Kamis, 11 September 2014

MENJADI "KONTRAKTOR"

Yogyakarta menyimpan banyak memori. Dari memori hore, pahit-asam-manis-pedes-hingga semriwing. Di provinsi ini, sambalbawang dan keluarga pernah lama banget menjadi warga berstatus “kontraktor”, alias tukang kontrak rumah. 

Masa kecil sambalbawang, beberapa tahun dihabiskan di Kampung Patehan, selatan Alun-alun Kidul. Masa-masa menyenangkan dijalani di sini. Everyday is holiday dan walking-walking-lah. Kalau tidak ada ortu, sambalbawang kadang latihan meloncat turun dari tembok belakang, langsung mendarat di alun-alun. Untung ada bagian tembok untuk pijakan.
Sayangnya, karena kondisi ekonomi dan entah karena faktor apa, rumah mesti dilego. Sedih rasanya. Meninggalkan teman-teman sepermainan. Kami sekeluarga lalu pindah jauh ke pinggiran kota. Daerah ini bernama Nogotirto, Kabupaten Sleman. Kami pindahan naik andong.

Kelas 5 SD sambalbawang merantau jauh ke Ambon, Maluku, mengikuti tugas kantor bapak. Dua kakak sambalbawang tinggal di Yogyakarta, karena duduk di bangku kuliah. Di Ambon, kami berempat, awalnya menempati satu kamar di sebuah penginapan bernama Wima Game. Beberapa bulan di sana, dan seingat sambalbawang, perhelatan Piala Dunia 1990 dipantengi dari TV di sudut kamar losmen itu. Berikutnya, kami sekeluarga lantas pindah ke sebuah rumah yang lapang di Jalan Rijali. 

Kembali ke Yogyakarta, satu caturwulan menjelang Ebtanas SD, kami menuju ke rumah Nogotirto lagi. Namun tak lama, rumah terpaksa (lagi) dijual. Kami sekeluarga lantas pindah ke daerah Rogoyudan, Jalan Magelang. Mengontrak lagi. Lokasi rumah ini dekat dengan Gedung TVRI. 

Sekitar setahun, kami pindah lagi ke sebuah perumahan di daerah Dayu, Jalan Kaliurang km 7,8. Yang ini dibeli, tapi sayangnya hanya bertahan dua tahun, kami pindah lagi, ke Nogotirto. Hanya beda rumah dari rumah dulu.

Di Nogotirto, rumah kontrakan yang ini berlokasi hanya beberapa gang dari rumah sebelumnya. Selang setahun, rumah baru akhirnya bisa dibeli bapak. Lokasinya masih di Nogotirto, jadi syukurlah sambalbawang tak perlu adaptasi lagi. Jadi kami hanya boyongan sejauh 150-an meter. 

Di rumah yang ini, kami punya halaman cukup lapang. Sayang, seribu sayang, rumah itu hanya kami tempati selama enam tahun. Kami harus pindah lagi, dan faktor ekonomi kembali menjadi biang-nya. Bagi sambalbawang yang saat itu masih berumur 20-an, berat rasanya pisah sama teman-teman.

Kontrakan selanjutnya, masih saja di Nogotirto. Yang ini juga hanya  berjarak 100-an meter dari rumah semula. Rumah yang ini lebih tepat disebut "rumah transit". Rumah yang kami tempati sementara.
Sedikit uang sisa penjualan rumah, berhasil dikonversi menjadi rumah mungil di daerah Ngaglik, Sleman, 21 km dari puncak Gunung Merapi. Donoharjo, nama desanya. Tahun 2011 kami pindah ke sana, dan memulai lagi adaptasi yang ternyata menyenangkan juga.
Ini rumah yang kecil, hanya memiliki dua kamar tidur berukuran sempit, satu kamar mandi, dan satu ruang tengah. Plus secuil teras depan. Sambalbawang berbagi kamar dengan seluruh penghuni rumah. Kali kesekian pindah rumah, tetap saja enggak kebagian jatah kamar.

Tetapi, di atas semua itu, untunglah, rumah yang di Donoharjo ini berhasil "selamat" sampai sekarang. Pelan-pelan bisa dibangun orang tua. Teras mulai dibangun, juga dapur dan kamar mandi tambahan. 

Rumah ini menyimpan banyak kenangan, terutama masa-masa muda bersama teman-teman rumah dan mudika gereja. Rumah ini adalah rumah "perjuangan" bapak dan ibu yang tak pernah menyerah dalam hidup.  
Love you Mom and Dad...

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
BASA WALIKAN
AVANZA VS WULING VS XPANDER 
ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA 
KAKEK-KAKEK AIR SUPPLY