Minggu, 06 September 2020

MERASAKAN "COKOTAN" BU TEJO DI FILM TILIK

Dunia netizen lagi heboh sama Bu Tejo, tokoh utama di film pendek “Tilik”. Apa lagi coba kalau enggak soal nyinyir dan level ghibah-nya yang di atas rata-rata. Banyak yang suka Tilik, tapi tidak sedikit yang mempertanyakan di mana pesan moralnya. Hm, apapun itu, kita ternyata sudah merasakan "cokotannya" Bu Tejo.

 Sambalbawang hanyalah penikmat film kelas amatir. Jadi, ya enggak mau fokus membahas apa pesan moral film karya Wahyu Agung Prasetyo dan ditulis Bagus Sumartono itu. Terlalu berat, eh. Sebab film is just a film. Fungsi utamanya adalah untuk hiburan. Pahami itu dulu, sebelum lihat Tilik, juga sesudahnya. Nah perkara kita nanti bakal terhibur atau tidak, itu perkara lain. Seluruh pemeran film dan kru, juga enggak bisa memaksa kita untuk menyukai film itu.

Mari selintas mencermati pencapaian film sebelum jadi trending topic sekarang. Tilik produksi tahun 2018, dua tahun lalu. Film ini meraih Piala Maya untuk kategori film cerita pendek terpilih. Setelah melongok kanan-kiri, dapetlah penjelasan singkat piala itu. Jadi, Piala Maya adalah ajang tahunan yang diinisiasi para penggemar film online di akun twitter FILM_indonesia.

Tilik juga masuk seleksi Jogja-Netpac Asian Film Festival 2018 dan World Cinema Amsterdam 2019. Film produksi Ravacana Film ini tercipta dari hasil kerja sama dengan Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).  Dari hal-hal di atas tadi, kita punya (sedikit) gambaran kan, kalau Tilik ini film yang dibikin serius. Bukan film asal jadi yang asal cepat.

Piala Maya ini mungkin masih asing bagi sebagian masyarakat yang tidak mengikuti info film Tanah Air. Tapi sambalbawang cukup yakin, penikmat film pasti kenal. Jadi, setidaknya dari situ, kita bisa satu kata dulu : film Tilik memang dianggap sebagai film pendek paling bagus di tahun 2018 oleh (sebagian) penggemar film di Tanah Air.

Sambalbawang menyebut “sebagian” karena masih memberi ruang ke mereka yang (merasa) penggemar film tapi punya patokan sendiri mana film yang baik, mana yang enggak. Hanya saja, sebelum kita membahas “kualitas”,  film Tilik seyogyanya kita tempatkan di ranahnya sebagai film pendek, bukan film panjang, juga bukan sinetron.

Sambalbawang bukan diehard film, meski sering nonton film. Melihat film Tilik ya sebagai orang awam. Karenanya memang tak terlalu berharap Tilik bakalan sarat muatan edukasi, menyematkan pesan moral, atau sesuatu yang "wah". Cukuplah Tilik bisa menghibur. Lha wong di tahap itu saja, tidak semua film bisa menyita perhatian sambalbawang. Baik film pendek, film “setengah panjang”, maupun film panjang (bioskop).

Durasi 30-an menit, adegan di Tilik mayoritas terjadi di atas bak truk. Sekumpulan ibu hendak menjenguk bu Lurah yang dikabarkan ambruk sehingga dirawat di rumah sakit. Obrolan sejak awal didominasi Bu Tejo dan Yu Ning—dua tokoh utama. Topik obrolan berlanjut gosip soal Dian, kembang desa yang diduga kerjaannya “enggak bener”.

Pergosipan pun meluncur tak terkendali, dengan adegan sentral bu Tejo vs Yu Ning. Nama terakhir ini digambarkan lebih “lurus” dan mencoba tidak masuk pusaran ghibah. Tokoh lain, seperti pengendara truk (Gotrek), mas polisi, Yu Sam, dan Dian, hanya mendapat porsi (total) beberapa menit. Tilik memang mengerucutkan Bu Tejo vs Yu Ning.


Ending film ini juga lumayan mengguncang. Sebagian mungkin bakal merasa gemes. Kedekatan Dian dengan pria paruh baya (kayaknya sih) ex-husband bu Lurah, menimbulkan kesan kalau ghibah-nya Bu Tejo yang terbukti benar. Yu Ning, si "sosok baik" malah kalah, setidaknya di dua situasi. Pertama, langsung "menelan informasi". Yu Ning tidak mengkonfirmasi kondisi terkini bu Lurah : bisa dijenguk atau tidak hari itu. Ternyata Bu Lurah pun masih di ICU, tidak bisa ditengok.

Sia-sia dong ibu-ibu itu kepanasan di bak truk menuju rumah sakit di kota. Sedikit berandai, kalau saja hape bu Tejo tidak lowbat, kan bisa mengangkat telepon dari Dian yang sudah di rumah sakit duluan (agar para ibu menunda tilik-nya). Kedua, Yu Ning masih mengedepankan positif thinking ke Dian dan tidak mau asal tuduh, malah yang salah menganalisis. Situasi ini ya kadang miriplah sama kita jika di situasi serupa. Ho'oh kan ?

Mereka yang mantengin film ini, boleh jadi tergiring pada sikap emosional. Pertama ya menyoal bu Tejo dan Yu Ning, entah pro atau kontra. Yang kedua, mereka yang menyorot Dian--sebagian merasa kok Dian enggak dikasih banyak durasi tampil. Bukankah isu atau kejadian merebut (mantan) suami orang, selalu relevan setiap saat ? 

Sebentar, sebentar. By the way, enggak adakah yang mikir sebaliknya ? Ex-husband bu Lurah itu pria penyuka daun muda. Benak kita kan pasti--biasanya--sepakat tentang hal yang kayak gini. Nah kalau sepintas, isi kepala langsung ke topik satu ini : Dian adalah pelakor, ya berarti mungkin karena kita kebanyakan melahap berita “kriminal”, Sudah tidak berimbang, tidak bergizi pula.

Tilik menurut sambalbawang termasuk film yang biasa karena alurnya masih bisa ketebak. Ceritanya juga biasa, simpel. Tilik (bahasa Jawa berarti menjenguk) menjadi film tidak biasa (unik) karena faktor Bu Tejo tadi. Mengapa? Sepanjang saya nonton film di sana-sini, kayaknya nyaris enggak pernah lihat pemerannya begitu menghayati peran ghibah.

Film ini menjungkalkan keinginan mereka yang kebanyakan nonton film “baik” di mana tokoh yang dianggap “jahat” harus kalah atau tersingkir. Tokoh yang “alim” dan “tidak banyak omong”, harus jadi pemenang. Biar ada pesan moralnya, hihihi. Hm.. Sering nonton film laga dan superhero yang di akhir cerita pasti si tokoh baik pemenangnya, ya siap-siap kecewa nonton Tilik.

Tilik pasti disadari tim Ravacana bukan film yang akan memuaskan banyak orang. Fungsinya lebih ke hiburan. Kalau mau bicara tentang hal-hal berlebihan, itu ada di Tilik, sebagaimana film lain. Taruhlah adegan pak polisi kebingungan saat hendak dicokot, para ibu dorong truk, bahkan mengapa mereka naik truk—bukan pikap. Debat tak berujung Bu Tejo versus Yu Ning juga beberapa kelihatan dipaksakan (tuntutan film)--tapi itu ya sah. Ini kan film.

Kalau begitu, Tilik memang bukan berlebihan? Ayolah lihat film lain yang tokohnya superhero macam Spiderman, X-Men, sampai Batman. Coba bandingkan dengan komedi Mr Bean yang ngehits di era 90. Berlebihan mana coba, disbanding Tilik. Apakah kita mau protes Hollywood?

Sambalbawang juga enggak menganggap film Tilik ini sebagai film cerdas. Tilik lebih ke film yang pas “kena di hati” sebagian masyarakat, khususnya yang paham Bahasa Jawa dialek Jogja. Film ini ringkas, lugas, simpel dalam bercerita, tapi (jelas) bukan film murahan. Kerja keras dan lama loh, bikin film kayak gini. Bukan sekedar ngangkut ibu-ibu ke truk dan pasang kamera di depan mereka.

Siti Fauziah, pemeran Bu Tejo--yang masih termasuk usia milenial--sudah terasah aksi panggungnya. Dia orang teater. Sementara Briliana Dessy, pemeran Yu Ning, juga pernah main di beberapa film—yang pertama tahun 2009 dan sudah melakoni dari panggung ke panggung. Mereka yang katam di ranah seni pertunjukan, pasti sudah langsung tahu kalau Siti—Ozie panggilannya—dan Briliana, sudah tidak canggung di depan kamera.

Lihat aja bagaimana cukup “natural”-nya debat kusir Bu Tejo dan Yu Ning. Kita bisa ikut terbawa emosi. Kita pun bisa ketawa--bahkan hanya dengan lihat tingkah Bu Tejo. Ahahaha. Coba lihat juga beberapa acara selepas Tilik viral (cari sendiri di youtube, yaks). Ada adegan ketika bu Tejo duet (lagi) sama Yu Ning untuk me-roasting Desta. Scene ini lebih hahaha, jika dibandingkan (banyak) selebriti saat live/talkshow.  

Karakter julid dan nyinyir Bu Tejo yang diimbangi arifnya Yu Ning, sebetulnya sudah disematkan banyak film lain. Sinetron-sinetron kan juga banyak menggambarkan itu.  Cuma, ya beda. Karena basic-nya sudah beda. Ozie dan Briliana sama-sama terasah di panggung. Jelajah dan lapangannya lebih “cadas” dibanding sebagian pemain sinetron yang syutingnya banyak di dalam ruangan--jangn tertipu tampang Yu Ning yang kalem,eh.

Karakter ghibah ini hanya karakter di film---seperti dikatakan Ozie. Sama seperti, katakanlah Heath Ledger si pemeran Joker—yang notabene orang jahat. Lebih susah memerankan Joker ketimbang Batman, kan. Come on. So, jangan terus mempertanyakan pesan moral di film ini, atau juga apa sisi edukasinya. Eh, apakah kita sudah overdosis film yang alurnya “tokoh baik pasti menang”?  Apakah kita kebanyakan nonton film barat, sehingga kita lupa tentang banyak topik sekitar yang bisa diangkat.

Dalam hal ini Tilik jeli memotret salah satu karakter atau kebiasaan masyarakat, yakni suka bergosip---termasuk “memelihara” gosip. Cenderung mempercayai isu yang berkaitan hal negatif. Juga kebiasaan “ribut”. Ingat kan kalau di suatu acara, sering hadirin harus disuruh diam.  Selain ribut, juga kebiasaan “pecinta damai”—damai atau titik-titik, yang tergambar di adegan pak polisi.

Yang membuat menarik--dan kekuatan--film itu adalah memakai Bahasa Jawa. Inilah sedikiiiiit gambaran asyiknya bahasa daerah yang lebih cair sebagai bahasa obrolan. Bukankah bahasa daerah ini semakin pudar di era modern sekarang? Di Tilik, cukup apik (dan membumi) pemakaian bahasa Jawa secara baik dan benar. Yang muda berbahasa lebih halus (krama) ke yang muda.

 Ini film bahasa Jawa dengan dialek Yogyakarta, meski tidak seratus persen. Ozie yang bukan kelahiran Jogja melainkan Blitar—tapi sekolahnya di Jogja—sukses memerankan orang ngomong basa Jawa dialek Jogja secara cepat. Tidak mudah, itu, ferguso. Sambalbawan merasa, Tilik bukan film untuk menunjukkan karakter wong Jogja.

Sambalbawang yang besarnya di Jogja merasa film ini lebih ke menumbuhkan kecintaan pada bahasa Jawa. Diingatkan lagi tentang “cara tata karma”. Bahasa Jawa ini cukup rumit karena berlapis-lapis level kehalusan berbahasanya. Teratas krama hinggil.  Tilik pun mengingatkan bagaimana dialek bahasa daerah itu adalah sesuatu yang “kaya”.

Kaya makna, kaya interpretasi. Juga kaya “suara”--terdengar unik di telinga sehingga kita bisa langsung tersenyum bahkan jika enggak paham Bahasa Jawa. Ditunjang gestur tubuh dan dua-tiga joke “receh”, Tilik cukup berhasil memengaruhi emosi para pemirsa. Eh ada juga joke “kere” yang bernuansa (rada saru)—seperti saat ada yang nyeletuk “ularnya” pak Tejo. Juga ada sepenggal “kearifan lokal” lawas, ketika menerapkan cara jempol dikareti agar bisa nahan pipis.

Tilik memenuhi dahaga mereka pencari film yang ingin nonton film bercita rasa “lokal banget”. Dulu di era awal 90 sampai sebelum tahun 2000, masyarakat Jogja sempat diberi “vitamin” bernama “Mbangun Desa”. Sinetron sitkom ini menggambarkan dinamika kampung.  Sambalbawang pernah lho nulis artikel Mbangun Desa 

Dan ternyata, vitamin seperti itu semakin hari semakin susah didapat. Diganti vitamin yang bukan vitamin--bernama sinetron kejar tayang. Lokasi syuting yang sejuk, di dalam mobil, dan di rumah mewah, banyak dipilih karena sebagian artisnya mungkin emoh kepanasan. Kita kebanyakan diguyur sinetron tentang “horang kayah” di TV. Bu Tejo jelas horang kayah, tapi dia masih mau naik truk rame-rame. Masih mau kepanasan.

Jika selama ini kita mengamini ungkapan “Diam itu emas”, maka itu pun dijungkirkan di film Tilik. Bayangkan kalau Bu Tejo ini pendiam, film ini enggak bakal viral. Yu Ning yang awalnya agak pendiam juga akhirnya tidak diam, dan adu mulut juga. Orang yang ributnya seperti bu Tejo pasti ada di kanan-kiri kita. Dan sebagian mereka juga bertipe “solutip”. Akui saja.

Sambalbawang melihat film ini lebih ke film yang tujuannya menghibur. Udah, elo tonton aja. Kalau enggak suka, ya cabut. Penulis naskah sampai pemeran di film Tilik juga enggak keberatan kalau ada yang tidak suka film mereka. Tilik bukan film untuk memuaskan semua pihak. Perkara pesan moralnya apa, ya itu tergantung juga sudut pandang tiap orang.

Jika berpikiran kalau Tilik enggak ada sisi moral atau bobot edukasinya, ya sah-sah saja. Ghibah, gosip,  nylekop (asal ngomong) menyoal topik pelakor, menghakimi status hubungan (saat Dian bareng anaknya bu Lurah), sampai adegan polisi hendak dicokot—akhirnya menyerah dan dikasih bungkusan—mudah dibilang enggak ada muatan edukasinya.

Tapi kalau berpikiran Tilik adalah upaya insan film di daerah menghadirkan tontonan yang menghibur tapi masih memberi ruang bagi beberapa potongan “nostalgia” ala Jogjanan---yang bahasa Jawanya masih dekat dialek Jogja--Tilik berhasil. Sambalbawang angkat topi dan salim tangan. Buktinya Tilik dibicarakan, bukan? Mereka yang bukan wong Jogja juga bisa menikmati film itu meski membaca subtitle dalam Bahasa Indonesia.

Pada akhirnya Tilik adalah film. It’s just a movie. Tapi film yang cukup berbeda. Perbedaan yang sepertinya bisa menawar dahaga kita-kita yang kangen tayangan sinetron yang “membumi”.  Kalau mau dicari kekurangannya sih ya ada beberapa. Sambalbawang misalnya merasa beberapa adegan memang bernuansa hiperbolis--yah namanya juga film.

Berdiri di atas truk misalnya. Kok enggak duduk. Terus, kalau tidak salah, ada adegan Yu Ning telepon tapi nada deringnya kok hape lawas. Padahal sebelumnya dia sempat nyeletuk ber-Wa di grup. Sepertinya enggak ada hape masa kini yang bunyi deringnya gitu. Lalu, adegan pak polisi, juga terasa berlebihan---meski lucu. Lucunya di mana, ya di Bu Tejo itu.

Mau dirunut lagi, Tilik juga tidak sesuai judulnya. Enggak ada adegan menjenguk (sampai ketemu bu Lurah di rumah sakit). Banyak juga ya “celah” yang terserah kita melihatnya sebagai apa. Tapi yak arena ini film, maka so far ya wes. Kita juga enggak pernah protes film Batman dan film Jurrasic Park yang lebih “mengkhayal” dan hiperbolis.

Jadi, nontonlah Tilik secara santai. Siapkan saja teh hangat dan camilan secukupnya. Kalau mau tontonan yang (jelas) lebih mendidik, ya lihat film-film pendidikan. Enggak mau nonton, atau menyesal nonton karena tidak mendapat aspek edukasinya, ya enggak salah.

Film itu ya seperti musik. Banyak jenis dan banyak genre. Satu genre bisa setumpuk musisinya. Satu genre film bisa (ibarat) sejuta filmnya.. Musik itu soal selera, demikian pula film. Untuk film pun, buanyak macamnya dan genrenya. Kalau suka film serius atau film “berat”, mungkin kurang selera sama Tilik. Begitulah proses (dan nasib) film menggelinding setelah dipublikasikan.  

Dan bener kan, Bu Tejo tak hanya bisa ghibah level dewa. Dia bisa juga nyokot (menggigit) tanpa beneran menggigit. Sudah kerasa kan “cokotannya” Bu Tejo ? Ketika Bu Tejo bisa menggiring masyarakat melihat film Tilik, dan mendebatkannya, artinya ya sukses. Tilik adalah film yang "membumi", bikin banyak orang penasaran, nonton, dan ketawa. 

Btw, banyak juga lho film dengan memakai bahasa Jawa--yang juga ditranslate dengan teks Bahasa Indonesia. Enggak cuma Tilik. Jadi jangan hanya lihat film Tilik. Tonton juga film-film (pendek) lainnya dari sineas kita sendiri. Bravo film Indonesia dan mereka yang berjuang demi itu.

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :

MBANGUN DESA YANG NGANGENI 

GATOTKACA TAK HANYA OTOT KAWAT BALUNG WESI

CHINMI JAGOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN

MENGAPA HARUS NGEBLOG

MUSIK ZAMAN DULU VS ZAMAN NOW, MANA YANG LEBIH BERKUALITAS ? 

7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA 

AKU DI BELAKANGMU, TIGER WONG 

ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA 

JURASSIC WORLD VS JURASSIC PARK 

NASIBMU SUZUKI 

THE AQUARIAN ? 

AMPAR-AMPAR PISANG, INI LHO ARTINYA 

NGOBROL BARENG MAS BENNI LISTIYO SEPUTAR MUSIK 80-90AN 


 

 catatan: Foto dari screenshot film Tilik di youtube.