Semua
berawal sekitar hampir 70 tahun lalu, di penghujung tahun 1950. Sejumlah warga
Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah memutuskan untuk merantau. Tujuannya ke daerah Solo, kota yang hanya berjarak tak lebih 30 km, untuk
berjualan minuman keliling, dan gorengan.
Wedang, atau
minuman panas, jualan utamanya. Variannya teh dan jahe. Beserta gorengan simpel seperti
tahu dan tempe. Mereka berkeliling memikul dagangannya memakai "angkring" , sebutan untuk alat
pikul berbahan kayu. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan “hik” alias hidangan istimewa
kampung.
Mereka
merantau karena tanah di Bayat rata-rata berbatu dan berkapur sehingga kurang
mendukung jika ditanami. Jualan keliling makanan dan minuman yang orang banyak pasti
suka, dianggap solusi menarik, tidak terlalu makan duit sebagai modal. Yang penting kuat jalan kaki, bisa bikin teh enak, dan gorengan yang "nyamleng", cukuplah.
Satu demi satu warga pun pindah ke Solo. Di sisi lain, setelah itu, di awal
tahun 1980, ketika Yogyakarta semakin ramai didatangi mahasiswa dari luar
daerah, pindahlah sebagian dari mereka ke kota pelajar itu. Ada "pasar" baru.
"Pasar" baru ini menyambut gembira. Menu murah meriah, jelas susah ditolak para maha-nya siswa yang biasanya sedang kencang urusan makan. Bahkan suka nonkrong. Inilah yang membuat para penjual berubah strategi. Jualan tidak perlu lagi berkeliling, gerobak dorong pun digunakan. Sebutan lama “hik” berganti menjadi “angkringan”.
"Pasar" baru ini menyambut gembira. Menu murah meriah, jelas susah ditolak para maha-nya siswa yang biasanya sedang kencang urusan makan. Bahkan suka nonkrong. Inilah yang membuat para penjual berubah strategi. Jualan tidak perlu lagi berkeliling, gerobak dorong pun digunakan. Sebutan lama “hik” berganti menjadi “angkringan”.
Orang mulai
mengenal usaha mereka sebagai angkringan, atau “warung angkringan”, yang definisi sederhananya adalah
warung di tepi jalan yang secara visual adalah sebuah gerobak dorong. Fasilitas penunjang di sana hanya terpal penutup gerobak, dan bangku kayu tiga buah yang hanya bisa untuk duduk 7-8 orang.
Semakin lama
angkringan semakin banyak. Yogyakarta pun mulai mengalahkan Solo untuk urusan jumlah penjualnya. Bermula dari sekitar kampus, angkringan semakin
merambah ke kampung. Dan sepertinya Yogyakarta yang malah sering disebut
sebagai kota asal angkringan. Mungkin karena gerobak angkringan lebih banyak di
kota itu.
Ngangkring,
itu istilah yang menggambarkan orang ke angkringan. Aktivitas ngangkring, sejatinya sudah
saya lakoni sejak duduk di bangku SD, jika itu memasukkan faktor bahwa gerobak warung deket
sekolah bisa dikategorikan sebagai angkringan.
Aktivitas
ngangkring mulai sering dilakukan tatkala saya menempuh kuliah,
tahun 1997. Meskipun, itu juga tidak lepas dari krisis moneter yang berimbas
pada krisis duit di dompet. Selama kuliah, saya mesti bekerja paruh waktu untuk
bisa mendapat duit jajan. Nah, jajan paling aman dan nyaman, salah satunya tentu angkringan.
Mengangkring
mulai terasa nikmat. Jadi kebutuhan. Saat itu angkringan belum macem-macem menunya, dan juga
belum banyak-banyak amat. Bahkan ketika saya bekerja di Klaten, dan sempat ke
Ngerangan, di tahun 2004, fenomena angkringan sepertinya masih dalam batas normal. Belum “meledak”.
Tapi beberapa tahun sesudah itu, mungkin selepas gempa Jogja tahun 2006, angkringan
tumbuh luar biasa bagai jamur di musim penghujan.
Muncullah
istilah “kafe ceret telu”, sejak tahun 2000-an, untuk menyebut warung angkringan dalam bahasa kekinian.
Ini tak lepas dari biasanya memang ada tiga ceret isi air panas nangkring di
atas nyala arang di sudut gerobak angkringan. Meski saya, semakin ke sini, nampaknya lebih sering melihat hanya ada dua ceret.
Kembali ke
Ngerangan di Klaten, tadi, mungkin di sana saya
pertama merasakan menu angkringan yang enak-enak. Angkringan yang masih “ndeso”,
dan si penjual yang akrab menyapa. Malah sempat main kartu, pula. Terharu.. Jadi ingin ke sana lagi. Oiya ini foto salah
satu angkringan di Ngerangan, ketika saya liputan bertopik angkringan tahun 2004 lalu. Simpel, kan, angkringannya.
Enaknya di
angkringan adalah harga menu yang terjangkau—meski itu semakin diperdebatkan
dalam lima tahun terakhir. Atau gorengan dan baceman yang bisa dihangatkan lagi
di atas tungku. Namun yang pasti, menu teh yang “serius” adalah penanda utama “kualitas”
sebuah angkringan. Karena ngangkring lebih identik dengan wedangan—minum
minuman hangat.
Semakin ke
sini, angkringan semakin dikenal. Semakin banyak, tersebar di mana-mana, menu
bertambah, dan semakin “meriah”. Jika
dulu cukup tiga bangku panjang yang mengitari gerobak, kini warung angkringan mesti ditambah terpal,
hingga meja-kursi pendek. Konsep angkringan perlahan bergerak menuju warung lesehan.
Semakin
jarang interaksi antara penjual dan pembeli. Semakin banyak pembeli hanya
sebatas makan dan minum, tanpa menikmati suasana angkringan. Meski masih ada
sebagian penjaga angkringan (penjual) yang masih mau ramah menyapa, ngajak ngobrol,
dan hapal siapa yang datang.
Satu hal yang sepertinya jadi keprihatinan saya adalah kualitas menu angkringan yang sepertinya merosot. Saya suka bertanya ke para penjual, apakah mereka memasak sendiri, dan jawabannya, adalah tidak. Mungkin itulah yang bikin quality control menu, menjadi tidak lagi terjaga. Sorry to say, nampaknya hanya segelintir angkringan yang masih berkarakter angkringan.
Satu hal yang sepertinya jadi keprihatinan saya adalah kualitas menu angkringan yang sepertinya merosot. Saya suka bertanya ke para penjual, apakah mereka memasak sendiri, dan jawabannya, adalah tidak. Mungkin itulah yang bikin quality control menu, menjadi tidak lagi terjaga. Sorry to say, nampaknya hanya segelintir angkringan yang masih berkarakter angkringan.
Tulisan soal
angkringan selanjutnya, tunggu ya. Penasaran? Wajib itu. Hehe. Tapi bisa baca dulu tulisan di bawah ini. Tulisan pertama soal angkringan di blog ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar