Suatu petang,
di Klaten, Jawa Tengah, pada rentang waktu akhir 2004. Saya-masih kurus-terpaku menatap layar laptop, resah, merapal mantra demi mantra agar kalimat demi kalimat segera terselesaikan. Hari semakin gelap, beranjak
malam. Hujan deras di luar seakan menambah kekalutan.
Ponsel saya
yang gedenya hampir sebesar senter ini, beberapa kali berdering. Ah, kantor menelepon. "Mas, beritanya sudah jadi?" suara di seberang. Kawan saya yang bertugas memastikan berita telah dikirim atau belum. "Belum, belum. Bentar lagi," kataku. "Cepet, ojo wengi-wengi," katanya.
Menjelang
deadline adalah saat-saat genting bagi jurnalis, terlebih bagi mereka yang
masih yunior dan gampang kalang-kabut, seperti saya. Kecemasan dobel kuadrat
karena usai mengetik, masih ditambah harus mengirim berita. Belum ada modem. Satu-satunya cara untuk
mengirim tulisan adalah ke wartel.
Dan itu bukan pekerjaan mudah. Begitu
selesai mengetik, laptop saya biarkan dalam posisi terbuka, saya “selimuti”
plastik atau tas keresek. Langsung saya meloncat keluar kamar kos-kosan. Payung dikembangkan, dan
langsung berlari menembus hujan, menuju wartel terdekat, 150-an meter jaraknya.
Hati langsung ciut begitu melihat lebih dari lima orang mengantre di depan bilik telepon. Lima menit per orang, berarti minimal harus menunggu 25 menit. Tak ada waktu, saya meneruskan “pelarian” ke warnet terdekat yang berjarak 200-an meter.
Hati langsung ciut begitu melihat lebih dari lima orang mengantre di depan bilik telepon. Lima menit per orang, berarti minimal harus menunggu 25 menit. Tak ada waktu, saya meneruskan “pelarian” ke warnet terdekat yang berjarak 200-an meter.
Akhirnya
sampai jua. Agak lupa berapa menit harus mengantre, namun masih masuk kalkukasi toleransi. Masuk ke bilik, seketika mencabut kabel telepon, lalu menancapkannya ke
leptop. Setelah lima menit-an persiapan, siap mengirim. Tapi, masalah tak berhenti
di sini, karena mengirim foto adalah “sesuatu banget”.
Problem
muncul ketika foto tidak terkirim-kirim. Apa gerangan? Sampai akhirnya saya putuskan menelpon
kawan di Kulon Progo. “Oi, kamu lagi ngirim foto,kah?” teriak saya. “Iya,
tunggu, ini juga tidak masuk-masuk,” begitu suara di seberang.
Yah, apa
boleh buat. Mengirim foto-dan sepertinya juga berita-memakai pogram ini, 12 tahun silam, memang dituntut sabar. Dan lawan saya mengantre ada dua orang, satu di Kulon Progo,
satunya di Gunung Kidul sonooo. Mengirim satu foto, jika lancar pun, bisa
bermenit-menit. Modiaarr...
Setelah 45-an menit, akhirnya saya bisa mengirim, dan lega pascamendengar bunyi cempreng “Eo !!” setiap file sukses terkirim. Rasa tenang mulai mengurai kepanikan yang sudah tercipta beberapa jam lalu. Namun, celakanya, langsung
terusik dengan pandangan mata si penjaga wartel. Oh, saya mengerti.
Segera
teringat bahwa ini bukan wartel langganan. Dia belum paham apa yang saya lakukan di
bilik telepon. Saya pasti dikiranya melakukan apa gitu. Teringat saran kawan, saya pun mempraktekkan. Sudah masuk bilik telpon, kok malah buka leptop, tidak menelpon, dan malah tercenung, gitu.
Mainkan strategi. Gagang telepon saya angkat, dan mulai berbicara seperti orang gila. Tentu saja, kan kabelnya saya pindah ke laptop. Ngomong sama diri sendiri, asal komat-kamit sedapatnya. Sedikit ekspresi wajah, tentu saja. Jangan sampai lupa.
Mainkan strategi. Gagang telepon saya angkat, dan mulai berbicara seperti orang gila. Tentu saja, kan kabelnya saya pindah ke laptop. Ngomong sama diri sendiri, asal komat-kamit sedapatnya. Sedikit ekspresi wajah, tentu saja. Jangan sampai lupa.
Pandangan
mata si penjaga wartel, mereda. Aman. Menjelaskan ke dia bahwa file bisa dikirim
via telepon wartel yang kabelnya dicolok ke laptop, saya kira nggak bakalan menyelesaikan masalah. Malah bisa dikira mencuri pulsa dengan modus baru.
Total
jendral, lebih satu jam berada di bilik telepon. Sekitar 75 persen waktu
adalah untuk menunggu giliran file masuk. Dan sekali keluar karena ada satu
orang pengantre yang matanya melotot pertanda protes. “Ngapain di dalam
bilik telepon cuma bengong sambil mantengin leptop?” mungkin itu pikirnya.
Akhirnya
selesai. Laptop segera masuk tas plastik,
dan saya berjalan pelan menuju kos, masih menerabas hujan. Sampai di kos langsung terkapar. Menghirup nafas dalam-dalam, meredakan
degup jantung.
Selesailah
tugas hari ini. Berharap tulisan berita saya baik-baik saja sehingga tidak perlu
ditelepon redaktur. Sejam menanti, tiada yang menelepon. Artinya aman.
Saatnya mencari warung makan dan menyeruput teh panas.
Merentang penjuru kota Klaten di malam hari, menjadi opsi memungkasi malam. Sejenak bercanda dengan penghuni kos lain, akan menyempurnakan hari. Dan tentu saja, semakin perfect tatkala menyambar gitar.
Merentang penjuru kota Klaten di malam hari, menjadi opsi memungkasi malam. Sejenak bercanda dengan penghuni kos lain, akan menyempurnakan hari. Dan tentu saja, semakin perfect tatkala menyambar gitar.
BACA JUGA :
AGNETHA FALTSKOG vs ANNI-FRID FRIDA ABBA
PETE YANG MENGHARUKAN
MAMMA MIA ! HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar