanggup berbicara di pentas Eropa. Dihuni para pemain yang menjadi kunci di timnas  negara masing-masing, Juventus adalah tim para dewa. Sepertiga skuatnya adalah anggota timnas Italia, sebut saja Del Piero, Vieri, Roberto Baggio, Ciro Ferrara, Birindelli, Tachinardi, Peruzzi, dikenal. 

Tapi jersey yang sambalbawang miliki ini, bukanlah jersey kaos resmi. Dengan kata lain, kostum KW alias imitasi banget, yang tentu saja enggak enak dipakai. Satu tingkat di atas kaos gratisan yang dibagi saat kampanye, level kenyamannya. Panas betul pas dipakai berlarian di lapangan. Juga enggak menyerap keringat. 

Tetapi, no problem, lah. Yang penting saat itu bagi sambalbawang, adalah menjalani laga demi laga dengan ceria. Pakai jersey itu dari lapangan ke lapangan, untuk melakoni laga home dan away. Ngerinya. Karena jersey-nya dibikin kawan-kawan satu perguruan sekolah, maka dipakainya juga di laga-laga “resmi” lingkup sekolah. Serasa jadi Ciro Ferrara, lah. Skala hore, tapi. Hahaha.

Saat itu, medio tahun 1990, masih percaya bingit kalau timnas Italia adalah timnas paling top. Meski tak pernah menyabet gelar bergengsi, seperti Piala Dunia maupun Eropa. Juventus melanjutkan era AC Milan. 

Tahun berganti tahun, sekian piala dunia sudah berlangsung. Tak menyangka kalau di Piala Dunia 2018, Italia malah enggak lolos kualifikasi zona Eropa. Menemani Belanda yang juga absen.

Dan sekarang. Piala Dunia 2018 sudah dimulai. Setelah satu putaran tim-tim berlaga, rasanya aneh ketika tidak “menemukan” timnas Italia bertanding. Mendadak inget Juventus, mendadak ingat Buffon.

Dan mendadak ingat pernah “berseragam” Juventus. Dengan nomor punggung 2, dan bertuliskan “Prasetya”.  Posisi? Jelas bek, lah. Mana lagi posisi yang pas, karena sejak SD pun, sambalbawang sudah di posisi itu.

Ah, jadi pingin menghadang aksi CR7 dan Si Kutu