Masih dalam rangka Hari Jadi Kota Balikpapan ke-124 tahun ini, yuk sejenak melihat seberapa cepat dan greget kota ini untuk "berlari". Balikpapan memang banyak berbenah di semua lini. Tapi belum cukup cepat “berlari” kalau parameternya adalah lomba lari.
Pemandangan Teluk Balikpapan |
Banyak orang sini bilang, kalau sudah kena air Mahakam, maka akan balik. Kalau sudah ke Kaltim, sudah kena air sungainya, bisa balik lagi. Sepertinya itulah yang terjadi. Sudah punya feeling jauh hari, sehingga ketika akhirnya pindah lokasi kerja ke Balikpapan, awal tahun 2011, saya tidak kaget.
Bahkan, di tahun itu juga saya mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) sementara—yang segera dipermanenkan. “Kok bisa-bisanya kamu yakin banget ber-KTP Balikpapan. Pekerjaanmu kan pindah-pindah,” begitu pertanyaan beberapa teman.
Susah juga menjelaskan. Tapi saya seperti punya intuisi kalau bakal menetap di sini. Banyak sih godaan untuk pulang kampung, ke Yogyakarta. Opsi itu tidak pernah diambil karena saya telanjur sudah merasa nyaman di sini, juga karena punya usaha sendiri.
Ketika keluar dari kerjaan kantoran, hampir dua tahun lalu, saya memilih tetap tinggal di Balikpapan. Ada sih tawaran pindah pekerjaan, tapi rasa-rasanya berat meninggalkan kota ini. Mereka yang pernah tinggal di Balikpapan, pasti cukup mengerti alasannya.
Balikpapan punya banyak potensi di sejumlah sektor. Mulai dari sektor jasa, pariwisata, industri, hingga ekonomi kreatif. Tapi sepertinya baru sektor jasa dan industri yang kelihatan, setidaknya kelihatan dari sisi masyarakat awam.
Banyak dibangun perkantoran, hotel, termasuk menggeliatnya kawasan industri Kariangau sampai perluasan kilang Pertamina, jadi tanda visual paling mudah. Sektor jasa dan industri sepertinya bukan masalah berarti. Ibaratnya, tinggal menggelinding.
Laju Balikpapan teredam saat krisis batubara sejak tahun 2014. Dampaknya terutama terasakan tiga-empat tahun. Banyak tenaga kerja yang meninggalkan Balikpapan, juga Kaltim, seiring banyak perusahaan terimbas.
Tapi di saat-saat susah itulah, Balikpapan sebenarnya malah terpicu semakin kreatif. Setidaknya, yang mudah dilihat adalah munculnya usaha kuliner kreatif dengan nama yang lucu-lucu. Seiring itu pula, teknologi dan internet makin berkembang.
Semua yang bisa terakses online (daring), perlahan jadi bisnis baru. Diawali fenomena ojek online tahun 2015 yang segera membawa efek domino. Sektor kuliner terimbas paling masif dan berkembang sangat cepat. Coba saja mencari apa saja kuliner di Balikpapan, semua ada.
Banyak sektor lain terimbas, termasuk ekonomi kreatif. Termasuk usaha jahit saya sendiri, yang saya jalankan bareng istri. Usaha jahit bisa “naik kelas” karena kini leluasa berselancar di jagat maya. Memakai platform apa saja. Bisa website, kanal berbagi video (youtube), dan medsos.
Selaras perkembangan kota lain, Balikpapan juga mengikuti. Paling kentara memang menjamurnya usaha kecil, atau istilahnya Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Bentuknya antara lain angkringan, kedai kopi, sampai cukur rambut.
Demikian pula di lini fashion, juga seni budaya--termasuk musik. Balikpapan belum secepat kota-kota lain terutama di Jawa. Geliatnya sih, ada. Tapi rasa-rasanya kurang mendapat tempat dan kesempatan. Padahal, kalau bicara potensi, seratus persen jelas ada.
Nah, kita coba bergeser ke pertanyaan umum. Balikpapan punya banyak tempat untuk semakin mendukung semua industri ekonomi kreatif itu, juga menghelat banyak acara, tapi kok serasa kurang ada gaungnya. Atau apakah ada program yang tidak efektif?
Terlalu luas dan panjang jika menjawab itu. Biarlah para pakar dan para tokoh yang menjawab. Saya hanya berharap ada terobosan yang benar-benar solutif. Balikpapan butuh banyak ikon. Tak hanya ikon wisata seperti Pantai Manggar. Tapi juga ikon dalam wujud program.
Tentu itu sinkron dengan pemanfaatan ruang dan bangunan. Ada Gedung Parkir Klandasan, Gedung Kesenian Balikpapan, Taman Tiga Generasi, sampai Taman Bekapai. Rasanya sih, Balikpapan tidak punya kendala serius. Pihak swasta kan juga ikut berkontribusi.
Gedung Parkir Klandasan yang buka tahun 2017, dan besarnya “segede gaban” itu, nyatanya meleset dari peruntukan. Sepi melulu. Padahal besar anggaran untuk bikin. Sementara, Gedung Kesenian Balikpapan juga belum nampak masif menggelar acara kesenian (dan budaya). Malah seringnya jadi lokasi resepsi pernikahan.
Balikpapan bisa lebih memanfaatkan asetnya, minimal ya dua gedung itu. Saya membayangkan “berikan” kepercayaan dan kesempatan pada anak-anak muda Balikpapan. Baik itu seniman, musisi, atau pelaku industri kreatif khususnya yang nonkuliner.
Berikan juga ruang untuk para pelestari seni tradisi. Balikpapan punya tetangga dua kabupaten, Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara. Kalau bicara etalase awal, jelas Balikpapan, setidaknya karena bandara besarnya di sini.
Tapi kalau bicara potensi wisata, mestinya tiga daerah ini bisa bareng. Balikpapan yang punya venue (Gedung Kesenian Balikpapan) paling cepat dijangkau, mestinya mengambil peran. Menggelar acara seni budaya secara rutin, entah bulanan atau tahunan. Jadikan itu ikon.
Coba bayangkan jika setiap bulan, atau setiap dua minggu sekali ada event seni di gedung itu. Bayangkan efek dominonya. Jangan pesimistis. Kalau event rutin berjalan, dan ada pemasukan dari tiket, maka pelaku seni budaya pun hidup.
Tak hanya itu malah jika efek domino terus bergulir. Semakin terbuka ruang juga untuk mengenalkan sejarah Kota Balikpapan. Sehingga tidak banyak bertumpu ke Rumah Cagar Budaya Dahor. Misalnya, coba dihidupkan lagi memori nostalgia masyarakat, melalui taksi kayu, angkot jadul.
Wisata sejarah belum banyak digarap. Saya paham, itu pasti akan berat. Tapi Balikpapan masih beruntung punya beberapa lokasi cagar budaya seperti Meriam Markoni, bungker Jepang, Tugu Perdamaian Australia, sumur minyak Mathilda, hingga rumah Dahor itu.
Ambil contoh Meriam Markoni. Saya beberapa kali ke sana. Memang ada upaya memerbaiki sekaligus mengamankan aset. Tapi tetap terasa kurang greget setiap datang. Tidak ada petugas. Serasa ada yang kurang. Entah apa yang lain merasakan.
Situs Markoni itu sebenarnya sangat apik. Ada di bukit sehingga kita bisa melihat sepenggal Teluk Balikpapan. Kapal-kapal terlihat. Ingatan pasti akan menuju ke situasi Perang Dunia II. Balikpapan juga salah satu lokasi perang dasyat itu, di wilayah Pasifik.
Banyak kan potensi Balikpapan. Belum lagi pesona alamnya, terutama kawasan bakau, Kebun Raya Balikpapan, dan Hutan Lindung Sungai Wain. Semoga semua, terutama pemangku kebijakan dan mereka yang
peduli, termasuk kawan-kawan di Ekraf Balikpapan agar kota ini semakin cepat "berlari" tapi tetap terkendali. Tetap "memeluk" alam.
Balikpapan jangan hanya cepat berlari di ranah industri dan jasa, atau menggencarkan ranah properti, tapi juga cepat berlari di sektor lain tadi itu. Agar kita tambah bangga. Sebentar lagi Balikpapan kan bertetangga dengan Ibu Kota Negara. Mesti banyak greget, dong. Selamat Hari Jadi Kota Balikpapan ke-124. Jaya selalu.
Sebentar lagi kemajuan Balikpapan kejar Birmingham deh.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus