Minggu, 27 September 2015

EVEREST

Seorang teman, dengan antusias, mengajak saya menonton film Everest. “Jarang ada film tentang pendaki gunung seperti ini. Paling, kita hanya kenal dengan dua film yang bercerita soal pendakian, yakni Cliff Hanger dan Vertical Limit,” demikian kata temen saya itu.

Baiklah, keputusan diambil yakni nonton. Kembali ke dua film sebelumnya itu, saya sih pernah menontonnya, namun sungguh lupa detil bagaimana penceritaan di situ. Maklum bukan anak mapala, sih, jadi tidak ngeh dengan film soal pendakian.

Dengan embel-embel based on true story, Everest ingin menghadirkan bagaimana alam lebih berkuasa ketimbang manusia. Everest mengangkat sekelumit kisah seorang pemandu pendakian bernama Robert Edwin Hall-diperankan Jason Clarke.

Singkatnya, seorang cowok bernama Robert alias Rob, membuka jasa pemandu pendakian bertajuk Adventure Consultan. Kliennya adalah para pendaki amatir. Meski sebenarnya bukan amatir sih karena mereka yang nekat ke Everest tentu pernah naik gunung. Jadi, singkatnya, mereka membayar Rob untuk memandu ke Everest. 

Namun pada pendakian di awal 1996 itu, musibah terjadi. Sekelompok pendaki mencoba menggapai puncak gunung itu. Satu yang saya ingat adalah Yasuko-diperankan Naoko Mori-cewek Jepang berumur 47 tahun yang sudah mendaki enam gunung tertinggi dunia. Kurang satu yang belum, yakni Everest, gunung tertinggi, 8.848 meter di atas permukaan air laut ini. 

Ada juga seorang jurnalis cowok bernama Krakauer, yang difilm ini diperankan oleh Michael Kelly.
Lalu Beck (diperankan Josh Brolin), pria paruh baya yang katanya lupa mengabari istrinya ketika hendak berangkat mendaki. Kemudian, ada tukang pos bernama Doug-diperankan John Hawkes. Kombinasi para pendaki yang menarik. 

Dari sinilah kisah bergulir. Sang sutradara berupaya membangun Everest agar tidak hanya bisa dinikmati para pendaki gunung. Saya merasa salah satunya. Mendaki gunung satu pun belum pernah, dalam arti serius beneran mendaki. Jadi, sebelum film dimulai, saya sudah ancang-ancang menebak gimana film ini.

Untuk mendaki Everest yang suhunya ekstrem dingin ini, tekad membara enggak cukup. Di sini, Rob harus mengalah menghadapi sisi keras kepala pendaki gunung, ciee. Sayangnya, Rob “terpancing” dengan ulah para kliennya ini. Misalnya ketika membantu anggota timnya untuk menapak puncak, padahal rombongan sudah turun.

Rob akhirnya terjebak dalam badai yang buruk. Yang dibantunya pun mulai berhalusinasi, seiring oksigen yang menipis. Saya jadi tahu bahwa pendaki bisa merasa kepanasan-bahkan sampai melepas jaket-jika terhantam badai nan dingin menusuk tulang. Saya juga jadi tahu bahwa tabung oksigen wajib tersedia di titik-titik tertentu.

Di penghujung film, Rob akhirnya meninggal. Badai yang tak berkesudahan menghalangi tim penyelamat untuk menemukan dirinya. Ending kisah Rob, sudah saya ketahui.  Namun yang menarik bagi saya adalah kisah Beck. Merasa tenaganya habis, Beck menuruti saran Rob untuk berhenti. Beck pun sempat dianggap sudah mati. Namun Beck yang sudah membiru-menghitam ini, “hidup” kembali dan sanggup berjalan menuju tenda.

Sebenarnya bukan film yang menurut saya luar biasa. Tapi lumayan bagus untuk menggambarkan tentang pendakian gunung kepada orang awam. Penonton diajak untuk memotret sisi emosional-psikologis para pendaki.

Dari sisi dramatisasi, Everest bisa menjadi film yang simpel. Sanggup mengerem agar tak menjelma sebagai film melankolis yang meratapi insiden tersebut. Everest bisa menanamkan kenyataan bahwa alam tidak bisa dilawan, meski oleh pendaki hebat sekalipun. Karena itu, tak semua pendaki sukses mendaki Everest.

Beck memang tidak sampai puncak, namun kembali ke rumah adalah kemenangan besar baginya. Ah, inilah intisari yang saya sukai. Tekad Beck untuk bertahan hidup dengan turun gunung, lebih besar ketimbang tekadnya menaklukkan puncak. Asik.

Kalau pun toh ada yang menganggu terkait film ini, hanya soal penontonnya. Sial, karena saya melihat seorang penonton memanggul tas ransel ala pendaki gunung. Melihat cepatnya dia berjalan ke kursi, mudah ditebak tasnya kosong...dan sepertinya baru dibeli. Ah, sampai sebegitunya.


BACA JUGA
"MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA
MAMMA MIA ! HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
HOMPIMPA ALAIUM GAMBRENG UNYIL KUCING

Selasa, 22 September 2015

MENIKMATI HIDUP

Menikmati hidup itu boleh dibilang susah-susah gampang. Setiap orang tentu berbeda mengartikan. Penjelasannya terlampau banyak, dengan setumpuk argumen yang tak kalah rumit. Seorang teman menjawab, hidup perlu dinikmati dengan berwisata. Halaman fesbuknya penuh dengan foto selfie dirinya di tempat-tempat wisata.

Satu teman saya lagi, berpendapat, menikmati hidup dengan mengayuh sepeda. Menikmati sesuatu yang berjalan melambat. Di tengah hiruk-pikuk pekerjaan dan semua yang bergerak cepat, kita perlu melambatkan ritme. Baiklah.

Yang lain dengan mantap menjawab bahwa naik gunung patut dijajal untuk aktivitas menikmati hidup. Mendaki ramai-ramai dan berkemah. Jika sudah sampai di puncak gunung, akan terbentang semesta yang membuat manusia tampak kecil nan kerdil.

"Hei, mengapa kamu tidak memperdalam bakat musikmu?" ujar seorang kawan yang pernah saya perdengarkan lagu ciptaan saya. Musik bisa melampiaskan hasrat. Saya setuju. Namun entah pada akhirnya musik hanya saya nikmati, tidak saya mainkan.

Jika ingin menikmati hidup, lakukan apa yang kamu mau. Itu ujar satu teman lagi sembari menyeringai. Aha. Fantasi akan tubuh perempuan, memang sudah menjadi jalurnya. Menyenangkan, memang, mungkin. Namun saya ingin lebih menikmati hidup.

"Menikmati hidup itu, adalah, mari berpikir saja tentang kita. Ayo melakukan apa yang aku dan kamu inginkan, meski itu harus melepas rupiah cukup banyak. Hanya aku dan kamu," ujar istri saya, sembari menyeruput teh.

Aku mengangkat gelasku, ikut menyeruput teh. Ah, jadi begitulah menikmati hidup dari kaca mata perempuan yang menjadi bagian hidupku. Aku setuju denganmu. Mari kita bersiap dan berkemas.

Minggu, 20 September 2015

SURAT ( cerpen - 3 )

Tujuh tahun aku tidak membuka amplop yang berwarna putih ini. Isinya adalah sepucuk surat. Ya, itu surat yang kutulis tujuh tahun lalu untuk seorang teman. Ah, ya, tentu saja, dia adalah perempuan. Teman perempuan. Berkulit gelap, rambut sebahu-berponi, mata sedikit sipit, wajah tirus, dan badan yang kurus menuju ceking.

Dia tidak termasuk dalam daftar gadis-gadis modern di kampus yang berpakaian modis. Ataupun gadis idola kampus. Malah, mungkin rada jauh dari itu. Dia adalah gadis yang tampil biasa, kalem, dan seadanya. Sapuan bedak di wajahnya pun, kadang terlihat tidak rata. Dia tak terlalu suka berdandan. Namun dia menawan bagiku, setidaknya saat itu, ketika gairah muda menggelora.

Awal mengenal, kami sempat sering bertukar sapa dan canda. Namun segala sesuatu menjadi kaku setelah tiga tahun aku mengenalnya. Tepatnya, sejak aku memberanikan diri mengantarkannya pulang. Sejak itu, tawanya seakan bukan lagi untukku, meski masih ditebar seantero kampus. Senyumnya pun demikian, tidak menuju ke arahku. Cerianya pun seakan dialamatkan pada yang lain.

Tentu saja, semua pasti ada alasan dan penjelasannya. Beberapa petunjuk mulai terlacak olehku. Seseorang, lelaki berperawakan tinggi yang jika ke kampus menyemplak motor keluaran terbaru, terpantau sebagai pihak yang paling sering mendapat perhatiannya. Aku tidak terlalu kenal dengan lelaki itu, meski kampus kami hanya saling berseberangan. Saya hanya tahu namanya. Namun kami pernah bertemu di lorong kampus dan hanya bertegur sapa. "Hei.,,".

Itu saja. Garing, memang. Namun formula garing itulah yang paling tepat kuracik untuk memberi bumbu bagaimana kisah segitiga ini terjalin. Ups, maaf,  bukan kisah segitiga sih, sebenarnya, karena lebih tepatnya kisah cinta searah seperti jalan tol yang tidak ada putar baliknya. Namun istilah "garing" inilah yang kurasa tepat untuk membingkai sekian peristiwa selama aku mengenal mereka.
 
Satu hal yang kuhindari adalah melihat dia bersama dengan temen perempuan pujaan hatiku ini. Namun tampaknya harapan tak sesuai realitas. Aku malah sering menjumpai mereka, sedang berdua. Apakah sulit melihatnya? Tidak juga sih. Hanya saja, yang tersulit itu membalas lambaian tangan mereka. Dan kalau sudah begitu, aku hanya bisa menggerutu. "Ngapain pula aku lewat jalan ini?"

Namun dari semua peristiwa, tidak semuanya garing, kok. Ada juga kisah yang bisa membuatku tersenyum meski bukan senyum ikhlas. Aku pernah dikirimi kartu ucapan selamat tahun baru, meski itu karena mungkin aku mengirimnya duluan. Aku pernah duduk berdua di ruang tamu rumahnya, walau itu lebih sebatas aku mengembalikan buku catatannya.

Tapi agaknya aku paling ingat saat-saat dia membiarkanku membelai rambutnya. Tubuhku basah kuyup waktu itu, karena nekat menerobos hujan datang ke rumahnya. Mantel yang sudah bertahun-tahun kupakai, mulai sobek di sana-sini, sehingga tak kuasa lagi menahan terjangan air.

Aku membelai rambutnya, dengan jari-jemari tangan yang mengkerut dan gigi yang menggeletuk, saking dinginnya malam itu dan derasnya hujan. Dia membiarkanku melakukan itu, namun tak lebih semenit. Sebelum tangannya memegang tanganku dan menurunkannya. "Kau tahu, aku tidak bisa...." ucapmu. Aku mencoba membelai keningmu, tapi kamu sudah menarik tubuh ke belakang.

Suara kakakmu dari dalam rumah mengerem langkahku. Aku kecewa. Aku pun tak ingat lagi apa perkataanmu setelah kalimat itu. Aku terlalu kedinginan karena menerabas hujan deras sejauh 15 km dengan motor bututku. Aku memilih pulang, dan tak mau melihat lagi tatapanmu. Kurasa engkau juga tidak tahu kalau aku meraung menangis di sepanjang perjalanan pulang.

Malam itu pula, aku memutuskan mengurungkan menyerahkan amplop ini kepadamu. Tak perlu kukatakan apa isi amplop itu, meski kamu pun mungkin juga tak bisa 100 persen menebak apa yang kutulis. Tapi baiklah jika pada suatu saat nanti kamu memaksaku untuk mengatakannya.

Meski begitu,aku tidak yakin kamu akan memintaku untuk mengatakannya. Karena toh kamu juga tidak tahu bahwa aku menulis surat ini untukmu, bukan? Cukuplah beberapa suratku yang kulayangkan untukmu. Tak perlu ditambahi lagi oleh satu surat ini.

Hm, baiklah, sekarang, tujuh tahun sejak aku memasukkan surat ke dalam amplop ini, aku akan membacakannya untukmu. Semoga, yah, semoga saja, angin malam yang dingin, dan hujan rintik di luar sana, bisa membawa gema suaraku ke telingamu.

Perlahan, aku merobek sisi samping amplop ini dan mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya. Sudah agak lusuh, tapi lipatannya masih cukup rapi. Perlahan aku membaca surat itu, sembari menyeruput teh tubruk, dan duduk di teras rumah. Tak ada yang terucap. Surat ini tak mencantumkan barang satu huruf pun maupun goresan tinta.

Butuh lima menit aku "membaca" surat yang tak ada isinya itu. Sekian helaan nafas disertai tegukan teh hangat yang melapangkan tenggorokan. Memang tiada pesan yang ingin aku sampaikan kepadamu melalui surat itu, beberapa tahun lalu. Sekian surat yang kusampaikan padamu, sudah cukup bercerita, bukan?