Rabu, 29 Mei 2019

MAMMA MIA ! HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN

Sebagai fans berat super grup asal Swedia, ABBA, belum komplet jika belum me-review film musikal “Mamma Mia ! Here We Go Again”. Ini film yang menghibur, namun masih terbilang datar untuk urusan jalan cerita. Sisi bagusnya adalah, film itu, syukurlah, lebih menarik ketimbang film perdana pendahulunya, Mamma Mia !  

Mudah ditebak jalan cerita Mamma Mia kedua ini, karena nyaris tidak ada kejutan. Tokoh-tokoh pemerannya pun, mayoritas pemain lama yang membintangi sekuel perdana. Bisa jadi, Mamma Mia edisi kedua ini tak terlalu memberi warna dan something new jika kita datang menonton dengan harapan besar. Lebih terasa datar lagi jika kita adalah fans berat ABBA, seperti sambalbawang yang sudah mengenal ABBA sejak SMP.

Agak telat me-review Mamma Mia ! Here We Go Again sekarang karena filmnya sudah nongol setahun lalu. Namun karena baru sempat sekarang, ya langsung dituang saja dalam tulisan, ketimbang lantas menguap, hehe. Apalagi, sambalbawang sudah bikin review Mamma Mia ! Bisa ditengok di sini.

Tapi tentu, itu review dari sudut pandang pecinta musik ABBA yang bukan kritikus film sejati. Sambalbawang sudah dua kali menonton Mamma Mia ! Here We Go Again. Sepertinya cukup. Tetapi kalau mendengarkan lagu-lagu ABBA, sih, hampir tiap hari. 

Film kedua Mamma Mia ini biasa saja. Segera terbaca jika film memang semata untuk menghibur dengan menggelindingkan banyak lagu ABBA. Mata akan dimanja pemandangan alam, dan tentu saja, wajah "bening" para pemerannya. 

Sedikit saran, sebaiknya kita menonton film pertama “Mamma Mia !”dahulu  agar segera menangkap jalinan cerita “Mamma Mia ! Here We Go Again”. Atau, bisa memutar dulu lagu-lagu ABBA sesuai playlist lagu ABBA yang diboyong ke film tersebut. Keriangan lagu-lagu dan indahnya lirik lagu grup musik yang beken di rentang tahun 1974-1982 ini, bisa membantu menggambarkan bagaimana karakter ABBA, dan bagaimana film bercerita.

Mamma Mia ! Here We Go Again menyajikan kilas balik (flash back) Donna dan Sophie, pasangan ibu-anak. Bedanya, kali ini Donna yang mendapat banyak durasi tampil, karena ibunya dikisahkan sudah meninggal. Ini sebetulnya lumayan mengejukan. Masa Donna tega "dimatikan"? Can't belive that !

Sambalbawang tidak mengira film bakal memaparkan kematian Donna. Karakter yang diperankan artis kawakan Meryl Streep ini yang paling “menyelamatkan” film pertama di tengah tingginya ekspekstasi--karena Mamma Mia ! adalah film perdana. Sambalbawang yakin sebagian penonton cukup kecewa di awal, melihat sekuel keduanya.

Rentang 10 tahun sejak Mamma Mia ! hingga sekuel kedua, Donna--yang paling dinantikan penonton--malah “dimatikan”. Meski sebenarnya tidak, karena tetap ditampilkan. Jujur, sambawal bawang lebih berharap di sekuel kedua ini akan terungkap satu-dua misteri. Misalnya, sebenarnya siapa bapak kandung Sophie, hehe. Atau mengapa harus Donna yang mati duluan, mendahului sang ibu (Ruby).

Tapi ya sudah, kita nikmati saja film Mamma Mia kedua ini, sebagaimana film-film lainnya. Jalan cerita berpusat pada Sophie, dan rentetan flashback Donna muda—dan tentu saja Bill, Sam, dan Harry muda. Sophie bertekad membuka lagi Hotel Bella Dona, usaha penginapan milik sang ibu (Donna) di sebuah pulau, di Yunani. Sophie sudah mempersiapkan hari peresmian penginapan—bersama Sam yang dikisahkan di film pertama akhirnya menikah dengan Donna.

Re-opening penginapan nyaris batal karena pulau dan perairan sekitarnya dilanda badai. Namun akhirnya pesta terlaksana, tamu undangan hadir, dan semuanya berakhir bahagia. Sophie–yang diperankan Amanda Seyfriend--terus mendapat dukungan dari dua karib Donna, yakni Tanya dan Rosie.

Sophie diceritakan sudah menikah dengan Sky, dan mendapatkan kabar gembira: dirinya hamil. Kondisi yang sama seperti sang ibu sekian tahun silam. Bedanya adalah, Sophie sudah tahu siapa sang ayah dari anaknya. Hehe. Namun ada juga kesamaannya, sih, karena Sophie sebagaimana sang ibu, saat muda, adalah perempuan cantik nan enerjik, memesona pria--dan suka berpetualang di lautan cinta.

Kisah Sophie ditumpuk selang-seling secara rapi, dengan cerita seputar Donna saat usia muda yang bertemu dengan Bill, Sam, dan Harry muda. Donna muda yang cantik, terkesima pada sebuah pulau terpencil yang pemandangannnya eksotis: lautan biru, tebing bebatuan nan tinggi dan hijau, langit biru, serta tepian pantai nan indah. Pulau ini lalu ditempati, dan akhirnya Donna membuat penginapan.

Penggemar ABBA pasti datang menyaksikan film Mamma Mia 2 Here We Go Again untuk bernostalgia atau sekadar memanjakan mata serta telinga. Para penggemar ABBA yang selama ini “bermain” dengan fantasi, karena masih berharap super grup itu eksis. Harapan masih bertepuk sebelah tangan, karena selepas bubar di tahun 1982--atau 37 tahun silam--ABBA tak pernah reunian.

Seluruh dunia terkejut, karena hampir sepuluh tahun ABBA mengentak dunia dan menyematkan kegembiraan musik pop Eropa. Publik mulai mengenal musik Swedia, karena ABBA begitu meroket popularitasnya. Dari sisi kuantitas dan kualitas, ABBA jempolan, dan itu fakta tak terbantahkan.

Delapan album dengan 100-an lagu yang mayoritas mendulang sukses, menjadi bukti bagaimana sumbangsih ABBA pada jagat musik. Korelasinya adalah, harapan fans menjadi sangat tinggi. Ini perasaan yang lumayan persis dialami fans The Beatles, setidaknya sampai sebelum John Lennon meninggal karena ditembak. The Beatles boleh bubar, tapi penggemarnya tidak mau menganggap demikian. ABBA pun boleh bubar, tapi bagi para penggemar--alam bawah sadar mereka mengatakan--ABBA tidak pernah bubar.

ABBA tak pernah mau reuni, dan itu fakta yang menyedihkan. ABBA sebenarnya masih komplet personelnya. Agnetha, Benny, Bjorn, dan Anni-Frid “Frida” yang kini sudah usia kakek-nenek, sebetulnya tidak sepenuhnya meninggalkan panggung musik. Seperti di film Mamma Mia, Bjorn dan Benny tercantum  sebagai executive producer. Bjorn bahkan sempat nonggol sekilas, memerankan dosen saat acara wisuda sarjana. 

Selepas ABBA bubar, para personelnya hanya sekali tampil full team di atas panggung tahun 2006. Itupun tidak bermusik, melainkan hanya bernyanyi lagu The Way Old Friends Do. Dibukanya Museum ABBA di Swedia tahun 2013, juga hanya sekadar pelipur lara guna mengobati kangen. 

Rencana konser ABBA dalam format hologram, jika terealisir pun, tidak benar-benar sebagai ajang reuni karena mereka tidak akan tampil secara live. Empat personelnya tidak pernah mengungkapkan masalah secara terbuka mengapa tak lagi menjalankan ABBA, tapi mereka juga tidak menampakkan sikap bermusuhan.

Jika melihat bagaimana kehidupan para personel ABBA, kita bisa memahami menggapa ABBA tak berlanjut. Keempat personel ABBA adalah pasangan suami istri, namun bercerai. Setahun sebelum bubar, mereka berempat sudah berstatus duda dan janda. Dalam kondisi "genting" itu, satu album masih sempat mereka bikin. Keren. Sayangnya, keinginan keempatnya untuk tidak melanjutkan ABBA, lebih kuat ketimbang desakan fans.

Akhirnya, para fans ABBA, termasuk sambalbawang hanya bisa gigit jari. Dan hanya bisa menyambut gembira peristiwa yang bernuansa ABBA bermunculan, termasuk dua film musikal ABBA tersebut. Kami akan memasuki bioskop untuk mendengarkan lagu-lagu ABBA, dan ingin agar seluruh dunia kembali mengingat ABBA.

Karena itulah, alur cerita film sepertinya menjadi tidak terlalu penting. Mudah ditebak, cukup datar, dan nyaris tidak menghadirkan kejutan. Kalau toh disebut kejutan, ya memang ada, tapi hanya kejutan kecil seperti hadirnya ibu Donna alias nenek Sophie yakni Ruby --diperankan Cher.

Sebagai film musikal, mudah ditebak ketika lagu-lagu ABBA akan berseliweran mengiringi cerita. Di-pas-kan mana lagu yang tepat saat adegan yang mana. Untung saja, proses ini berjalan rapih. ABBA punya semua lirik lagu yang dibutuhkan, apakah bercerita tentang keriangan, kesedihan, harapan, ataupun impian. Jika dibandingkan film pertama, sekuel keduanya lebih baik.

Deretan artis senior sungguh membantu hidup dan cairnya cerita di film musikal bergenre komedi-romantis ini. Semua kebagian peran menyanyi dan menari. Tapi jangan membandingkan dengan suara duo vokalis ABBA—Agneta dan Frida. Angelic voice keduanya, masih tak tertandingi. 

Jika di film pertama, Meryl Streep “menyelamatkan” film dari para "diehard" ABBA, maka di film kedua, sambalbawang merasa suara vokal Lily James yang memerankan Donna muda, paling “menyelamatkan” film dari sisi lagu-lagu ABBA. 

Urusan vokal dan performa, para pemain nampak sudah memberikan hasil yang maksimal. Tak bisa menjangkau suara selevel duo angelic voice itu, tapi tak mengapa. Setidaknya mereka memang menjiwai dan juga fans ABBA, seperti pernah dilontarkan Amanda dan Lily dalam sebuah wawancara.

Mamma Mia 2, menurut catatan sambalbawang, merangkum 20 lagu ABBA. Thank You for The Music mengawali film, disusul When I Kissed The Teacher. Selanjutnya Chiquitita, One of Us, I Let The Music Speak,  Waterloo, SOS, Why Did It Have To Be Me,  I Have A Dream, dan Andante Andante.

Menyusul kemudian secara berurutan: The Name of The Game, Knowing Me Knowing You, Mamma Mia, Angel Eyes, Dancing Queen, Hasta Manana, I’ve Been Waiting for You, Fernando, My Love My Life, Super Trouper, dan Lay All Your Love on Me. Tidak semua dinyanyikan sama persis liriknya, karena mesti mengikuti alur film. 

Jumlah lagu ABBA yang dihadirkan di film kedua, tidak sebanyak di film pertama yang menjejalkan 22 lagu. Jika di film pertama tersaji lagu-lagu ABBA yang banyak dikenal orang, maka di film kedua, beberapa lagu ABBA yang kurang dikenal, dimunculkan, seperti I Let The Music Speak, Andante Andante, My Love My Life, hingga Hasta Manana.



Sebetulnya, itu lagu-lagu yang dikenal banget oleh fans ABBA. Bahkan menuai pujian banyak pihak karena dianggap sangat indah. Hanya memang, saking banyaknya lagu ABBA yang hits, deretan lagu itu enggak kebagian sama terkenalnya. Bagi (sebagian) generasi milenial, pasti asing dengan lagu-lagu ABBA yang hampir tidak pernah mereka dengar. 

Mereka mungkin hanya menikmati Mamma Mia sebagai film musikal biasa. Namun di jagat internet, banyak anak-anak muda yang sudah mengklaim sebagai fans ABBA, setelah mendengarkan lagu-lagunya. Siapa sih yang tidak jatuh hati dengan grup asal negara pembuat mobil Volvo ini, 

Kalau ada waktu, cobalah mencari dan memutar lagu-lagu ABBA yang "kasta kedua" itu, dan akan ketemu sebabnya mengapa ABBA menduduki strata atas dalam musik dunia. Hanya segelintir grup yang berada di level kesuksesan seperti ABBA, baik kualitas musikal maupun penjualan album.  

Berbicara tentang ABBA adalah berbicara tentang grup musik yang telah menjual lebih 400 juta album, berulang kali merajai tangga lagu sejumlah negara selama 9 tahun, dan hebatnya pengaruh mereka pada era music setelahnya. ABBA adalah talenta musik terbaik dari Swedia. “Hadiah dari Tuhan” begitu kata banyak netizen.

Kembali ke topik awal, kesimpulan sambalbawang adalah Mamma Mia 2 cukup sukses dan cukup menghibur sebagai film musikal. Meski begitu--bagi para fans ABBA--masih kurang mantap jiwa karena lagu-lagu ABBA tidak dinyanyikan utuh, atau tidak semelengking--mendekati--suara Agnetha dan tidak serenyah vokal Frida. Hanya Dancing Queen dan Mamma Mia yang dibawakan penuh.

Tetapi ya sudahlah. Pada akhirnya tetap lebih mengasyikkan mendengarkan lagu-lagu ABBA dan menyetel klipnya, ketimbang menyaksikan (lagi) filmnya. Tak bisa dimungkiri, “sihir” ABBA memang ada di lagu-lagu mereka. Mereka yang belum tersihir ABBA, tinggal menunggu waktu saja. Percayalah, hehehe.

"I'm your music, I'm your song" -- Andante andante

BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :

Kamis, 23 Mei 2019

BASA WALIKAN

"Gek sangi, yo. Mengko 'ndak diseneni sahan pisu,” ujar seorang kawan sembari melihat jam. Dan, kerumunan remaja era 90-an yang lagi semangat-semangatnya hangout tapi masih taat jam malam itu pun, bubar. Sudah dini hari, ternyata. Tapi tak apalah sekali-kali pulang larut, kami kan laki-laki. Poya hoho.

Sambalbawang jadi teringat sejumput obrolan masa lalu, 22-25 tahun silam. Obrolan yang terdengar berbumbu kosakata-kosakata "alien" itu. Sedikit bingung mengartikan beberapa kata di atas seperti sangi, sahan, pisu, dan poya hoho? Itu bukan Bahasa Jawa, melainkan bahasa (basa) walikan. Remaja gaul di Yogyakarta saat itu pasti mengenal bahasa sleng yang mengadopsi aksara Jawa sebagai acuan tersebut.

Ini "bahasa" yang cukup keren dan pernah beken, lho. Setidaknya dari sudut pandang para remaja jadul masa lalu, termasuk sambalbawang. Jadi, mari sedikit mengulik basa walikan seiring menggali memori yang tersisa. Sebelum bahasa "asing" itu punah. Ah...

Sebetulnya kita tidak benar-benar asing dengan bahasa walikan. Sepertinya ada satu kata basa walikan yang sudah familiar yakni “dagadu”. Kalau sudah lupa, ayo diingat sebentar. Dagadu ini juga merek salah satu kaos oblong di Yogyakarta yang menasional. "Dagadu" dalam Bahasa (basa) Jawa artinya "matamu". Logonya bola mata. Cocik. Selain dagadu, ada lagi kosakata basa walikan yang ternyata masih bertahan, yakni sapaan “dab” yang berarti “mas”. Masih sering mendengar orang saling menyapa dengan "Halo, dab !", bukan?

Kembali ke sangi, sahan, pisu, dan poya hoho tadi, itu artinya “bali”—dalam bahasa Indonesia berarti pulang; “bapak”, “ibu”, dan “ora popo”—berarti tidak apa-apa. "Gek sangi, yo. Mengko diseneni sahan pisu" di atas tadi, artinya "segera pulang, yuk, nanti dimarahi bapak ibu".

Masa-masa sambalbawang usia SMP, basa walikan lagi ngetren-ngetrennya. Seperti remaja pada umumnya di kota pelajar, atas nama pergaulan dan "demi kekinian", sambalbawang cukup akrab dengan bahasa gaul itu. Enggak terlalu rumit memelajari, karena basa walikan mengadopsi pengucapan seturut aksara Jawa, yang lumayan sambalbawang paham. Masih ingat hanacaraka dan seterusnya, kan? Lebih susah nulis aksara Jawa ketimbang mengucapkannya--hanacaraka.

Bahasa prokem ini ada “rumusnya”. Tapi sebelumnya, kita rentang dulu aksara Jawa, pelan-pelan, agar mudah memahami dasar basa walikan. Baris pertama berbunyi “ha na ca ra ka”, baris kedua “da ta sa wa la”, baris ketiga “pa dha ja ya nya” sedangkan baris keempat atau terakhir “ma ga ba tha nga”.

Basa walikan diambil dengan cara mengganti kata di baris pertama dengan kata di baris ketiga, serta baris kedua diganti baris keempat. Demikian pula sebaliknya. "Ha" misalnya berpasangan dengan "pa". Contoh lain yakni "na" berpasangan dengan "dha", atau "ka" dengan "nya". Begitu seterusnya (lihat gambar). 

Seingat sambalbawang, tidak semua kata dalam bahasa Jawa yang diganti dengan basa walikan. Alasannya, tidak semua terjemahan kata ke basa walikan terdengar unik. Perlu digarisbawahi, faktor ini penting karena basa walikan tak hanya sebatas pengucapan, tetapi juga intonasi. Maka dari itu, dalam percakapan biasanya basa walikan hanya untuk satu-dua kata, beberapa kata, hingga separuh kalimat. Nyaris tidak pernah digunakan dalam satu kalimat (panjang) utuh. Kalau mengucapkannya terbata-bata  dan pelan (sembari mengingat), kan enggak seru.

Kapan basa walikan dipakai? Basa walikan hanya dipakai untuk percakapan antarteman--biasanya teman sebaya--dan dilarang keras diucapkan ke orang tua. Meskipun dalam perkembangan selanjutnya, sebagian ortu pun akhirnya paham bahasa gaul itu, karena penasaran.

Bahasa gaul ini dinamakan basa walikan karena karena membolak-balik (malik, wolak-walik) aksara Jawa. Kalau direntang ke belakang, perihal kapan kemunculan basa walikan, sambalbawang tidak tahu. Konon, dari cerita sambung-menyambung yang sampai ke telinga, basa walikan dulunya bahasa preman untuk menyamarkan maksud tujuan.

Sepertinya tidak ada buku khusus yang membahas basa walikan. Mengubek-ubek buku kawruh basa Jawa, sambalbawang enggak menemukan bab tentang basa walikan. Bahasa "ilegal" sih, hehehe. Meski begitu, ada beberapa aturan tak tertulisnya. Sambalbawang hanya ingat beberapa. Misalnya, huruf vokal (a, i, u, e, dan o) disematkan ke aksara pertama, yakni “ha”. Ambil contoh, poya hoho tadi berarti (h)ora popo.

Aturan lainnya adalah, tidak semua kata mengacu ke rumus baku basa walikan. Sejumlah kata akan dipenggal satu-dua huruf belakangnya agar terdengar enak di telinga dan enak diucapkan. “Dogos” misalnya, yang berarti motor, sebenarnya tidak baku berbunyi atau ditulis “dogos”, melainkan “dogoy”.

Namun karena “rasa” mengucapkan dan mendengarkan “dogos” lebih enak daripada “dogoy”, maka dogos-lah yang dipilih. Contoh lain--kata yang sering dipakai--misalnya“pahin” yang akhirnya digunakan daripada “pahiny”, untuk mengganti kata “apik”--yang berarti bagus dalam bahasa Indonesia.

Atau “jape methe” yang berarti bocahe dewe, untuk menunjukkan kawan baik alias kubu (orang) sendiri,.  Menilik rumus basa walikan di atas, mestinya bukan ditulis "jape methe" tetapi "sojape methe". Namun memang lebih enak mengucapkan “jape methe” bukan? Ada lagi, kata “rokok” ketika diubah ke basa walikan menjadi “bonyon”, bukan “yonyony”. Mengucapkannya jadi agak ribet.

Walaupun kata-kata dalam Basa Jawa bisa semuanya diubah ke basa walikan, namun tidak semua yang diubah. Sejauh sambalbawang tahu, agaknya cukup jarang, kata "kowe" atau kamu (Bahasa Indonesia), diubah menjadi "nyothe" dalam obrolan teman-teman. "Turu" atau tidur (Bahasa Indonesia) juga sepertinya tidak pernah diucapkan "guthu". Atau "aku" yang ketika diubah ke basa walikan menjadi "panyu", juga kurang populer. Mungkin karena nyothe, panyu, dan sejumlah kata lainnya memang jadi malah enggak keren terdengar di telinga.

Namanya juga basa sleng yang mengutak-atik hal baku (aksara Jawa), akhirnya memang sulit sempurna. Kebingungan dan "tabrakan" pemakaian huruf seturut rumus "hanacaraka", tak terhindarkan sehingga ada kata-kata dalam basa walikan yang tidak pas dan wagu kala diucapkan. Tapi, untunglah, ada kesepakatan bersama--tak tertulis--untuk mengondisikan sekian kosakata basa walikan. Ada kata yang diubah (dan diucapkan) menjadi basa walikan, namun ada pula yang tidak.

Beberapa basa walikan lain yang popular adalah muthig (duit), soco (bojo atau suami/istri), dosin/dosing (mobil), hire (piye), themon (wedok/cewek), satub (bagus), daladh (mangan/makan), lodse (ngombe/minum), ledhgug/ledhub (kentut), themi (wedi atau takut), libil (ngising atau buang air besar), gapi (tahi atau kotoran), bubu (susu), dan tentu saja dagadu (matamu).

Basa walikan--sepertinya--sering dipakai untuk menghaluskan umpatan atau kata-kata "terlarang" atau yang kurang patut jika diucapkan keras-keras. Seperti "dagadu" tadi, yang berarti "matamu", bisa diartikan sebagai umpatan. Matamu !! Tetapi karena mengucapkannya "hanya" dagadu--dan tidak semberi berteriak--maka tidak terkesan kata yang kasar, bukan? Begitu juga jika kita bilang "arep libil dhisik", jika hendak BAB, serasa lebih sopan daripada "ngising"--Bahasa Jawa.

Tetapi, sssst... jangan sembarangan mengucapkan pabu sacilad, ya. Atau mengobral kosakata lajel tanpa liat situasi kanan kiri. Hehehe.

*sebenarnya masih ada beberapa kosakata basa walikan yang populer, tapi karena terlalu vulgar, tidak sambalbawang tulis di sini.


Rabu, 15 Mei 2019

YEN ING TAWANG ANA LINTANG

Sudah lama sambalbawang tertarik lagu-lagu (langgam) Jawa. Keseharian yang cukup dekat dan lekat dengan tradisi, lumayan memberi “oksigen”, sehingga akhirnya cukup hapal sejumlah langgam. Di antara sekian banyak langgam itu, bagi sambalbawang, yang terindah adalah Yen Ing Tawang Ana Lintang

Penciptanya Andjar Any, atau yang bernama asli KRT Andjar Any Singanagara. Ia seorang sastrawan kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, yang juga dikenal sebagai wartawan dan kritikus seni. Menurut penelusuran Wikipedia, Andjar Any juga menciptakan banyak langgam Jawa lainnya. Beberapa langgam yang terkenal misalnya Nyidham Sari, Kasmaran, dan Jangkrik Genggong. Andjar Any meninggal tahun 2008 lalu di usia 72 tahun.

Entah mengapa, bagi sambalbawang, langgam Yen Ing Tawang Ana Lintang terasa menawan. Liriknya simpel, berbobot, indah, dan menghanyutkan suasana. Maknanya pun ternyata dalam, dan hebatnya, maknanya cukup berbeda jika disandingkan dengan artinya secara harfiah (berdasarkan lirik). Langgam yang berciri khas Jawa, ketika menggambarkan sesuatu tidak secara langsung, namun memakai bahasa kiasan. Sebelum membahas lebih jauh, yuk direntang lirik sekaligus artinya.

Yen ing tawang ana lintang, cah ayu. Aku ngenteni tekamu.
Marang mega ing angkasa, nimas. Sun takokke pawartamu.
Janji-janji aku eling, cah ayu, sumedhot rasaning ati.
Lintang-lintang ngiwi-iwi, nimas. Tresnaku sundul wiyati.
Dek semana janjiku, disekseni.
Mega kartika, kairing rasa tresna asih.
Yen ing tawang ana lintang, cah ayu. Rungokna tangising ati.
Pinarung swaraning ratri, nimas. Ngenteni bulan ndadari.

Artinya, lebih kurang begini :
Yen ing tawang ana lintang, cah ayu  (jika di langit terlihat bintang, wahai cantik)
Aku ngenteni tekamu. (aku menanti kedatanganmu)
Marang mega ing angkasa, nimas. (kepada awan di angkasa, dik)
Sun takokke pawartamu. (kutanyakan bagaimana kabarmu).
Janji-janji aku eling, cah ayu. (janji-janjiku pasti kuingat, wahai cantik).
Sumedhot rasaning ati. (serasa patah perasaan hati ini)
Lintang-lintang ngiwi-iwi, nimas. (bintang-bintang seakan memanggil, dik).
Tresnaku sundul wiyati. (rasa sayangku menyentuh hingga ke angkasa).
Dek semana janjiku, disekseni. (saat itu janjiku disaksikan).
Mega kartika, kairing rasa tresna asih. (langit yang berawan dan berbintang, mengiringi rasa cinta kasih).
Yen ing tawang ana lintang, cah ayu. (jika di langit terlihat bintang, wahai cantik).
Rungokna tangising ati. (dengarlah tangisan hati ini).
Pinarung swaraning ratri, nimas. (bersama suara malam, dik).
Ngenteni bulan ndadari. (menanti bulan purnama).
  
Sepintas, jika memerhatikan arti seturut lirik, kata per kata, bisa jadi langsung diketahui maksudnya. Menceritakan tentang seorang laki-laki yang merindukan gadis cantik sang pujaan hati yang nun jauh di sana. Namun si lelaki hanya bisa membatin, berdoa, menunggu sembari menatap langit kala siang dan malam, memastikan janji terpenuhi, dan cinta tetap terjaga. Ah.

Namun, sambalbawang pernah diberi tahu bahwa makna langgam tersebut tak sepenuhnya berarti plek sesuai lirik. Lupa dikasih tahu sama siapa, namun sepertinya salah satu guru sekolah. Langgam Yeng Ing Tawang Ana Lintang ini berkisah tentang seorang ayah yang menunggu kelahiran anak perempuannya. Benarkah?

Selang sekian tahun kemudian, kala mbah Gugel muncul, barulah sambalbawang sesekali iseng mencari tahu maknanya. Juga menyempatkan diri menengok beberapa blog yang mengangkat topik tersebut. Dan ternyata memang maknanya begitu. Andjar Any menciptakan langgam ini saat menunggu kelahiran anak perempuannya.

Baiklah, urusan pemaknaan selesai, mari menengok keindahan lainnya. Di sana tercantum beberapa kosakata Jawa Kuno atau sansekerta, antara lain ratri dan wiyati. Ratri artinya malam, sedangkan wiyati berarti langit, udara, atau angkasa.

Sebenarnya, syair atau lirik “angkasa” yang juga bahasa Jawa, sudah disematkan di awal langgam Yen Ing Tawang Ana Lintang, namun dipakai lagi di bait selanjutnya. Hanya saja, dipilih kata “wiyati”. Dasanama (bahasa Jawa), atau anonim untuk menyatakan "malam", sebenarnya ada beberapa kata selain ratri, misalnya "wengi".

Namun, secara rasa, “ratri” lebih indah dari “wengi” atau kosakata Jawa lain yang berarti malam hari. Demikian juga “wiyati”. Kebetulan pula “wiyati” adalah juga nama ibunda sambalbawang. Tresnaku sundul wiyati, berarti rasa cintaku menyundul atau menembus angkasa/langit/udara. Indah, bukan?

Sambalbawang juga penasaran dengan sapaan “nimas”. Sebab, agak tidak lazim untuk memanggil seorang perempuan di kalangan masyarakat. Nimas, lebih lekat digunakan di lingkup ningrat (keraton). Sehari-hari, atau biasanya, kita lebih mengenal dan mendengar kata "nimas" tatkala menyaksikan wayang orang atau mendengar pembawa acara (MC) berbicara saat resepsi pernikahan.

Dalam langgam Yen Ing Tawang Ana Lintang, digunakan dua sapaan, yakni “cah ayu” dan “nimas” yang sebenarnya bermaksud kurang lebih sama. Kalau kita menyapa "nimas", bukankah identik dengan seseorang itu cantik, bukan? Kita bisa mendefinisikan cah ayu dan nimas sebagai si anak perempuan, kekasih, atau si ibu yang tengah berjuang hidup—mati melewati proses kelahiran. 

Namun jika (memilih) situasinya sedang nandhang asmara (dilanda asmara), bisa juga cah ayu dan nimas itu adalah perempuan pujaan hati, atau kekasih. Perempuan yang bagi kita (laki-laki) sangat berarti, sangat indah, sehingga kita panggil dia dengan “nimas”. Sebuah panggilan terhormat dan tentu bagi perempuan (mana pun), itu sangat membahagiakan. Sapaan sayang yang juga bisa dibingkai sebagai bentuk kekaguman.

Nimas serasa panggilan sayang terindah yang “kastanya” paling atas. Wah, so sweet, dong. Namun di atas semua analisis itu, jelas bahwa Yen Ing Tawang Ana Lintang adalah langgam Jawa yang memang indah secara keseluruhan. Sepatutnya kita tahu lagu itu, mengerti keindahannya, dan (kalau bisa) menyanyikan. Tresnaku sundul wiyati.. daleeeem…. 

Maka dari itu pula, sambalbawang yang “kesengsem” Yen Ing Tawang Ana Lintang sejak remaja, ingin menuliskannya memakai aksara Jawa. (mohon maaf jika tulisan Jawa goresan tangan sambalbawang ini, masih ada salah, dan tidak indah. Mohon maaf juga jika sambalbawang tidak sepenuhnya tepat "menggambarkan" arti langgam Yen Ing Tawang Ana Lintang ini).

Yen Ing Tawang Ana Lintang, dalam perkembangannya, dibawakan banyak penyanyi dengan berbagai style. Sambalbawang memilih tiga klip dari youtube, untuk menggambarkan jika langgam ini bisa dibawakan dengan tiga nuansa atau genre berbeda.