Kamis, 05 November 2020

AKHIRNYA, KEMBALI (MENCOBA) BERPUISI

Nulis puisi ala-ala justru menjadi awal perkenalan sambalbawang ke dunia tulis-menulis. Sejak SMP kelas 1 mulai rutin corat-coret kata yang berujung jadi puisi. Aktivitas harian yang sebagian berbumbu kisah “cinta monyet” masa remaja adalah racikan pas memadukan kata-kata.

Kebetulan punya tandem teman yang juga lagi suka nulis puisi. Kami sering kongkwo sepulang sekolah, kadang memilih nangkring di pohon, untuk bikin puisi. Terus tuker-tukeran puisi yang kami tulis di buku. Lalu saling ketawa dan menertawakan. “Puisi opo iki? Melas,men” biasanya gitu jika puisi kami terlampau memelas dan “melo”. Bucin abis, istilah sekarang. 

Begitulah masa SMP bergulir dengan segepok puisi. Berlanjut ke ke masa awal SMA, sambalbawang makin seneng nulis puisi. Kali ini lebih “serius” karena sudah mulai mahir memakai mesin ketik. Sampai tahun pertama dan kedua kuliah, masih nulis puisi walau frekuensi berkurang. Aktivitas nulas-nulis puisi mulai tersendat dan mampet ketika sudah punya pacar. Wahahahaha.

Oya, di masa-masa SMA, sambalbawang mulai melirik peluang cari duit. Beberapa puisi dilempar ke media: koran, majalah, dan tabloid. Sebagian besar tidak ditayang, tapi seingat sambalbawang, beberapa bisa tembus. Kira-kira ada 6-7 puisi, yang pernah tayang. Ada honor yang dikit, tapi ada juga yang lumayan.

Masih teringat gembiranya mendapat honor pertama, kalau tidak salah dari salah satu tabloid remaja. Joget-joget di rumah, lalu bersepeda ke salah satu warung sate kambing terkenal di Jogja. Iyalah naik sepeda, emang boleh naik motor sama ortu?

Judulnya adalah : tumbas (beli) sate enak. Besoknya ke sana lagi dengan agenda beli tongseng. Besoknya disambung beli gule. Momen bersejarah terukir karena hatrik tiga hari makan menu kambing ‘mulu. Lupakan kolesterol. Dulu, enggak kenal istilah itu, apalagi mikir cara menghindari. Sate kambing termasuk menu wah. Serasa horang kayah, dah.

Selepas tahun ketiga kuliah, aktivitas menulis puisi semakin ditepikan. Dan ketika mulai kerja, makin menguap ktivitas itu dari daftar kegiatan. Sampai kemudian, yah katakanlah, 13-14 tahun kemudian, kembali ingin nulis puisi karena mendadak kangen. Kebetulan pula sudah punya blog. Jadi puisi tinggal sorong masuk.Plung.

Sayangnya buku kumpulan puisi sambalbawang dulu, raib entah di mana. Juga beberapa majalah dan koran (kliping) puisi. Sepertinya kejadian bocor genteng dan dikunyah tikus. Belum termasuk sekian puisi yang sempat nampang ke majalah dinding sekolah, dan selebaran hore lain. Hiks. Sedih. Mungkin itu karma karena tidak serius menyimpan. 

Akhirna ya cuma menulis puisi sebagai pelepas kangen. Sampai kemudian semangat menyeruak ketika kenal podcast “Zona Rindu” di platform spotify. Podcast ini garapan sohib lama saya Yeti (ig @ranselyeye) dan temennya, Abimasanu (abimasanu_). 

Jeng Yeti ini sudah sambalbawang kenal sejak tandem liputan bareng di awal 2004 di Jogja. Masih ingusan sebagai jurnalis. Saat masih ribut-robet berbalut heriok di lapangan. Cewek satu ini yang galak (kecuali sama sambalbawang, hehe) ini memang senang “bernapas” dengan puisi. Selepas tak lagi jadi jurnalis, kami masih saling kontak dan haha-hihi. 

Tawaran untuk nyumbang puisi, tentu tak dilewatkan. Meluncurlah puisi pertama, judulnya Telepon. “Telepon” nongol di spotify Juni 2020 lalu. Ini link-nya : https://open.spotify.com/episode/5IxcjoR4vcOYzN6BdTtUSW?si=6Pb52vvzTKWqCc48rEuw6Q&fbclid=IwAR2FXU4PfZnW3CqQtZteT8zAKYgstHW2RmEHxXMw5OTTyD2j9-V-w2eyOIA#login 

“Telepon” adalah tentang kerinduan sambalbawang pada ibu yang meninggal Agustus 2019. Aktivitas rutin, ditelepon dan menelepon ibu tiap 3-4 hari sekali, mendadak selesai. Sejak saat itu telepon (rumah)—yang jadi satu paket sama TV kabel—tak lagi terpakai. Berdebu. 

 Puisi kedua, meluncur sebulan kemudian, Juli. Kali ini tentang bapak. Di puisi berjudul “Bapak dan Sawah”, sambalbawang memunculkan bapak dari satu sisi terdalamnya. Ia begitu senang sawah, dan tahan berjam-jam hanya memandang sawah dan menyusuri saluran irigasi. 

Oya ini link-nya puisi itu : https://open.spotify.com/episode/3EtbYj0C2vB6Oc86JEQhad?si=vpYll3rrQhWiY0mtpVk-Lg&fbclid=IwAR0e4qw5mC5gTdVbuTeHJ_JT7kHbRiFpBF6Nbhc72dJf_QrTOE3ZAjAd7_A 

 Dalam sekian cerita, sambalbawang kerap menemani bapak ke sawah. Hanya melihat dari satu lokasi ke lokasi lain. Lalu bapak bercerita tentang pekerjaannya yang berkaita dengan saluran irigasi. Dan menitipkan harapan agar sambalbawang menaruh respek ke sawah. Juga ke petani. 

Yeaah, “doktrin” itu sepertinya lumayan manjur karena sambalbawang (sempat) bercita-cita jadi insinyur pertanian. Meski akhirnya “terpeleset” gembira kuliah di Fakultas Teknologi Pertanian, tetap ujung-ujungnya tidak bekerja di bidang pertanian. 

Terakhir sambalbawang menemani bapak beberapa bulan menjelang bapak meninggal, September 2018. Bapak memandang sawah dari balik jendela mobil dan menunjuk-nunjuk. Ah bapak. Tak bisa lagi turun menyentuh padi dan air irigasi. 

Terakhir bapak menyentuh langsung sawah mungkin tahun 2016 lalu. Kami naik motor dan bapak minta berhenti di beberapa titik. Dari sawah, pintu air, saluran irigasi, bolak-balik. Sambalbawang sih manut-manut saja. Lha juga suka sawah. Lagian, selepas kerja di kaltim, ketemu bapak kan jarang. Setahun paling dua kali mudik. 

Dan begitulah, segaris cerita tentang terceburnya sambalbawang ke ranah puisi. Ada pula beberapa puisi yang jadi lagu. Antara lain di sebagian besar lirik lagu “Mama” yang sambalbawang ciptakan. Ini link klip lagunya : https://www.youtube.com/watch?v=IL7X-_PDlRw  Atau klik saja nih di bawah..


Sepertinya bakal makin seru nih, aktivitas yang bakal tergelar ketika sambalbawang akhirnya nulis puisi lagi. Nantikan saja, dalam waktu dekat pastinya (ngarep). Semoga selambatnya awal tahun depan ada kabar fresh. Penasaran? Sama. Kita tunggu tanggal mainnya. Hehe. 

Tapi masih saja ada satu kendala sejak dulu. Sambalbawang tidak bisa atau enggak pernah mencoba serius untuk membaca puisi. Blaik…. 

 

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :

KETEMU ANGKRINGAN RADEN, KEMBALI AGENDAKAN "NGANGKRING" 

MERASAKAN "COKOTAN" BU TEJO DI FILM TILIK

CHINMI JAGOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN 

MENGAPA HARUS NGEBLOG ?

ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA 

THE AQUARIAN 

TATAG LANANG FASHION SHOW TUNGGAL PERTAMA SAMANTHA PROJECT 

BASA WALIKAN

 7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA

MUSIK ZAMAN DULU VS ZAMAN NOW, MANA YANG BERKUALITAS ? 

"MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA

HANACARAKA AKSARA JAWA YANG INDAH 

NGOBROL BARENG MAS BENNI LISTIYO SEPUTAR MUSIK 80-90AN 

AMPAR-AMPAR PISANG, INI LHO ARTINYA

TENTANG HONDA (3) INILAH STAR'S FAMILY 

 

Selasa, 06 Oktober 2020

KETEMU ANGKRINGAN RADEN, KEMBALI AGENDAKAN "NGANGKRING"

Agaknya, penantian panjang sambalbawang mencari angkringan yang “benar” di Kota Balikpapan selesai.  Duh, senengnyaaa. Eh sebentar, apa maksudnya angkringan yang benar? Memangnya angkringan lain “salah”? Enggak gitu juga, kali. Makanya, baca dulu artikel ini.  

Ceritanya begini. Sambalbawang akhirnya nemu angkringan yang pas di selera: Angkringan Raden, Jalan Pattimura Balikpapan. Lha kok jadi bergembira-ria, ya karena banyak faktornya. Barangkali, yap, karena sambalbawang sepertinya sudah stop ngangkring sejak tahun 2016.  

Sebenarnya ya tetap (beberapa kali) ke angkringan. Tapi ya cuma sebatas duduk, makan-minum sekadarnya, disambi ngobrol. Lebih ke agenda ketemuan dan ngobrol sama teman, ketimbang memang sengaja ke angkringan untuk nyari makan malam enak atau hanya pingin menyeruput teh “serius”—teh nasgitelpet.

Sambalbawang sudah ke banyak angkringan. Dan sampai pada tahap berhenti berharap banyak pada rasa sajian makanan dan minuman di warung "ceret telu" itu. Baca artikel ini : Angkringan oh Angkringan . Oh iya, ini sekali lagi bukan tentang menu yang tidak enak, karena soal rasa adalah selera personal. Sambalbawang menggarisbawahi tentang rasa dan tampilan sajian angkringan yang bercita rasa Jogja—setidaknya mendekati. Maklum wong Jogja--sampai 9 tahun lalu, hehe. Menjumpai menu khas Jogja (dan sekitarnya) yang memorable cukup susah di Balikpapan sehingga alam bawah sadar selalu mencari mana nih warung Jogja.

Dan di situlah, problem terhampar. Sambalbawang, susah ketemu sajian menu-menu enak yang terangkum di satu lokasi angkringan. Ada yang tahu-tempe goreng tepungnya enak di angkringan satu, tapi menu lainnya, kok biasa. Ada angkringan yang punya menu bakwan (ote-ote) enak, tapi menu lainnya susah diterima lidah.

Ada angkringan yang nasi kucingnya lumayan sip, tapi "teman-temannya" tidak cukup yaksip. Ada angkringan yang tempe bacemnya lumayan, tapi tahu bacemnya tidak. Ada yang tempe goreng tepungnya enak, tapi lainnya terasa “flat”. Dulu, sekian tahun lalu sebetulnya sempat nemu 2-3 angkringan yang sejumlah menunya cocok, tapi bakul-nya wes tutup.

Intinya belum ada angkringan yang bisa memaksa sambalbawang untuk datang berkali-kali. Dalam arti seminggu sekali minimal ke angkringan. Kecuali angkringan Raden ini. Nah, sampai di sini sudah kerasa ajaib-nya kan. Secara tampilan, angkringan satu ini ya standar: gerobak di depan, sejumlah bangku di belakangnya. Lebih banyak angkringan lain yang “kinclong” penampakannya.

Menu di Angkringan Raden ya menu wajib di tiap angkringan. Antara lain sego (nasi) kucing, gorengan tempe-tahu (isi)-bakwan-gembus, sate telur puyuh (endhog gemak), sate hati-ampela, sate usus, tahu-tempe bacem, dan kepala ayam. Dan, tentu saja teh.

Ada beberapa menu pembeda Angkringan Raden dengan angkringan lain. Misalnya bakmi Jowo, ceker ayam, dan soto (saoto)--dinamakan soto seger. Juga sambalnya. Ceker dan bakmi Jowo ternyata favorit di sana. Beberapa kali ke angkringan itu, sambalbawang kebetulan menjumpai banyak orang yang kecewa karena kehabisan ceker bercita rasa pedas-gurih ini.

Nah yang juga bikin hepi sambalbawang adalah menu bakmi Jowo. Menu "langka" nih. Mencari bakmi Jowo adalah hal susah di Balikpapan. Maksudnya bakmi goreng/godog yang bertipikal “Jogja” dan "berani" bumbunya. Barangkali, di Balikpapan yang menggelar lapak bakmi Jowo ala Jogja, enggak lebih dari 5 lokasi.

Oke, sekali lagi soal rasa adalah selera. Kalau kita kembali ke definisi karakter awal angkringan, maka angkringan sekarang memang nyaris semuanya sudah menjauh dari itu. Zaman sudah berubah. Dulu ke angkringan identik dengan mengganjal perut--dan minum teh--sekarang lebih ke makan malam. Bisa jadi, karena itu, di angkringan sini, sambalbawang (pernah) menemukan menu semacam sayur lodeh, pecel, ayam goreng, ayam ala kentucky, cumi bakar, ikan goreng, aneka minuman sachet, aneka be-bakso-an, sampai gudeg.  

Menu-menu tadi bukan menu angkringan di era awal. Sambalbawang masih cukup inget bagainana menu angkringan saat kuliah di era akhir 1990-an. Angkringan ya simpel. Bangkunya aja cuma tiga, mengelilingi gerobak. Kalau kurang, si penjual akan menggelar tikar. Sambalbawang juga pernah ke pusatnya angkringan di Klaten tahun 2004 lalu sehingga masih teringat bagaimana style angkringan orisinil. Baca artikel ini : Angkringan, Lahir di Klaten, Ngetop di Jogja

Angkringan sekarang menyesuaikan dinamika masyarakat, dan daerah masing-masing. Dulu, menu semacam ayam goreng, bakmi Jowo, juga soto, tidak ada di angkringan. Minuman sacetan juga tidak bertengger di gerobak angkringan.

Tapi angkringan memang sudah berubah, menu dan tampilan. Angkringan kini lebih terlihat sebagai warung makan berbasis angkringan—dengan penanda gerobak. Tak bisa kita hindarkan pergeseran visual angkringan ini. Dulu, sebelum tahun 2006 (di Jogja), jam buka angkringan selepas maghrib, sekarang malah ada yang sejak pagi buka--di Jogja ada. Di Balikpapan, sambalbawang sih belum nemu yang gitu. Semua angkringan bukanya ya sore/petang sampai malam.

Balik ke angkringan Raden. Tempat makan ini sebenarnya buka sejak tahun 2011. Walaa ternyata wes suwe---kemana aja lu, bleh? Ahahahaha. Nah lucunya lagi, sambalbawang ternyata juga beberapa kali (mungkin 3-4 kali) pernah ke sana sama temen-temen. Hanya saja, di atas jam 21.00. Jam di mana menu-menu pokok di sana mulai habis.

Alhasil, sambalbawang “hanya” mengambil seputar gorengan—dan nasi kucing, serta teh. Terkesan sih, tapi isi kepala telanjur beranggapan bahwa semua angkringan sama rasa menunya. Jadi rasa penasaran mencoba menu lain atau datang awal di jam buka, tertepikan. Pertimbangan ke Angkringan Raden, awalnya ya lebih pada lokasinya deket rumah. Dan lokasinya ternyata “paling tengah” ketika sambalbawang dan beberapa teman ingin kumpul-hore malam hari.

Sampai kemudian, sambalbawang penasaran untuk ke angkringan itu lebih awal, saat buka, pukul 19.00. Mencoba order yang khusus (teh nasgitel), bakminya versi nyemek (berair dikit)—dibanyakin seledrinya--juga mencoba banyak menu. Eh, lha kok cocok. Dek Bojo (istri) juga cocok dengan menu di sana. Setelah capek urusan kerjaan jahit-menjahit baju, ke angkringan ini sepertinya cukup cihui untuk melepas penat dan bete. Penjahit butuh juga refreshing kuliner, kan. Hehe.

Dan begitulah akhirnya keterusan. Sejak empat bulan lalu, sambalbawang mulai lumayan sering ke sana. Juga sembari ngobrol ngalor-ngidul sama yang jualan. Raden Indarsjah, namanya, dibantu istrinya, memang sudah niat 100 persen jualan versi angkringan. Aha, jadi tahu mengapa nama angkringannya "Raden". Selain itu, nama Raden, katanya, juga terkesan simpel, mudah diingat.

Dulu si bapak ini bekerja di salah satu hotel di Balikpapan. Tugasnya meng-handle urusan dapur. Ah, pantes saja menunya jadi “serius” untuk ukuran angkringan. Sajian berpenampakan bersih. Menjadi menu kelas restoran, kayaknya sudah memenuhi syarat.

Pak Indar ini ternyata … asalnya dari Sleman. Woilaaaaa. Notabene tetanggaan dong sama sambalbawang—satu kecamatan. Wahahaha. Mungkin ini yang bikin menunya kok akur sama selera sambalbawang. Yang masak wong Jogja (Sleman-tepatnya) sih, meski dia sudah lama merantau ke Balikpapan.

Jadi, sambalbawang sekarang menghidupkan lagi saklar “on” untuk agenda ngangkring. Kehabisan menu di Angkringan Raden pun, sepanjang masih bisa ambil tahu isi atau tempe goreng tepung (tipis ala mendoan), dan menyeruput teh, sudah cukup. Gorengan di sini berkonsep "fresh from the oven" karena menganut prinsip : kalau habis, nggoreng lagi. Jika anda beruntung pas gorengannya anget, maka itu..sesuatu banget.

Hanya tersisa nasi kucing di sana, masih bisa dicocol sambal "Raden". Sambalnya dua versi, citarasa manis dan asam-manis. Btw, nasi kucingnya angkringan ini boleh jadi “juara”nya nasi kucing—menurut sambalbawang. Hakekat angkringan adalah sajian menu sederhana bukan ? --ya nasi, gorengan, baceman, dan teh.

Gimana, penasaran sama angkringan satu ini ? Kalau ada wong Jogja, atau penikmat (menu) angkringan sepertinya perlu ke sana. Tapi, kalau kembali ke soal rasa, itu selera yaaa.  Urusan selera, ini bukan seperti Indomie goreng yang disukai semua orang. Begitulah, jreng..


BACA ARTIKEL LAINNYA :

ANGKRINGAN LAHIR DI KLATEN, NGETOP DI JOGJA (TULISAN 2)

ANGKRINGAN OH ANGKRINGAN (TULISAN 1) 

JAHITKAN KAINMU KE MODISTE SAMANTHA BALIKPAPAN 

MAMA by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA

TATAG LANANG FASHION SHOW TUNGGAL PERTAMA SAMANTHA PROJECT 

MERASAKAN "COKOTAN" BU TEJO DI FILM TILIK 

ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA 

7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA

TEH NASGITEL-PET 

HANACARAKA AKSARA JAWA YANG INDAH 

BASA WALIKAN 

GATOTKACA TAK HANYA OTOT KAWAT BALUNG WESI 

CHINMI JAGOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN 

REPOTNYA "MEMELIHARA" DUA BLOG 

AMPAR-AMPAR PISANG - INI LHO ARTINYA 

MBANGUN DESA YANG NGANGENI 

AKU DI BELAKANGMU TIGER WONG 

 

 

 


Minggu, 06 September 2020

MERASAKAN "COKOTAN" BU TEJO DI FILM TILIK

Dunia netizen lagi heboh sama Bu Tejo, tokoh utama di film pendek “Tilik”. Apa lagi coba kalau enggak soal nyinyir dan level ghibah-nya yang di atas rata-rata. Banyak yang suka Tilik, tapi tidak sedikit yang mempertanyakan di mana pesan moralnya. Hm, apapun itu, kita ternyata sudah merasakan "cokotannya" Bu Tejo.

 Sambalbawang hanyalah penikmat film kelas amatir. Jadi, ya enggak mau fokus membahas apa pesan moral film karya Wahyu Agung Prasetyo dan ditulis Bagus Sumartono itu. Terlalu berat, eh. Sebab film is just a film. Fungsi utamanya adalah untuk hiburan. Pahami itu dulu, sebelum lihat Tilik, juga sesudahnya. Nah perkara kita nanti bakal terhibur atau tidak, itu perkara lain. Seluruh pemeran film dan kru, juga enggak bisa memaksa kita untuk menyukai film itu.

Mari selintas mencermati pencapaian film sebelum jadi trending topic sekarang. Tilik produksi tahun 2018, dua tahun lalu. Film ini meraih Piala Maya untuk kategori film cerita pendek terpilih. Setelah melongok kanan-kiri, dapetlah penjelasan singkat piala itu. Jadi, Piala Maya adalah ajang tahunan yang diinisiasi para penggemar film online di akun twitter FILM_indonesia.

Tilik juga masuk seleksi Jogja-Netpac Asian Film Festival 2018 dan World Cinema Amsterdam 2019. Film produksi Ravacana Film ini tercipta dari hasil kerja sama dengan Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).  Dari hal-hal di atas tadi, kita punya (sedikit) gambaran kan, kalau Tilik ini film yang dibikin serius. Bukan film asal jadi yang asal cepat.

Piala Maya ini mungkin masih asing bagi sebagian masyarakat yang tidak mengikuti info film Tanah Air. Tapi sambalbawang cukup yakin, penikmat film pasti kenal. Jadi, setidaknya dari situ, kita bisa satu kata dulu : film Tilik memang dianggap sebagai film pendek paling bagus di tahun 2018 oleh (sebagian) penggemar film di Tanah Air.

Sambalbawang menyebut “sebagian” karena masih memberi ruang ke mereka yang (merasa) penggemar film tapi punya patokan sendiri mana film yang baik, mana yang enggak. Hanya saja, sebelum kita membahas “kualitas”,  film Tilik seyogyanya kita tempatkan di ranahnya sebagai film pendek, bukan film panjang, juga bukan sinetron.

Sambalbawang bukan diehard film, meski sering nonton film. Melihat film Tilik ya sebagai orang awam. Karenanya memang tak terlalu berharap Tilik bakalan sarat muatan edukasi, menyematkan pesan moral, atau sesuatu yang "wah". Cukuplah Tilik bisa menghibur. Lha wong di tahap itu saja, tidak semua film bisa menyita perhatian sambalbawang. Baik film pendek, film “setengah panjang”, maupun film panjang (bioskop).

Durasi 30-an menit, adegan di Tilik mayoritas terjadi di atas bak truk. Sekumpulan ibu hendak menjenguk bu Lurah yang dikabarkan ambruk sehingga dirawat di rumah sakit. Obrolan sejak awal didominasi Bu Tejo dan Yu Ning—dua tokoh utama. Topik obrolan berlanjut gosip soal Dian, kembang desa yang diduga kerjaannya “enggak bener”.

Pergosipan pun meluncur tak terkendali, dengan adegan sentral bu Tejo vs Yu Ning. Nama terakhir ini digambarkan lebih “lurus” dan mencoba tidak masuk pusaran ghibah. Tokoh lain, seperti pengendara truk (Gotrek), mas polisi, Yu Sam, dan Dian, hanya mendapat porsi (total) beberapa menit. Tilik memang mengerucutkan Bu Tejo vs Yu Ning.


Ending film ini juga lumayan mengguncang. Sebagian mungkin bakal merasa gemes. Kedekatan Dian dengan pria paruh baya (kayaknya sih) ex-husband bu Lurah, menimbulkan kesan kalau ghibah-nya Bu Tejo yang terbukti benar. Yu Ning, si "sosok baik" malah kalah, setidaknya di dua situasi. Pertama, langsung "menelan informasi". Yu Ning tidak mengkonfirmasi kondisi terkini bu Lurah : bisa dijenguk atau tidak hari itu. Ternyata Bu Lurah pun masih di ICU, tidak bisa ditengok.

Sia-sia dong ibu-ibu itu kepanasan di bak truk menuju rumah sakit di kota. Sedikit berandai, kalau saja hape bu Tejo tidak lowbat, kan bisa mengangkat telepon dari Dian yang sudah di rumah sakit duluan (agar para ibu menunda tilik-nya). Kedua, Yu Ning masih mengedepankan positif thinking ke Dian dan tidak mau asal tuduh, malah yang salah menganalisis. Situasi ini ya kadang miriplah sama kita jika di situasi serupa. Ho'oh kan ?

Mereka yang mantengin film ini, boleh jadi tergiring pada sikap emosional. Pertama ya menyoal bu Tejo dan Yu Ning, entah pro atau kontra. Yang kedua, mereka yang menyorot Dian--sebagian merasa kok Dian enggak dikasih banyak durasi tampil. Bukankah isu atau kejadian merebut (mantan) suami orang, selalu relevan setiap saat ? 

Sebentar, sebentar. By the way, enggak adakah yang mikir sebaliknya ? Ex-husband bu Lurah itu pria penyuka daun muda. Benak kita kan pasti--biasanya--sepakat tentang hal yang kayak gini. Nah kalau sepintas, isi kepala langsung ke topik satu ini : Dian adalah pelakor, ya berarti mungkin karena kita kebanyakan melahap berita “kriminal”, Sudah tidak berimbang, tidak bergizi pula.

Tilik menurut sambalbawang termasuk film yang biasa karena alurnya masih bisa ketebak. Ceritanya juga biasa, simpel. Tilik (bahasa Jawa berarti menjenguk) menjadi film tidak biasa (unik) karena faktor Bu Tejo tadi. Mengapa? Sepanjang saya nonton film di sana-sini, kayaknya nyaris enggak pernah lihat pemerannya begitu menghayati peran ghibah.

Film ini menjungkalkan keinginan mereka yang kebanyakan nonton film “baik” di mana tokoh yang dianggap “jahat” harus kalah atau tersingkir. Tokoh yang “alim” dan “tidak banyak omong”, harus jadi pemenang. Biar ada pesan moralnya, hihihi. Hm.. Sering nonton film laga dan superhero yang di akhir cerita pasti si tokoh baik pemenangnya, ya siap-siap kecewa nonton Tilik.

Tilik pasti disadari tim Ravacana bukan film yang akan memuaskan banyak orang. Fungsinya lebih ke hiburan. Kalau mau bicara tentang hal-hal berlebihan, itu ada di Tilik, sebagaimana film lain. Taruhlah adegan pak polisi kebingungan saat hendak dicokot, para ibu dorong truk, bahkan mengapa mereka naik truk—bukan pikap. Debat tak berujung Bu Tejo versus Yu Ning juga beberapa kelihatan dipaksakan (tuntutan film)--tapi itu ya sah. Ini kan film.

Kalau begitu, Tilik memang bukan berlebihan? Ayolah lihat film lain yang tokohnya superhero macam Spiderman, X-Men, sampai Batman. Coba bandingkan dengan komedi Mr Bean yang ngehits di era 90. Berlebihan mana coba, disbanding Tilik. Apakah kita mau protes Hollywood?

Sambalbawang juga enggak menganggap film Tilik ini sebagai film cerdas. Tilik lebih ke film yang pas “kena di hati” sebagian masyarakat, khususnya yang paham Bahasa Jawa dialek Jogja. Film ini ringkas, lugas, simpel dalam bercerita, tapi (jelas) bukan film murahan. Kerja keras dan lama loh, bikin film kayak gini. Bukan sekedar ngangkut ibu-ibu ke truk dan pasang kamera di depan mereka.

Siti Fauziah, pemeran Bu Tejo--yang masih termasuk usia milenial--sudah terasah aksi panggungnya. Dia orang teater. Sementara Briliana Dessy, pemeran Yu Ning, juga pernah main di beberapa film—yang pertama tahun 2009 dan sudah melakoni dari panggung ke panggung. Mereka yang katam di ranah seni pertunjukan, pasti sudah langsung tahu kalau Siti—Ozie panggilannya—dan Briliana, sudah tidak canggung di depan kamera.

Lihat aja bagaimana cukup “natural”-nya debat kusir Bu Tejo dan Yu Ning. Kita bisa ikut terbawa emosi. Kita pun bisa ketawa--bahkan hanya dengan lihat tingkah Bu Tejo. Ahahaha. Coba lihat juga beberapa acara selepas Tilik viral (cari sendiri di youtube, yaks). Ada adegan ketika bu Tejo duet (lagi) sama Yu Ning untuk me-roasting Desta. Scene ini lebih hahaha, jika dibandingkan (banyak) selebriti saat live/talkshow.  

Karakter julid dan nyinyir Bu Tejo yang diimbangi arifnya Yu Ning, sebetulnya sudah disematkan banyak film lain. Sinetron-sinetron kan juga banyak menggambarkan itu.  Cuma, ya beda. Karena basic-nya sudah beda. Ozie dan Briliana sama-sama terasah di panggung. Jelajah dan lapangannya lebih “cadas” dibanding sebagian pemain sinetron yang syutingnya banyak di dalam ruangan--jangn tertipu tampang Yu Ning yang kalem,eh.

Karakter ghibah ini hanya karakter di film---seperti dikatakan Ozie. Sama seperti, katakanlah Heath Ledger si pemeran Joker—yang notabene orang jahat. Lebih susah memerankan Joker ketimbang Batman, kan. Come on. So, jangan terus mempertanyakan pesan moral di film ini, atau juga apa sisi edukasinya. Eh, apakah kita sudah overdosis film yang alurnya “tokoh baik pasti menang”?  Apakah kita kebanyakan nonton film barat, sehingga kita lupa tentang banyak topik sekitar yang bisa diangkat.

Dalam hal ini Tilik jeli memotret salah satu karakter atau kebiasaan masyarakat, yakni suka bergosip---termasuk “memelihara” gosip. Cenderung mempercayai isu yang berkaitan hal negatif. Juga kebiasaan “ribut”. Ingat kan kalau di suatu acara, sering hadirin harus disuruh diam.  Selain ribut, juga kebiasaan “pecinta damai”—damai atau titik-titik, yang tergambar di adegan pak polisi.

Yang membuat menarik--dan kekuatan--film itu adalah memakai Bahasa Jawa. Inilah sedikiiiiit gambaran asyiknya bahasa daerah yang lebih cair sebagai bahasa obrolan. Bukankah bahasa daerah ini semakin pudar di era modern sekarang? Di Tilik, cukup apik (dan membumi) pemakaian bahasa Jawa secara baik dan benar. Yang muda berbahasa lebih halus (krama) ke yang muda.

 Ini film bahasa Jawa dengan dialek Yogyakarta, meski tidak seratus persen. Ozie yang bukan kelahiran Jogja melainkan Blitar—tapi sekolahnya di Jogja—sukses memerankan orang ngomong basa Jawa dialek Jogja secara cepat. Tidak mudah, itu, ferguso. Sambalbawan merasa, Tilik bukan film untuk menunjukkan karakter wong Jogja.

Sambalbawang yang besarnya di Jogja merasa film ini lebih ke menumbuhkan kecintaan pada bahasa Jawa. Diingatkan lagi tentang “cara tata karma”. Bahasa Jawa ini cukup rumit karena berlapis-lapis level kehalusan berbahasanya. Teratas krama hinggil.  Tilik pun mengingatkan bagaimana dialek bahasa daerah itu adalah sesuatu yang “kaya”.

Kaya makna, kaya interpretasi. Juga kaya “suara”--terdengar unik di telinga sehingga kita bisa langsung tersenyum bahkan jika enggak paham Bahasa Jawa. Ditunjang gestur tubuh dan dua-tiga joke “receh”, Tilik cukup berhasil memengaruhi emosi para pemirsa. Eh ada juga joke “kere” yang bernuansa (rada saru)—seperti saat ada yang nyeletuk “ularnya” pak Tejo. Juga ada sepenggal “kearifan lokal” lawas, ketika menerapkan cara jempol dikareti agar bisa nahan pipis.

Tilik memenuhi dahaga mereka pencari film yang ingin nonton film bercita rasa “lokal banget”. Dulu di era awal 90 sampai sebelum tahun 2000, masyarakat Jogja sempat diberi “vitamin” bernama “Mbangun Desa”. Sinetron sitkom ini menggambarkan dinamika kampung.  Sambalbawang pernah lho nulis artikel Mbangun Desa 

Dan ternyata, vitamin seperti itu semakin hari semakin susah didapat. Diganti vitamin yang bukan vitamin--bernama sinetron kejar tayang. Lokasi syuting yang sejuk, di dalam mobil, dan di rumah mewah, banyak dipilih karena sebagian artisnya mungkin emoh kepanasan. Kita kebanyakan diguyur sinetron tentang “horang kayah” di TV. Bu Tejo jelas horang kayah, tapi dia masih mau naik truk rame-rame. Masih mau kepanasan.

Jika selama ini kita mengamini ungkapan “Diam itu emas”, maka itu pun dijungkirkan di film Tilik. Bayangkan kalau Bu Tejo ini pendiam, film ini enggak bakal viral. Yu Ning yang awalnya agak pendiam juga akhirnya tidak diam, dan adu mulut juga. Orang yang ributnya seperti bu Tejo pasti ada di kanan-kiri kita. Dan sebagian mereka juga bertipe “solutip”. Akui saja.

Sambalbawang melihat film ini lebih ke film yang tujuannya menghibur. Udah, elo tonton aja. Kalau enggak suka, ya cabut. Penulis naskah sampai pemeran di film Tilik juga enggak keberatan kalau ada yang tidak suka film mereka. Tilik bukan film untuk memuaskan semua pihak. Perkara pesan moralnya apa, ya itu tergantung juga sudut pandang tiap orang.

Jika berpikiran kalau Tilik enggak ada sisi moral atau bobot edukasinya, ya sah-sah saja. Ghibah, gosip,  nylekop (asal ngomong) menyoal topik pelakor, menghakimi status hubungan (saat Dian bareng anaknya bu Lurah), sampai adegan polisi hendak dicokot—akhirnya menyerah dan dikasih bungkusan—mudah dibilang enggak ada muatan edukasinya.

Tapi kalau berpikiran Tilik adalah upaya insan film di daerah menghadirkan tontonan yang menghibur tapi masih memberi ruang bagi beberapa potongan “nostalgia” ala Jogjanan---yang bahasa Jawanya masih dekat dialek Jogja--Tilik berhasil. Sambalbawang angkat topi dan salim tangan. Buktinya Tilik dibicarakan, bukan? Mereka yang bukan wong Jogja juga bisa menikmati film itu meski membaca subtitle dalam Bahasa Indonesia.

Pada akhirnya Tilik adalah film. It’s just a movie. Tapi film yang cukup berbeda. Perbedaan yang sepertinya bisa menawar dahaga kita-kita yang kangen tayangan sinetron yang “membumi”.  Kalau mau dicari kekurangannya sih ya ada beberapa. Sambalbawang misalnya merasa beberapa adegan memang bernuansa hiperbolis--yah namanya juga film.

Berdiri di atas truk misalnya. Kok enggak duduk. Terus, kalau tidak salah, ada adegan Yu Ning telepon tapi nada deringnya kok hape lawas. Padahal sebelumnya dia sempat nyeletuk ber-Wa di grup. Sepertinya enggak ada hape masa kini yang bunyi deringnya gitu. Lalu, adegan pak polisi, juga terasa berlebihan---meski lucu. Lucunya di mana, ya di Bu Tejo itu.

Mau dirunut lagi, Tilik juga tidak sesuai judulnya. Enggak ada adegan menjenguk (sampai ketemu bu Lurah di rumah sakit). Banyak juga ya “celah” yang terserah kita melihatnya sebagai apa. Tapi yak arena ini film, maka so far ya wes. Kita juga enggak pernah protes film Batman dan film Jurrasic Park yang lebih “mengkhayal” dan hiperbolis.

Jadi, nontonlah Tilik secara santai. Siapkan saja teh hangat dan camilan secukupnya. Kalau mau tontonan yang (jelas) lebih mendidik, ya lihat film-film pendidikan. Enggak mau nonton, atau menyesal nonton karena tidak mendapat aspek edukasinya, ya enggak salah.

Film itu ya seperti musik. Banyak jenis dan banyak genre. Satu genre bisa setumpuk musisinya. Satu genre film bisa (ibarat) sejuta filmnya.. Musik itu soal selera, demikian pula film. Untuk film pun, buanyak macamnya dan genrenya. Kalau suka film serius atau film “berat”, mungkin kurang selera sama Tilik. Begitulah proses (dan nasib) film menggelinding setelah dipublikasikan.  

Dan bener kan, Bu Tejo tak hanya bisa ghibah level dewa. Dia bisa juga nyokot (menggigit) tanpa beneran menggigit. Sudah kerasa kan “cokotannya” Bu Tejo ? Ketika Bu Tejo bisa menggiring masyarakat melihat film Tilik, dan mendebatkannya, artinya ya sukses. Tilik adalah film yang "membumi", bikin banyak orang penasaran, nonton, dan ketawa. 

Btw, banyak juga lho film dengan memakai bahasa Jawa--yang juga ditranslate dengan teks Bahasa Indonesia. Enggak cuma Tilik. Jadi jangan hanya lihat film Tilik. Tonton juga film-film (pendek) lainnya dari sineas kita sendiri. Bravo film Indonesia dan mereka yang berjuang demi itu.

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :

MBANGUN DESA YANG NGANGENI 

GATOTKACA TAK HANYA OTOT KAWAT BALUNG WESI

CHINMI JAGOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN

MENGAPA HARUS NGEBLOG

MUSIK ZAMAN DULU VS ZAMAN NOW, MANA YANG LEBIH BERKUALITAS ? 

7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA 

AKU DI BELAKANGMU, TIGER WONG 

ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA 

JURASSIC WORLD VS JURASSIC PARK 

NASIBMU SUZUKI 

THE AQUARIAN ? 

AMPAR-AMPAR PISANG, INI LHO ARTINYA 

NGOBROL BARENG MAS BENNI LISTIYO SEPUTAR MUSIK 80-90AN 


 

 catatan: Foto dari screenshot film Tilik di youtube.

Selasa, 25 Agustus 2020

NGOBROL BARENG MAS BENNI LISTIYO SEPUTAR MUSIK ERA 80-90

Artikel hore sambalbawang di blog ini yang seputar musik—terakhir soal musik jadul vs zaman now, berlanjut ke obrolan ranah maya. Akhirnya “menyeret”  temen lama, mas Benni untuk menggelar live instagram bareng. Topiknya ya cuma seputar musik era 80-90. Eh, malah berlanjut ke siaran radio.

 

Mas Benni, yang nama lengkapnya Benni Listiyo ini termasuk "makhluk" lumayan langka. Sudah nyemplung ke dunia per-radio-an sejak sambalbawang masuk kuliah, wawasannya soal musik wuaa banget, lah. Tatkala sambalbawang masih praktikum di fakultas sebelah, dan kadang masih menenteng mesin tik, Mas Ben sudah manggung di venue top kampus. Salah satunya ketika dia dan kawan-kawan “merekayasa” lagu-lagu KLA Project dalam pertunjukan "Klamelan" tahun 1999 lalu.

Jadi, cocok deh dedengkot Radio Sonora Yogyakarta ini untuk mengulik soal musik lawasan. Edisi perdana segera dimunculkan, yakni live instagram di @lukasadiprasetya dan @benni_listiyo dalam “Ngobrol Santai” bertopik “Musik dan Lagu Era 80-90an Adalah yang Terbaik?”. Live ig ini pada 12 Juni, pukul 20.00-21.00 wib. Lalu edisi kedua, siaran di Radio Sonora Yogyakarta untuk program “Indonesiana” pada 27 Juni pukul 14.00-16.00 wib. Di sesi siaran radio ini, ada juga Mas Hasta, penyiar. Kami bertiga ngalor-ngidul ngobrolin musik.

Obrolan berlangsung seru. Jujur saja, sambalbawang lumayan pontang-panting merefresh ulang wawasan soal permusikan. Lha wong cuma penikmat musik, eh semeja sama pemerhati musik. Wakaka.. Salim dulu sama mereka. Baiklah, lanjut obrolan. Menilik umurnya, Mas Ben ini pasti di kategori diehard lagu lawasan. Tapi, asyiknya, musik-musik terkini, barat sampe timur, juga rutin jadi “makanan” sehari-hari. 

Coba langsung todong, ah. "Mas, bagusan musik mana, era dulu apa sekarang?". Orangnya  menjawab kalem, “Musik itu soal selera”. Hm, ini jawaban win-win solution apa gimana ya. Orangnya lalu bilang kalau setiap zaman atau era, unya sejarah dan cerita tersendiri. Tak terkecuali soal musik. Dia mengawali “analisis” dari sudut pandang industri musik. “Era keemasan, terutama di Indonesia, memang terjadi sejak awal 1980. Semakin mudah orang mengakses musik dibanding era 70-an,” katanya.

Sambalbawang setuju. Awal 80-an seakan era peralihan segenap dinamika industri musik. Masih era kaset, sih, tapi video klip mulai dibikin lebih bagus dan serius. Televisi mulai dikenal dan tersebar luas—meski stasiunnya masih satu, yakni TVRI. Radio yang makin banyak dan makin jauh jangkauannya.  


Awal 1980, kata Mas Ben, kualitas rekaman dan musikalitas semakin apik. Toko-toko alat musik semakin banyak, walau masih sebatas kota besar. Era piringan hitam masih ada, namun kaset yang persebarannya lebih tinggi. Toko-toko kaset pun bermunculan, mengimbangi maraknya acara musik di radio dan TV. 

Ajang musik juga bertebaran. Kita coba mendata sekilas. Ada Bintang Radio dan Televisi--ditayangkan TVRI. Ada pula Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR), festival rock Log Zhelebour, Festival Lagu Populer, Selecta Pop, Aneka Ria Safari, dan tentu saja Album Minggu Kita. Belum lagi festival-festival pelajar dan mahasiswa yang jumlahnya tak terhitung.

Sementara di kanal radio, kawula muda juga “dibombardir” lagu. Sambalbawang ingat, ketika kakak beranjak dewasa--medio 1980--radio di rumah seperti menyala nyaris seharian. Mereka yang remaja dan dewasa di era 80, pasti tahu “Jogjakarta Top Hits” dan “Tangga Lagu Terbaik”—dua dari sekian banyak “rangkingisasi” lagu terwahid, waktu itu. Radio berperan besar membentuk wawasan lagu. Juga memberi tahu lagu-lagu di era 80 awal--mengingat saat itu sambalbawang masih balita.

Karena itu, sambalbawang masih bisa (sedikiiiit) “mengejar” obrolan Mas Ben meski tetap tergagap-gagap. Hehe.. Kalah kelas, sih. Kalah tua, juga. Mungkin mudanya dia lebih "liar" dari masa muda sambalbawang. Baiklah. Nah, lebih lanjut Mas Ben bilang, band-band bermunculan secara luar biasa di era awal 80. Nyaris semua genre tumbuh dan pasar menerima. Dari Jazz sampai dangdut. Dari Pop sampai rock. Dengan semua “turunan”-nya. Semua jaya.

Awal 1980, band-band beraliran jazz seperti Krakatau, Karimata, dan Emerald, muncul. Sementara di deretan penyanyi antara lain Vina Panduwinata, Fariz RM, Farid Hardja, Hetty Koes Endang, Chrisye, Harvey Malaiholo, Nicky Astria, Ikang Fawzi, Arie Wibowo, Atiek CB, Trie Utami, Anggun C Sasmi, Obbie Messakh, Deddy Dukun, Dian Pramana Poetra, dan lain-lain. Beberapa dari mereka pun, ada yang bermusik di grup, seperti Fariz. Di "jalur" lain, kita juga kenal banyak penyanyi unik seperti Gombloh.

Selanjutnya, di akhir era 80, muncul sejumlah band/grup top seperti God Bless, Kantata Takwa, Slank, KLa Project, dan Trio Libels. Jangan lupa, Iwan Fals pun menancapkan masterpiecenya di akhir 80 lewat album Mata Dewa. Musikalitas mereka semua ini, jelas top. “Mereka, musisi dan musik 80-an, yang akhirnya memengaruhi musik era 90-an yang berkembang dengan lebih beragam,” kata Mas Ben.

Era 90-an, musik Indonesia “meledak”. Nyaris semua rumah punya TV. Dan TVRI tak sendirian lagi, karena TV swasta bermunculan. Musik dalam negeri dan barat—terutama klip lagunya, semakin banyak dikenal. Banyak grup dengan genre baru naik permukaan. Gigi, Humania, Dewa, Boomerang, Netral, Kahitna, AB Three, Rida Sita Dewi, Sheila on 7, Jikustik, Shaggy Dog. Java Jive, /rif, Jamrud, Tipe-X, Wayang, Base Jam, Naif, dan Padi—yang muncul di akhir 90-an. 

Juga, tentu saja, beberapa penyanyi seperti Iwa K, Titi DJ, Doel Sumbang, Reza, Anang, Krisdayanti, sampai Nike Ardilla. Genre musik komedi, juga mendapat tempat. Siapa tidak kenal Padhyangan Project dan Project Pop ? Belum lagi memasukkan daftar penyanyi anak-anak. Kalau dibahas dari ranah lirik, era ini terbilang komplet. Lagu lirik puitis sampai lirik yang jauh dari kata puitis, ada.

“Hampir semua dari band dan penyanyi di era 80 dan 90 mewakili genre tersendiri. Mereka punya karakter. Kita pasti tahu begitu denger satu lagu, itu lagu siapa. Dan itu suara siapa. Enggak perlu lihat klipnya. Itu luar biasa,” kata Mas Ben.

Tidak heran ketika generasi yang kini berumur 40 tahun (40-50 tahun) menyebut era 80-90 adalah era musik terbaik. Generasi ini benar-benar “diguyur” musik banyak genre dan dari banyak musisi berkualitas jempolan. Juga disuguhi sekian banyak konser musik. Di tingkat bawah, festival kecil semacam lomba band internal dan antarsekolah, juga tumbuh subur. Perusahaan label rekaman, sebut saja satu, JK Records, tak ketinggalan gencar mengorbitkan deretan artisnya.

“Kita jadi sangat familiar dengan lagu persada, juga mancanegara. Kita dengerin radio dan TV, dan juga dapat bacaan dari media cetak dan majalah yang mengupas musik dan penyanyi. Siapa tidak kenal majalah HAI, coba? Majalah ini jadi acuan, sumber bacaan. Belum baca, ya kurang gaul, belum keren,” katanya.

Di era 80-90, musik juga seakan terseleksi. Label rekaman masih pegang kendali atas lagu siapa yang dirasa bisa dijual komersial. Kalau perusahaan rekaman tidak tertarik, ya lagu yang masuk akan “ditendang”. Dulu, enggak ada cara lain selain menembus itu, dan bermuara ke album (kaset). Yang suaranya enggak merdu atau enggak ada uniknya, ya bisa “ketendang” pula. Bahkan jika tembus sampai peluncuran album tapi kasetnya jeblok di pasaran, maka ya siap-siap kena putus kontrak. Ngeri-ngeri sedap.

Semua rangkuman fenomena musik 80-90 tadi, lanjut Mas Ben, bersanding dengan bagaimana musisi menapak jalan yang betul-betul terjal. Dulu, untuk rekaman saja susah. Band misalnya, ya pasti mengirim demo lagu ke stasiun radio. Bisa lebih dari satu lagu. Celakanya, belum tentu ditayangkan. Jadi, ketika lagunya tayang di radio, luar biasa.  Apalagi kalau sampai bisa bikin klip. Itu ibarat mimpi. Kalau bisa sampai tahap ini, kamu bakal "disembah" sama temen-teman.

Begitu ya. Okay, mari kembali ke pertanyaan menggelitik. Musik era mana sih, yang terbaik. Era 80-90 itu atau era sekarang (selepas 2000)? Sedikit mengingat, di era tahun 2000 ke atas, juga banyak band bagus, lho Mas Ben. Sebut saja, Cokelat, Wali, Utopia, Kotak, Geisha, Laluna, Ratu, Endank Soekamti. Di tingkat daerah, musik “aliran” indie juga sedang menggelora. Di Jogja, misalnya, ada Sri Redjeki dan Produk Gagal. 

 

Mas Ben kembali menyebut musik itu soal selera. Lagu-lagu sekarang, kata dia, sebenarnya ya bagus secara kualitas. Hampir sempurna secara recording dan musikalitas. Band dan penyanyi lebih mudah merekam dan mendistribusikan lagu, sedangkan masyarakat lebih gampang mengakses. Semakin banyak dan cepat cara untuk dikenal. Publik seakan mendapatkan "surga musik". Kalau sejenak menengok ke belakang, era CD (akhir 90) yang langsung disusul era MP3 di rentang 2004-2005, memang seketika membuka keran. Terlebih lagi ketika kanal youtube muncul dan mulai dikenal tahun 2010. Dan kini eranya sudah masuk spotify, joox dan lain sebagainya.

“Lagu sekarang, ya bagus. Berkarakter juga. Tapi kurang beragam. Kita bisa agak susah membedakan karakter suara penyanyi atau band, dan musiknya. Begitu dengar lagu yang belum pernah kita dengar, sekarang kita bisa agak lama mikir, ini lagu siapa, vokalnya siapa. Saat ini terutama vokal penyanyi cewek berkarakter, tidak banyak,” ujar Mas Ben.

Radio tempatnya bekerja, lanjut dia, sampai sekarang masih menerima banyak single dari banyak penyanyi maupun band. Satu lagu belum cukup popular atau dikenal, tapi sudah muncul single baru. Ini tentu kreativitas, tapi dulu kondisinya beda. Musisi era dulu berkarya dan banyak yang tidak memedulikan apakah karyanya bakal hits atau dikenal. Alhasil banyak lagu luar biasa, lahir. Sebaliknya, lagu bagus yang tidak sempat hits, juga banyak.

"Banyak lagu saat sekarang, sih, iya. Tapi tidak semua lagu didengarkan semua orang. Banyak pilihan dan banyak platform, soalnya. Dulu, kawula muda terkondisikan mendengar banyak lagu dari banyak musisi. Dulu kan hanya ada TVRI dan radio.  Kita tahu lagu-lagu ya dari sana. Kita seneng lagu rock, ya tetap hapal banyak lagu pop. Lagu bagus kita kenal, lagu yang biasa-biasa saja pun, kita juga mungkin tahu karena pernah dengar,” kata Mas Ben.  

Nah sekarang ke soal susahnya mereka yang usia 40-50 untuk move on dari musik 80-90an (bahkan 70-an). Itu, menurutnya, karena rentang waktu yang lama bagi mereka menikmati musik di kala remaja dan dewasa. Coba yuk hitung dimulai dari umur 10 tahun, usia ketika mengenal musik. Mereka yang berumur 40 tahun sekarang, setidaknya sudah 30-an tahun telinganya mendengar, mengenal, dan menghapal lagu. Sementara kawula muda sekarang, anggap saja berumur 25 tahun, menjalani tahap itu 15-an tahun.  

Generasi Mas Ben dan kakaknya (40-50 tahun) sudah di masa yang tidak lagi update banyak seputar lagu terkini. Banyak waktu sudah tersita untuk pekerjaan dan keluarga.Wajar jika asing dengan lagu terkini, apalagi yang dulu tidak ada di jamannya. Bener juga sih. Sambalbawang juga kayaknya enggak lagi update lagu terkini sejak tahun 2009/2010. Selepas itu ya hanya beberapa penyanyi dan band yang masih nyangkut di kepala.

“Generasi lawas, banyak yang sudah malas dengar lagu sekarang. Meski begitu, sebagian ya masih tetap denger karena lagu kekinian kan terdengar di mana-mana. Mereka tahu, denger, tapi enggak banyak tahu penyanyi sekarang. Kecuali yang benar-benar ngehits. Benar, generasi lawas punya memori banyak lagu. Tapi sebagian generasi sekarang juga kenal banyak lagu lawas kok, karena mereka mau mencari dan mendengar banyak lagu lawas dibawakan ulang penyanyi atau band era sekarang,” ucap Mas Ben.

Apa sih yang terjadi di era 2000 ke atas sehingga mengubah banyak hal? Teknologi yang berkembang sangat pesat. Masyarakat makin mudah mengakses lagu. Sayangnya ini pula yang akhirnya berdampak pada semangat berkarya para musisi. Sekarang, jadi musisi susah dapat royalti dari penjualan kaset dan CD. Sekarang ini, lagu yang susah-susah dibikin, begitu keluar, eh dengan mudahnya dibajak dan disebar luaskan. Era CD bajakan berisi lagu format MP3, yang awalnya berperan mengacak-acak situasi. Lalu musik makin mudah diunduh seiring internet merambah sendi kehidupan. 

“Musisi sekarang dapat penghasilan ya dari pentas, dari konser, dari main di kafe atau bar. Sebelumnya (era 2000-an), mereka juga masih bisa dapat dari ring back tone (RBT) --alias nada sambung. Tantangan jadi musisi semakin berat,” kata dia.

Lagu berkualitas, lama-kelamaan semakin jarang muncul. Sekarang, siapa saja dan di mana saja, semua bisa merekam lagu memakai ponsel dan laptop. Ditunjang pula banyak software yang bertebaran. Kualitas suara vokal pun dengan mudah bisa dikoreksi. Tak perlu lagi masuk studio rekaman untuk bikin lagu. Bahkan tak perlu alat musik untuk bikin suara alat musik. Ketika lagu selesai, ya tidak perlu banyak memikirkan kualitas, karena tinggal di-share ke medsos antara lain youtube. 

Bisa saja enggak perlu punya lagu bagus, asal punya banyak follower, maka yang lihat lagu bakal banyak. Bahkan sekarang, lanjut Mas Ben, eranya malah menjadi semakin lucu (dari sudut pandang mereka yang berumur 40 tahun ke atas).

“Sekarang, yang lucu dan wagu bisa mendadak viral, mengalahkan lagu bagus. Cuma berbekal ‘jeng-jeng-jeng’ tapi bisa tenar. Mungkin hal-hal seperti itu yang bikin orang sekarang males mikir. Termasuk males mikir bikin lagu dan bagaimana bermusik yang baik dan bagaimana menjadi musisi yang tahan banting. Termasuk di sini, semakin sedikit musisi yang menjalani tahap demi tahap untuk mengasah skill. Dulu, musisi beneran terasah skill-nya karena terbiasa main di depan penonton. Makanya banyak band dan penyanyi yang aksi panggungnya luar biasa dan ikonik. Sekarang, banyak band dan penyanyi yang langsung hilang tak lama setelah muncul,” kata Mas Ben.

Kesimpulan akhir, menurut Mas Ben, musik tetap soal selera. Tiap era tidak bisa disamaratakan, karena kondisi dan tantangannya berbeda. Respons publik juga sudah berbeda untuk mengapresiasi. Plus-minus jelas ada di setiap era dan tak terhindarkan. Mereka yang jadul ya sah banget mengklaim musik era mereka adalah terbaik. Tapi kawula muda sekarang juga bebas memilih dan mendengar musik yang mereka sukai. Kawula muda suka musik sekarang dan tidak suka musik jadul, ya boleh juga.

Kabar baiknya--dari sudut pandang kaum jadul--adalah, sebagian anak muda zaman now mengakui dasyatnya musik era 80-90an. Tapi mereka sudah tidak hidup di zaman itu dan tidak bisa merasakan sejauh mana gelegar-nya. Zaman memang sudah berubah. Anak muda yang sekarang memegang kendali musik. Mereka yang sudah (menuju) generasi old, ya sudah mulai menapak “masa nostalgia”. Saatnya sekarang, yang muda yang berkarya. Begitulah… Haduh capeknya nulis artikel ini, hehehe.

 

BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :

AKU DI BELAKANGMU, TIGER WONG 

ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA

LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK  

MAMA by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA 

 GATOTKACA TAK HANYA OTOT KAWAT BALUNG WESI

CHINMI JAGOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN 

7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA 

MENGAPA HARUS NGEBLOG 

APA KABAR SUZUKI ? 

FORD LASER SONIC - BALADA FORDI (1) 

THE BEATLES FOREVER 

AMPAR-AMPAR PISANG, INI LHO ARTINYA 

ANGKRINGAN OH ANGKRINGAN (TULISAN 1) 

THE AQUARIAN ? 

SEKILAS TENTANG PERANG DUNIA II 

LUAR BIASA, BEGITU BANYAK FILM DOKUMENTER PERANG DUNIA II 

BANYAK MOTOR SEDIKIT MEREK, SEDIKIT MOBIL BANYAK MEREK 

TENTANG HONDA (3) INILAH STAR'S FAMILY 

 

 

 

 

Kamis, 30 Juli 2020

THE AQUARIAN ?

Antara percaya dan enggak percaya, akhirnya saya letakkan sebagai hasil “permenungan” hore saat membaca ramalan zodiac. Mungkin baru dua tahun terakhir, mulai baca lagi. Terakhir waktu masih duduk di bangku SMP. Ramalan soal asmara, pastinya, hahaha. Saat itu, ya enggak percaya karena sepertinya salah semua tuh ramalan.

Garis besarnya adalah, saya masih tidak terlalu yakin masuk naungan zodiac Aquarius apa Pisces (meski 95 persen yakin masuknya ke Aqua, sih). Berada di tanggal persimpangan (you know lah), membuat ramalan dua zodiac ini, saya baca semua. Hasilnya? Bukannya bingung, malah banyak ketawanya. Secara umum, sepertinya memang condong ke Aquarius. Tapi kayaknya ada beberapa yang “berbau” Pisces.

Tapi karena dek bojo zodiacnya (jelas) Pisces, nampaknya saya hanya kebagian secuil karakter Pisces.  Secuil yang beneran selapis. Lalu, sedikit “survey” kecil-kecilan akhirnya membuat saya banyak baca lagi tentang karakter zodiac dari berbagai sumber. Debat internal tentang Aquarius atawa Pisces ini, ternyata ada juga yang meresahkan. Lumayan banyak. Syukurlah, tidak hanya saya sendiri yang lahir di rentang tanggal “perempatan jalan” itu. Uhuk...

Banyak bacaan atau ramalan zodiak menyebut mereka, para aquaris (aquarian) sebagai orang yang nyeleneh, cerdas/cerdik, kreatif, tipikal pemberontak, gampang berteman tapi sekaligus mudah kesepian, misterius (?), sensitif, keras kepala, susah ditebak, sampai punya selera humor yang rada nyelekit. Malah ada yang menyebut, aquarius zodiac alien karena aneh, dan segelintir yang paham pikirannya. Jika di antara 12 zodiac harus ada yang dikeluarkan dari "kelas", maka itu adalah Aquarius. Zodiac ini paling "dingin". Datar emosinya.

Sementara Pisces digambarkan punya bakat seni, artistik, intuitif, moody, imajinatif, dan simpel. Singkatnya, Pisces terpengaruh banget sama perasaan. Ini zodiak yang empatinya besar. Kalau seisi dunia zodiaknya Pisces, maka tidak akan ada konflik. Pisces juga dikenal senang menyendiri, dan mudah mengantuk alias suka tidur. Nih zodiak jago bikin bingung orang. Pisces tidak suka tampil di permukaan, tapi mereka bisa. Bahkan yang ajaib, meski bukan tipikal suka kompetisi sengit, Pisces tetap berusaha memenangkan kompetisi.
.
Semua karakter dua zodiak itu, entah, ya ada yang masuk di karakter sambalbawang alias saya ini. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, karakter antarzodiak tetap berbumbu “senggolan”. Saling terkait, saling kena-mengenai, dan “gas tipis-tipis”. Intinya semua zodiac punya plus minus, keunikan, dan aspek misteriusnya. Timbangan-nya, sama. Jadi karakter semacam kreatif, cerdas, intuitif, bakat seni, sampai selera humor, sepertinya cukup universal.
 
Terlepas dari itu, ada senaknya sih, Karena saya bisa memilih sebagai Aquarian. Sementara di lain kesempatan, saya pun bisa bilang, punya kartu member di “Pisces”. Kalau pas enggak cocok sama ramalan Aquarius, maka bisa switch ke Pisces. Demikian juga sebaliknya. Yah, buat hiburan saja sih.

Nah, kalau ada pertanyaan santai, siapa dari sekian tokohterkenal, siapa yang paling mcncerminkan karakter zodiak? Nampaknya sambalbawang bakal memilih Cristiano Ronaldo, striker Juventus, yang (kebetulan) Aquarian.. Gitu, jreng.     



BACA JUGA ARTIKEL LAIN :