Senin, 30 Maret 2020

MUSIK ZAMAN DAHULU vs ZAMAN NOW, MANA YANG BERKUALITAS ?


Musik era mana yang lebih bagus? Mana lebih berkualitas? Musik atau lagu era zaman dahulu atau zaman now? Barangkali ini termasuk pertanyaan “abadi” dengan jawaban berjilid-jilid panjangnya karena akan memantik komentar semua generasi. Antara penting dan tidak penting sih, untuk dibahas, tapi kok menggelitik.

Perang argumen terlihat lumayan sengit di ranah youtube, tepatnya pada kolom komentar. Coba saja menuju deretan lagu-lagu jadul, katakanlah era tahun 80-90. Mereka--yang pastinya generasi lawas--akan memunculkan komentar-komentar nyelekit, menyindir kualitas musik/lagu era kekinian. Dianggap enggak kreatif, kualitas rendah, dan seterusnya.

Apalagi kalau lagu (yang termasuk legenda) itu ada yang berani-beraninya ngasih “jempol kebalik”. Atau jika itu dialamatkan ke penyanyi atau band jaman dulu (jadul) yang terkenal dan dikenal sebagai musisi papan atas. Wuiih, bisa semakin nyelekit komentar para penikmat musik generasi lawas yang rata-rata sudah usia kepala 4 ke atas. Apalagi mereka yang sudah diehard banget sama si penyanyi atau band itu. Meski banyak pula yang nanggepin secara santai dengan menyebut "mungkin tanda jempol kebalik itu dikira untuk download".

Komentar berwujud "jempol kebalik" ini bisa sangat panjang memenuhi kolom komentar. Mereka yang ngasih komentar gitu, langsung dicap sebagai anak muda sekarang yang enggak paham musik. Langsung mereka dipertanyakan kadar sense of musik-nya, buru-buru dicap "generasi tik-tok" yang enggak ngerti musik berkualitas, dianggap kurang jauh dolan alias minim wawasan, dan lain-lain. Apalagi kalau ada (anak muda) yang baru tahu lagu (lawas) karena keduluan akrab sama lagu cover-nya—yang kebetulan hits, dan baru kemudian mencari lagu orisinilnya karena penasaran.

Nah, sambalbawang coba nanya-nanya iseng ke beberapa teman--generasi lawas dan muda--bagaimana mereka melihat perdebatan ini.. Novi Abdi (44), jurnalis, pehobi naik gunung dan tentu saja penikmat lagu, menyebut ranah musik sering terlalu luas untuk dilihat sampai ke ujung-ujungnya. “Karena saya tidak bisa membandingkan dari hal teknik dan teknologi,” ujar Novi yang sering dipanggil suhu Gimbal ini. 

Sehingga, menurut Gimbal, jika ada orang yang merasa musik di masa dia lebih baik dari era anaknya yang kini berumur 10-20 tahun, ya wajar. Mereka yang kini berumur 40 tahun atau lebih, sebagian juga mengklaim sebagai generasi yang mengalami masa-masa “surga” musik. Sedikit gambaran, saat remaja, suhu Gimbal sudah berkenalan dengan God Bless, Slank, Kla Project, Krakatau, Gigi, dan lain-lain. Sementara, untuk asupan musik luar negeri, antara lain Metallica, GNR, Europe, Bon Jovi, Nirvana, Roxette.

“Musik, di masa lalu, zaman dahulu, untuk bisa menikmatinya butuh perjuangan. Itu dari sisi pendengar. Dari musisinya, ada semacam kewajiban moral untuk berkarya yang terbaik, dan mesti berbeda dari karya musisi lain. Tuntutan komersialitas tidak seberat sekarang,” kata Gimbal.

Artinya lagi, musisi zaman dahulu benar-benar punya waktu untuk bikin musik sesuai idealismenya. Namun Gimbal juga menggarisbawahi bahwa musik adalah soal selera. Seniman musik berkarya juga sesuai lingkungannya—sesuai era mereka. Musisi sekarang, menurutnya, banyak juga yang berkualitas. Gimbal menunjuk beberapa seperti Banda Naira, Payung Teduh, Silampukau, Monita, dan lainnya. “Payung Teduh misalnya, kualitas musiknya ya the best. Mereka menguasasi teknik bermusik dengan sangat baik, juga punya kepekaan sosial,” kata Gimbal.

Musik jaman kini tetap punya sisi idealis. Gimbal menyebut, sebagian orang di generasinya juga bisa menikmati musik Payung Teduh, misalnya. Lirik menjadi salah satu kekuatan band yang kini sudah bubar itu. Meski, sebetulnya, lirik-lirik lagu Payung Teduh tidak bisa digolongkan lirik khas era sekarang. “Sebab, lirik-lirik lagu tahun 1940-1950 juga sudah begitu,”ujar Gimbal yang jelas diehard Metallica, dan bahkan sempat dibela-belain nonton konsernya di Jakarta tahun 2013 lalu.

Lalu apa kekurangan musik sekarang? Tentang ini, Gimbal menyebut musiknya banyak yang sama. Akhirnya sulit mencari kekhasannya. “Biasanya karena pakai resep copy paste. Satu band sukses dengan lagu mellow, maka yang lain mengikuti. Banyak yang datang dari jalur instan semisal ajang pencarian bakat, tidak teruji untuk berkarya.  Kalau ada jalan mudah untuk sukses dan terkenal, kenapa harus susah-susah. Tapi itulah yang membuat generasi yang lebih tua, melecehkan,” ujarnya.

Tapi sekali lagi, Gimbal mengutarakan, selera musik tiap orang berbeda. Selera musik dibentuk oleh pendidikan dan pengalaman. Mereka yang bilang musik di zamannya lebih bagus, barangkali sudah berhenti mendengarkan musik. “Tantangan anak sekarang untuk bermusik mungkin lebih ke bagaimana mengalahkan dirinya sendiri untuk tidak tergoda sukses instan. Atau tentang (mempertahankan) konsistensi,” kata dia.

Banyak penyanyi/band/musisi sekarang mengkover lagu—yang diunggah ke youtube—dan beneran menampilkan kualitas bagus. Gitaris fingerstyle juga mendapat ruangnya, seperti Sungha Jung—yang bahkan sekelas Jason Mraz pun ingin berkolaborasi dengannya. Bahkan banyak juga yang mengkover lagu, justru lebih bagus daripada versi aslinya.

Sekarang, musisi atau yang ingin bermusik, mendapat kemudahan melalui youtube, juga kanal platform lain. Banyak yang rajin mengunggah video dan siapa pun bisa melakukan. “Ada band-band yang membawakan lagu apa saja, enak. Vokalisnya cantik, aransemennya juga wiiiih, nyeees. Tapi ya hanya sampai di situ. Mengunggah--ke youtube—bisa menunjukkan keapikan bermain, juga untuk pemasaran, tapi bukan bikin terkenal sebagai musisi kreasi,” ucap Gimbal.

Nah, sekarang kita gantian tanya ke anak muda. Putra Utatsu (23), gitaris band Teralist, juga punya pendapat.  Sekedar informasi, band aliran underground di Kota Minyak ini baru saja meluncurkan single bertitel “Matikan Aku !”. Klipnya bisa kita pantengin di youtube. Teralist menggabungkan nuansa musik oldschool dan modern--bahasa kerennya “in between”.

Putra menyebut, musik zaman dahulu—era 2010 ke bawah—lebih beragam. Dia memang anak muda zaman now, tapi juga mengenal banget band-band seperti Megadeth, Slayer, hingga Michael Learns to Rock (MLTR). Band-band itu termasuk referensinya juga dan memberi pengaruh. Kupingnya akrab karena lagu-lagu mereka sering disetel orangtuanya.

Putra tidak setuju jika orang mengatakan musik sekarang kurang beragam. “Sekarang, orang-orang lebih banyak berani menggabungkan ide kreatifnya dari nuansa musik oldschool maupun modern. Dari sisi teknis juga ada yang berbeda.  Kalau dulu merekam lagu, dan apa-apa dengan alat analog, tapi sekarang sudah digital. Mau suka yang analog atau digital, itu sih relatif,” papar Putra, yang posisinya sebagai gitaris di Teralist.

Berbicara soal musik, menurut Putra, apa pun zamannya, apa pun genrenya, juga alat-alat musik yang dipakai, kita tetap bisa menikmati dan memilih musik yang ada. Semua itu hanya soal selera. Musik lebih ke pemersatu sosial. Karena itu pula Putra yakin kalau lagu-lagu yang sekarang hits, akan tetap dikenang orang 20-30 tahun mendatang.

“Musik akan terus beregenerasi. Seperti halnya (band) Queen atau Michael Jackson, atau untuk musisi Indonesia seperti God Bless dan Dewa 19. Karya musik apa pun itu, saya percaya enggak akan pernah enggak dikenang. Biar pun musiknya tidak terkenal/hits sekalipun, tapi paling tidak karya musiknya bisa diceritakan ke anak cucu. Dan menjadi kenangan. Musik itu abadi,” ujar Putra.

Musik lokal Balikpapan, tambah Putra, sebenarnya juga enggak kalah hits—dibandingkan geliat musik dari kota-kota besar lain di Jawa. Akhir-akhir ini banyak musisi lokal Balikpapan mulai merilis single dan album. "Antara lain The Sperms, Biru Tamaela, Better Think of Something, dan Lilac," kata Putra.

Band yang disebut terakhir, Lilac, baru berumur tak lebih 3 bulan. Band beraliran pop progresif ini sudah merilis dua lagu bertitel “Dewi” dan “Saat”. Sebagai anak muda, gitaris Lilac, Arnold Yansen, juga berkomentar terkait topik musik jadul versus musik zaman now ini. Arnold menyebut, musik zaman dahulu alias zaman jadul, penuh inspirasi.

“Zaman dahulu adalah saat pertama kali musik dieksplorasi. Kalau sekarang, musik-musik baru sudah susah ditemukan. Ya mentok-mentoknya musik Electronic Dance Music (EDM) yang baru. Kalau dilihat rata-rata band sekarang acuannya berdasarkan musik zaman dulu,” kata Arnold yang ngefans sama Andra and The Backbone dan Peterpan/Noah ini. 

Memang kurang adil kalau membandingkan kualitas musik antargenerasi. Pendapat itu pun disuarakan Teddy Rumengan (43). Teddy bisa dibilang sudah akrab dengan musik dan lagu lintas genre. Musik selalu diputarnya tiap hari. Perjalanannya berkenalan dengan musik lumayan panjang. Bahkan tahun 1992 lalu, saat masih sekolah, Teddy sudah jadi penyiar radio komunitas. Tahun 1996 dia jadi penyiar profesional di salah satu radio di Balikpapan.

Bagi Teddy, masing-masing generasi atau zaman, punya (banyak) musik dan lagu yang bagus. Di Tanah Air, tiap zaman aliran musiknya agak beda. “Tahun 60-an, lebih kalem. Tahun 80-an, agak cengeng. Tahun 90-an banyak pop-rock, dan awal 2000 musiknya lebih bervariasi. Tahun 2000, mulai banyak R&B, musik elektro disko seiring banyak muncul kafe, pub, dan bar. Musik makin berkembang dan kita bisa makin memilih,” kata Teddy.

Apa lagi yang membedakan musik now dan musik jadul? Teddy menyebut, salah satunya adalah suasana live atau konser. Dulu, konser rata-rata di lapangan terbuka dan ada potensi rusuh, setidaknya saling senggol. Sekarang, nyaris enggak ada. “Nonton konser, dulu (era 90-an) lebih asyik. Kalau sekarang, lebih safe (aman)” ujar Teddy.

Teddy berharap ada band asal Balikpapan, atau Kaltim yang betul-betul bisa mengguncang se-Indonesia. Namun sejauh ini dia belum menemukan. “Band-band lokal di sini, sayang sekali, hanya bertahan sebentar. Itu karena bermusik masih dianggap sebagai hobi, bukan pekerjaan. Jadi ya enggak profesional sepenuhnya,” kata Teddy.
 
Sementara, satu lagi perwakilan anak muda, blogger di Balikpapan, Adam Afrixal, juga memberi komentar. Adam mendengarkan semua aliran musik. Menurut dia, musik sekarang banyak yang remix atau pengembangan dari melodi zaman dahulu. “Dengar remix, saya malah penasaran sama lagu aslinya. Kadang malah suka yang aslinya,” kata Adam.

Meski begitu, tetap ada yang baru di musik sekarang. Misalnya musik eksperimental yang cukup berani mencoba sesuatu yang enggak pernahg terdengar sebelumnya.  Atau ada twist-nya sendiri. Meski tidak menjamin diminati khayalak umum.  Saat ditanya, apakah musik sekarang yang hits tetap dikenang 20-30 tahun ke depan, Adam yakin itu bisa.

Oraiit. Sekarang pindah ke pendapat cewek. Sambalbawang tanya yang deket saja : Atha Nalurita, atau yang lebih beken disapa “Mbak Samantha”. Ah, KKN-nih namanya. Ya enggak apa-apa, sah kok, namanya juga "dik bojo". Bolehlah dimintai komentar dia sebagai pelaku UMKM skala kecil, tapi juga penikmat musik sejak remaja. Mewakili kalangan awam. Di rumahnya, selalu terdengar musik. Atha rutin berlangganan musik streaming berbayar.

Dari sudut pandang awam, seperti Atha, musik jaman dulu--era sebelum  tahun 2000--dianggap lebih beragam.  Banyak genre, dan ada ciri khas tiap band atau musisi yang bisa “nyantol” di ingatan. Lirik-lirik lagu era dulu juga dirasa lebih puitis. KLa Project sejauh ini yang dianggap punya banyak lagu dengan lirik puitis level tinggi. 

Atha menyetel musik semua genre kecuali dangdut. Namun diakui, ia lebih bisa menikmati musik era tahun 2000 ke bawah. Namun ia juga tidak menyebut musik sekarang kalah kualitas. Sebab, dia juga ndengerin musik dari band-band kekinian, terutama asal Jepang. “Hanya saja, memang lebih hapal penyanyi atau band zaman dahulu, era 1990-an hingga 2000-an. Ada sih sekarang yang saya tahu lagu-lagunya, tapi tidak banyak,” kata Atha.

Setelah “mencerna” semua komentar, sambalbawang menarik kesimpulan bahwa musik memang selera personal. Enggak bisa dan enggak fair ketika lalu diarahkan ke perbandingan mana yang lebih berkualitas. Juga bakal debatable. Lagipula, definisi musik dan lagu yang berkualitas, bisa beda antar orang. Meki begitu, kecenderungan orang akan musik yang disuka, pasti ada.

Saat beranjak remaja, sejak kelas 1 SMP, menurut sambalbawang, adalah era telinga mulai menampung banyak musik. Mulai penasaran, mulai mencari musik, dan mulai bertanya. Sekaligus menyeleksi musik mana yang bisa dinikmati. Tapi, saat itu pula, dorongan eksternal, seperti pengaruh teman, pergaulan, saudara, dan lain-lain, ikut berperan.

Sambalbawang menapak masa remaja ditemani banyak band luar biasa. Dari luar, antara lain Metallica, GNR, Nirvana, Green Day, Bon Jovi, Cranberries, Roxette, Mr Big, White Lion, Michael Jackson, MLTR, Bryan Adams, No Doubt, Alanis Morisette, Mariah Carey, hingga The Offspring. Menapak dewasa, ada Foo Fighter, Linkin Park, Avril Lavigne, hingga Eminem. Masih juga dapet sedikit kejayaan Air Supply dan Europe.

Dari Tanah Air, di rentang masa remaja sampai dewasa, berjejal banyak musisi/band. Ada KLa Project, Gigi, Jamrud, Tipe-X, Trio Libels, AB Three, Potret, Dewa19, Sheila on 7, Base Jam, Padi, Jikustik, Slank, Java Jive, Cokelat, Humania, Wong. Masih juga dapet ujung kejayaan Krakatau, Fariz RM, God Bless, dan Iwan Fals.Di jajaran penyanyi solo, misalnya, ada Iwa K, Nugie, Atiek CB, Nicky Astria, Reza, sampai Chrisye. Belum lagi deretan band semacam Netral, Kahitna, Bumerang, Minoru, The Fly, hingga Project Pop. Nama terakhir ini tetap mesti dimasukkan karena terbukti keren. Enggak mudah lho bikin lagu bernuansa komedi. Dan semua di atas itu, sepertinya belum cukup jadul.  Ahahaha.

Nah yang wes bisa dikategorikan jadul itu ya seperti The Beatles, ABBA, Deep Purple, Elvis, atau Air Supply. Eh tambah satu lagi, Aerosmith. Mereka... tua, jadul, tapi ngerik...  Dan, dari semua band di atas--setidaknya dalam beberapa tahun terakhir--sambalbawang justru paling banyak menyetel lagu…. ABBA. Terkait grup musik asal Swedia ini, sambalbawang bahkan sampai nulis beberapa artikel di blog ini—silakan mencari yaks. Eh ketahuan deh kalau condong ke musik jadul.

Kembali ke selera musik, tiap orang punya minat beda. Kuping ini sudah menentukan selera. Meski sambalbawang bisa “melahap” semua musik bahkan dangdut, keroncong, hingga tembang, namun ujung-ujungnya kembali ke selera asal. Ini susah berubah. Apa mau dikata, Sambalbawang masih sulit bisa menikmati musik yang berkembang sekarang macam K-Pop dan EDM. Kalau hanya untuk denger (sesekali), ya masih bisa, sih. Mungkin ini sesusah orang yang kadung fanatik sama motor merek H***A. Dipaksa ganti merek, ya susah.

Meski begitu, bagi sambalbawang, musik itu bahasa universal. Selalu ada kompromi dan titik temu, jika semua sepakat bahwa musik itu tidak mengenal “tembok”. Lintas generasi bisa bareng duduk untuk ngobrol soal musik. Seperti sambalbawang sendiri yang bikin lagu dan kemudian dibawakan oleh Lilac. Tentu dengan sentuhan kekinian. Hasil akhirnya, lagu yang sambalbawang tulis, ya terasa fresh beraroma kekinian, meski ada pula nuansa era 2000-an. Hihi.

Wuih tak terasa sudah panjang banget artikel ala-ala ini. Kita akhiri dulu. Apakah artikel ini akan berlanjut, tentu saja. Pantengin terus blog sambalbawang. Untuk menutup tulisan, sambalbawang comot judul lagu ABBA ya : “Thank You For The Music”.
  

Jumat, 27 Maret 2020

BALADA JADI "KAUM REBAHAN" GEGARA CORONA

Sudah hampir dua minggu, sambalbawang banyak ngandang di rumah. Istilah kerennya work from home. Bahkan seminggu terakhir, mungkin hampir 24 jam sehari beneran mendekam-ria di Ndalem Samantha, home sweet home

Kalau terpaksa keluar ya hanya ke beberapa tempat dan itu dirasa penting. Lho keluar rumah juga? Ha, iya. Lha, butuh ke SPBU karena kendaraan pas habis bensinnya. Pakan ikan juga pas lagi habis. Belum ke laundri karena kualitas air keran pas keruh kecoklatan. Juga mesti ke minimarket untuk beli macam-macam seperti mi instan, camilan, tisu, hingga kopi.

Belum lagi 2-3 kali harus menuju pasar untuk beli sayur, tahu, telur, sampai jahe. Melambai juga ke paklek sayur keliling pas kehabisan cabai, yang berarti keluar rumah jua meski sejengkal langkah. Masih ditambah sejenak haha-hihi sama tetangga.

Tapi intinya, aktivitas itu semua berlangsung dalam tempo sesingkat-singkatnya. Enggak seperti sebelumnya--dua pekan lalu--ketika masih bisa "lenggang kangkung" alias nyantai. Sekarang, kok jadi seperti balapan. Belanja ke minimarket, segera comot barang dan bergegas ke kasir. Motor langsung distarter dan pelintir gas. Pernah hampir terlewat ketika disapa seorang teman.

