Selasa, 23 Maret 2021

BERHARAP BALIKPAPAN SEMAKIN CEPAT DAN KREATIF UNTUK "BERLARI"

Masih dalam rangka Hari Jadi Kota Balikpapan ke-124 tahun ini, yuk sejenak melihat seberapa cepat dan greget kota ini untuk "berlari". Balikpapan memang banyak berbenah di semua lini. Tapi belum cukup cepat “berlari” kalau parameternya adalah lomba lari.

Pemandangan Teluk Balikpapan
 Saya merasakan udara Balikpapan untuk pertama kali tahun 2008 lalu, atau tiga tahun sebelum menetap. Saat itu saya ke Kota Minyak ini terkait pekerjaan selama beberap hari. Selang beberapa waktu kemudian, saya ke Balikpapan lagi. Masih terkait pekerjaan.

Banyak orang sini bilang, kalau sudah kena air Mahakam, maka akan balik. Kalau sudah ke Kaltim, sudah kena air sungainya, bisa balik lagi. Sepertinya itulah yang terjadi. Sudah punya feeling jauh hari, sehingga ketika akhirnya pindah lokasi kerja ke Balikpapan, awal tahun 2011, saya tidak kaget.

Bahkan, di tahun itu juga saya mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) sementara—yang segera dipermanenkan. “Kok bisa-bisanya kamu yakin banget ber-KTP Balikpapan. Pekerjaanmu kan pindah-pindah,” begitu pertanyaan beberapa teman.

Susah juga menjelaskan. Tapi saya seperti punya intuisi kalau bakal menetap di sini. Banyak sih godaan untuk pulang kampung, ke Yogyakarta. Opsi itu tidak pernah diambil karena saya telanjur sudah merasa nyaman di sini, juga karena punya usaha sendiri.

Ketika keluar dari kerjaan kantoran, hampir dua tahun lalu, saya memilih tetap tinggal di Balikpapan. Ada sih tawaran pindah pekerjaan, tapi rasa-rasanya berat meninggalkan kota ini. Mereka yang pernah tinggal di Balikpapan, pasti cukup mengerti alasannya.

Balikpapan punya banyak potensi di sejumlah sektor. Mulai dari sektor jasa, pariwisata, industri, hingga ekonomi kreatif. Tapi sepertinya baru sektor jasa dan industri yang kelihatan, setidaknya kelihatan dari sisi masyarakat awam.

Banyak dibangun perkantoran, hotel, termasuk menggeliatnya kawasan industri Kariangau sampai perluasan kilang Pertamina, jadi tanda visual paling mudah. Sektor jasa dan industri sepertinya bukan masalah berarti. Ibaratnya, tinggal menggelinding.

Laju Balikpapan teredam saat krisis batubara sejak tahun 2014. Dampaknya terutama terasakan tiga-empat tahun. Banyak tenaga kerja yang meninggalkan Balikpapan, juga Kaltim, seiring banyak perusahaan terimbas.

Tapi di saat-saat susah itulah, Balikpapan sebenarnya malah terpicu semakin kreatif. Setidaknya, yang mudah dilihat adalah munculnya usaha kuliner kreatif dengan nama yang lucu-lucu. Seiring itu pula, teknologi dan internet makin berkembang.

Semua yang bisa terakses online (daring), perlahan jadi bisnis baru. Diawali fenomena ojek online tahun 2015 yang segera membawa efek domino. Sektor kuliner terimbas paling masif dan berkembang sangat cepat. Coba saja mencari apa saja kuliner di Balikpapan, semua ada.

Banyak sektor lain terimbas, termasuk ekonomi kreatif. Termasuk usaha jahit saya sendiri, yang saya jalankan bareng istri. Usaha jahit bisa “naik kelas” karena kini leluasa berselancar di jagat maya. Memakai platform apa saja. Bisa website, kanal berbagi video (youtube), dan medsos.

Selaras perkembangan kota lain, Balikpapan juga mengikuti. Paling kentara memang menjamurnya usaha kecil, atau istilahnya Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Bentuknya antara lain angkringan, kedai kopi, sampai cukur rambut.

Demikian pula di lini fashion, juga seni budaya--termasuk musik. Balikpapan belum secepat kota-kota lain terutama di Jawa. Geliatnya sih, ada. Tapi rasa-rasanya kurang mendapat tempat dan kesempatan. Padahal, kalau bicara potensi, seratus persen jelas ada.

Nah, kita coba bergeser ke pertanyaan umum. Balikpapan punya banyak tempat untuk semakin mendukung semua industri ekonomi kreatif itu, juga menghelat banyak acara, tapi kok serasa kurang ada gaungnya. Atau apakah ada program yang tidak efektif?

Terlalu luas dan panjang jika menjawab itu. Biarlah para pakar dan para tokoh yang menjawab. Saya hanya berharap ada terobosan yang benar-benar solutif. Balikpapan butuh banyak ikon. Tak hanya ikon wisata seperti Pantai Manggar. Tapi juga ikon dalam wujud program.

Tentu itu sinkron dengan pemanfaatan ruang dan bangunan. Ada Gedung Parkir Klandasan, Gedung Kesenian Balikpapan, Taman Tiga Generasi, sampai Taman Bekapai. Rasanya sih, Balikpapan tidak punya kendala serius. Pihak swasta kan juga ikut berkontribusi.

Gedung Parkir Klandasan yang buka tahun 2017, dan besarnya “segede gaban” itu, nyatanya meleset dari peruntukan. Sepi melulu. Padahal besar anggaran untuk bikin. Sementara, Gedung Kesenian Balikpapan juga belum nampak masif menggelar acara kesenian (dan budaya). Malah seringnya jadi lokasi resepsi pernikahan.

Balikpapan bisa lebih memanfaatkan asetnya, minimal ya dua gedung itu. Saya membayangkan “berikan” kepercayaan dan kesempatan pada anak-anak muda Balikpapan. Baik itu seniman, musisi, atau pelaku industri kreatif khususnya yang nonkuliner.

Berikan juga ruang untuk para pelestari seni tradisi. Balikpapan punya tetangga dua kabupaten, Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara. Kalau bicara etalase awal, jelas Balikpapan, setidaknya karena bandara besarnya di sini.

Tapi kalau bicara potensi wisata, mestinya tiga daerah ini bisa bareng. Balikpapan yang punya venue (Gedung Kesenian Balikpapan) paling cepat dijangkau, mestinya mengambil peran. Menggelar acara seni budaya secara rutin, entah bulanan atau tahunan. Jadikan itu ikon.

Coba bayangkan jika setiap bulan, atau setiap dua minggu sekali ada event seni di gedung itu. Bayangkan efek dominonya. Jangan pesimistis. Kalau event rutin berjalan, dan ada pemasukan dari tiket, maka pelaku seni budaya pun hidup.  

 Tak hanya itu malah jika efek domino terus bergulir. Semakin terbuka ruang juga untuk mengenalkan sejarah Kota Balikpapan. Sehingga tidak banyak bertumpu ke Rumah Cagar Budaya Dahor. Misalnya, coba dihidupkan lagi memori nostalgia masyarakat, melalui taksi kayu, angkot jadul.

Wisata sejarah belum banyak digarap. Saya paham, itu pasti akan berat. Tapi Balikpapan masih beruntung punya beberapa lokasi cagar budaya seperti Meriam Markoni, bungker Jepang, Tugu Perdamaian Australia, sumur minyak Mathilda, hingga rumah Dahor itu.

Ambil contoh Meriam Markoni. Saya beberapa kali ke sana. Memang ada upaya memerbaiki sekaligus mengamankan aset. Tapi tetap terasa kurang greget setiap datang. Tidak ada petugas. Serasa ada yang kurang. Entah apa yang lain merasakan.

Situs Markoni itu sebenarnya sangat apik. Ada di bukit sehingga kita bisa melihat sepenggal Teluk Balikpapan. Kapal-kapal terlihat. Ingatan pasti akan menuju ke situasi Perang Dunia II. Balikpapan juga salah satu lokasi perang dasyat itu, di wilayah Pasifik. 

Banyak kan potensi Balikpapan. Belum lagi pesona alamnya, terutama kawasan bakau, Kebun Raya Balikpapan, dan Hutan Lindung Sungai Wain. Semoga semua, terutama pemangku kebijakan dan mereka yang peduli, termasuk kawan-kawan di Ekraf Balikpapan agar kota ini semakin cepat "berlari" tapi tetap terkendali. Tetap "memeluk" alam.

Balikpapan jangan hanya cepat berlari di ranah industri dan jasa, atau menggencarkan ranah properti, tapi juga cepat berlari di sektor lain tadi itu. Agar kita tambah bangga. Sebentar lagi Balikpapan kan bertetangga dengan Ibu Kota Negara. Mesti banyak greget, dong. Selamat Hari Jadi Kota Balikpapan ke-124. Jaya selalu.


 

RUTIN GANTI MASKER SAMPAI MINUM JAHE, KEBIASAAN BARU SELAMA PANDEMI COVID-19

Pengen nulis lagi ah, tentang apa yang berbeda seiring kita yang kini dipaksa “berdampingan” dengan Covid-19. Tak hanya tentang pekerjaan yang terganggu, tapi kebiasaan baru pun ternyata muncul. Memakai masker, sering ganti baju, rutinitas mencuci meningkat, dan minum jahe.

Sengaja saya tidak bahas cuci tangan atau memakai hand sanitizer. Agar topiknya tidak terlalu melebar. Oke, saya bahas dulu tentang masker. Saya punya sekitar 20 masker di rumah. Aneka jenis dan warna. Sebagian masker hasil jahitan sendiri. Maklum saya dan istri kan menjalankan usaha jahit baju. Bikin masker sih, tinggal mencet pedal mesin jahit.

Masker juga kami jual. Tapi di artikel ini saya enggak bicara tentang jualan masker. Tapi kebiasaan bermasker yang akhirnya jadi rutinitas, khususnya kalau bepergian. Sebelum pandemi Covid-19 saya paling diribetkan urusan ponsel dan kaca mata. Biasa, sering lupa meletakkan.

Nah, di masa pandemi, keribetan itu bertambah satu, yakni memakai masker. Urusan ini pun, menginjak bulan ketiga atau keempat virus merajalela, semakin kompleks. Cukup saya bilang kalau itu adalah tentang gonta-ganti masker.

Entah paranoid atau seratus persen taat protokol kesehatan, saya mengartikan bahwa memakai masker ini ada penjelasan rincinya. Yakni, masker mesti sering diganti. Di bulan pertama pandemi, sehari masih (cukup) satu masker.

Tapi perlahan intensitas pemakaian meningkat. Terutama di enam bulan terakhir, sehari bisa “habis” dua masker, bahkan lebih. Kondisi ini tentu saja lantaran semakin seringnya saya harus ke luar rumah. Work from Home (WFH) 24 jam sehari, 7 kali seminggu, tentu tidak bisa.

Bahan jahit meski dibeli. Urusan lain juga butuh dilakukan. Bersamaan masker, maka baju pun ikut gonta-ganti. Kadang, sekali keluar rumah, ganti baju dan ganti masker. Setidaknya, dalam benak saya, itu bisa memimalkan resiko penularan virus.

Sering ganti masker dan baju, tentu berimbas ke intensitas mencuci. Hampir tiap hari, kini saya pasti mencuci sejumlah masker dan baju. Untuk yang terakhir, perubahan memang sangat drastis. Tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Saya termasuk malas ganti baju. Dulu, satu baju bisa dipakai dari pagi sampai tidur. Mau ke mana saja, ya itu-itu saja bajunya. Sekarang, minimal dua baju sehari seperti hukum wajib. Kostum di rumah, beda sama kostum saat keluar rumah.

Jadilah pemandangan rutin di rumah adalah jemuran. Kalau lagi malas, saya menjemur masker-masker di kamar mandi. Sehari, biasanya juga kering. Pakai pengharum, maka hasil jemuran masker—juga baju-- tidak apek. Masalah sepertinya selesai.

Nah, karena sering mencuci baju, lambat-laun semua yang masih bernama “kain” jadi ikut banyak kecuci. Jika dulu selimut dan jaket lebih sering dicuci di tempat laundry, sekarang atau sekian bulan terakhir, cuci sendiri. Tanggung, sih.

Hasilnya ya lebih indah karena keranjang tempat baju kotor, lebih sering nampak “lega”. Dulu, bisa jadi sampai bertumpuk tak karuan, bahkan sampai ke keranjang kedua, karena nyaris seminggu semua baju tidak dicuci. Jadi kalau pas mencuci, seabreg.

Dampak lain yang tidak penting dibahas tapi lumayan menarik adalah saya bisa gonta-ganti merek deterjen. Jadi tahu mana deterjen paling murah harganya. Sama seperti stok teh dan gula pasir, stok detergen di rumah kini juga dilarang habis.

Urusan memakai masker yang berkaitan intensitas mencuci adalah hal penting. Karena bau masker itu akan melekat selama saya memakai. Memakai masker yang harum (karena pakai pewangi), bisa berkorelasi dengan ketenangan bermasker. Hehehe.

Tapi yang lebih penting lagi, sebisa mungkin mengganti rutin masker setiap pergi memang perlu. Ini karena saya masih punya kebiasaan menaruh masker di saku celana atau jaket. Satu lokasi dengan kunci motor, ponsel, juga duit recehan. Resiko, bukan?

Kita sudahi dulu soal masker, baju, dan cuci-mencuci. Sekarang ke kebiasaan baru lainnya, yakni minum jahe. Tepatnya minum air rebusan atau seduhan jahe dalam kondisi hangat atau panas. Sebelum pandemi, minum jahe ini adalah aktivitas kadang-kadang.

Sekarang, minum jahe bisa dikatakan hampir tiap hari. Entah rebusan jahe murni tanpa gula, atau variannya. Seperti jahe susu, jahe plus madu, jahe campur kopi, teh campur jahe, teh jahe susu, dan susu coklat jahet. Bahkan memasak oseng tempe pun, kadang saya pakai air jahe.

Kebiasaan minum jahe lebih sering ini muncul di bulan pertama pandemi merebak, April tahun lalu. Karena tidak cukup paham bagaimana melawan virus dari sisi asupan minum, maka jahe menjadi pilihan pertama untuk ditenggak.

Saya yakin kalau jahe bisa meningkatkan imun tubuh. Minimal bikin hangat dan lega saluran pernafasan. Juga menyamankan perut. Jadilah saya minum jahe sampai dua kali sehari. Entah mengapa, secara psikologis, itu pun bikin tenang hati.

Masih ingat ketika di masa-masa awal virus mulai bikin panik orang-orang, saya kesulitan membeli jahe, terutama jahe merah. Kios-kios sayur, kehabisan stok jahe. Bisa-bisanya ya. Tapi itulah yang terjadi. Sisa jahe di rumah, pun, saya iris-iris kecil agar bisa untuk bahan baku dua hari.

Jahe biasanya saya uleg, lalu direbus. Tapi sesekali saya hancurkan pakai blender. Kalau sedang ingin versi “tubruk” maka potongan atau serpihan jahe saya masukkan sekalian ke gelas. Versi lainnya, jahe disaring sehingga air jahe terlihat bening.

Apakah kebiasaan minum jahe ini pernah kelupaan. Sebenarnya tidak pernah. Tapi pernah beberapa kali bosan minum jahe. Opsi pun jatuh ke jamu, terutama kunir asem. Sesekali juga bikin beras kencur. Setelah itu, kembali lagi ke jahe.

Untung saja saya tidak kesulitan mencari jahe di Balikpapan. Tapi entah juga apakah selepas pandemi, saya mengurangi intensitas minum jahe. Sepertinya sih, tidak. Begitulah.



 

PANTAI MANGGAR BALIKPAPAN YANG BIKIN GEMES

Dalam rangka Hari Jadi Kota Balikpapan ke-124 saya ingin curhat tentang Pantai Manggar. Ini lokasi andalan pariwisata Balikpapan, Tapi apakah pantai itu sudah memenuhi ekspektasi? Jawabannya : belum. Pantai Manggar punya potensi tapi belum cukup menarik. Masih bikin gemes. Belum bikin kangen banget untuk datang lagi dan lagi. 

Cobalah ke sana. Saya sudah puluhan kali ke sana di rentang 10 tahun ini, terakhir pekan lalu. Benar, wajah Manggar sudah jauh berbeda beberapa tahun terakhir. Lebih baik. Akses jalan pun lebih bagus.

Tapi, itu semua tidak cukup jika kita Balikpapan harus “menjual” pantai itu.  Suka tidak suka, Pantai Manggar belum menarik perhatian orang luar Balikpapan. Saya misalnya, pernah mengajak beberapa kawan dari Jawa ke sana. Respons mereka : kalem saja.

Mereka pernah ke banyak pantai di penjuru negeri. Bagi mereka, Manggar ya biasa. Tak butuh waktu lama di pantai tersebut karena sepertinya memang tidak ada yang bisa dinikmati berjam-jam. Tidak ada yang benar-benar nampak unik.

Mari ke kondisi riil. Saya ke Pantai Manggar hari Minggu (21/3) lalu. Untuk kedua kalinya di tahun 2021. Harapan cukup besar seiring pemberitaan terkait Covid-19 yang sepertinya mulai agak reda. Harapan ingin melihat Manggar tampil beda.

Ternyata, harapan tinggal harapan. Dari pintu depan alias loket masuk, sudah nampak pemandangan dua arah. Kendaraan yang keluar diarahkan di jalan yang sama dengan kendaraan masuk. Bahkan beberapa motor yang masuk begitu saja, tak dicegat.

Menyusur ke arah timur, aspal jalan tak sampai ujung. Beberapa motor juga parkir leluasa, bukan di kantong-kantong parkir. Selepas hujan, sebagian area parkir yang belum diaspal, tergenang air di sana-sini. Mereka yang mobilnya sedan atau yang ground clearance-nya rendah, pasti bakal pusing mencari lokasi parkir.  

 Ruangan di sudut masuk jalan yang bertuliskan “Pusat Informasi” nampak kosong. Menuju ke sudut barat, ada area yang menandakan itu “play land” alias taman bermain. Tapi yang nampak di mata hanya “rangka” kayu kusam tak terawat.

Lupakan juga bersantai di tepian pantai, di bawah pohon cemara yang teduh. Dari ujung ke ujung, sudah kena “kapling”. Sudah digelar banyak tikar. Apakah menikmatinya gratis? Tentu saja tidak. Dompet mesti dibuka (lagi).  

Sewa satu tikar seharian, yang tanpa atap terpal, dibanderol Rp 30.000. Sedangkan yang memakai atap, Rp 50.000. Jadi, mari kita berkalkulasi. Berapa biaya piknik satu keluarga, sejumlah empat orang, yang naik motor ke Manggar. 

Di loket masuk, keluar uang Rp 40.000. Ditambah parkir satu motor Rp 5.000, maka pengeluaran sudah Rp 50.000. Begitu masuk lebih jauh ke pantai, mereka ingin duduk di hamparan pasir tepi laut. Tapi semua lokasi yang teduh, sudah terisi tikar (sewaan).

Mau tidak mau, mereka akan menyewa tikar. Tidak mungkin mereka hanya berdiri, mondar-mandir, atau duduk selonjoran begitu saja. Menyewa satu tikar, berarti Rp 30.000. Barulah mereka bisa bersantai. Tanpa beli camilan, pun, satu keluarga ini sudah menghabiskan uang Rp 80.000.  

Sayangnya lagi, menikmati pemandangan pantai masih terusik dengan sampah di sana-sini. Begitu mudah saya melihat aneka sampah plastik, dari tas kresek (kompek), botol air mineral, plastik bening sisa isi salome, hingga bungkus camilan.  Belum lagi puntung rokok.

Jangan berharap banyak bisa menemukan toilet yang benar-benar bersih. Bahkan, menemukan warung yang menyediakan menu ikan bakar pun, bisa jadi kita sulit menemukan. Beda kalau mencari menu mi instan, atau salome, banyak yang sedia.

Entah apa ini tentang selera atau apa. Tapi saya cukup yakin kalau menu makan di pantai mestinya ya tidak jauh-jauh amat dari isi laut. Apalagi pantai ini dekat dengan kampung nelayan. Mestinya menu laut yang jadi menu utama warung.

Apakah penilaian saya tentang Pantai Manggar ini berbeda? Saya iseng bertanya ke beberapa teman. Salah satunya Chita, wiraswasta, yang juga ibu satu anak. Ternyata hasil pengamatan kami, lebih kurang sama. Manggar kurang menarik.

Saya gemes lihat Manggar, begitu juga Chita. Kalau dikasih level gemas 1-10 (minimal ke maksimal), maka rasa gemas saya ada di posisi 8. Tapi Chita malah memberi level 9. Malah kata dia lagi, Pantai Manggar tidak ramah anak.

Adanya banana boat pun, tidak menggoyahkan pemberian peringkat oleh Chita itu. Bahkan, katanya, ia lebih memilih ke Pantai Lamaru yang notabene “tetangga” Manggar. Terlepas dari harga tiket, saya juga sepakat sama dia.

Demi acara piknik yang lebih bisa dinikmati, saya yakin orang rela mengeluarkan uang lebih. Terlebih mereka yang memang suka pantai. Manggar tetap punya daya tarik. Orang luar Balikpapan banyak yang berwisata ke sana. Pantai ini masih punya magnet.

Tinggal sekali lagi apa terobosan dilakukan Pemkot Balikpapan agar pantai yang nama lengkapnya “Pantai Manggar Segara Sari “ ini berubah jadi menarik. Berubah menjadi pantai yang benar-benar bikin kangen, untuk datang lagi dan lagi. Bukan pantai yang bikin gemes setiap kali kita ke sana.

Banyak pekerjaan rumah harus digarap agar Pantai Manggar berbenah. Tidak perlu terlalu jauh memikirkan apa wahana yang akan dibuat. Cukup benahi dulu apa yang ada. Saya rasa itu bukan hal yang mustahil. Demi pariwisata.

Pantai Manggar memang sepi acara di masa pandemi. Tapi setidaknya juga jangan berarti sepi pembenahan. Saya yakin, Pemkot Balikpapan sudah melakukan banyak cara untuk mempercantik Manggar agar semakin menyamankan pengunjung.

Ribuan orang ke pantai ini setiap pekan. Artinya ada potensi besar menarik wisatawan dalam jumlah yang lebih banyak jika Pantai Manggar dibikin lebih menarik. Lebih menarik secara visual, lebih asyik secara kenyamanan, dan lebih tertata.

Semoga ke depan Pantai Manggar tidak semakin bikin gemes. Tapi bikin saya, kita, juga wisatawan luar kota, ketagihan untuk datang lagi dan lagi. Memakai momentum Hari Jadi Kota Balikpapan ke-124 tahun ini, semoga pihak terkait, semakin memberi perhatian ke Pantai Manggar. Banyak harapan juga ke teman-teman di Ekraf Balikpapan terus mendukung kota ini.

Selamat Hari Jadi Kota Balikpapan ke-124 .Jaya selalu.

 

Jumat, 05 Maret 2021

LUAR BIASA, BEGITU BANYAK FILM DOKUMENTER PERANG DUNIA II

Apa yang belum terceritakan di buku, majalah, dan artikel-artikel seputar Perang Dunia II? Pastilah visualisasinya. Dan kita beruntung, cukup banyak film dokumenternya. Lewat cakram optis, kanal youtube, hingga di tayangan berseri Natgeo, semua bisa membayangkan suasana PD II dan menyelami lebih dekat setiap pertempuran dan cerita.

Benar-benar luar biasa. Dokumentasi itu masih bisa kita lihat sampai sekarang, padahal perangnya sudah rampung 75 tahun lalu. Masih susah lho, membayangkan ada orang-orang yang berani mengangkat kamera merekam pertempuran dari dekat. Di darat, laut, maupun udara. Sempat-sempatnya, eh.. Sebagian dari mereka bahkan sampai kehilangan nyawa.

Tidak terhitung berapa gulungan pita terselamatkan, bisa diperbaiki, dan yang dipindah formatnya ke digital. Jika tulisan dan foto bisa bercerita banyak tentang PD II, maka rekaman video memberi nuansa lain. Kita, misalnya, bisa membayangkan bagaimana situasi pertempuran. Tapi tetap saja belum cukup mengerti seberapa dekat bahayanya bagi si pengambil gambar.

Ada lho, dokumentasi video dari kru kapal perang Amerika di tengah-tengah serangan kamikaze pesawat-pesawat Mitsubishi Zero Jepang. Kita bisa jadi ngerti bagaimana hantaman pesawat itu langsung menimbulkan bola api besar dan mengepulkan asap pekat. Ada pula video dokumentasi pengapnya kondisi di dalam kapal selam U-Boat Jerman. Ada juga rekaman suasana parade tentara Jerman di depan Hitler, saat awal-awal perang.

Kita juga bisa menyaksikan blitzkrieg (serangan kilat) Jerman dari konvoi panzer-panzer saat menginvasi Polandia. Barisan atau lebih tepatnya parade tentara Jerman saat memasuki Paris, Perancis, setelah menaklukan kota itu, ada videonya. Masih ingat raungan sirene pesawat Ju-Stuka Jerman? Melalui film dokumenter, kita bisa mendengar sirine yang memekakkan telinga dan menciutkan nyali pasukan lawan ketika pesawat itu menukik ke bawah.


Gerak maju pasukan Jerman ke daratan Rusia (operasi Barbarrosa) yang tersendat gegara lumpur tebal dan musim dingin, tak ketinggalan terdokumentasi. Sekaligus saat mereka balik dipukul mundur. Gelombang tentara Merah Rusia yang tinggal setengah km dari bunker Hitler, juga ada rekamannya, baik dari sisi Jerman maupun Rusia. Termasuk saat-saat terakhir Hitler.

Pihak yang dalam posisi menekan atau hampir menang, punya kesempatan lebih banyak untuk membuat rekaman demi rekaman. Masih ingat kan, visualisasi seperti cendawan raksasa yang terbentuk pascabom atom dijatuhkan? Terlepas dari dasyatnya bom, persiapan membawa bom itu juga ada dokumentasi visualnya. Di film-film dokumenter, bahkan komplet dibahas bagaimana polemiknya, pro-kontra, jauh sebelum bom itu dirakit.

Pendaratan pasukan sekutu (D-Day) di pesisir Perancis, di tahun 1944, yang merupakan operasi amphibi terbesar, juga cukup banyak terdokumentasi. Banyak pula cerita para prajurit yang melihat satu demi satu kawannya tertembak, tapi tak bisa banyak menolong. Ransel saja sudah berat dan terus dihujani peluru waktu menuju pantai.

Melalui film dokumenter, kita bisa melihat hancurnya bangunan-bangunan di London karena kiriman bom pesawat Jerman—termasuk roket V-1. Juga hancurnya kota-kota di Jerman karena Inggris balik membalas, bahkan barengan sama Amerika. Film dokumenter juga tak lupa menampilkan halaman depan sejumlah surat kabar Inggris dan kondisi pasukannya, dengan iringan suara sang perdana menteri, Winston Churchill yang berpidato membakar semangat rakyat: We shall never surrender ! 


Sebagian dari video (yang masih hitam-putih) itu merupakan video rampasan perang—yang pasti belum sempat dimusnahkan pihak lawan. Ada juga yang mengangkat wawancara para veteran perang yang selamat dari pertempuran mematikan. Juga dari keluarga mereka.

Sambalbawang tidak punya banyak dokumentasi video PD II. Baru “sempat” mengoleksi beberapa VCD. Semuanya dibeli di toko. Beberapa judul misalnya Hiroshima (BBC); Auschwitz-The Nazis & The Final Solution (BBC); War of The Century-When s.Hitler Fought Stalin (BBC); Jeremy Clarkson War Stories-The True Stories of Two Audacious World War II Mission.

Secara garis besar, isi VCD itu sudah tahu, kan. Dari judulnya aja sudah tergambar. Ambil yang Jeremy Clarkson dulu. Doumentasi ini gaweannya Jeremy yang notabene juga presenter acara otomotif Top Gear. Dia mewancarai (menulis kisah) prajurit veteran PD II yang mendapat Victoria Cross, penghargaan militer tertinggi.

Dalam War of The Century, kita menonton cepatnya tentara Jerman dan kendaraan mereka merangsek masuk tanah Rusia. Rusia akhirnya mengambil langkah mundur, yang belakangan terbukti jitu. Semakin jauh kendaraan melaju, rantai logistik pun makin panjang, bukan?

Ditambah musim dingin yang amat dingin (sampai diistilahkan sebagai Jenderal Winter), pasukan Jerman yang tidak cukup persiapan--karena nyaris tidak berbekal pakaian hangat, jelas bertumbangan. Bisa bayangkan suhu yang hampir 50 derajat di bawah nol ? Tak hanya prajurit yang tumbang, oli mesin kendaraan pun beku. Menarik loh cerita ini.

Oke kita kembali ke koleksi film. Karena VCD yang bisa diburu, terbatas, kita ganti obrolan ke dokumentasi video di Natgeo dan yang bertebaran di kanal berbagi video (youtube). Di sinilah “surga” bagi para penyuka kisah-kisah PD II. Beneran, banyak cerita menarik dituang di sana.

Sambalbawang “melahap” semua (atau hampir semua) tayangan seri documenter PD II di Natgeo (sebagian ada juga di youtube). Di sini kisah-kisah dinukilkan secara rapi dan menarik. Misalnya tentang galangan tempat kapal-kapal selam Jerman diperbaiki, dan bagaimana pihak lawan melumpuhkannya.

Banyak pertempuran epik disajikan dari kemenangan armada udara Inggris melawan serbuan pesawat Jerman (Battle of Britain); penyerbuan ke pulau Iwo Jima; pertempuran Midway; hingga “kampanye” Jerman di sisi utara Afrika yang dipimpin Erwin Rommel.

Ada pula film dokumenter yang mengangkat cerita napak tilas ke lokasi-lokasi bersejarah, seperti benteng Atlantik-nya Hitler di Norwegia; tempat latihan pesawat tempur Jerman; bunker-bunker Jerman yang kokoh; hingga ke perairan lokasi karamnya kapal-kapal perang. Ada juga kisah bertahan hidup tentara di belantara Australia.

Sebagian dokumentasi video itu berkonsep diceritakan ulang. Disusun dari keping-keping dokumentasi video, dijalin menjadi cerita beralur. Ada pula yang dibikin filmnya (secara serius) dengan adegan-adegan yang mendukung. Misalnya di film-film dokumentasi tentang Hilter, diperankan oleh mereka yang wajah dan posturnya cukup mirip dengan Hitler. Wuih..

Tayangan-tayangan tersebut jadi terasa lebih sip karena dilengkapi analisis-analisis berdasarkan data dan pengamatan lapangan. Di episode Perang Dunia II yang ditayangkan kanal Natgeo misalnya, bercerita tentang awal invasi Jerman ke tanah Rusia. Jerman mengerahkan ribuan pesawat, termasuk pembom legendaris Junkers JU-88.

 Selama PD II, Jerman memproduksi lebih 9.000 JU-88. Tapi sedikit yang selamat pascaperang. Nah satu JU-88 ini ditemukan di dasar danau di Norwegia, lalu direstorasi. Pesawat itu terbilang fenomenal, karena tercepat di eranya. Kecepatan menukiknya 360 mil per jam. Fast bomber. Akurasi menjatuhkan bom, juga apik. JU-88 lincah, cepat, tapi juga rentan sisi pertahanannya. Di film dokumenter itu, menariknya juga dipaparkan situasi kokpit, termasuk kecanggihan JU-88 yang sudah mengadopsi sistem autopilot. JU-88 bisa mengatur otomatis sudut menukik, berhenti menukik (setelah menjatuhkan bom), dan kembali menanjak. Ini penting karena dalam sejumlah kasus, manuver itu berimbas pada tekanan gravitasi yang bisa bikin kru pesawat pingsan.

Jerman berjaya di awal dengan JU 88. Dua hari pertama invasi ke Rusia, 2.000 pesawat Rusia bisa dihancurkan. Kebanyakan pesawat Rusia ini masih di darat. Istilahnya, pesawat-pesawat itu dalam posisi siting duck. Mangsa empuk. Rusia kaget, tak mengira diserang secepat itu. bahkan lebih buruk lagi, Rusia tak mengira Jerman menyerang--karena itu berarti melanggar kesepakatan damai.

Lanjut ke cerita. Invasi tertahan meski Jerman tinggal 300 km menuju Moscow. Hitler memilih mengamankan dulu ladang minyak Kaukasus. Masukan dari para jenderal--di antaranya Jenderal Hadler--agar Jerman langsung merebut Moscow, tak diindahkan. Waktu terbuang, momen hilang. Jerman bahkan sudah telat memulai kampanye perang di Rusia karena musim dingin tiba. 

Dan begitulah Jerman berbalik menelan kekalahan demi kekalahan karena meremehkan Rusia. Di sisi lain, Jerman tersudut pula dari sisi barat (pasca D-Day). Banyak hal menarik terjadi usai PD II. Di film dokumenter Natgeo itu misalnya, Jenderal Hadler bekerja di angkatan darat AS, dan dia membukukan cara kerja Nazi Jerman. Salah satu pilot JU-88, setelah perang,

Ada pula film tentang pendaratan pasukan AS ke Iwo Jima Jepang. Pulau kecil itu dipertahankan mati-matian oleh Jepang dan bagaimana strategi Jepang memanfaatkan setiap detil pulau itu sebagai benteng. Pertaruhan Jepang sangat besar. Kalau Iwo Jima (yang ada pangkalan terbangnya) sampai direbut, maka tanah Jepang terancam bombardir pesawat.

Iwo Jima adalah pertempuran paling berdarah selama PD II di wilayah Pasifik. Amerika pun tak mengira korban jiwa dari kedua pihak bakal sebanyak itu (total sekitar 26.000 orang). Mungkin inilah pertempuran terepik di mana tentara Jepang bertahan dengan kecerdikan dan segala keterbatasannya—lantaran sudah terdesak.

Bahkan sampai ada filmnya loh, berjudul “Letters from Iwo Jima”. Ini bisa dibilang termasuk film tentang PD II yang favorit bagi sambalawang. Bagaimana Jepang, bisa dibilang bertempur sampai serdadu terakhir. Eh, ada yang belum nonton film ini? Ayo buruan nonton. Ini film bagus, lho. Sambalbawang bahkan sampai nonton beberapa kali. Yuk tengok sedikit film itu.


Sangat banyak film yang dibikin berdasar pertempuran PD II, kisah-kisah kepahlawanan para prajurit, atau yang hanya "menumpang" di cerita. Masih ingat kan sama film Band of Brothers, Midway, hingga Admiral Yamamoto. Dan oh ya tentu saja Furry-- menceritakan lima prajurit di satu tank Amerika yang bertempur menghadang pasukan Jerman. 

Begitulah setiap inchi PD II selalu menarik untuk diceritakan, ditulis ulang, dianalisis dari berbagai versi, hingga difilmkan. Lewat tayangan bergerak, kita melangkah lagi lebih “dekat” ke pertempuran demi pertempuran. Bener-bener tidak enak dan mengerikannya sebuah perang. Kita bisa membayangkan, merasakan, seandainya jadi tentara. Atau minimal jadi warga yang ketakutan karena pesawat menderu di atas sambil memuntahkan bom.

PD II yang berdurasi enam tahun tak hanya dimenangkan di medan laga. Sebagian harus dimenangkan dari laboratorium. Ada begitu banyak ilmuwan yang mempelajari senjata musuh dan mencari teknologi untuk menghadang dan mengunggulinya. Pertempuran juga ikut dimenangkan dari menderunya pabrik-pabrik yang tak henti memproduksi peralatan dan peluru. Pertempuran juga sangat ditentukan pihak mana yang paling punya bahan bakar. Itulah sebab pasukan Jerman yang sedang ngebut ke Moscow, diperintah Hitler untuk belok dulu, merebut kilang minyak lawan.

Wuuh, sampai ke mana-mana pembahasan soal PD II di artikel ketiga ini. Kita sudahi saja, ya, ntar jadi kepanjangan nih artikel. Sudah lumayan panjang nulis pun, kayaknya baru secuil yang tersampaikan. Enggak apa-apa. PD II memang topik yang terlampau menarik dan tidak mungkin dituang dalam beberapa tulisan. Setuju ? Sip. Oke, bahasan yang sekira terlewat, biarlah nanti untuk dituang di artikel keempat (kapan yaaaa).

 

BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :

KOLEKSI BUKU DAN MAJALAH PERANG DUNIA II YANG TERUS BERTAMBAH 

SEKILAS TENTANG PERANG DUNIA II

7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA

KETEMU ANGKRINGAN RADEN BALIKPAPAN, KEMBALI "NGANGKRING" 

BAWA KAINMU, JAHITKAN KE SAMANTHA PROJECT

MERASAKAN "COKOTAN" BU TEJO DI FILM TILIK 

AKU DI BELAKANGMU, TIGER WONG 

CHINMI JAGOAN KUNGFU KUIL DAIRIN 

ABBA, TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA 

MENGAPA HARUS NGEBLOG ? 

BASA WALIKAN 

MUSIK JADUL VS JAMAN NOW, MANA LEBIH BERKUALITAS ? 

NGOBROL BARENG MAS BENNI LISTIYO SEPUTAR MUSIK 80-90AN 

THE BEATLES FOREVER 

THE AQUARIAN 

TENTANG HONDA (3) INILAH STAR'S FAMILY