Minggu, 31 Januari 2021

EMPANG DAN "RAWA" BELAKANG RUMAH YANG HORE

Dulu, enggak pernah kepikiran bakalan punya empang. For what ? Tapi “halaman belakang” rumah yang berair lama-lama mulai terlihat rupawan. Setelah sekian waktu merenung, diputuskan untuk menambah peserta di ekosistem air itu. 

 Ikan nila jadi opsi paling menarik. Akhir Desember 2019, begitu nila nomer urut pertama nyemplung. Diikuti 499 teman—sebagian mungkin saudaranya-- yang semuanya masih seukuran kuku. Baru umur sebulan. Mereka mendiami area ekslusif berukuran panjang 3 meter, lebar 3 meter, sedalam 0,5-1,1 meter, dan berdinding jaring.

“Halaman belakang” rumah sambalbawang adalah hamparan air tawar yang total luasnya paling tidak dua hektar. Sebuah Rawa? Oh, bukan. Kawasan ini sebenarnya hanya cekungan tanah yang terbentuk 10-an tahun lalu, yang konon ikut disebabkan pengurukan tanah kawasan sebelah. Cekungan lama-lama terisi air (hujan). Oke, mari kita sebut itu “rawa”.

Ekosistem sebelumnya pun mati. Atau setengah mati. Berganti ekosistem baru. Pohon-pohon tinggi mengering lantaran perlahan busuk terendam air, berganti tanaman yang tahan kecelup air. Sebagian pohon yang kering masih berdiri---menunggu roboh.

Menurut cerita, dulu ada warga yang punya empang. Tapi jaringnya robek atau rusak. Atau entah gimana, yang jelas itulah yang diyakini memberi andil pada kemunculan generasi pertama ikan di sini. Setidaknya nila dan lele.

Semakin ke sini, tambah beragam ikan muncul. Ada gabus, pipih, betok, mas, hingga bawal. Entah bagaimana mereka bisa sampai kemari. Namun teori paling mungkin adalah, pasti ada orang baik hati yang dulu pernah nyebar bibit-bibit ikan itu.

Seiring empang dibikin, maka “jalan tembusannya” pun ikut dipikirkan. Karena itu, tembok belakang dijebol dikit, agar bisa dipasang pintu kayu. Kecil aja pintunya, yang penting bisa untuk lalu lalang. Jembatan ulin pun dibikin. Pendek aja, hanya semeter.

Lagian, jarak antara tembok belakang dengan pinggir jaring cuma 2 meter-an. Sedikit “halang rintang” memang, untuk naik-turun dari tangga ke tembok, lantaran pintu kayu yang seukuran jendela, tapi itu yang nampaknya paling oke.

Dan hari-hari beternak ikan secara ala-ala, dimulai. Mulai mengenal jenis pakan (pelet) , dan tentu tambah repot karena sebelumnya, di kolam kecil dalam rumah, sambalbawang sudah punya dua peliharaan kura-kura Brasil. Si Kumu dan Kimi.

Tapi dari aktivitas baru, muncul banyak pengetahuan baru. Misalnya mulai kenal sama keong mas. Populasinya buanyak banget di “rawa”. Satwa ini sejatinya termasuk hama. Tapi ternyata bisa untuk pakan kura-kura.

Sebelumnya Kumu dan Kimi makan potongan (sisa) ikan, tulang ayam, sampai kepala udang. Yang terakhir termasuk menu intesitas jarang banget—juga ribet. Nah dua yang pertama, relatif gampang—sebagian minta, pasti dikasih, hehehe.

Namanya peternak amatir, maka urusan perikanan, berjalan begitu saja. Tebar pelet, termasuk sisa nasi dan sayur, dan lauk—dan memastikan jaring tidak robek. Maklum, kawasan air ini juga habitat banyak biawak. Ikan adalah menu favorit mereka.

Tak heran juga, para biawak menjadi lebih sering anjangsana. Sekian kali kepergok lagi nangkring di jembatan (tinggal terjun ke empang). Enggak hanya itu, tapi ular juga beberapa kali hilir-mudik sekitar empang. Ratusan nila yang mulai beranjak gede, pasti bikin mereka tergiur, kan.

Terlepas dari pasti ada ikan yang jadi korban, situasi empang aman-aman saja. Sampai satu ketika, sambalbawang kaget ketika sebagian dari mereka mengambang. Mati. Kondisi ini sama dengan empang sebelah milik tetangga—yang ada lelenya.

Hujan deras yang intens, hampir tiap hari, menjadi biang masalah. Air rawa berubah kehitam-hitaman dan berbau macam belerang/besi. Terjadi sesuatu dengan level keasaman air. Ikan yang tidak bertahan, satu demi satu goodbye.

Dan tersisalah sekitar 50 persen ikan, sepertinya. Sedih. Sebenarnya bukan sedih memikirkan gagal panen, tapi sedih karena pasukan yang menyerbu pelet dan menciptakan kecipak-kecipak air nan merdu, berkurang drastis.

But, life must go on. Nila tersisa melanjutkan hidup. Seiring itu, mendadak timbul keinginan untuk mencoba memancing. Maksudnya memancing di luar empang. Satu paket pancing yang termurah harganya, Rp 180 ribu, cepat ditebus.

Sudah komplet, tinggal merangkai. Acara perdana mencemplungkan ikan, meski salah memasang senar dan umpannya catfood, langsung berbuah manis. Masih ada faktor luck, he. Dua lele lokal terjaring. Berat satu lele ini 200-250 gram.

Setelah itu, mulai sering memancing. Mulai kenal jangkrik dan bikin umpan sendiri dari pelet yang dicampur air—meski tidak kerasan. Tetangga sebelah ikut andil memberi tahu cara memancing yang benar. Dan, satu demi satu ikan pun terpancing.

Hanya saja, cara memancing masih konvensional. Mirip orang bikin teh celup. Cara yang benar seperti “begitu pelampung lari, maka tarik senar” sepertinya belum sambalbawang kuasai. Tapi, ikan tetap bisa dipancing meski sulit.

Lama-lama sambalbawang makin sering nongkrong di belakang rumah. Melihat pemandangan sembari mancing. Kalau enggak dapat ikan di rawa, maka pancing langsung dipindah masuk ke empang. Pasti dapat, lah, hahahha.

 Begitulah “rawa” belakang rumah menjadi lokasi asyik bagi sambalbawang. Menikmati alam, sembari duduk minum kopi atau teh. Nengok di bawah kaki ada kura-kura, nengok ke luar ada empang. Selingannya, sesekali biawak masuk halaman belakang.

“Rawa” kecil ini ternyata bermakna besar. Hati, pikiran bisa cukup adem hanya dengan menikmatinya. Sama seperti mereka, para pemancing yang sering nongkrong di seberang rawa. Meski ada satu yang sesekali menganggu: pemburu burung. Suara peluru angin mereka, 100 persen tidak pernah terdengar merdu di telinga. Sebel.

 

 

 BACA ARTIKEL LAINNYA :

AKHIRNYA MENCOBA (KEMBALI) BERPUISI

MERASAKAN "COKOTAN" BU TEJO DI FILM TILIK 

ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA 

YEN ING TAWANG ANA LINTANG 

AKU DI BELAKANGMU, TIGER WONG 

MENGAPA HARUS NGEBLOG ?