Jumat, 14 November 2014

ANGKRINGAN OH ANGKRINGAN -- TULISAN I

     Angkringan. Warung dengan ciri khas gerobak dorong, atap terpal seadanya, dan menu andalan teh panas, plus aneka gorengan dan baceman ini, ternyata masih eksis. Semakin eksis malah. Menyebar luas dari asalnya, Klaten, Jawa Tengah.
     Di Kota Balikpapan, Kaltim, angkringan bisa dibilang tumbuh telat banget. Baru muncul pertengahan 2012. Lokasinya di tepi jalan, di kawasan Sepinggan, satu km dari bandara. Penjualnya masih muda, orang Jogja, dan suka pakai blangkon. "Ben kethok seko Jowo," gitu kata si penjual. 
      Warung ini sempat menjadi lokasi favorit saya untuk “ngangkring” di malam hari. Dari sekian menu, sebenarnya, teh nasgitel (panas legi kenthel) yang saya cari. Bukankah angkringan dilihat dari kualitas teh nasgitel-nya?
       Dari angkringan Sepinggan ini, warung serupa secepat kilat bermunculan. Selang beberapa bulan kemudian, angkringan kedua nongol ke permukaan. Barangkali, dalam setahun itu, ada 5-6 angkringan baru. Opsi makin banyak.
       Saat ini, setidaknya dua bulan terakhir, saya memperkirakan terdapat 10 lebih warung angkringan seantero Balikpapan. Dengan menu sama tapi masaknya berbeda. Alhasil rasa gorengan tempe dan tahu pun tidak seragam.
     Dari sekadar tempat makan skala ringan, ditambah nongkrong, angkringan bergeser fungsi menjadi tempat tujuan makan malam. Angkringan juga jadi pilihan ketika saya lagi mati gaya mati ide mau memasak apa. 
       Angkringan menjadi bagian tak terpisahkan. Memang, tak bisa dimungkiri, angkringan menghadirkan (lagi) sejumput keceriaan saat kuliahan dulu. Ketika berkerumun, duduk berimpitan dengan posisi kaki nabrak roda gerobak. 
        Tapi zaman memang sudah berubah. Demikian juga kafe ceret telu (kafe dengan tiga buah ceret/teko), alias angkringan, yang akhirnya terseret juga untuk bertransformasi. Baik dari sisi tampilan, suasana, maupun menu.
      Dulu, angkringan identik dengan makan yang murah. Kantong menuju saldo nol, angkringan jawabannya. Beruntung, dulu, menu angkringan cukup cihui walau dibanderol murah.
       Namun sekarang, makan di angkringan tidak bisa dikatakan murah. Apalagi di Balikpapan ini. Sekali ngangkring, dengan jumlah peserta dua orang, kocek bisa terkuras minimal Rp 25.000. Tanpa ngambil sate telur, lho.
     Kalau lagi lapar total, uang melayang Rp 35.000-Rp 40.000. Mungkin di Jogja, sekarang, masih selisih Rp 10.000-Rp 15.000 lebih murah dari Balikpapan. 
       Tetapi, yang bikin dongkol adalah, menu angkringan tidak lagi nyamleng. Dulu, hampir setiap angkringan menyajikan teh enak-dan tentu saja panas. Tapi sekarang kondisinya tidak seasyik itu. Teh hanya sebatas menu. 
      Tumbuh dari keluarga Jawa ketika ibu selalu menghidangkan teh kualitas prima-ya nasgitel itu, saya cukup faham bagaimana rasa teh semestinya. Saya paham mana teh enak, mana yang tidak. Apalagi istri saya yang lebih Jogja "totok".
      Karena itulah, urusan minum teh bisa jadi masalah yang lumayan menggangu. Persis seperti peminum kopi sejati yang diberi segelas kopi instan. Dahi pasti mengernyit.
      Suatu kali saya pernah nongkrong di salah satu angkringan. Bapak penjualnya tanya, saya orang mana. Obrolan berlanjut sampai segelas teh hadir. Rasanya "ajaib". 
       Lha, rasa tehnya cemplang abis. Bagimana tehnya?” tanya si bapak setelah satu seruputan selesai. Saya dan istri saling pandang. Dengan terpaksa saya jawab,” Kurang nasgitel, Pak,” 
     Teh tersebut lalu diambil, dan akan direvisi rasanya oleh pembantunya si bapak itu. Tapi, hasilnya pun masih mengecewakan. Sekali lagi dengan terpaksa saya bilang,"Kurang mantap,".
      Tidak hanya satu angkringan yang seperti itu, tapi ketika hampir semua angkringan tidak sanggup menyajikan teh rasa istimewa, saya tidak lagi tertarik ngangkring.
      Semakin sulit menemukan kepuasan di angkringan. Barangkali, tinggal satu-dua angkringan yang menyajikan teh dengan rasa yang masih saya tolerir. Meski tetap dengan "catatan", karena menu angkringan tak hanya sekadar teh, bukan?
     Keasyikan nongkrong sembari nyeruput teh nasgitel, idealnya ditunjang dengan si penjual yang aktif berinteraksi. Komunikasi dua arah terjalin, semua saling kenal.     
      Sayangnya, kondisi sekarang tidak seperti itu lagi. Si penjual bisa jadi cuek, tanpa membuka obrolan. Demikian juga pembeli, masuk ke angkringan ya hanya untuk makan. Atau langsung mengambil sego kucing dan gorengan, lalu pulang. Jika dulu angkringan adalah tempat ngumpul dengan suasana bersahaja, sekarang lebih terkesan seperti warung lesehan. Benar-benar lesehan, karena menunya mulai beragam.
      Minuman sachet dan mi instan ikut dimasukkan.  Perubahan zama tidak bisa disalahkan. Namun hasrat ingin menikmati angkringan klasik ala tempo dulu, tidak bisa ditendang begitu saja dari kepala. Jadi, saya masih mendambakan angkringan yang cukup ideal. Parameternya memang bisa subyektif, karena berhubungan dengan selere. Orang Jogja suka menu teh nasgitel, gorengan tempe ala mendoan, juga tahu berisi tauge, wortel, dan kubis.
     Jadi ketika ada angkringan menyediakan tahu isi (bakmi) so'on, itu adalah sebuah "kesalahkaprahan" bagi saya. Atau angkringan jualan ayam goreng, ya agak gimana, gitu. 
Garis besar dari curhat soal angkringan ini adalah, belum ada angkringan di Balikpapan yang memuaskan saya hingga 100 persen. Yah, memang tiada yang sempurna.   (keluh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar