Selasa, 25 Agustus 2020

NGOBROL BARENG MAS BENNI LISTIYO SEPUTAR MUSIK ERA 80-90

Artikel hore sambalbawang di blog ini yang seputar musik—terakhir soal musik jadul vs zaman now, berlanjut ke obrolan ranah maya. Akhirnya “menyeret”  temen lama, mas Benni untuk menggelar live instagram bareng. Topiknya ya cuma seputar musik era 80-90. Eh, malah berlanjut ke siaran radio.

 

Mas Benni, yang nama lengkapnya Benni Listiyo ini termasuk "makhluk" lumayan langka. Sudah nyemplung ke dunia per-radio-an sejak sambalbawang masuk kuliah, wawasannya soal musik wuaa banget, lah. Tatkala sambalbawang masih praktikum di fakultas sebelah, dan kadang masih menenteng mesin tik, Mas Ben sudah manggung di venue top kampus. Salah satunya ketika dia dan kawan-kawan “merekayasa” lagu-lagu KLA Project dalam pertunjukan "Klamelan" tahun 1999 lalu.

Jadi, cocok deh dedengkot Radio Sonora Yogyakarta ini untuk mengulik soal musik lawasan. Edisi perdana segera dimunculkan, yakni live instagram di @lukasadiprasetya dan @benni_listiyo dalam “Ngobrol Santai” bertopik “Musik dan Lagu Era 80-90an Adalah yang Terbaik?”. Live ig ini pada 12 Juni, pukul 20.00-21.00 wib. Lalu edisi kedua, siaran di Radio Sonora Yogyakarta untuk program “Indonesiana” pada 27 Juni pukul 14.00-16.00 wib. Di sesi siaran radio ini, ada juga Mas Hasta, penyiar. Kami bertiga ngalor-ngidul ngobrolin musik.

Obrolan berlangsung seru. Jujur saja, sambalbawang lumayan pontang-panting merefresh ulang wawasan soal permusikan. Lha wong cuma penikmat musik, eh semeja sama pemerhati musik. Wakaka.. Salim dulu sama mereka. Baiklah, lanjut obrolan. Menilik umurnya, Mas Ben ini pasti di kategori diehard lagu lawasan. Tapi, asyiknya, musik-musik terkini, barat sampe timur, juga rutin jadi “makanan” sehari-hari. 

Coba langsung todong, ah. "Mas, bagusan musik mana, era dulu apa sekarang?". Orangnya  menjawab kalem, “Musik itu soal selera”. Hm, ini jawaban win-win solution apa gimana ya. Orangnya lalu bilang kalau setiap zaman atau era, unya sejarah dan cerita tersendiri. Tak terkecuali soal musik. Dia mengawali “analisis” dari sudut pandang industri musik. “Era keemasan, terutama di Indonesia, memang terjadi sejak awal 1980. Semakin mudah orang mengakses musik dibanding era 70-an,” katanya.

Sambalbawang setuju. Awal 80-an seakan era peralihan segenap dinamika industri musik. Masih era kaset, sih, tapi video klip mulai dibikin lebih bagus dan serius. Televisi mulai dikenal dan tersebar luas—meski stasiunnya masih satu, yakni TVRI. Radio yang makin banyak dan makin jauh jangkauannya.  


Awal 1980, kata Mas Ben, kualitas rekaman dan musikalitas semakin apik. Toko-toko alat musik semakin banyak, walau masih sebatas kota besar. Era piringan hitam masih ada, namun kaset yang persebarannya lebih tinggi. Toko-toko kaset pun bermunculan, mengimbangi maraknya acara musik di radio dan TV. 

Ajang musik juga bertebaran. Kita coba mendata sekilas. Ada Bintang Radio dan Televisi--ditayangkan TVRI. Ada pula Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR), festival rock Log Zhelebour, Festival Lagu Populer, Selecta Pop, Aneka Ria Safari, dan tentu saja Album Minggu Kita. Belum lagi festival-festival pelajar dan mahasiswa yang jumlahnya tak terhitung.

Sementara di kanal radio, kawula muda juga “dibombardir” lagu. Sambalbawang ingat, ketika kakak beranjak dewasa--medio 1980--radio di rumah seperti menyala nyaris seharian. Mereka yang remaja dan dewasa di era 80, pasti tahu “Jogjakarta Top Hits” dan “Tangga Lagu Terbaik”—dua dari sekian banyak “rangkingisasi” lagu terwahid, waktu itu. Radio berperan besar membentuk wawasan lagu. Juga memberi tahu lagu-lagu di era 80 awal--mengingat saat itu sambalbawang masih balita.

Karena itu, sambalbawang masih bisa (sedikiiiit) “mengejar” obrolan Mas Ben meski tetap tergagap-gagap. Hehe.. Kalah kelas, sih. Kalah tua, juga. Mungkin mudanya dia lebih "liar" dari masa muda sambalbawang. Baiklah. Nah, lebih lanjut Mas Ben bilang, band-band bermunculan secara luar biasa di era awal 80. Nyaris semua genre tumbuh dan pasar menerima. Dari Jazz sampai dangdut. Dari Pop sampai rock. Dengan semua “turunan”-nya. Semua jaya.

Awal 1980, band-band beraliran jazz seperti Krakatau, Karimata, dan Emerald, muncul. Sementara di deretan penyanyi antara lain Vina Panduwinata, Fariz RM, Farid Hardja, Hetty Koes Endang, Chrisye, Harvey Malaiholo, Nicky Astria, Ikang Fawzi, Arie Wibowo, Atiek CB, Trie Utami, Anggun C Sasmi, Obbie Messakh, Deddy Dukun, Dian Pramana Poetra, dan lain-lain. Beberapa dari mereka pun, ada yang bermusik di grup, seperti Fariz. Di "jalur" lain, kita juga kenal banyak penyanyi unik seperti Gombloh.

Selanjutnya, di akhir era 80, muncul sejumlah band/grup top seperti God Bless, Kantata Takwa, Slank, KLa Project, dan Trio Libels. Jangan lupa, Iwan Fals pun menancapkan masterpiecenya di akhir 80 lewat album Mata Dewa. Musikalitas mereka semua ini, jelas top. “Mereka, musisi dan musik 80-an, yang akhirnya memengaruhi musik era 90-an yang berkembang dengan lebih beragam,” kata Mas Ben.

Era 90-an, musik Indonesia “meledak”. Nyaris semua rumah punya TV. Dan TVRI tak sendirian lagi, karena TV swasta bermunculan. Musik dalam negeri dan barat—terutama klip lagunya, semakin banyak dikenal. Banyak grup dengan genre baru naik permukaan. Gigi, Humania, Dewa, Boomerang, Netral, Kahitna, AB Three, Rida Sita Dewi, Sheila on 7, Jikustik, Shaggy Dog. Java Jive, /rif, Jamrud, Tipe-X, Wayang, Base Jam, Naif, dan Padi—yang muncul di akhir 90-an. 

Juga, tentu saja, beberapa penyanyi seperti Iwa K, Titi DJ, Doel Sumbang, Reza, Anang, Krisdayanti, sampai Nike Ardilla. Genre musik komedi, juga mendapat tempat. Siapa tidak kenal Padhyangan Project dan Project Pop ? Belum lagi memasukkan daftar penyanyi anak-anak. Kalau dibahas dari ranah lirik, era ini terbilang komplet. Lagu lirik puitis sampai lirik yang jauh dari kata puitis, ada.

“Hampir semua dari band dan penyanyi di era 80 dan 90 mewakili genre tersendiri. Mereka punya karakter. Kita pasti tahu begitu denger satu lagu, itu lagu siapa. Dan itu suara siapa. Enggak perlu lihat klipnya. Itu luar biasa,” kata Mas Ben.

Tidak heran ketika generasi yang kini berumur 40 tahun (40-50 tahun) menyebut era 80-90 adalah era musik terbaik. Generasi ini benar-benar “diguyur” musik banyak genre dan dari banyak musisi berkualitas jempolan. Juga disuguhi sekian banyak konser musik. Di tingkat bawah, festival kecil semacam lomba band internal dan antarsekolah, juga tumbuh subur. Perusahaan label rekaman, sebut saja satu, JK Records, tak ketinggalan gencar mengorbitkan deretan artisnya.

“Kita jadi sangat familiar dengan lagu persada, juga mancanegara. Kita dengerin radio dan TV, dan juga dapat bacaan dari media cetak dan majalah yang mengupas musik dan penyanyi. Siapa tidak kenal majalah HAI, coba? Majalah ini jadi acuan, sumber bacaan. Belum baca, ya kurang gaul, belum keren,” katanya.

Di era 80-90, musik juga seakan terseleksi. Label rekaman masih pegang kendali atas lagu siapa yang dirasa bisa dijual komersial. Kalau perusahaan rekaman tidak tertarik, ya lagu yang masuk akan “ditendang”. Dulu, enggak ada cara lain selain menembus itu, dan bermuara ke album (kaset). Yang suaranya enggak merdu atau enggak ada uniknya, ya bisa “ketendang” pula. Bahkan jika tembus sampai peluncuran album tapi kasetnya jeblok di pasaran, maka ya siap-siap kena putus kontrak. Ngeri-ngeri sedap.

Semua rangkuman fenomena musik 80-90 tadi, lanjut Mas Ben, bersanding dengan bagaimana musisi menapak jalan yang betul-betul terjal. Dulu, untuk rekaman saja susah. Band misalnya, ya pasti mengirim demo lagu ke stasiun radio. Bisa lebih dari satu lagu. Celakanya, belum tentu ditayangkan. Jadi, ketika lagunya tayang di radio, luar biasa.  Apalagi kalau sampai bisa bikin klip. Itu ibarat mimpi. Kalau bisa sampai tahap ini, kamu bakal "disembah" sama temen-teman.

Begitu ya. Okay, mari kembali ke pertanyaan menggelitik. Musik era mana sih, yang terbaik. Era 80-90 itu atau era sekarang (selepas 2000)? Sedikit mengingat, di era tahun 2000 ke atas, juga banyak band bagus, lho Mas Ben. Sebut saja, Cokelat, Wali, Utopia, Kotak, Geisha, Laluna, Ratu, Endank Soekamti. Di tingkat daerah, musik “aliran” indie juga sedang menggelora. Di Jogja, misalnya, ada Sri Redjeki dan Produk Gagal. 

 

Mas Ben kembali menyebut musik itu soal selera. Lagu-lagu sekarang, kata dia, sebenarnya ya bagus secara kualitas. Hampir sempurna secara recording dan musikalitas. Band dan penyanyi lebih mudah merekam dan mendistribusikan lagu, sedangkan masyarakat lebih gampang mengakses. Semakin banyak dan cepat cara untuk dikenal. Publik seakan mendapatkan "surga musik". Kalau sejenak menengok ke belakang, era CD (akhir 90) yang langsung disusul era MP3 di rentang 2004-2005, memang seketika membuka keran. Terlebih lagi ketika kanal youtube muncul dan mulai dikenal tahun 2010. Dan kini eranya sudah masuk spotify, joox dan lain sebagainya.

“Lagu sekarang, ya bagus. Berkarakter juga. Tapi kurang beragam. Kita bisa agak susah membedakan karakter suara penyanyi atau band, dan musiknya. Begitu dengar lagu yang belum pernah kita dengar, sekarang kita bisa agak lama mikir, ini lagu siapa, vokalnya siapa. Saat ini terutama vokal penyanyi cewek berkarakter, tidak banyak,” ujar Mas Ben.

Radio tempatnya bekerja, lanjut dia, sampai sekarang masih menerima banyak single dari banyak penyanyi maupun band. Satu lagu belum cukup popular atau dikenal, tapi sudah muncul single baru. Ini tentu kreativitas, tapi dulu kondisinya beda. Musisi era dulu berkarya dan banyak yang tidak memedulikan apakah karyanya bakal hits atau dikenal. Alhasil banyak lagu luar biasa, lahir. Sebaliknya, lagu bagus yang tidak sempat hits, juga banyak.

"Banyak lagu saat sekarang, sih, iya. Tapi tidak semua lagu didengarkan semua orang. Banyak pilihan dan banyak platform, soalnya. Dulu, kawula muda terkondisikan mendengar banyak lagu dari banyak musisi. Dulu kan hanya ada TVRI dan radio.  Kita tahu lagu-lagu ya dari sana. Kita seneng lagu rock, ya tetap hapal banyak lagu pop. Lagu bagus kita kenal, lagu yang biasa-biasa saja pun, kita juga mungkin tahu karena pernah dengar,” kata Mas Ben.  

Nah sekarang ke soal susahnya mereka yang usia 40-50 untuk move on dari musik 80-90an (bahkan 70-an). Itu, menurutnya, karena rentang waktu yang lama bagi mereka menikmati musik di kala remaja dan dewasa. Coba yuk hitung dimulai dari umur 10 tahun, usia ketika mengenal musik. Mereka yang berumur 40 tahun sekarang, setidaknya sudah 30-an tahun telinganya mendengar, mengenal, dan menghapal lagu. Sementara kawula muda sekarang, anggap saja berumur 25 tahun, menjalani tahap itu 15-an tahun.  

Generasi Mas Ben dan kakaknya (40-50 tahun) sudah di masa yang tidak lagi update banyak seputar lagu terkini. Banyak waktu sudah tersita untuk pekerjaan dan keluarga.Wajar jika asing dengan lagu terkini, apalagi yang dulu tidak ada di jamannya. Bener juga sih. Sambalbawang juga kayaknya enggak lagi update lagu terkini sejak tahun 2009/2010. Selepas itu ya hanya beberapa penyanyi dan band yang masih nyangkut di kepala.

“Generasi lawas, banyak yang sudah malas dengar lagu sekarang. Meski begitu, sebagian ya masih tetap denger karena lagu kekinian kan terdengar di mana-mana. Mereka tahu, denger, tapi enggak banyak tahu penyanyi sekarang. Kecuali yang benar-benar ngehits. Benar, generasi lawas punya memori banyak lagu. Tapi sebagian generasi sekarang juga kenal banyak lagu lawas kok, karena mereka mau mencari dan mendengar banyak lagu lawas dibawakan ulang penyanyi atau band era sekarang,” ucap Mas Ben.

Apa sih yang terjadi di era 2000 ke atas sehingga mengubah banyak hal? Teknologi yang berkembang sangat pesat. Masyarakat makin mudah mengakses lagu. Sayangnya ini pula yang akhirnya berdampak pada semangat berkarya para musisi. Sekarang, jadi musisi susah dapat royalti dari penjualan kaset dan CD. Sekarang ini, lagu yang susah-susah dibikin, begitu keluar, eh dengan mudahnya dibajak dan disebar luaskan. Era CD bajakan berisi lagu format MP3, yang awalnya berperan mengacak-acak situasi. Lalu musik makin mudah diunduh seiring internet merambah sendi kehidupan. 

“Musisi sekarang dapat penghasilan ya dari pentas, dari konser, dari main di kafe atau bar. Sebelumnya (era 2000-an), mereka juga masih bisa dapat dari ring back tone (RBT) --alias nada sambung. Tantangan jadi musisi semakin berat,” kata dia.

Lagu berkualitas, lama-kelamaan semakin jarang muncul. Sekarang, siapa saja dan di mana saja, semua bisa merekam lagu memakai ponsel dan laptop. Ditunjang pula banyak software yang bertebaran. Kualitas suara vokal pun dengan mudah bisa dikoreksi. Tak perlu lagi masuk studio rekaman untuk bikin lagu. Bahkan tak perlu alat musik untuk bikin suara alat musik. Ketika lagu selesai, ya tidak perlu banyak memikirkan kualitas, karena tinggal di-share ke medsos antara lain youtube. 

Bisa saja enggak perlu punya lagu bagus, asal punya banyak follower, maka yang lihat lagu bakal banyak. Bahkan sekarang, lanjut Mas Ben, eranya malah menjadi semakin lucu (dari sudut pandang mereka yang berumur 40 tahun ke atas).

“Sekarang, yang lucu dan wagu bisa mendadak viral, mengalahkan lagu bagus. Cuma berbekal ‘jeng-jeng-jeng’ tapi bisa tenar. Mungkin hal-hal seperti itu yang bikin orang sekarang males mikir. Termasuk males mikir bikin lagu dan bagaimana bermusik yang baik dan bagaimana menjadi musisi yang tahan banting. Termasuk di sini, semakin sedikit musisi yang menjalani tahap demi tahap untuk mengasah skill. Dulu, musisi beneran terasah skill-nya karena terbiasa main di depan penonton. Makanya banyak band dan penyanyi yang aksi panggungnya luar biasa dan ikonik. Sekarang, banyak band dan penyanyi yang langsung hilang tak lama setelah muncul,” kata Mas Ben.

Kesimpulan akhir, menurut Mas Ben, musik tetap soal selera. Tiap era tidak bisa disamaratakan, karena kondisi dan tantangannya berbeda. Respons publik juga sudah berbeda untuk mengapresiasi. Plus-minus jelas ada di setiap era dan tak terhindarkan. Mereka yang jadul ya sah banget mengklaim musik era mereka adalah terbaik. Tapi kawula muda sekarang juga bebas memilih dan mendengar musik yang mereka sukai. Kawula muda suka musik sekarang dan tidak suka musik jadul, ya boleh juga.

Kabar baiknya--dari sudut pandang kaum jadul--adalah, sebagian anak muda zaman now mengakui dasyatnya musik era 80-90an. Tapi mereka sudah tidak hidup di zaman itu dan tidak bisa merasakan sejauh mana gelegar-nya. Zaman memang sudah berubah. Anak muda yang sekarang memegang kendali musik. Mereka yang sudah (menuju) generasi old, ya sudah mulai menapak “masa nostalgia”. Saatnya sekarang, yang muda yang berkarya. Begitulah… Haduh capeknya nulis artikel ini, hehehe.

 

BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :

AKU DI BELAKANGMU, TIGER WONG 

ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA

LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK  

MAMA by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA 

 GATOTKACA TAK HANYA OTOT KAWAT BALUNG WESI

CHINMI JAGOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN 

7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA 

MENGAPA HARUS NGEBLOG 

APA KABAR SUZUKI ? 

FORD LASER SONIC - BALADA FORDI (1) 

THE BEATLES FOREVER 

AMPAR-AMPAR PISANG, INI LHO ARTINYA 

ANGKRINGAN OH ANGKRINGAN (TULISAN 1) 

THE AQUARIAN ? 

SEKILAS TENTANG PERANG DUNIA II 

LUAR BIASA, BEGITU BANYAK FILM DOKUMENTER PERANG DUNIA II 

BANYAK MOTOR SEDIKIT MEREK, SEDIKIT MOBIL BANYAK MEREK 

TENTANG HONDA (3) INILAH STAR'S FAMILY