Menikmati hidup itu boleh dibilang susah-susah gampang. Setiap orang tentu berbeda mengartikan. Penjelasannya terlampau banyak, dengan setumpuk argumen yang tak kalah rumit. Seorang teman menjawab, hidup perlu dinikmati dengan berwisata. Halaman fesbuknya penuh dengan foto selfie dirinya di tempat-tempat wisata.
Satu teman saya lagi, berpendapat, menikmati hidup dengan mengayuh sepeda. Menikmati sesuatu yang berjalan melambat. Di tengah hiruk-pikuk pekerjaan dan semua yang bergerak cepat, kita perlu melambatkan ritme. Baiklah.
Yang lain dengan mantap menjawab bahwa naik gunung patut dijajal untuk aktivitas menikmati hidup. Mendaki ramai-ramai dan berkemah. Jika sudah sampai di puncak gunung, akan terbentang semesta yang membuat manusia tampak kecil nan kerdil.
"Hei, mengapa kamu tidak memperdalam bakat musikmu?" ujar seorang kawan yang pernah saya perdengarkan lagu ciptaan saya. Musik bisa melampiaskan hasrat. Saya setuju. Namun entah pada akhirnya musik hanya saya nikmati, tidak saya mainkan.
Jika ingin menikmati hidup, lakukan apa yang kamu mau. Itu ujar satu teman lagi sembari menyeringai. Aha. Fantasi akan tubuh perempuan, memang sudah menjadi jalurnya. Menyenangkan, memang, mungkin. Namun saya ingin lebih menikmati hidup.
"Menikmati hidup itu, adalah, mari berpikir saja tentang kita. Ayo melakukan apa yang aku dan kamu inginkan, meski itu harus melepas rupiah cukup banyak. Hanya aku dan kamu," ujar istri saya, sembari menyeruput teh.
Aku mengangkat gelasku, ikut menyeruput teh. Ah, jadi begitulah menikmati hidup dari kaca mata perempuan yang menjadi bagian hidupku. Aku setuju denganmu. Mari kita bersiap dan berkemas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar