Senin, 04 Agustus 2014

ENGGAK PERNAH BISA "TIKI-TAKA"

      Salah satu “sihir” Piala Dunia adalah bikin orang seplanet ini jadi gila sepakbola. Yang separuh gila, bisa jadi gila full. Saya termasuk yang ikut tersihir, dimulai dari perhelatan event itu di Mexico 1986. Emang sih, enggak ada laga yang ditonton karena saya berumur 7 tahun waktu itu. Masih unyu pastinya.

      Tapi saya masih ingat, pertandingan final nyaris 30 tahun silam itu. Kalau enggak salah, saya lihat (sepotong) siaran tundanya dan membaca berkali-kali berita dan ulasannya. Ada pemain hebat di Argentina - tim juara1986 - yang baru setahun kemudian saya tahu dia bernama Diego Armando Maradona.


     Berawal dari hiruk-pikuk ajang ajaib empat tahunan itu, saya mulai menyukai bola. Berita olahraga di TVRI jadi satu menu wajib karena pasti ada sepak bolanya-dan tentu cuplikan gol-gol kompetisi luar. Bermain bola juga? Tentu saja masuk agenda. Cukup rutin.
      Sayangnya dan celakanya, itulah sumber masalah, tantangan, teka-teki, sekaligus misteri sepanjang masa. Entah mengapa, untuk urusan main bola, saya beneran enggak ahli. Enggak bisa mendribel, apalagi meliuk-liuk. Enggak bisa juga menyundul kencang, apalagi melakukan tendangan first time keras ke gawang ala Batistuta sampai berujung gol. 
      Menyongsong umpan lambung? Jangan banyak berharap karena 50 persen kemungkinannya pasti lepas. Meleset. Bahkan kena wajah, tangan, punggung, Lha, apa yang bisa? Ya, kayaknya cuma nendang pelan yang kadang kencang.  Untunglah saya bisa lari-lari di sepanjang laga. Lumayan.

      Beneran cukup ruwet menganalisis skil saya yang "memalukan" itu. Saya sih pasrah sama aspek yang jelas bukan talenta. Tapi mungkin, penjelasan paling masuk akal adalah memang enggak berbakat. Kalau toh dicari sisi positifnya, ya itu tadi : sanggup bermain 2x45 menit, dan cukup militan di lapangan.
      Dari dulu, posisi ideal adalah menemani kiper alias jadi bek. Statusnya : bek abadi. Selama SD, kalau main bola, saya tidak pernah melewati separuh lapangan. Kadang dimarahi teman karena saya lebih banyak ngobrol, jagongan, sama kiper sendiri.
     Skill memble, fiks. Tapi ternyata (thanks God), ada yang skill-nya lebih parah dari saya. Siapa orangnya? Hoho, dia teman sejak kelas 1 SD, dan bahkan sampai sekarang --tahun 2014--kami (kebetulan) tinggal di satu kota. Balikpapan. Dia ini bek yang lebih “ajaib” parahnya. Sering melakukan blunder yang beberapa kali berujung pada kemelut tak penting depan gawang, dimarahi setim, dan apesnya, ya kadang kebobolan.
       Kami biasanya hanya bercanda selama laga. Baru ketika ada serangan lawan, kami berlari menyongsong terbirit-birit. Ada aturan tidak tertulis : kawan saya itu yang mesti lari menghadang duluan. Sebab, persentase dia gagal menghalau bola, lebih tinggi. 

      Saya wajib mengamankan bola. Nyebelin kan tugas ini. Meski sebenarnya saya ya bukan mengamankan bola untuk kemudian memulai serangan balik. Cuma sekedar "membuang" bola sejauh mungkin. Tak peduli arahnya, keras atau pelan, yang penting bola jangan sampai mampir kaki lawan.
        Begitulah masa-masa SD yang berlal. Masa SMP pun tiba. Kami melanjutkan ke sekolah yang berbeda. Saya tetap jadi peserta rutin sepak bola, di sekolah, maupun di lingkungan rumah. Ala tarkam, nyeker. Kalau pakai sepatu ya bukan sepatu bola. Kalau teman saya itu, beneran emoh main bola. Nonton saja ogah, dia. 
       Selama masa remaja, saya lumayan intens bermain. Saya tetap jadi bek dan mungkin itu posisi kutukan. Cuman, bedanya, saya mulai penasaran maju, bahkan sampai ke depan gawang lawan. Sesekali sih. Saya hanya mau maju kalau tim dalam posisi unggul. Pengen juga dong mencatatkan nama di papan skor alias bikin gol.
        Saat yang dinanti tiba. Gol pertama terbukukan jua. Horeeee !! Saya masih cukup ingat proses terciptanya gol yang sebenarnya 100 persen kebetulan. Jadi begini : ada teman yang menendang bola ke gawang, tetapi bola membentur dengkul saya, dan meluncur masuk gawang. Ah. Gol tipikal Inzaghi banget....
        Biarlah.. Gol berbau keberuntungan, kan juga tetap gol. Kabar baiknya, setelah itu, keran gol mulai deh, terbuka. Gol kedua, tetep... masih berkat jasa teman. Berawal dari tendangan bebas, bola diberikan (ke belakang) menuju saya yang refleks menyambut dengan sepakan first time. 
      Bola meluncur lurus ke pojok kiri gawang. Masuk ! Saya malah kaget. Seumur-umur (bahkan sampai detik ini), itu adalah tendangan kena bola yang paling bener, juga paling kencang, dan bisa gol. Gol itu, cukup indah sebenarnya, karena sampai membuat kiper "terbang". 
       Dua atau tiga gol selanjutnya, saya lupa kapan dan gimana prosesnya. Namun seingat saya, pernah sekali mencetak gol lewat kepala. Keren? Tetap enggak juga, karena tinggal meng-heading, lha wong bola hasil rebutan setelah tendangan penjuru, melambung pelan, dan "milih" menuju ke kepala saya. 
       Saya hanya refleks menoleh dikit. Itu saja enggak yakin bolanya kena. Eh, gol. Jadi, ini bukan gol hasil “duel udara” satu lawan satu atau tandukan mematikan ala Olivier Bierhoff. Lha trus kiper di mana. Kipernya sudah mati langkah dong. Atau bingung menebak kemana bola meluncur. Ah, peduli amat.
      Ketika beranjak SMA, main bola tetap lanjut. Saya sempat mencetak gol saat tim mudika lingkungan bertanding melawan tim tetangga kampung sebelah. Tapi saya lupa prosesnya. Tapi yang saya ingat, gol itu lagi-lagi karena kebaikan hati teman. 

       Dalam sebuah skema serangan balik, teman saya ini mendribel bola, meliuk-liuk melewati lawan. Dia meminta saya berlari ke arah gawang lawan. Kiper akhirnya dilewati, dan dia lalu menyodorkan bola ke saya. Ini sih, namanya umpan mateng. Ibarat dilempar sepiring nasi pecel komplit sama krupuk dan teh anget, pas perut lapar.


       Bola saya coba tendang keras. Eh tidak sukses. Kena sih kena. Dikit. Bolanya menggelinding pelan ke arah gawang. Sedikit kena tiang, sebelum masuk gawang. Sempat deg-degan. Jika enggak berujung gol, saya pasti bakal menyesal seumur hidup. Meskipun, sebetulnya, kalau pun tidak berujung gol, tim tetap menang. 
       Mencetak gol adalah kebanggaan semua pemain. Namun bisa menjaga lini pertahanan agar tidak mudah ditembus, juga kebanggaan. Saya memegang etos kerja. Tak peduli gimana caranya, yang penting enggak hand ball. Tempel lawan kayak perangko. 
      Cukup gigih mengejar bola. Kalau jatuh, ya bangun lagi, dan kalau pas bangun, mikir bisa jatuh lagi. Hehe... enggak ding. Pokoknya saya mesti mengintimidasi lawan, meski pastilah lawan ketawa karena dijaga bek amatir. Tapi jangan berpikir mudah melewati. 
      Dua kaki ini pokoknya "mengayun" ke sana-sini. Bisa lari cukup cepet, ternyata sangat lumayan membantu menutup kekurangan. Lawan bisa lari, tapi enggak nyaman. Kalau kalah duel, saya kejar. Pernah saya teriak keras sampai lawan kaget. Ujung-ujungnya dia enggak fokus mengontrol bola. Dan bola langsung sepak saja sejauh mungkin... 
      Pengalaman buruk, yaa pernah nyaris dipukul, gara-gara menekel terlampau keras. Saking semangatnya. Enggak percaya kalau kaki saya yang tidak kekar ini kuat? Sebaiknya, percayalah. Ahahahahaha...

      Dalam satu masa, saya pernah mendapat julukan “si penggagal serangan”. Kata salah satu teman, saya punya intuisi membaca arah bola dan tipikal pergerakan (striker) lawan. Entah itu bener atau enggak, saya nggak yakin juga. Seingat saya, kalau pas main ditonton temen-temen cewek, saya bersemangat sekali. Biar nggak ketahuan bodo-bodo banget. 
     Pernah pula dipanggil Grasshoper, karena kaki saya yang (kayaknya) panjang dan berlarinya acak tak karuan, kayak belalang. Jangankan lawan, kawan sendiri pun mungkin sulit menebak pergerakan tanpa bola saya, hahahha.
      Skill nyaris nol, mau tak mau ya (mencoba) berani meladeni duel satu lawan satu untuk urusan bodi kontak atau rebutan bola. Di sisi lain, lha ini cuma laga skala lokal, yang tidak memperebutkan piala. Laga persahabatan, istilah kerennya. Mainnya tanpa beban.

        Kembali ke tekel-menekel dan bodi-membodi itu. Barangkali, saya rasanya perlu meminta maaf terhadap beberapa teman yang pernah saya tekel dan dorong dengan cukup keras. Percayalah saya memang tidak sengaja, atau tepatnya, saya nggak paham cara menekel yang baik. Swear.


      Tapi sekarang tidak ada yang harus saya minta maafnya, karena sudah nyaris enggak pernah main sepak bola. Sejak mata kaki retak gegara kecelakaan sepeda motor hampir 10 tahun silam, sudah tak lagi cukup oke untuk merumput. Dokter bilang, jangan, daripada nanti jadi bermasalah mata kaki saya.

  
        Terakhir masuk lapangan beberapa bulan silam, lokasinya di lapangan futsal. Cukup 30 menit, sudah merasa badan berat. Kaki serasa susah menjejak bumi. Nafas memburu seperti dikejar serombongan T-rex yang ingin "ngemil" manusia. Segera angkat tangan, minta diganti. Belum capek, sih, tapi tiba-tiba ingat jantung. Detak sudah bertalu-talu. Umur tak lagi muda.
       Sekarang, aktivitas yang terkait sepakbola hanya sebatas menonton pertandingan di TV dan membaca koran serta berita online. Dan tentu saja, meliput pertandingan, meski ya hanya sesekali. Bisa dibilang, saya sudah lama "gantung sepatu" tanpa sempat bergabung di klub manapun. Ya iya, lah. Masa ya iya dong. Mulan Jamilaaah, masa Mulan jami dong..
      Selama rentang karier bersepakbola saya yang tidak membanggakan itu, syukurlah, masih ada prestasi teraih. Apa itu? Enggak spesial sih, lantaran prestasinya (kalau itu bisa disebut prestasi) adalah : tidak pernah bikin gol bunuh diri. Lumayan, bukan?

    Akhir kata, tentu ada pesan moral. Skill bermain itu nomor dua, karena nomor satu adalah kegembiraan bermain. Dah gitu aja..

Baca Juga :
AGNETHA FALTSKOG vs ANNI-FRID FRIDA LYNGSTAD ABBA
LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK
THE AQUARIAN ?