Buseeet. Ritme hidup jadi ngebut gini saat di luar rumah. Begitu pulang, sampai rumah, otomatis menuju botol hand sanitizer di atas meja kamar tamu. Semprot tangan agar psikis merasa cukup "aman" karena bakteri dan teman-temannya--apa pun makhluk tak kasat mata--di telapak tangan ini, pasti ko'it. 

Mensterilkan area tangan berlanjut ke wastafel untuk cuci tangan pakai sabun. Setelah selesai, masih ditambah cuci kaki. Sebelumnya, jaket dan celana panjang juga langsung “dikarantina”, taruh di sudut ruangan. Mendadak juga tidak terlalu sembrono lagi, enggak main lempar baju. 

Keseharian jadi agak lebih "higienis". Tapi beneran merindukan masa-masa ketika begitu masuk rumah langsung "terbang" menuju kasur atau ndlosor ke lantai, tanpa perlu ganti baju dan celana. Ritme hidup mulai berubah. Bergerak cepat kala di luar, tapi malah jadi slow saat di dalam rumah.

Sambalbawang mendadak “mati gaya”, dan ujung-ujungnya hanya muter-muter seantero rumah. Nonton youtube, baca buku, lihat Natgeo, film, main gitar, memasak ini-itu, bersihin sana-sini, dan juga… banyak sleep. Masih kurang, sambalbawang jadi mengisi rutin instagram. Jreng from home. Coba cek ke ig, yaks, hehe.

Sekitar 10 hari, sudah tidak ada ritme rutin seperti biasa dilakoni mereka yang bergelut di usaha jahit. Sambalbawang dan dik bojo sudah nggak ke Kebun Sayur atau ke toko di Jalan Sudirman untuk belanja kain dan bahan jahit. Menghabiskan stok.

Namanya usaha jahit, ya berkaitan dengan “ngadang” orang. Tapi pelanggan juga banyak mendekam di rumah. Sama-sama waswas bin rada parno untuk keluar rumah. Semuanya kini dipaksa menjalankan imbauan work from home. Hanya beberapa pelanggan yang datang ke rumah, karena waktunya baju mereka selesai.  Beberapa lain memakai jasa ojek online.

Acara nongki-nongki sama teman, sudah dibuang. Agenda piknik ke Malang (sekaligus bablas mudik ke Jogja) di akhir Maret ini, juga sudah dilipat--untung belum beli tiket pesawat. Jadwal nonton film di bioskop, dan jalan-jalan ke mal, sepertinya juga sudah di-delete dulu sampai setidaknya bulan depan.

Mendadak, sambalbawang merasa sebagai “kaum rebahan”. Meski tetap membereskan urusan rumah, mengurus “pasukan ikan nila” di empang belakang rumah, hingga hunting keong (dua hari sekali) untuk pakan dua kura-kura piaraan, tetap saja sambalbawang merasa ikut andil menjadi “kaum rebahan”.

“Kaum rebahan” ini istilah yang disematkan ke mereka, terutama kaum milenial yang sering terpaku menatap ponsel, bermedsos ria, disambi ber-WA ria, sembari tiduran di kasur. Cukup jempol untuk menari-narikan pendapat ke jagat maya.

Begitu cepatnya penularan COVID-19 alias virus Corona menjadi alasan di balik work from home, yang akhirnya bikin kita banyak mendekam di rumah. Pemerintah mesti menerapkan bermacam cara guna menghadang kecepatan si virus yang setelah menghantam Tiongkok, kini menyasar cepat ke negara lain.

Work from home, dulu, bisa jadi dianggap “surga” bagi para pekerja kantoran atau yang kerjaannya masih harus berurusan sama kantor.  Bersekolah dari rumah, mungkin juga enggak terpikir oleh para pelajar yang pasti sempat mengalami masa-masa bosen sekolah, dan di lubuk hatinya mendamba “sesekali ingin bolos”. 

Saat ini, work from home, malah ada gunanya. Malah jadi imbauan. Kita malah diminta untuk diem saja di rumah. Setidaknya ini membantu banget bagi para tenaga medis agar tidak terjadi lonjakan pasien di rumah sakit. Jadi, tak ada salahnya kita banyak mendekam dulu di rumah, sampai masalah Corona ini dituntaskan. 

Work from home akhirnya disebut-sebut sebagai aktivitas "rebahan". Sebetulnya ya agak-agak kurang pas sih, karena sebagian orang--termasuk sambalbawang--enggak melulu (jarang) mantengin hape sambil tiduran. Tapi ya, bener juga sih kalau parameternya adalah durasi badan nyentuh kasur--haduh mengapa kini mata mendadak lebih akrab sama bantal, sih..

Jadi, gegara work from home, ritme harian melambat dan jauh lebih santai. Meski jelas sulit dan butuh terbiasa banget untuk bisa beneran mendekam di rumah seharian. Bahkan meredam hasrat jalan-jalan, pun, terasa menyiksa. Tapi, iya benar, secara tidak langsung banyak di rumah juga ada dampak positif, misalnya menghemat duit karena jadi memasak terus dan mengurangi frekuensi jajan. Tetapi di sisi lain, pemasukan juga seret, dan ini bikin pening kepala juga.  

Ritme usaha menukik. Mesin-mesin jahit bahkan tidak menderu sejak dua hari lalu. Order jahit sih ada, tapi pelanggan menunda mengambil. Mereka pun ngumpet di rumah masing-masing. Imbasnya dik bojo sambalbawang, juga jadi males menjahit--meski tetap juga dijahit perlahan. Sambalbawang sebagai co-asisten dik bojo, juga terhenti aktivitasnya.

Cerita sendu lainnya, dua pelajar SMK yang mengikuti Praktik Kerja Industri (Prakerin) di rumah, juga sudah off sejak pekan lalu, seiring instruksi sekolah. Setelah sebulan rumah diwarnai kehadiran mereka, rumah mendadak sepi lagi. Padahal mereka lagi semangat-semangatnya karena senang dapat lokasi Prakerin di usaha sambalbawang yang bertitel "Modiste Samantha" a.k.a Samantha Project ini.

Biasa muter--sering sampai malam--dan kini dipaksa diem di rumah, badan sambalbawang kok rasanya malah meriang. Bisa jadi karena kebanyakan lihat atau nonton berita seputar Corona. Nonton orang-orang pada pakai masker dan sarung tangan, bisa bikin jadi rada parno. Saat melintas di jalanan, lihat warung sepi, juga sedih. Roda perekoniman masyarakat benar-benar terpuruk.

Tapi sambalbawang yakin para tenaga medis, pemerintah, dan semua yang berada di garda depan berperang lawan Corona, jauh lebih beresiko. Kita-kita yang di rumah, kalau terpaksa ke luar rumah, mungkin masih bisa menerapkan social distancing—bahkan phsycal distancing. Tetap bisa, ya itu tetap dalam skala relatif sih.

Tapi mereka di garda depan, mustahil menerapkan social dan physical distancing itu. Nyawa benar-benar jadi taruhan. Apa yang kita bisa? Jika tidak bisa membantu langsung, jadi kaum rebahan, sudah cukup bagi mereka. Plus doa, tapi. 

Masa cuma rebahan doang. Tapi wait.. doa dan rebahan juga belum cukup. Perlu juga untuk tidak panic buying dan panik berlebihan. Untuk yang terakhir ini, ya mesti butuh ketenangan hati.  Membeli barang seperlunya, karena itu juga berkaitan dengan keluarnya rupiah dari dompet.

Barusan sambalbawang menengok ke dapur. Melihat stok dapur. Ada 10 mi instan dan dua bungkus mi kering. Beras sudah beli minggu kemarin, cukup 5 kg. Baru saja beli telur 20 butir, karena stok habis. Sebungkus kopi, teh, roti tawar, 500 gram gula pasir, dan tiga renteng susu kental manis sachetan untuk “teman” kopi.

Oh ya, ada juga kue kering coklat, dan keripik singkong sebagai camilan. Beberapa ruas jahe di dalam kulkas, sebungkus kecil sambel pecel, beberapa wortel, sawi seikat, tomat 7 butir, dan cabai rawit sebungkus kecil. Cukuplah… 

May God Bless Us..