Selasa, 06 Desember 2016

SARADAN

       “Saradan!” kata ibu dengan intonasi separuh marah terbalut jengkel ketika sambalbawang mulai mangap-mangap mulutnya. Dan, ternyata perlu "rem" pakem di mulut ini agar tidak lagi membuka mulut. Setidaknya sampai ibu berlalu.
         Kejadian 30-an tahun silam itu masih teringang di benak. Memang wajar kalau ibu lantas berang karena menangkap basah aksi mangap-mangap sambalbawang ini hampir tiap hari. Enggak pagi, enggak siang, enggak malam. Cuma pas tidur, kebiasaan itu hilang. Saradan memang bikin malu meski sepertinya orangtua yang paling malu.
        Sebenarnya, saradan itu apa sih? Dalam bahasa Jawa, saradan diartikan sebagai kebiasaan menggerak-gerakkan bagian tubuh secara berulang-ulang demi kepuasan hati. Ini dilakukan dalam kondisi sadar, tahu bahwa tidak cukup baik untuk diteruskan, tapi tak bisa menahan. Sepertinya saradan bakal sirna seiring beranjaknya usia. Ternyata, sayangnya, tak selalu begitu.
        Hal yang menarik dari saradan ini adalah bentuknya tidak sama tiap orang.  Ponakan punya saradan mengibaskan tangan secara tiba-tiba seperti gerakan tangan penari. Dan untuk yang mangap-mangap ini saya tidak sendiri, karena ada ponakan yang ngikutin. Hihi.
        Ada yang menggetar-getarkan leher sembari merem-melek, seperti orang ayan mendadak kumat. Ada yang nendang-nendang meja. Ada yang mendongakkan dagu naik-turun, dan ada yang mengernyitkan mata seperti kelilipan tapi skalanya akut. Ada yang saradannya mencabuti rambut kepala, dan ada yang menggoyangkan kaki. Ada pula yang punya saradan menggigit-gigit kuku, mengingatkan pada seorang cewek manis di masa lalu. Eh...
        Ada yang saradannya menggertakkan gigi maupun menggoyangkan rahang. Ada yang hanya merentangkan jari-jemari seperti mau senam. Dan ada juga yang punya saradan menjedukkan (menabrakkan) jidat ke tembok, meski hanya sebatas benturan manja.. Ahahaha. Masih banyak seabrek saradan lain, tapi nggak mungkin kita paparkan satu demi satu.
       Saradan kadang berlanjut di usia remaja, bahkan dewasa. Meski kadang berganti, namun hakekatanya tetap sama, saradan. Semua sepakat itu tidak baik, setidaknya jika mengacu ada sebagian saradan yang seperti menyiksa badan, maupun alasan tidak etis. Kadang saradan ini tetep muncul meski sudah beneran direm pol.
       Entah kenapa pula, saradan bisa hilang seiring waktu.  Ajaib, kan. Sebenarnya pula, sambalbawang ingin menulis tentang saradan ini sejak beberapa bulan lalu, tetapi baru niat sekarang. Alasannya? Kemarin pas di jalan, ada seorang pengendara motor di depan yang menyita perhatian. Dia sering menoleh ke kiri secara mendadak.
        Karena penasaran, sambalbawang sengaja ikuti orang itu sampai 6-7 km. Agak kurang kerjaan, sih, tapi kok ya pengen mbuntutin. Untunglah, dia serute sama sambalbawang. “Busyet, mau matahin leher sendiri, tuh orang,” begitu suara dalam batin. Sampai tak sadar, ternyata mbatinnya itu pun sambil mulut saya mangap-mangap.


  

1 komentar:

  1. Mungkin ada penjelasan secara ilmiah tentang "saradan" itu. Terutama berkaitan dengan kinerja syaraf..Jadi, emang di luar kontrol otak kita.

    BalasHapus