Rabu, 29 November 2017

ANGKRINGAN, LAHIR DARI KLATEN, NGETOP DI YOGYAKARTA -- TULISAN II

Semua berawal sekitar hampir 70 tahun lalu, di penghujung tahun 1950. Sejumlah warga Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah memutuskan untuk merantau. Tujuannya ke daerah Solo, kota yang hanya berjarak tak lebih 30 km, untuk berjualan minuman keliling, dan gorengan.

Wedang, atau minuman panas, jualan utamanya. Variannya teh dan jahe. Beserta gorengan simpel seperti tahu dan tempe. Mereka berkeliling memikul dagangannya memakai "angkring" , sebutan untuk alat pikul berbahan kayu. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan “hik” alias hidangan istimewa kampung.

Mereka merantau karena tanah di Bayat rata-rata berbatu dan berkapur sehingga kurang mendukung jika ditanami. Jualan keliling makanan dan minuman yang orang banyak pasti suka, dianggap solusi menarik, tidak terlalu makan duit sebagai modal. Yang penting kuat jalan kaki, bisa bikin teh enak, dan gorengan yang "nyamleng", cukuplah.

Satu demi satu warga pun pindah ke Solo. Di sisi lain, setelah itu, di awal tahun 1980, ketika Yogyakarta semakin ramai didatangi mahasiswa dari luar daerah, pindahlah sebagian dari mereka ke kota pelajar itu. Ada "pasar" baru. 

"Pasar" baru ini menyambut gembira. Menu murah meriah, jelas susah ditolak para maha-nya siswa yang biasanya sedang kencang urusan makan. Bahkan suka nonkrong. Inilah yang membuat para penjual berubah strategi. Jualan tidak perlu lagi berkeliling, gerobak dorong pun digunakan. Sebutan lama “hik” berganti menjadi “angkringan”.

Orang mulai mengenal usaha mereka sebagai angkringan, atau “warung angkringan”, yang definisi sederhananya adalah warung di tepi jalan yang secara visual adalah sebuah gerobak dorong. Fasilitas penunjang di sana hanya terpal penutup gerobak, dan bangku kayu tiga buah yang hanya bisa untuk duduk 7-8 orang.

Semakin lama angkringan semakin banyak. Yogyakarta pun mulai mengalahkan Solo untuk urusan jumlah penjualnya. Bermula dari sekitar kampus, angkringan semakin merambah ke kampung. Dan sepertinya Yogyakarta yang malah sering disebut sebagai kota asal angkringan. Mungkin karena gerobak angkringan lebih banyak di kota itu.

Ngangkring, itu istilah yang menggambarkan orang ke angkringan. Aktivitas ngangkring, sejatinya sudah saya lakoni sejak duduk di bangku SD, jika itu memasukkan faktor bahwa gerobak warung deket sekolah bisa dikategorikan sebagai angkringan. 

Aktivitas ngangkring mulai sering dilakukan tatkala saya menempuh kuliah, tahun 1997. Meskipun, itu juga tidak lepas dari krisis moneter yang berimbas pada krisis duit di dompet. Selama kuliah, saya mesti bekerja paruh waktu untuk bisa mendapat duit jajan. Nah, jajan paling aman dan nyaman, salah satunya tentu angkringan.

Mengangkring mulai terasa nikmat. Jadi kebutuhan. Saat itu angkringan belum macem-macem menunya, dan juga belum banyak-banyak amat. Bahkan ketika saya bekerja di Klaten, dan sempat ke Ngerangan, di tahun 2004, fenomena angkringan sepertinya masih dalam batas normal.  Belum “meledak”. Tapi beberapa tahun sesudah itu, mungkin selepas gempa Jogja tahun 2006, angkringan tumbuh luar biasa bagai jamur di musim penghujan.

Muncullah istilah “kafe ceret telu”, sejak tahun 2000-an, untuk menyebut warung angkringan dalam bahasa kekinian. Ini tak lepas dari biasanya memang ada tiga ceret isi air panas nangkring di atas nyala arang di sudut gerobak angkringan. Meski saya, semakin ke sini, nampaknya lebih sering melihat hanya ada dua ceret.

Kembali ke Ngerangan di Klaten, tadi, mungkin di sana saya pertama merasakan menu angkringan yang enak-enak. Angkringan yang masih “ndeso”, dan si penjual yang akrab menyapa. Malah sempat main kartu, pula. Terharu.. Jadi ingin ke sana lagi. Oiya ini foto salah satu angkringan di Ngerangan, ketika saya liputan bertopik angkringan tahun 2004 lalu. Simpel, kan, angkringannya. 



Enaknya di angkringan adalah harga menu yang terjangkau—meski itu semakin diperdebatkan dalam lima tahun terakhir. Atau gorengan dan baceman yang bisa dihangatkan lagi di atas tungku. Namun yang pasti, menu teh yang “serius” adalah penanda utama “kualitas” sebuah angkringan. Karena ngangkring lebih identik dengan wedangan—minum minuman hangat. 

Semakin ke sini, angkringan semakin dikenal. Semakin banyak, tersebar di mana-mana, menu bertambah, dan semakin  “meriah”. Jika dulu cukup tiga bangku panjang yang mengitari gerobak, kini warung angkringan mesti ditambah terpal, hingga meja-kursi pendek. Konsep angkringan perlahan bergerak menuju warung lesehan.

Semakin jarang interaksi antara penjual dan pembeli. Semakin banyak pembeli hanya sebatas makan dan minum, tanpa menikmati suasana angkringan. Meski masih ada sebagian penjaga angkringan (penjual) yang masih mau ramah menyapa, ngajak ngobrol, dan hapal siapa yang datang. 

Satu hal yang sepertinya jadi keprihatinan saya adalah kualitas menu angkringan yang sepertinya merosot. Saya suka bertanya ke para penjual, apakah mereka memasak sendiri, dan jawabannya, adalah tidak. Mungkin itulah yang bikin quality control menu, menjadi tidak lagi terjaga. Sorry to say, nampaknya hanya segelintir angkringan yang masih berkarakter angkringan.

Tulisan soal angkringan selanjutnya, tunggu ya. Penasaran? Wajib itu. Hehe. Tapi bisa baca dulu tulisan di bawah ini. Tulisan pertama soal angkringan di blog ini.

Rabu, 15 November 2017

BUFFON MENANGIS, ITALIA "KIAMAT", PIALA DUNIA 2018 (MUNGKIN) CEMPLANG

Sepak bola Italia seakan kiamat tahun 1990 lalu, tatkala pesta akbar empat tahunan Piala Dunia dihelat di negeri pizza itu mencapai babak semifinal. Italia harus takluk atas Argentina lewat adu penalti. Padahal saat itu Italia tim bertabur bintang. Benar, ada Maradona di Argentina. Tapi ada Baresi, Roberto Baggio, Carlo Ancelotti, sampai Walter Zenga, di Italia.

Namun ternyata Italia lebih “kiamat” lagi nasibnya di Piala Dunia 1994 Amerika Serikat. Kembali “hantu” adu penalti memupus mimpi Italia di babak final. Sang bintang, Roberto Baggio, seakan menjadi tertuduh tunggal, lantaran sepakannya jauh terbang tinggi di atas mistar gawang tim Brasil yang dijaga Taffarel. 

Di kedua piala dunia itu, tim Italia dan juga sepak bola Italia lagi bagus-bagusnya. Setidaknya siaran langsung liga-nya yang menyita perhatian dunia, jadi parameter termudah bagi penggila bola yang haus akan tontontan. Tetapi, Italia memang belum beruntung.

Kiamat sepertinya sudah menyingkir dari “Gli Azzuri” ketika trophy Piala Dunia 2006 digenggam, usai membekap Perancis. Hebatnya, Italia menang di babak tos-tosan dengan skor 5-3. David Trezeguet, eksekutor keempat Perancis, gagal. Sedangkan lima algojo Italia, sukses, yakni Pirlo, Materazzi, De Rossi, Del Piero, dan Grosso.

Dua Piala Dunia selanjutnya, 2010 dan 2014, Italia tidak banyak berbicara. Sampai tibalah pada babak playoff Piala Dunia 2018. Dan di sinilah kiamat Italia yang (mungkin) sebenarnya. Tepatnya, sepak bola Italia kiamat lagi setelah 50 tahun lalu juga kiamat. Italia, pada Piala Dunia 1958 di Swedia, juga absen.

Hanya saja, cerita kiamatnya Gli Azzuri kali ini lebih tragis rasanya. Kalah oleh Swedia yang bahkan sudah ditinggalkan sang bintang Ibrahimovic lantaran pensiun. Leg pertama Italia takluk 0-1 di Swedia. Leg kedua, skor kaca mata 0-0 di Italia. Benar Swedia kalah kelas, tapi menang permainan.

Menonton laga Swedia versus Italia seperti makan kacang garing yang tidak asin rasanya. Tidak menggigit serangan italia. Swedia yang bahkan beberapa kali membuat degup jantung fans Italia tak karuan. Mungkin Pirlo yang nonton laga itu, akan membanting gelas. Mungkin Pirlo agak menyesal karena barusan memilih pensiun.

Tak ada jendral di lapangan tengah yang mengoordinir permainan timnas negara asal Vespa dan Fiat ini. Italia era 90-an punya Baggio. Sesudah itu ada Pirlo. Sesudah Pirlo,  yang membawa Italia merengkuh jawara dunia 2006 serta finalis Piala Eropa 2012, tak ada yang menggantikan.

Hanya tersisa satu pemain berkharisma di skuat Italia. Dia adalah Gianluigi Buffon, yang jadi opsi utama di bawah mistar gawang Italia sejak tahun 1999. Gigi—panggilannya---kini berusia 39 tahun. Piala Dunia 2018 mestinya menjadi Piala Dunia keenamnya dan akhir kariernya tapi sayang rekor itu tak jadi terpatri.

Siapapun yang menyaksikan laga, pasti sepakat, kegagalan Italia bukan salah Buffon sang kapten tim. Bahkan, mungkin hanya dia saja pemain Italia di atas lapangan Stadion San Siro yang tampil bagus. Tak ada yang menyalahkan Buffon atas penampilan monoton nan menjemukan yang disajikan para pemain Italia.

Wajar ketika Buffon menangis di akhir laga. Kiper Juventus ini tentu tidak menangisi pensiunnya tapi absennya Italia di Rusia tahun depan. Seiring tangisan Buffon, penggila bola pun melongo, seakan tak percaya Italia absen tahun depan di Rusia.

"Lalu siapa yang akan mengalahkan Jerman,” kata seorang kawan yang yakin banget hanya Italia yang sanggup mengimbangi bahkan mengandaskan Jerman. 

Tapi pertanyaan besarnya, adalah Piala Dunia 2018 bakalan cemplang jika Italia tidak berpartisipasi. Masih agak gampang membayangkan Belanda yang absen. Tapi membayangkan Italia tidak masuk putaran final di Rusia nanti, tidak mudah. Baggio pun mungkin juga masih tak percaya. Bahkan juga Maradona.

Sang pelatih, Gian Piero Ventura, jadi kambing hitamnya. Permintaan maafnya, pun, tak cukup bagi publik Italia. Dia pelatih pertama Italia yang barangkali masih akan dihujat sampai bertahun-tahun ke depan. Pelatih tanpa prestasi di level atas, karena prestasi terbesarnya “hanya” membawa Lecce juara Serie-C1, kompetisi kasta lapis ketiga Italia.

Satu-satunya hal positif dari kegagalan Italia adalah, kita akan melihat Italia yang jauh berbeda, mungkin 2-3 tahun lagi. Permainan catenaccio alias gerendel andalan Italia yang terlihat “porak-poranda” di era Ventura, bisa jadi akan kembali dimunculkan. Tapi bisa juga Italia menjelma menjadi tim yang offensif nan efektif seperti Jerman. Bukankah pengalaman adalah guru paling berharga. Apalagi kalau pengalamannya termasuk pahit.

Italia tak pernah kekurangan talenta. Italia hanya kekurangan jenderal lapangan tengah yang kharismatik dan jadi panutan. Buffon barangkali bisa melakukan itu jika ia adalah seorang gelandang. Jika saya adalah pelatih Italia, dan bisa membawa Italia masuk putaran Piala Dunia 2022, Buffon harus masuk tim. Meski ia harus berstatus sebagai kiper ketiga. Setuju, kan?



foto mencomot dari internet...   

Baca juga :
Mencari Trio Belanda, Belum Ketemu
ENGGAK PERNAH BISA TIKI TAKA
KILAUMU BAGAIKAN MUTIARA
AKU DI BELAKANGMU, TIGER WONG
MAMMA MIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN

Selasa, 14 November 2017

TRESNAMU NGUNGKULI TRESNANE


Sliraku ijih eling, Nimas, nalika sliramu uluk pitakonan sing uwis kapendem ning jroning atimu. Luh netes saka netramu. Sajak abot, anggonmu nata swara. Sliraku mangerteni.Saiki utawa mengko, kabeh kuwi bakal kedadeyan.

Ora ana sing kepenak, kahananku uga kahananmu. Nanging temtu kudu dilakoni kanthi semeleh amarga pancen kuwi sing paling becik, wektu iku. “Urip katon ora nyenengake, kangmas. Sliraku ora bisa gathuk karo liyane kejaba sliramu,” gunemmu kanthi mbrambangi.

Tak jaluk pangapuramu, Nimas. Sliraku uga ora kuwasa nadhang tresna marang liyane. Mbokmenawa kuwi pancen uwis ginaris lan ra orane bisa diendhani. Tresna iki ora bisa dijabarke kudu piye, utawa kudu karo sapa anggonku nyelehke ati. 

Nalika rasa tresna ini kadung temancep ning sawijining kenya sing ijih pernah sedulurmu, kuwi uga uwis ginaris. Arepa diwalik-jungkir, sing tak impi-impi tetap dudu sliramu, Nimas. Sanajan sliraku tekan saiki yo durung entuk slirane.

Sliraku tampa kahanan sing ora bisa miturut panjalukku. Semana uga sliramu, Nimas. Amarga kuwi, sliraku njaluk kanthi temenan, sliramu mesthi bisa nampa kahanan. Sliraku sarujuk, kahanan iki durung ana jabar-jereng rampunge kepiye. 

Sliraku mung bisa meneng, lan ngematke, semana uga sliramu. Atiku lara keranta-ranta, semana uga atimu. Wengi iki sliramu kepethuk sliraku. Sliraku ora bisa natap netramu sing bening kuwi metu luh’e. Tresnamu, Nimas, ngungkuli tresnane.