Angkringan.
Warung dengan ciri khas gerobak dorong, atap terpal seadanya, dan menu andalan
teh panas, plus aneka gorengan dan baceman ini, ternyata masih eksis. Semakin eksis malah. Menyebar
luas dari asalnya, Klaten, Jawa Tengah.
Di Kota Balikpapan, Kaltim, angkringan bisa dibilang tumbuh telat banget. Baru
muncul pertengahan 2012. Lokasinya di tepi jalan, di kawasan Sepinggan, satu km dari bandara.
Penjualnya masih muda, orang Jogja, dan suka pakai blangkon. "Ben kethok seko
Jowo," gitu kata si penjual.
Warung
ini sempat menjadi lokasi favorit saya untuk “ngangkring” di malam hari. Dari
sekian menu, sebenarnya, teh nasgitel (panas legi kenthel) yang saya cari.
Bukankah angkringan dilihat dari kualitas teh nasgitel-nya?
Dari angkringan Sepinggan ini, warung
serupa secepat kilat bermunculan. Selang beberapa bulan kemudian, angkringan
kedua nongol ke permukaan. Barangkali, dalam setahun itu, ada 5-6 angkringan
baru. Opsi makin banyak.
Saat
ini, setidaknya dua bulan terakhir, saya memperkirakan terdapat 10 lebih warung
angkringan seantero Balikpapan. Dengan menu sama tapi masaknya berbeda. Alhasil
rasa gorengan tempe dan tahu pun tidak seragam.
Dari sekadar tempat makan skala ringan, ditambah
nongkrong, angkringan bergeser fungsi menjadi tempat tujuan makan malam. Angkringan
juga jadi pilihan ketika saya lagi mati gaya mati ide mau memasak apa.
Angkringan
menjadi bagian tak terpisahkan. Memang, tak bisa dimungkiri, angkringan
menghadirkan (lagi) sejumput keceriaan saat kuliahan dulu. Ketika berkerumun,
duduk berimpitan dengan posisi kaki nabrak roda gerobak.
Tapi
zaman memang sudah berubah. Demikian juga kafe ceret telu (kafe dengan tiga
buah ceret/teko), alias angkringan, yang akhirnya terseret juga untuk
bertransformasi. Baik dari sisi tampilan, suasana, maupun menu.
Dulu, angkringan identik dengan makan yang murah.
Kantong menuju saldo nol, angkringan jawabannya. Beruntung, dulu, menu
angkringan cukup cihui walau dibanderol murah.
Namun
sekarang, makan di angkringan tidak bisa dikatakan murah. Apalagi di Balikpapan
ini. Sekali ngangkring, dengan jumlah peserta dua orang, kocek bisa
terkuras minimal Rp 25.000. Tanpa ngambil sate telur, lho.
Kalau lagi lapar total, uang melayang Rp 35.000-Rp
40.000. Mungkin di Jogja, sekarang, masih selisih Rp 10.000-Rp 15.000 lebih
murah dari Balikpapan.
Tetapi,
yang bikin dongkol adalah, menu angkringan tidak lagi nyamleng. Dulu, hampir
setiap angkringan menyajikan teh enak-dan tentu saja panas. Tapi sekarang
kondisinya tidak seasyik itu. Teh hanya sebatas menu.
Tumbuh dari keluarga Jawa ketika ibu selalu
menghidangkan teh kualitas prima-ya nasgitel itu, saya cukup faham bagaimana
rasa teh semestinya. Saya paham mana teh enak, mana yang tidak. Apalagi istri
saya yang lebih Jogja "totok".
Karena itulah, urusan minum teh bisa jadi masalah
yang lumayan menggangu. Persis seperti peminum kopi sejati yang diberi segelas
kopi instan. Dahi pasti mengernyit.
Suatu kali saya pernah nongkrong di salah satu
angkringan. Bapak penjualnya tanya, saya orang mana. Obrolan berlanjut sampai
segelas teh hadir. Rasanya "ajaib".
Lha, rasa tehnya cemplang abis. Bagimana
tehnya?” tanya si bapak setelah satu seruputan selesai. Saya dan istri saling
pandang. Dengan terpaksa saya jawab,” Kurang nasgitel, Pak,”
Teh tersebut lalu diambil, dan akan direvisi rasanya
oleh pembantunya si bapak itu. Tapi, hasilnya pun masih mengecewakan. Sekali
lagi dengan terpaksa saya bilang,"Kurang mantap,".
Tidak hanya satu angkringan yang seperti itu, tapi
ketika hampir semua angkringan tidak sanggup menyajikan teh rasa istimewa, saya
tidak lagi tertarik ngangkring.
Semakin sulit menemukan kepuasan di angkringan.
Barangkali, tinggal satu-dua angkringan yang menyajikan teh dengan rasa yang
masih saya tolerir. Meski tetap dengan "catatan", karena menu
angkringan tak hanya sekadar teh, bukan?
Keasyikan nongkrong sembari nyeruput teh nasgitel,
idealnya ditunjang dengan si penjual yang aktif berinteraksi. Komunikasi dua
arah terjalin, semua saling kenal.
Sayangnya, kondisi sekarang tidak seperti itu lagi.
Si penjual bisa jadi cuek, tanpa membuka obrolan. Demikian juga pembeli, masuk
ke angkringan ya hanya untuk makan. Atau langsung mengambil sego kucing dan
gorengan, lalu pulang. Jika dulu
angkringan adalah tempat ngumpul dengan suasana bersahaja, sekarang lebih
terkesan seperti warung lesehan. Benar-benar lesehan, karena menunya mulai
beragam.
Minuman sachet dan mi instan ikut dimasukkan. Perubahan zama
tidak bisa disalahkan. Namun hasrat ingin menikmati angkringan klasik ala tempo
dulu, tidak bisa ditendang begitu saja dari kepala. Jadi, saya masih
mendambakan angkringan yang cukup ideal. Parameternya
memang bisa subyektif, karena berhubungan dengan selere. Orang Jogja suka menu teh
nasgitel, gorengan tempe ala mendoan, juga tahu berisi tauge, wortel, dan kubis.
Jadi ketika ada angkringan menyediakan tahu isi
(bakmi) so'on, itu adalah sebuah "kesalahkaprahan" bagi saya. Atau
angkringan jualan ayam goreng, ya agak gimana, gitu.
Garis besar dari curhat soal angkringan ini
adalah, belum ada angkringan di Balikpapan yang memuaskan saya hingga 100
persen. Yah, memang tiada yang sempurna. (keluh)
baca juga :
ANGKRINGAN LAHIR DI KLATEN NGETOP DI YOGYAKARTA
NGGUDEG DULU
LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK
HANACARAKA AKSARA JAWA YANG INDAH
BASA WALIKAN
7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar