Minggu, 09 November 2014

IKUT LOMBA KOOR GEREJA (LAGI)


Setelah bertahun-tahun nggak pernah ikut lomba koor di gereja, akhirnya saya melakoni itu lagi, Sabtu (8/11) malam kemarin. Hebatnya, dan asyiknya, hasilnya ternyata happy ending karena menyabet posisi juara dua. Bangga donk, yo'i, so pasti.  

Ehem, tapi sebenarnya apa yang terjadi dan apa gerangan? Jadi, begini garis besar ceritanya. Dalam rangka ultah Paroki Gereja St Theresia, Balikpapan, dihelat aneka lomba untuk memeriahkannya. Salah satunya adalah lomba paduan suara.

Nah, Lingkungan (kring) saya, "Maria Imacullata, Balikpapan Baru", menjadi salah satu pesertanya. Pak Halim, atau yang kadang saya sapa Om Halim, sang ketua kring, menampakkan semangat perjuangan demi lomba ini. Semangatnya menular, om, hehe.
Lagi pula, ikut lomba.. why not? Siapa takut? Sudah 15-an tahun mungkin, saya nggak pernah lomba koor, sejak terakhir kali dalam perayaan HUT Gereja Kumetiran Yogyakarta. Pengen menjajal lagi kemampuan diri. Ciee.

Dan, jadilah saya terdaftar sebagai anggota koor untuk lomba. Aturan tidak tertulisnya, sih, kudunya rutin latihan. Tetapi karena latihan koor-nya berbarengan dengan jam deadline ngetik berita, saya jadi sering absen. Maaf ya

Persiapan untuk lomba, lumayan lama. Latihan koor sudah direntang hampir dua bulan lamanya.  Serius beneran, neh. Lha iya, lah, namanya juga mau lomba. Bahkan, saya mengajukan cuti sehari agar bisa ikut koor dengan tenang. Duile, banget kan?
Sering bolong saat latihan, tiga latihan terakhir saya bela-belain datang. Lagunya untuk lomba ada dua, judulnya "Ekaristi" dan "Kumenghadap Allah Sang Maha Cinta". Seperti biasa, saya memilih posisi di kategori pria bersuara tinggi alias tenor.

Tantangan pertama, adalah lepas teks. Enggak boleh ngintip lirik. Jiaaaa, tidaaaak.  Sekian lama hanya ngikut koor misa mingguan, yang nyanyinya sambil pegang kertas teks, maka, urusan lepas teks ini menjadi tidak mudah.

Sepertinya, selalu saja ada yang salah. “Kuhaturkan puji syukur” kadang terpeleset jadi “Kuhaturkan puji sembah” gara-gara bait sebelumnya ada lirik “menghaturkan puji sembah”. Ada tiga bait di lagu Kumenghadap… itu, yang kadang kebalik.
Sedangkan lagu satunya, Ekaristi, bikin saya megap-megap mengambil nafas. Beberapa kali salah waktu ambil nafas. Imbasnya, lirik jadi tidak terbaca karean sudah kehabisan oksigen di tengah perjalanan. Haduh.
“Harus cermat dan cepat mencuri nafas,” begitu seru Bayu, anggota lingkungan yang didapuk sebagai pelatih. Oleh dia, kami diajari teknik “menggumam” yang membuat mulut dan area sekitar mulut bergetar. Memfokuskan suara.
Juga dikenalkan (diingatkan) lagi cara membuka mulut agar kebiasaan menyanyi dengan mulut direntang ke samping, dihilangkan. Suara harus keras, tapi jangan sampai pecah. Ada kalanya dinyanyikan lembut, tapi tetap terdengar.
Perhatikan lirik mana yang harus dinyanyikan secara lembut, mengeras, melembut, dan seterusnya.  “Juri mungkin akan mengernyitkan dahi untuk membuat kita grogi dan merasa ada yang salah,” begitu kata Bayu.
“Jadi, kalau misalnya ada yang merasa nyanyinya salah saat lomba nanti, sebaiknya menampakkan ekspresi biasa. Tapi ya jangan lalu malah memilih nggak menyanyi pada nada-nada atau bagian yang nggak hapal,” lanjut Bayu lagi.
Haduuh, tambah makin grogi saja sepertinya. Bayangan altar gereja yang akan menjadi TKP lomba, suasananya, para juri yang menatap tajam, ditonton orang, hingga kemungkinan "demam panggung", akhirnya menari-nari di kepala.
Tetapi layar sudah terkembang, perahu harus berlayar. Pantang balik kanan. Ciee.... Jadi saya mesti berusaha keras, ehem, yang dimulai dengan menghapal lirik. Dua hari terakhir, saya banyak berdendang di semua tempat.
Dan, tibalah “hari penghakiman” itu, jreng-jreng-duer. Supaya napas plong-bolong, tak lupa pagi hari saya membeli permen pelega tenggorokan. Untuk meminimalisir grogi, siang hari saya milih jalan-jalan sanntai dan hura-hura sejenak.
Pukul 19.00, begitu misa selesai, lomba siap digelar. Sembari memacu motor, sepanjang perjalanan menuju gereja, mulut saya komat-kamit baca mantra, eh lirik lagu. Jangan sampai lupa, jangan sampai lupa.

Sebentar lagi naik panggung, masih sedikit grogi melanda. Jurinya ada tiga, pakar semua, mulai dikenalkan satu per satu. Satu juri berasal dari Keuskupan Agung Samarinda. Romo Paroki juga ternyata ikut nonton. A,a,a..
Dan, tibalah saat untuk tampil. Kaki mulai melangkah masuk ke dalam gereja, menuju ke altar. Naik satu anak tangga, lantas berbaris. Deg, jantung berdetak kencang. Tiga juri menatap dengan sorot mata yang tajam. Deg. Apakah saya bisa hapal liriknya? Deg.
Kalau nanti saya nyanyinya salah nada, gimana? Kalau salah lirik gimana? Deg, lagi. Bagaimana bisa melantangkan suara jika masih rada grogi gini? Deg, deg. Bagaimana jika… dan  gimana jika….. Deg, deg, deg.
Tiba-tiba saya bisa mensugesti diri sendiri. “Mbok ya sudah nyanyi, saja. Kan dulu juga pernah lomba gini, dan bisa” begitu bisik-bisik suara hati yang nangkring di kepala. Dan, bernyanyilah saya sampai bumi bergetar....
Selesai. Dua lagu sudah usai dinyanyikan. Semua lirik, saya hapal. Semua nada bisa saya lahap, aseek. Tidak sia-sia saya merapal mantra sepanjang hari itu.  Tidak juga ada keringat bercucuran deras seperti perkiraan saya sejam sebelumnya.

Anggota kring pun bersorak ketika juri mengumumkan hasilnya. Juara kedua. Menyenangkan dan hore banget. Lombanya sih sebenarnya, hanya diikuti empat kring, hiks, karena hanya empat kring itulah yang sanggup menjadi peserta lomba.
Tapi tak mengapa. Bukan juara berapa yang terpenting dalam lomba koor seperti ini. Ini kan bukan acara semacam Hell Kitchen? Melainkan kemampuan menumbuhkan kepercayaan diri. Ternyata nggak gampang bernyanyi sesuai patokan baku.
Demam panggung, adalah kendala terbesar untuk lomba-lomba seperti ini. Demam panggung, menurut analisis saya, berperan sampai 80 persen terhadap hasil lomba. Demam yang kayak gitu, bias membuyarkan konsentrasi.
Syukurlah saya tidak demam panggung. Setidaknya, kalau itu diukur dari kondisi keringatan dan level gemetar lutut. Kalau diukur dari indicator itu, berarti saya demam begitu usai turun panggung. Keringat mulai bercucuran.

Ternyata perut mulai lapar..... Padahal belum dua jam perut diisi mi instan dan sepotong lumpia.  Yah begitulah, lomba rupanya membuat perut keroncongan. Untunglah ada nasi kotak, dan gudeg yang dimpor langsung dari kotanya. Nyam.
*thanks atas support rekan-rekan se-kring

Tidak ada komentar:

Posting Komentar