Sebuah film yang mencoba “memanggil” memori kesuksesan sekuel perdananya,
sulit menjadi suksesor, seberapa pun usaha yang dilakukan. Itulah yang
nampaknya menimpa film “Jurassic World” yang tayang sejak pekan lalu. Begitu laman
dinanti, ternyata harapan cukup jauh dari kenyataan.
Sebagai penikmat film perdananya yakni “Jurassic Park” yang dirilis 22 tahun
silam, dan terkagum-kagum atas kualitas sinematografi film tersebut, terasa
benar bahwa Jurassic World sulit mengimbangi. Bukan berarti Jurassic World
gagal total, lho, tetapi memang sungguh beda greget.
Entah kebetulan atau tidak-tapi saya yakin itu iya dan disengaja-Jurassic World
memang mengesampingkan The Lost World dan Jurassic Park III, yang merupakan
sekuel lanjutan Jurassic Park. Ini sebenarnya pilihan yang cerdik mengingat
sekuel kedua dan ketiga itu menuai kritikan.
Namun karena (sepertinya) terbawa semangat Jurassic Park, maka Jurassic World rada
“terjebak” dalam alur cerita Jurassic Park. Kelengahan petugas kebun binatang
(kebun dinosaurus) membuat sang predator, T-Rex berkeliaran di Jurassic Park.
Sedangkan di film Jurassic World, peran itu diambil oleh Indominus Rex.
Jika pada Jurassic Park, ada dua orang anak-cucu pemilik kebun dinosaurus-yang
diuber oleh T-rex, maka pada Jurassic World, juga ada dua anak: Gray dan Zach.
Mereka diburu oleh Indominus Rex. By the way, Indominus Rex ini digambarkan
sebagai T-rex hibrida, T-rex yang DNA-nya dari beberapa satwa.
Jurassic World meneruskan euforia taman Jurassic Park. Taman yang
sudah tutup, ternyata dibuka lagi. Orang-orang pun lupa bagaimana chaos-nya kejadian di taman itu dulu. Jurassic World memilih mengenyahkan soal recovery taman para satwa zaman prasejarah ini. Hmm.. jadi inget, di bagian akhir
film Jurassic Park, John Hammod-usai meninggalkan taman yang porak-poranda,
berkata bahwa hewan-hewan purba ini butuh ketidakhadiran manusia.
Enggak diberi ruang untuk flashback, Colin Trevorrow, sang
sutradara Jurassic Worl langsung meloncat dengan cerita bahwa taman purba
(edisi kedua) menuai kesuksesan. Pengunjung berjubel seperti cendol. Tapi di
balik itu ada kecemasan kalau tren penunjung turun, karena bosan melihat satwa
gede cuma itu dan itu lagi.
Demi menjaga hasrat penonton yang demen akan satwa buas, pembaruan mutlak
dilakukan. Pada satu waktu nanti, T-rex sudah dianggap satwa biasa, serem-nya ya
sudah biasa. Pengunjung dan pengelola butuh satwa baru yang lebih gede, lebih
ganas,lebih kenceng larinya, lebih banyak gigi, dan (diharapkan) lebih pinter
dikitan ketimbang T-rex. Intinya, lebih menakutkan daripada si T-rex yang
selama ini jadi satwa terkeji di situ.
Maka, dibikinlah Indominus Rex di laboratorium, secara rahasia, yang formulanya diramu oleh tim ilmuwan dengan cara menyintesa DNA dari sekian binatang purba. Sejak bayi sampai umur 10 tahun, Indominus Rex ini, dipingit alias “disembunyikan”. Sampai saatnya tiba, untuk dimunculkan.
Nah, doi sekarang sudah gede, tinggi, giginya pun dah tumbuh (banyak dan tajam). Juga sudah pinter, pada akhirnya bikin gara-gara yang bikin pengelola Jurassic World panas-dingin. Indominus Rex ini lantas mengelabuhi petugas lapas, eh, petugas taman purba. Jadilah si T-rex modifikasi ini urung show perdana, karena segera menghadirkan hari buruk. Seberapa buruknya polah-tingkah satwa blasteran ini, silahkan disimak sendiri, ya.
Nah, doi sekarang sudah gede, tinggi, giginya pun dah tumbuh (banyak dan tajam). Juga sudah pinter, pada akhirnya bikin gara-gara yang bikin pengelola Jurassic World panas-dingin. Indominus Rex ini lantas mengelabuhi petugas lapas, eh, petugas taman purba. Jadilah si T-rex modifikasi ini urung show perdana, karena segera menghadirkan hari buruk. Seberapa buruknya polah-tingkah satwa blasteran ini, silahkan disimak sendiri, ya.
Membahas lainnnya saja. Nah, untuk urusan tokoh pemeran, tidak ada yang spesial dari film ini. Karakter si jahat, ada. Karakter si baik, ada. Owen Grady,
yang diperankan Chris Pratt, menjadi pria maskulin berbadan atletis yang
membereskan kekacauan. Owen ini adalah karyawan yang diserahi tugas melatih
empat velociraptor-sejak mereka dilahirkan di laboratorium.
Namanya juga film barat, bumbu asmara tak lupa diangkut, dengan
keberadaan Mbak Claire, tante-nya Gray dan Zach itu. Awalnya Claire (yang kayaknya
pernah deketan ama Owen-pada suatu masa yang entah kapan) mencuekin Owen. Tapi Claire-mudah ditebak-lalu luluh melihat Owen.
Dalam film berdurasi 1,5 jam-an ini, Claire setahu saya hanya sekali kissing sama mas Owen (saat situasi lagi chaos). Sempat-sempatnya. Untung cepet ketahuan, sehingga mereka cuma gituan beberapa detik. Tapi sebagai penikmat film yang sebel dengan adegan ciuman-apalagi di tengah kepanikan-adegan mereka cipokan itu, adalah penggal terjelek dari keseluruhan film.
Dalam film berdurasi 1,5 jam-an ini, Claire setahu saya hanya sekali kissing sama mas Owen (saat situasi lagi chaos). Sempat-sempatnya. Untung cepet ketahuan, sehingga mereka cuma gituan beberapa detik. Tapi sebagai penikmat film yang sebel dengan adegan ciuman-apalagi di tengah kepanikan-adegan mereka cipokan itu, adalah penggal terjelek dari keseluruhan film.
Menyoal sutradara, Trevorrow, saya yakin jelas menyimak habis
(berkali-kali) film Jurassic Park sebelum memutuskan gimana plot cerita
Jurrasic World, dan mau dibawa ke mana alurnya. Dia pasti mikir agar alur
cerita Jurassic World dengan Jurassic World jangan sama persis, tapi juga
jangan beda jauh.
Karena itu pula, saya pun semakin yakin Trevorrow malah jadi kesulitan
menghadirkan kehebatan jalan cerita Jurassic World. Beberapa penggal nampak terlalu biasa untuk ukuran film yang mestinya luar biasa. Kelihatan, Jurassic Park-yang
disutradarai Steven Spielberg, belum tertandingi kekuatan ceritanya.
Untunglah, teknologi yang disentuhkan sangat menolong kelemahan (kekurangkuatan) alur cerita Jurassic
World. Teknologi membuat adegan demi adegan memancing ucapan “wah”, takjub, dan
penasaran. Seperti ketika Mosasaurus melompat dari kolam untuk melahap hiu
putih yang dipasang sebagai umpan.
Sayangnya, banyak hal detil Jurassic World tak terancang dengan baik. Mas sutradara rada kurang sukses dalam setia pada idenya sendiri. Itu, misalnya, terlihat
ketika Owen berhati-hati masuk ke kandang velociraptor-yang dipelihara sejak
kecil. Begitu selesai menyelamatkan karyawan baru yang "kecemplung" kandang, Owen terjun ke kandang, aba-aba dikit sama piaraannya itu, lalu (ujung-ujungnya) terbirit keluar juga.
Meski peliharaan, kata Owen, mereka tetap punya insting membunuh sebagai warisan sifat. Tetapi di adegan selanjutnya, Owen (tanpa takut), naik motor cowok-trail, menerobos semak belukar hutan, memimpin empat raptor itu memburu Indominus Rex. Dan empat velociraptor itu pun mendadak nurut sama si-Owen.
Jika diukur dari tensi ketegangan, tingkat horor yang ditimbulkan tokoh (satwa) utama yakni Indominus Rex tidak maksimal. Dari namanya saja, sudah gagal. Nama "Indominus Rex" kesannya kurang seram, kurang gahar. Kalau boleh usul, sambalbawang ajukan alternatif nama, yaitu X-Rex. Atau Trevor-Rex. Lebih gahar, dikit, kan.
Kegagalan kedua, ternyata Indominus bukan yang bikin teror ke 20-an ribu pengunjung taman. Peran mengobrak-abrik kerumunan pengunjung yang panik dan histeris, malah diserahkan ke puluhan burung Pteranodon.
Ketegangan yang tercipta lebih pada adegan kejar-kejaran empat tokoh di atas versus Indominus Rex. Sang sutradara menambah porsi ketegangan dengan menghadirkan T-rex ras murni--penghuni lama taman--yang dilepaskan oleh Claire dari kandang. Untuk melawan si Indominus itu.
Sayangnya, sutradara kembali lupa karakter satwa. Waktu berhadapan dengan empat Velociraptor, misalnya, si Indominus bisa berkomunikasi, karena di tubuhnya punya DNA Velociraptor. Keempat Velociraptor itu pun urung melawan Indominus, bahkan sempat berbalik mengancam Owen.
Tapi saat duel melawan T-rex ras murni, si Indominus agaknya lupa untuk berkomunikasi dengan T-rex itu. Jadilah mereka saling gigit dan banting. Padahal lebih seru jika si T-rex bisa dipengaruhi si Indominus, dan mereka tandem mengobrak-abrik taman.
Sambalbawang lalu mengira-ira siapa yang paling tidak suka Jurassic World. Dan cukup yakin kalau arkeolog--yang pernah nonton Jurassic Park--kurang suka. Sebabnya ya karena kemunculan Indominus tadi, hehe.
Para arkeolog--penggemar film Jurassic--sepertinya akan membandingkan kedua film tersebut. Jurassic Park akan dilihat lebih memberi sentuhan edukasi, setidaknya anak-anak bisa mengenal macam-macam dinosaurus secara benar.
Sambalbawang maklum karena Jurassic Park sukses membentuk isi benak anak-anak dan para remaja, gimana keluarga besar si dino. Ya bentuknya, ya makanannya, dan bagaimana sifat alaminya. Sambalbawang, saat Jurrasic Park dirilis, masih SMP, dan jadi lebih antusias baca buku dinosaurus. Oh ya satu lagi, ngefans triceratops.
Kembali ke film Jurassic World. Film ini sengaja melenceng jauh dari fakta ilmiah. Sebenarnya ya sah-sah saja, namanya juga film fiksi. Namun terlepas dari setumpuk kritis, Jurassic World cukup sukses jadi pengobat rindu bagi para penggemar film dinosaurus, terutama Jurassic Park, yang lama menanti sekuelnya muncul.
Pada akhirnya Jurassic World tak lebih sebatas film yang hanya mengedepankan aspek hiburan khas Hollywood, yang adegan demi adegannya ditunjang efek komputer yang keren. Semuanya bermuara pada tayangan yang cukup bikin terkesima. Kalau sudah begini, plot cerita tak lagi jadi hal utama. Nikmati saja ini sebatas film.
Meski peliharaan, kata Owen, mereka tetap punya insting membunuh sebagai warisan sifat. Tetapi di adegan selanjutnya, Owen (tanpa takut), naik motor cowok-trail, menerobos semak belukar hutan, memimpin empat raptor itu memburu Indominus Rex. Dan empat velociraptor itu pun mendadak nurut sama si-Owen.
Jika diukur dari tensi ketegangan, tingkat horor yang ditimbulkan tokoh (satwa) utama yakni Indominus Rex tidak maksimal. Dari namanya saja, sudah gagal. Nama "Indominus Rex" kesannya kurang seram, kurang gahar. Kalau boleh usul, sambalbawang ajukan alternatif nama, yaitu X-Rex. Atau Trevor-Rex. Lebih gahar, dikit, kan.
Kegagalan kedua, ternyata Indominus bukan yang bikin teror ke 20-an ribu pengunjung taman. Peran mengobrak-abrik kerumunan pengunjung yang panik dan histeris, malah diserahkan ke puluhan burung Pteranodon.
Ketegangan yang tercipta lebih pada adegan kejar-kejaran empat tokoh di atas versus Indominus Rex. Sang sutradara menambah porsi ketegangan dengan menghadirkan T-rex ras murni--penghuni lama taman--yang dilepaskan oleh Claire dari kandang. Untuk melawan si Indominus itu.
Sayangnya, sutradara kembali lupa karakter satwa. Waktu berhadapan dengan empat Velociraptor, misalnya, si Indominus bisa berkomunikasi, karena di tubuhnya punya DNA Velociraptor. Keempat Velociraptor itu pun urung melawan Indominus, bahkan sempat berbalik mengancam Owen.
Tapi saat duel melawan T-rex ras murni, si Indominus agaknya lupa untuk berkomunikasi dengan T-rex itu. Jadilah mereka saling gigit dan banting. Padahal lebih seru jika si T-rex bisa dipengaruhi si Indominus, dan mereka tandem mengobrak-abrik taman.
Sambalbawang lalu mengira-ira siapa yang paling tidak suka Jurassic World. Dan cukup yakin kalau arkeolog--yang pernah nonton Jurassic Park--kurang suka. Sebabnya ya karena kemunculan Indominus tadi, hehe.
Para arkeolog--penggemar film Jurassic--sepertinya akan membandingkan kedua film tersebut. Jurassic Park akan dilihat lebih memberi sentuhan edukasi, setidaknya anak-anak bisa mengenal macam-macam dinosaurus secara benar.
Sambalbawang maklum karena Jurassic Park sukses membentuk isi benak anak-anak dan para remaja, gimana keluarga besar si dino. Ya bentuknya, ya makanannya, dan bagaimana sifat alaminya. Sambalbawang, saat Jurrasic Park dirilis, masih SMP, dan jadi lebih antusias baca buku dinosaurus. Oh ya satu lagi, ngefans triceratops.
Kembali ke film Jurassic World. Film ini sengaja melenceng jauh dari fakta ilmiah. Sebenarnya ya sah-sah saja, namanya juga film fiksi. Namun terlepas dari setumpuk kritis, Jurassic World cukup sukses jadi pengobat rindu bagi para penggemar film dinosaurus, terutama Jurassic Park, yang lama menanti sekuelnya muncul.
Pada akhirnya Jurassic World tak lebih sebatas film yang hanya mengedepankan aspek hiburan khas Hollywood, yang adegan demi adegannya ditunjang efek komputer yang keren. Semuanya bermuara pada tayangan yang cukup bikin terkesima. Kalau sudah begini, plot cerita tak lagi jadi hal utama. Nikmati saja ini sebatas film.
BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK "MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
MENGAPA HARUS NGEBLOG
EVEREST
MAMMAMIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
PENDEKAR TONGKAT EMAS WELL DONE
MBANGUN DESA YANG NGANGENI
MUSIK ZAMAN DAHULU VS ZAMAN NOW, MANA YANG BERKUALITAS?
LEBIH BAIK NAIK VESPA
LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK "MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
MENGAPA HARUS NGEBLOG
EVEREST
MAMMAMIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
PENDEKAR TONGKAT EMAS WELL DONE
MBANGUN DESA YANG NGANGENI
MUSIK ZAMAN DAHULU VS ZAMAN NOW, MANA YANG BERKUALITAS?
LEBIH BAIK NAIK VESPA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar