Pada sebuah siang hari, di penghujung Desember, 18 tahun silam. Di tepi jalan, tersiram terik mentari, menunggu sekian manusia yang masuk satu per satu ke dalam bilik kaca. Hampir 30 menit, akhirnya giliranku. Sekeping uang logam kukeluarkan, dengan tergesa kumasukkan ke mesin berbentuk kotak yang berwarna biru ini.
"Halo?" suara di seberang, terdengar pelan. "Halo, ini siapa?" ulangnya. "Hai....ini aku, Setya" sahutku, tak kalah pelan, beberapa saat kemudian. "Oh kamu, toh. Ada apa, ya?" katanya. Nada bicaranya masih datar, seakan tidak bersemangat. Membuatku ragu untuk mengawali obrolan. Sebuah ajakan, tepatnya. "Apa kabar?" balasku. Dan, ah, baru kusadari itu adalah sapaan terkonyol sedunia, karena baru tadi pagi kami betemu di kampus. Kodok pun tahu itu. "Baik, lah. Lha kita kan tadi ketemu," ujarnya seketika. Nah, kan, sudah ketebak jawabannya.
Masih ketus nada bicaranya. Gagang telepon kugenggam dengan erat. Kotak bernama boks telepon umum ini kuketuk-ketuk, Mencoba mencari inspirasi kata-kata yang ampuh untuk menyambung obrolan yang mulai menuju garing. "Iya, tadi kan ketemu. Hehe," aku menjawab sekenanya.
"Oke. Lalu?" suara di seberang melanjutkan pertanyaan. Aku yakin dia paham ini adalah obrolan nan tandus laksana gurun sahara. Tapi, untunglah, dia sudah mulai paham ke mana arah pembicaraanku. Setidaknya, nada suaranya mulai sedikit ramah. "Ada apa?"..
"Mmmm, bolehkah aku mengajakmu mengikuti misa di gereja, Sabtu besok?" kataku sembari terbata-bata. Disusul keringat mengucur di sekujur badan serta kepala. Beberapa detik berlalu, suasana hening. Orang di luar bilik kaca ini mulai serius memehatikanku. Agaknya, dari luar, aku terlihat seperti patung yang tengah menelepon.
"Baiklah. Kamu jemput aku, ya," terdengar suaranya. Akhirnya. Lega. Disepakati, kami akan bersama-sama mengikuti misa Sabtu malam. Tempatnya di sebuah gereja. Bukan gereja tempatnya misa mingguan, juga bukan gereja yang biasa kudatangi.
"Malu kalau ketemu teman," begitu alasanya. Sama seperti alasanku. Ini adalah acara pertamaku mengajak seorang perempuan. Apakah ini kencan? Ah, tidak juga. Atau dia yang sungkan menolak ajakanku? Aku tidak tahu. Ah, untuk apa memikirkan itu.
Yang penting aku bisa mengajaknya. Mungkin menapak tahapan selanjutnya yang orang-orang sebut dengan kencan. Aha, kencan. "Kencan, kencan.. Kencan, kencan..." suara itu terus teringang di telingaku hingga 24 jam ke depan.
.....
Sabtu sore. Cuaca cerah. Dunia merestuiku. Asyik. Kupacu pelan motorku, si bebek dua tak yang umurnya lebih tua empat tahun dari tahun kelahiranku. Butuh 30 menit menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan, tak henti-henti aku merapal "mantra" agar rencana tidak berantakan.
Akhirnya sampai juga aku di depan rumahnya. Rumah yang sederhana, sesederhana perempuan yang sebentar lagi kuajak pergi. Pintu kuketuk, dan dia sendiri yang membuka. Seorang gadis manis ada di depanku. Dengan senyum terpasang indah di wajahnya yang mungil.
Ah, ada sang kakak di belakang si dia. Menatap dengan penuh selidik siapa gerangan lelaki yang berani mengajak adiknya pergi. Jurus basa-basi harus segera diluncurkan untuk mendapat tiket kencan. Ah, kencan lagi yang otak ini pikirkan.
Singkat cerita, tiket mengajak dia untuk keluar rumah, kudapat. Dengan catatan harus pulang lagi kerumah sebelum pukul 21.00. Ah itu soal gampang. Aku pasti mengembalikan ke rumah gadis bermata mungil ini. Orkestra detak jantung mulai bergemuruh, seiring motor kustrarter. Yes ! Hari bersejarah ini harus kucatat. 22 Desember. Catat !
Setumpuk kata melintas di kepala sepanjang perjalanan. Barangkali kamu pun demikian. Andaikan aku bisa melihat raut wajahmu saat itu. Kalau saja aku boleh berandai-andai, aku ingin kamu memelukku. Melingkatkan tanganmu ke pinggangku. Andai. Tapi, aku bisa merasakan posisi dudukmu jauh di sisi belakang jok. Dan ada tas di antara kita.
"Mungkin, aku pria kesekian yang mengajakmu ke gereja. Tetapi kamulah wanita pertama di semesta ini yang kuajak ke gereja," satu sisi pikiranku berbicara padaku. Ah. Entahlah. "Mungkin dia wanitamu kelak. Ambillah hatinya, miliki dia," sisi lain pikiranku menimpali.
Di tengah silang imajinasi itu, kami melaju berdua, membelah ruas-ruas jalan. Ah, 15 menit rasanya terlalu cepat sampai ke gereja. Kami bahkan belum sempat bercakap-cakap. Dua-tiga perempatan terlampaui tanpa berhenti karena lampu lalu lintas menyala hijau.
Akhirnya, sampailah kami di gereja itu. Kami duduk di salah satu sudut. Misa pun dimulai, lagu demi lagu dinyanyikan. Sungguh, aku ingin mendengar suaramu. Merdukah suaramu saat bernyanyi. Seindah apa suaramu? Namun nampaknya kamu hanya membuka mulut, tanpa disertai suara.
Satu setengah jam aku duduk bersebelahan dengannya. Tanpa satu kata pun yang terlontar. Sepertinya aku ingin berteriak agar seisi gereja ini mendengar. Inilah perempuan yang menyita malam dan siangku. Inilah perempuan yang tatapannya meremukkan rongga dada dan mencekat nafasku.
Tiga atau empat kali aku mencoba mencuri pandang. Tapi, sialnya, selalu ketahuan. Dan berakhir dengan kepalanya yang langsung menunduk. Sungguh, aku malu dan tersipu. Tapi karena aku lelaki, aku tidak boleh terlihat malu, kan? Aku mencoba menyelami pikirannya. Mungkin dua merasa malu jika ketahuan teman. Karena itu, sikap tubuhnya pasif.
Begitulah.... Aku tidak pernah menyangka bahwa itulah kali pertama dan juga kali terakhir dia mau kuajak pergi berdua. Begitulah. Tidak ada yang salah bukan? Hanya ada yang keliru. Sebab, sampai hari ini, setiap mengikuti misa di gereja itu, aku selalu duduk di kursi tempat kita duduk, dahulu..
BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
PELUKAN (CERPEN)
BASA WALIKAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar