Minggu, 24 November 2013

ADUH CANTIKNYA KAMU


     Obrolan bersama beberapa teman, pada suatu siang, tiba-tiba sejenak membahas seputar kisah cinta masa lalu. Bukan kisahnya sih, tetapi teknisnya. Tentang bagaimana mengungkapkan cinta, pada waktu itu, era 80 akhir-awal 90.

     "Dulu mau memegang tangan si dia, minta izin dulu," kata teman saya, laki-laki berumur 37 tahun yang sering mengenakan topi. "Menyatakan cinta, rasanya susah. Nggak seperti sekarang, tinggal pencet SMS-an dan BBM-an," sambungnya lagi.
    Eh, saya jadi teringat masa muda dulu. Ketika merentang cerita cintreng kala duduk di bangku SD hingga SMA, lalu dilanjutkan pda awal kuliah, sampai menjelang kerja. 
     Kala SD, mungkin saja saya memiliki pemuja rahasia. Beberapa kali ditunggui temen cewek yang antusias ingin mentraktir ondhol-ondhol (sejenis siomay), sepulang sekolah. 
     Secara tampang, seringat saya, dia cukup manis. Barangkali cewek termanis sekelas. Bahkan kalau dipikir-pikir bisa jadi dia yang termanis sesekolah.Tapi kog ya saya nggak berpikir jauh. Hahaha, namanya juga anak SD, yang hanya paham bermain kelereng.
      Seorang teman SD, membantu memori saya yang buruk ini. Ternyata pernah ada kejadian "kedip-kedipan" antara teman saya itu, saya, dan si cewek tersebut. Aksi saling kedip ini berdurasi panjang, selama perjalan bis saat berwisata ke Baturraden.
     "Capek, lho, kedip-kedipan selama berjam-jam," kata teman saya sembari tertawa. Kalau dia capek, saya yang gantian berkedip ke temen cewek itu. Begitu seterusnya.
     Masa SD berlalu hanya dengan tentang cerita cinta monyet. Sekilas hilang, dan mulai terlupakan. Nah yang mulai seru, ada di bangku SMP. Mulai ada bidadari singgah di hati.,
      Namanya tidak usah disebut, tapi cukup dinyatakan bahwa dia banyak penggemar. Saya cuma salah satu fansnya. Sedih. Hasil akhirnya, sudah bisa ditebak, jadi tak perlu dipaparkan.
    Tapi, ada satu adegan yang masih teringiang di kepala tentang dirinya. Jadi, insiden itu ketika si dia melempar senyum ke saia. Ini momen langka nan mengejutkan.
     Tempat kejadian perkara-nya adalah ruang kelas. Dikasih senyum semanis madu, tentu saya "melayang". Sakau dah otak ini. Dan pastinya saya membalas senyum.
     Tapi, lalu senyum dia direvisi cepat-cepat. Usut punya usut, doi bukan lempar senyum penuh arti ke saya, tapi senyum prihatin. Karena senyum dia, mengarah ke cowok lain. 
     Namun demikian, saya tetap berterima kasih padanya. Sebab, "bakat" puisi saya menjadi terasah sampai level "gila" karena pesona dirinya yang astaganaga itu. 
     Hampir setiap hari, ada saja puisi terbikin. Temanya, sih, mayoritas, mengharu biru. Dari putus harapan, patah hati, patah semangat, sampai pernyataa sikap cuek akan dirinya. 
     Mungkin, kalau dikumpulkan, itu sudah bisa jadi beberapa buku puisi. Tapi, untunglah, saya tidak sendirian, karena ada dua teman saya juga juga tukang bikin puisi.
     Nah kisah cinta mereka mungkin agak lebih dasyat. Sama-sama terhantam sih, tapi kami baik-baik saja (sampai sekarang). Yang jelas, kami satu nasib.
     Bahkan, satu di antaranya terhempas oleh cewek yang sama dengan yang saya incar tadi. Hebat, bukan? Atau tragis? Tetapi kami akur, kok, malah cocok dan sering curcol.
    Kami bertiga sering menghabiskan waktu di sore hari untuk menyusun puisi. Lokasinya, semua tempat. Sering sambil nangkring di atas pohon. Tak lupa bertukar puisi, dan menertawakan bersama.
    Agar insipirasi datang, sering kami melihat si subyek. Haha. Jadi, si cewek sering kami pantau jika dia keluar gerbang sekolah. Saat dijemput mamanya yang naik motor Yamaha pitung.
    Melihat tampangnya saja, sudah seneng selangit. Teman saya malah pernah lompat-lompat gembir. Benar-benar terenyuh, kan. Tapi begitulah ekspresi kami melihat pujaan hati. 
     Kisah saya juga terselingi kisah teman lain. Seorang teman, dari sekolah lain ikut nimbrung berburu teman satu kelas. Untunglah bukan cewek gebetan saya.
     Singkat cerita, saya disuruh menyampaikan surat cinta ke kawan sekelas saya itu. Kisah cinta teman saya itu juga berakhir pilu. Ditolak mentah-mentah.
     Adegan selanjutnya adalah, saya menemani teman saya itu seharian. Menghibur bahwa ketika cinta ditolak bukan berarti dunia kiamat. Hm, ya sepertinya juga ikut menghibur diri sendiri.
     Ketika sudah beranjak SMA, saya perna sekali iseng untuk dolan ke rumahnya. Naik sepeda dengan semangat 45. Yah siapa tahu. tapi kemungkinan terburuk juga telah dipikirkan.
      Sesampai di depan rumahnya, nampak si dia lagi berkebun di halaman. Dia tidak melihat saya. Tetapi, kok rasanya lidah ini kelu, tak berani menyapa. Tak sanggup mampir.
     Hanya sempat melihat seraut wajahnya. Jantung berdegup kencang, mata berkunang-kunang. Duh Gusti, Jagat dewa batara... Aduh, cantiknya kamu, dik... Habis terpana, saya pulang.
     Merentang kisah, tidak semua tentang cerita sedih. Ada juga cerita asyiknya walau seiprit. Antara lain pernah mendapat surat dari adik kelas. Isinya sih tidak romantis, tapi cukup-lah menghibur. Kami nyaris tak pernah bicara, hanya berkirim surat. 
     Beranjak ke bangku kuliah, tahun pertama adalah tahun ketika saya mengenal sesosok makhluk perempuan lainnya. Terpesona akan poni dan cekingnya, resmilah dia jadi target.
      Hasil akhirnya gagal. Si dia ngumpul terus sama geng-nya, susah dideketin dan mencari waktu luangnya. Suatu sore saya memberanikan diri menepon ke rumahnya. 
     "Halo, ini siapa?" terdengar suara di seberang.  Aduh, kenapa pula ibunya yang menerima telepon. Hati pun langsung ciut, gagang telepon saya letakkan kembali...
      Baru pada usaha menelepon kedua, saya berani melontarkan "apakah saya bisa berbicara dengan ...?" Dan terdengarlah suara cempreng si dia. "Ini siapa?"
     "Aku, temen kuliahmu," sahutku. "Ehm, apa kabar? Sehat-sehat saja kan? Bagaimana kuliahnya?".... Pertanyaan standar... Tapi percayalah, butuh perjuangan untuk mengucapkan itu.



BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
BASA WALIKAN
BLOGER BALIKAPAN RAYAKAN HARI BLOGER NASIONAL 2019