Senin, 30 Maret 2020

MUSIK ZAMAN DAHULU vs ZAMAN NOW, MANA YANG BERKUALITAS ?


Musik era mana yang lebih bagus? Mana lebih berkualitas? Musik atau lagu era zaman dahulu atau zaman now? Barangkali ini termasuk pertanyaan “abadi” dengan jawaban berjilid-jilid panjangnya karena akan memantik komentar semua generasi. Antara penting dan tidak penting sih, untuk dibahas, tapi kok menggelitik.

Perang argumen terlihat lumayan sengit di ranah youtube, tepatnya pada kolom komentar. Coba saja menuju deretan lagu-lagu jadul, katakanlah era tahun 80-90. Mereka--yang pastinya generasi lawas--akan memunculkan komentar-komentar nyelekit, menyindir kualitas musik/lagu era kekinian. Dianggap enggak kreatif, kualitas rendah, dan seterusnya.

Apalagi kalau lagu (yang termasuk legenda) itu ada yang berani-beraninya ngasih “jempol kebalik”. Atau jika itu dialamatkan ke penyanyi atau band jaman dulu (jadul) yang terkenal dan dikenal sebagai musisi papan atas. Wuiih, bisa semakin nyelekit komentar para penikmat musik generasi lawas yang rata-rata sudah usia kepala 4 ke atas. Apalagi mereka yang sudah diehard banget sama si penyanyi atau band itu. Meski banyak pula yang nanggepin secara santai dengan menyebut "mungkin tanda jempol kebalik itu dikira untuk download".

Komentar berwujud "jempol kebalik" ini bisa sangat panjang memenuhi kolom komentar. Mereka yang ngasih komentar gitu, langsung dicap sebagai anak muda sekarang yang enggak paham musik. Langsung mereka dipertanyakan kadar sense of musik-nya, buru-buru dicap "generasi tik-tok" yang enggak ngerti musik berkualitas, dianggap kurang jauh dolan alias minim wawasan, dan lain-lain. Apalagi kalau ada (anak muda) yang baru tahu lagu (lawas) karena keduluan akrab sama lagu cover-nya—yang kebetulan hits, dan baru kemudian mencari lagu orisinilnya karena penasaran.

Nah, sambalbawang coba nanya-nanya iseng ke beberapa teman--generasi lawas dan muda--bagaimana mereka melihat perdebatan ini.. Novi Abdi (44), jurnalis, pehobi naik gunung dan tentu saja penikmat lagu, menyebut ranah musik sering terlalu luas untuk dilihat sampai ke ujung-ujungnya. “Karena saya tidak bisa membandingkan dari hal teknik dan teknologi,” ujar Novi yang sering dipanggil suhu Gimbal ini. 

Sehingga, menurut Gimbal, jika ada orang yang merasa musik di masa dia lebih baik dari era anaknya yang kini berumur 10-20 tahun, ya wajar. Mereka yang kini berumur 40 tahun atau lebih, sebagian juga mengklaim sebagai generasi yang mengalami masa-masa “surga” musik. Sedikit gambaran, saat remaja, suhu Gimbal sudah berkenalan dengan God Bless, Slank, Kla Project, Krakatau, Gigi, dan lain-lain. Sementara, untuk asupan musik luar negeri, antara lain Metallica, GNR, Europe, Bon Jovi, Nirvana, Roxette.

“Musik, di masa lalu, zaman dahulu, untuk bisa menikmatinya butuh perjuangan. Itu dari sisi pendengar. Dari musisinya, ada semacam kewajiban moral untuk berkarya yang terbaik, dan mesti berbeda dari karya musisi lain. Tuntutan komersialitas tidak seberat sekarang,” kata Gimbal.

Artinya lagi, musisi zaman dahulu benar-benar punya waktu untuk bikin musik sesuai idealismenya. Namun Gimbal juga menggarisbawahi bahwa musik adalah soal selera. Seniman musik berkarya juga sesuai lingkungannya—sesuai era mereka. Musisi sekarang, menurutnya, banyak juga yang berkualitas. Gimbal menunjuk beberapa seperti Banda Naira, Payung Teduh, Silampukau, Monita, dan lainnya. “Payung Teduh misalnya, kualitas musiknya ya the best. Mereka menguasasi teknik bermusik dengan sangat baik, juga punya kepekaan sosial,” kata Gimbal.

Musik jaman kini tetap punya sisi idealis. Gimbal menyebut, sebagian orang di generasinya juga bisa menikmati musik Payung Teduh, misalnya. Lirik menjadi salah satu kekuatan band yang kini sudah bubar itu. Meski, sebetulnya, lirik-lirik lagu Payung Teduh tidak bisa digolongkan lirik khas era sekarang. “Sebab, lirik-lirik lagu tahun 1940-1950 juga sudah begitu,”ujar Gimbal yang jelas diehard Metallica, dan bahkan sempat dibela-belain nonton konsernya di Jakarta tahun 2013 lalu.

Lalu apa kekurangan musik sekarang? Tentang ini, Gimbal menyebut musiknya banyak yang sama. Akhirnya sulit mencari kekhasannya. “Biasanya karena pakai resep copy paste. Satu band sukses dengan lagu mellow, maka yang lain mengikuti. Banyak yang datang dari jalur instan semisal ajang pencarian bakat, tidak teruji untuk berkarya.  Kalau ada jalan mudah untuk sukses dan terkenal, kenapa harus susah-susah. Tapi itulah yang membuat generasi yang lebih tua, melecehkan,” ujarnya.

Tapi sekali lagi, Gimbal mengutarakan, selera musik tiap orang berbeda. Selera musik dibentuk oleh pendidikan dan pengalaman. Mereka yang bilang musik di zamannya lebih bagus, barangkali sudah berhenti mendengarkan musik. “Tantangan anak sekarang untuk bermusik mungkin lebih ke bagaimana mengalahkan dirinya sendiri untuk tidak tergoda sukses instan. Atau tentang (mempertahankan) konsistensi,” kata dia.

Banyak penyanyi/band/musisi sekarang mengkover lagu—yang diunggah ke youtube—dan beneran menampilkan kualitas bagus. Gitaris fingerstyle juga mendapat ruangnya, seperti Sungha Jung—yang bahkan sekelas Jason Mraz pun ingin berkolaborasi dengannya. Bahkan banyak juga yang mengkover lagu, justru lebih bagus daripada versi aslinya.

Sekarang, musisi atau yang ingin bermusik, mendapat kemudahan melalui youtube, juga kanal platform lain. Banyak yang rajin mengunggah video dan siapa pun bisa melakukan. “Ada band-band yang membawakan lagu apa saja, enak. Vokalisnya cantik, aransemennya juga wiiiih, nyeees. Tapi ya hanya sampai di situ. Mengunggah--ke youtube—bisa menunjukkan keapikan bermain, juga untuk pemasaran, tapi bukan bikin terkenal sebagai musisi kreasi,” ucap Gimbal.

Nah, sekarang kita gantian tanya ke anak muda. Putra Utatsu (23), gitaris band Teralist, juga punya pendapat.  Sekedar informasi, band aliran underground di Kota Minyak ini baru saja meluncurkan single bertitel “Matikan Aku !”. Klipnya bisa kita pantengin di youtube. Teralist menggabungkan nuansa musik oldschool dan modern--bahasa kerennya “in between”.

Putra menyebut, musik zaman dahulu—era 2010 ke bawah—lebih beragam. Dia memang anak muda zaman now, tapi juga mengenal banget band-band seperti Megadeth, Slayer, hingga Michael Learns to Rock (MLTR). Band-band itu termasuk referensinya juga dan memberi pengaruh. Kupingnya akrab karena lagu-lagu mereka sering disetel orangtuanya.

Putra tidak setuju jika orang mengatakan musik sekarang kurang beragam. “Sekarang, orang-orang lebih banyak berani menggabungkan ide kreatifnya dari nuansa musik oldschool maupun modern. Dari sisi teknis juga ada yang berbeda.  Kalau dulu merekam lagu, dan apa-apa dengan alat analog, tapi sekarang sudah digital. Mau suka yang analog atau digital, itu sih relatif,” papar Putra, yang posisinya sebagai gitaris di Teralist.

Berbicara soal musik, menurut Putra, apa pun zamannya, apa pun genrenya, juga alat-alat musik yang dipakai, kita tetap bisa menikmati dan memilih musik yang ada. Semua itu hanya soal selera. Musik lebih ke pemersatu sosial. Karena itu pula Putra yakin kalau lagu-lagu yang sekarang hits, akan tetap dikenang orang 20-30 tahun mendatang.

“Musik akan terus beregenerasi. Seperti halnya (band) Queen atau Michael Jackson, atau untuk musisi Indonesia seperti God Bless dan Dewa 19. Karya musik apa pun itu, saya percaya enggak akan pernah enggak dikenang. Biar pun musiknya tidak terkenal/hits sekalipun, tapi paling tidak karya musiknya bisa diceritakan ke anak cucu. Dan menjadi kenangan. Musik itu abadi,” ujar Putra.

Musik lokal Balikpapan, tambah Putra, sebenarnya juga enggak kalah hits—dibandingkan geliat musik dari kota-kota besar lain di Jawa. Akhir-akhir ini banyak musisi lokal Balikpapan mulai merilis single dan album. "Antara lain The Sperms, Biru Tamaela, Better Think of Something, dan Lilac," kata Putra.

Band yang disebut terakhir, Lilac, baru berumur tak lebih 3 bulan. Band beraliran pop progresif ini sudah merilis dua lagu bertitel “Dewi” dan “Saat”. Sebagai anak muda, gitaris Lilac, Arnold Yansen, juga berkomentar terkait topik musik jadul versus musik zaman now ini. Arnold menyebut, musik zaman dahulu alias zaman jadul, penuh inspirasi.

“Zaman dahulu adalah saat pertama kali musik dieksplorasi. Kalau sekarang, musik-musik baru sudah susah ditemukan. Ya mentok-mentoknya musik Electronic Dance Music (EDM) yang baru. Kalau dilihat rata-rata band sekarang acuannya berdasarkan musik zaman dulu,” kata Arnold yang ngefans sama Andra and The Backbone dan Peterpan/Noah ini. 

Memang kurang adil kalau membandingkan kualitas musik antargenerasi. Pendapat itu pun disuarakan Teddy Rumengan (43). Teddy bisa dibilang sudah akrab dengan musik dan lagu lintas genre. Musik selalu diputarnya tiap hari. Perjalanannya berkenalan dengan musik lumayan panjang. Bahkan tahun 1992 lalu, saat masih sekolah, Teddy sudah jadi penyiar radio komunitas. Tahun 1996 dia jadi penyiar profesional di salah satu radio di Balikpapan.

Bagi Teddy, masing-masing generasi atau zaman, punya (banyak) musik dan lagu yang bagus. Di Tanah Air, tiap zaman aliran musiknya agak beda. “Tahun 60-an, lebih kalem. Tahun 80-an, agak cengeng. Tahun 90-an banyak pop-rock, dan awal 2000 musiknya lebih bervariasi. Tahun 2000, mulai banyak R&B, musik elektro disko seiring banyak muncul kafe, pub, dan bar. Musik makin berkembang dan kita bisa makin memilih,” kata Teddy.

Apa lagi yang membedakan musik now dan musik jadul? Teddy menyebut, salah satunya adalah suasana live atau konser. Dulu, konser rata-rata di lapangan terbuka dan ada potensi rusuh, setidaknya saling senggol. Sekarang, nyaris enggak ada. “Nonton konser, dulu (era 90-an) lebih asyik. Kalau sekarang, lebih safe (aman)” ujar Teddy.

Teddy berharap ada band asal Balikpapan, atau Kaltim yang betul-betul bisa mengguncang se-Indonesia. Namun sejauh ini dia belum menemukan. “Band-band lokal di sini, sayang sekali, hanya bertahan sebentar. Itu karena bermusik masih dianggap sebagai hobi, bukan pekerjaan. Jadi ya enggak profesional sepenuhnya,” kata Teddy.
 
Sementara, satu lagi perwakilan anak muda, blogger di Balikpapan, Adam Afrixal, juga memberi komentar. Adam mendengarkan semua aliran musik. Menurut dia, musik sekarang banyak yang remix atau pengembangan dari melodi zaman dahulu. “Dengar remix, saya malah penasaran sama lagu aslinya. Kadang malah suka yang aslinya,” kata Adam.

Meski begitu, tetap ada yang baru di musik sekarang. Misalnya musik eksperimental yang cukup berani mencoba sesuatu yang enggak pernahg terdengar sebelumnya.  Atau ada twist-nya sendiri. Meski tidak menjamin diminati khayalak umum.  Saat ditanya, apakah musik sekarang yang hits tetap dikenang 20-30 tahun ke depan, Adam yakin itu bisa.

Oraiit. Sekarang pindah ke pendapat cewek. Sambalbawang tanya yang deket saja : Atha Nalurita, atau yang lebih beken disapa “Mbak Samantha”. Ah, KKN-nih namanya. Ya enggak apa-apa, sah kok, namanya juga "dik bojo". Bolehlah dimintai komentar dia sebagai pelaku UMKM skala kecil, tapi juga penikmat musik sejak remaja. Mewakili kalangan awam. Di rumahnya, selalu terdengar musik. Atha rutin berlangganan musik streaming berbayar.

Dari sudut pandang awam, seperti Atha, musik jaman dulu--era sebelum  tahun 2000--dianggap lebih beragam.  Banyak genre, dan ada ciri khas tiap band atau musisi yang bisa “nyantol” di ingatan. Lirik-lirik lagu era dulu juga dirasa lebih puitis. KLa Project sejauh ini yang dianggap punya banyak lagu dengan lirik puitis level tinggi. 

Atha menyetel musik semua genre kecuali dangdut. Namun diakui, ia lebih bisa menikmati musik era tahun 2000 ke bawah. Namun ia juga tidak menyebut musik sekarang kalah kualitas. Sebab, dia juga ndengerin musik dari band-band kekinian, terutama asal Jepang. “Hanya saja, memang lebih hapal penyanyi atau band zaman dahulu, era 1990-an hingga 2000-an. Ada sih sekarang yang saya tahu lagu-lagunya, tapi tidak banyak,” kata Atha.

Setelah “mencerna” semua komentar, sambalbawang menarik kesimpulan bahwa musik memang selera personal. Enggak bisa dan enggak fair ketika lalu diarahkan ke perbandingan mana yang lebih berkualitas. Juga bakal debatable. Lagipula, definisi musik dan lagu yang berkualitas, bisa beda antar orang. Meki begitu, kecenderungan orang akan musik yang disuka, pasti ada.

Saat beranjak remaja, sejak kelas 1 SMP, menurut sambalbawang, adalah era telinga mulai menampung banyak musik. Mulai penasaran, mulai mencari musik, dan mulai bertanya. Sekaligus menyeleksi musik mana yang bisa dinikmati. Tapi, saat itu pula, dorongan eksternal, seperti pengaruh teman, pergaulan, saudara, dan lain-lain, ikut berperan.

Sambalbawang menapak masa remaja ditemani banyak band luar biasa. Dari luar, antara lain Metallica, GNR, Nirvana, Green Day, Bon Jovi, Cranberries, Roxette, Mr Big, White Lion, Michael Jackson, MLTR, Bryan Adams, No Doubt, Alanis Morisette, Mariah Carey, hingga The Offspring. Menapak dewasa, ada Foo Fighter, Linkin Park, Avril Lavigne, hingga Eminem. Masih juga dapet sedikit kejayaan Air Supply dan Europe.

Dari Tanah Air, di rentang masa remaja sampai dewasa, berjejal banyak musisi/band. Ada KLa Project, Gigi, Jamrud, Tipe-X, Trio Libels, AB Three, Potret, Dewa19, Sheila on 7, Base Jam, Padi, Jikustik, Slank, Java Jive, Cokelat, Humania, Wong. Masih juga dapet ujung kejayaan Krakatau, Fariz RM, God Bless, dan Iwan Fals.Di jajaran penyanyi solo, misalnya, ada Iwa K, Nugie, Atiek CB, Nicky Astria, Reza, sampai Chrisye. Belum lagi deretan band semacam Netral, Kahitna, Bumerang, Minoru, The Fly, hingga Project Pop. Nama terakhir ini tetap mesti dimasukkan karena terbukti keren. Enggak mudah lho bikin lagu bernuansa komedi. Dan semua di atas itu, sepertinya belum cukup jadul.  Ahahaha.

Nah yang wes bisa dikategorikan jadul itu ya seperti The Beatles, ABBA, Deep Purple, Elvis, atau Air Supply. Eh tambah satu lagi, Aerosmith. Mereka... tua, jadul, tapi ngerik...  Dan, dari semua band di atas--setidaknya dalam beberapa tahun terakhir--sambalbawang justru paling banyak menyetel lagu…. ABBA. Terkait grup musik asal Swedia ini, sambalbawang bahkan sampai nulis beberapa artikel di blog ini—silakan mencari yaks. Eh ketahuan deh kalau condong ke musik jadul.

Kembali ke selera musik, tiap orang punya minat beda. Kuping ini sudah menentukan selera. Meski sambalbawang bisa “melahap” semua musik bahkan dangdut, keroncong, hingga tembang, namun ujung-ujungnya kembali ke selera asal. Ini susah berubah. Apa mau dikata, Sambalbawang masih sulit bisa menikmati musik yang berkembang sekarang macam K-Pop dan EDM. Kalau hanya untuk denger (sesekali), ya masih bisa, sih. Mungkin ini sesusah orang yang kadung fanatik sama motor merek H***A. Dipaksa ganti merek, ya susah.

Meski begitu, bagi sambalbawang, musik itu bahasa universal. Selalu ada kompromi dan titik temu, jika semua sepakat bahwa musik itu tidak mengenal “tembok”. Lintas generasi bisa bareng duduk untuk ngobrol soal musik. Seperti sambalbawang sendiri yang bikin lagu dan kemudian dibawakan oleh Lilac. Tentu dengan sentuhan kekinian. Hasil akhirnya, lagu yang sambalbawang tulis, ya terasa fresh beraroma kekinian, meski ada pula nuansa era 2000-an. Hihi.

Wuih tak terasa sudah panjang banget artikel ala-ala ini. Kita akhiri dulu. Apakah artikel ini akan berlanjut, tentu saja. Pantengin terus blog sambalbawang. Untuk menutup tulisan, sambalbawang comot judul lagu ABBA ya : “Thank You For The Music”.
  

2 komentar:

  1. Salut sama om sambel bawang yg selalu punya wktu utk menulis hal2 menarik. Dan sekarang ttg musik, sesuatu yg universal meskipun beda dari generasi ke generasi. Soal selera mmg ga ada benar salah ya... Suami dan aku suka setel lagu Bon Jovi, White Lion, MLTR, Guns N Roses dan penyanyi lain yg ngetop d jaman kami. Anak2 ga protes, bahkan kdg ikut "rengeng2" (bersenandung ya bahasa Indonesia nya? Hehe). Tp saat mereka diminta setel lagu mreka, yg keluar lagu Alan Walker. Giliran kami org tua yg ga boleh protes. Gantinya, kami cari siapa itu Bang Alan Walker dan apa isi liriknya daaan..kami belajar utk menikmati lagu anak jaman now sembari "rengeng2" juga..

    BalasHapus