Kamis, 29 September 2016

SUPRA GTR 150, SI BEBEK (RASA) SPORT

Bebek rasa sport. Itu kesimpulan tatkala melihat dan menjajal sejenak performa Supra GTR 150, varian anyar Honda yang dirilis awal tahun 2016 ini. Bagi yang berharap Supra GTR 150 ini masih bercita rasa Supra, siap-siap saja untuk terkejut. Supra yang ini tidak sekalem kakak-kakaknya.

Setelah sekian bulan penasaran, akhirnya sambalbawang berkesempatan juga melakukan test drive motor yang sempat menghebohkan para biker itu. Sore hari, sambalbawang meminjam sejenak motor itu dari diler Honda Harapan Utama, Balikpapan. Penasaran kan memang harus dituntaskan biar kelar. Ini dia tampangnya.




Jauh sebelumnya, Mei lalu, sambalbawang sudah berpapasan dengan GTR 150. Namun hanya sempat memelototi tampangnya, ketika serombongan bikers mampir Balikpapan, di sela-sela turing antarpulau. Sempat ngobrol dengan beberapa biker, katanya GTR 150 sip untuk turing.

Jadi, mari kita bahas sedikit gimana makhluk ini. Diawali, tentu saja dari tampang. Dimensinya cukup bongsor, dengan lekukan-lekukan sudut tajam. Mengingatkan sejenak dengan sosok bebek sport yang dibesut pabrikan lain. Namun bodi GTR 150 lebih “menjulang” dan seimbang.

Beranjak ke tampang depan, desain lampunya sepintas mengajak memori bernostalgia mengingat si legendaris Supra X 125 yang tak lekang dimakan usia. Tapi, bedanya ya tetap jauh sih, karena lampu depan GTR 150 ini sudah menganut dual LED, lampu jauh dan dekatnya terpisah.

Menuju ke bahan material, plastik bodi penutup tampang dan bagian tebeng, meski tidak terlalu tebal, tapi cukup “serius” dan rapat, dibanding kawanan bebek lain. Menandakan bebek sport ini tidak akan banyak berisik “mengepakkan sayap” kala bergetar mesinnya.

Jika dipantengin dari samping dan belakang, tampilan GTR 150 termasuk kalem jika parameternya adalah sport murni. Namun tampaknya inilah satu daya tarik, agar kaum hawa-yang ingin tampil sedikit macho-pun melirik. Ibarat berotot, boleh, tapi nggak perlu harus seperti binagarawan. Kan? Aha.

Kembali ke topik utama. Oh ya, satu yang paling mengesankan adalah desain knalpot. Cukup slim, kokoh, namun sporty dan good looking. Dentuman suaranya pun, tidak malu-maluin, tapi juga tidak bikin sebel pengendara sebelah. Tidak juga bikin pak RT terpaksa keluar rumah sambil bawa pentungan, kala ini motor lewat gang kampung.

Dengan moncong mendongak ke belakang lumayan tinggi, GTR 150 akan aman dan baik-baik saja jika dipaksa melewati genangan air hingga 40 cm. Inilah bebek-dan mungkin juga bebek sport- yang secara teori paling aman menerabas banjir. Bisa jadi opsi bagi mereka yang kerap lewat daerah banjir.

Beranjak ke fitur, terutama melongok panel-panel indikator, nuansanya sih, standar. Gabungan analog dan digital. Penunjuk RPM masih berupa jarum, tapi selain itu sudah digital. Apik. Semua penanda indikator, cukup jelas terbaca. Kalau toh dicari satu “kelemahan”, sepertinya hanya menyoal penanda RPM yang space-nya kegedean. Sepertinya dari sektor inilah GTR 150 terasa masih ada “bebek” nya.

Okey. Cukup pantauan secara visual. Sekarang saatnya berkendara alias test drive. Lima menit pertama, langsung terbaca mengapa bebek ini diklaim bersahabat kalau diajak turing jarak sedang hingga jauh, dan naik-naik ke puncak gunung. Para biker yang terlanjur beli GTR 150, sepertinya tidak menyesal.

Dari aspek ergonomi, lumayan dapet. Diajak putar-putar Kota Balikpapan, tangan dan telapak tangan tidak pegal. Posisi kaki juga nyaman. Posisi stang yang tinggi membuat badan tidak dipaksa membungkuk. Sambalbawang yang tinggi badannya 171 cm, masih bisa menebar senyum ke kanan-kiri saat berkendara.

Konfigurasi kopling manual lumayan sukses disematkan di Supra GTR 150. Tuas kopling empuk ditarik jemari tangan, tugas persneling gigi di kaki, pun, enteng dipijak. Saat posisi gigi berpindah, entakannya lumayan anteng. Jika terbiasa mengendarai motor cowok, mengendarai GTR 150 yang bertipe mesin DOHC dan setingan giginya sampai enam ini, bisa sambil “merem”, lantaran mudah. Nggak perlu narik kopling ful tenaga, gigi sudah bisa dipindah dengan smooth. Enyak kan.

Beranjak ke suspensi, GTR 150 lebih bersahabat ketimbang bebek sport lain. Sambalbawang sengaja “menghajar” jalanan aspal berlubang, dan sejenak melewati jalan bergelombang-berbatu-batu, dan ternyata...motor ini cukup anteng. Suspensi belakang bertipe tunggal (mono shock), tak hanya sekadar mempermanis tampilan sisi tengah motor, tapi juga oke meredam getaran. Berikutnya, tentang jok, sebenarnya cukup keras, namun pengendara terbantu oleh fungsi suspensi yang lumayan sip.

Roda depan berukuran 90/80-17 sedangkan belakang 120/70-17. Dimensi yang cukup lebar untuk memeluk aspal, dan mantap untuk mencengkeram saat pedal rem diinjak. Dobel rem cakram, depan-belakang, menjadi nilai tambah. Sambalbawang mencoba mengerem rada “kejam” saat laju motor cukup kencang. Supra GTR 150 ini akur-akur saja, mau berhenti tanpa bikin pengendaranya panik.

Lalu, mesinnya bagaimana? Supra GTR 150 berkubikasi 149 cc dan berteknologi injeksi penuh ini, terbilang cukup bertenaga. Sepintas dicicipi, karakter mesinnya mirip Sonic, tapi lebih kalem. Lebih jinak, dikit. Di putaran bawah, sedang, hingga tingi, tenaganya masih bisa “ngisi”.

Mesin tetap cukup adem lantaran ada radiatornya. Dibawa lari sampai 90 km per jam, motor ini belum melayang. Masih bisa “nancep” ke aspal. Handling juga tidak “lepas”. Tapi ngapain juga kencang-kencang membejek gas sampai segitunya, kalau kecepatan nyaman ada di kisaran 50-70 km per jam. Turing kan tidak harus ngebut, kan?

Melongok ke fitur lain, memang terasa ada yang dikorbankan demi tampilan GTR 150 yang ca’em ini. Apa saja itu? Pertama, bagasi. Hanya tersedia sejumput space yang itu pun tidak muat untuk sebiji jas hujan. Paling hanya muat notes. Tapi, ruang kecil ini sebaiknya tidak diisi barang, karena untuk "bernapas" mesin.

Kedua, tidak ada cantolan tempat menggantungkan bawaan di bagian tebeng. Dengan desain rapat segitu, motor ini memang bukan motor untuk belanja ke pasar. Dibikin cantolan sih, bisa dan sah-sah saja, kan ini urusan selera dan fungsionalitas. Meski konfigurasi tebeng-nya tidak mentolerir untuk itu. Tapi kan kalau turing, masa juga sembari bawa plastik isi soto.

Supra GTR 150-yang dilanjutkan dengan All New Supra GTR 150-diklaim hanya menghabiskan 1 liter BBM untuk menempuh jarak 42-an km. Ini termasuk hemat, bro and sis. Ada rider bilang motor ini bisa dipancal sampai 120-an km tanpa mesin tersengal-sengal kehabisan napas. Tapi karena sambalbawang bukan penggila speed, melainkan pendamba kenyamanan berkendara, maka, tidak terlalu penting membuktikan batas speed tersebut.

Oya satu lagi, untuk menikmati sensasi berkendara yang ideal, Supra GTR 150 ini meminta minuman jenis pertamax, bukan BBM subsidi. Pertalite, sih, sepertinya cukup oke, tapi sebaiknya kita suapin pertamax. Bebek nan “mewah” gini, bermesin injeksi pula, cocoknya ya dikasih pertamax.

Singkat kata, bebek sport ini bisa diajak berpetualang tanpa bikin pantat cepat terasa pegal, dan tetap dapat santai berkendara. Boncenger juga cukup diperhatikan “nasibnya” lantaran jok Supra GTR 150 tidak nungging-nungging amat. Turing berdua ke luar kota, masih bisa hepi sampai tujuan.

Diler Honda di Kota Minyak ini, membanderol Supra GTR 150 Rp 22-Rp 23 juta di Balikpapan. Sambalbawang tidak mau menilai ini harga yang murah atau tidak, lantaran harga kan menyesuaikan bagaimana material dan performa kendaraan. Pilihlah motor sesuai keinginan dan kebutuhan. Kalau masih suka ke pasar, motor ini enggak cocok. Kalau suka turing, tapi santai-santai saja melahap km demi km, GTR 150 bisa dipinang di diler. Begitu, jreng...


BACA JUGA

7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA
ZUNDAPP LAMBRETTA JAWA CB200 DI PAMERAN MACI BALIKPAPAN
TENTANG HONDA (3) INILAH STAR'S FAMILY
TENTANG HONDA (2) DARI ASTREA 700 HINGGA ASTREA 800
TENTANG HONDA (1) DARI PISPOT SAMPAI PITUNG
BANYAK MOTOR SEDIKIT MEREK, SEDIKIT MOBIL BANYAK MEREK
SUZUKI NEX - IRIT LINCAH MANTAP KALEM
FORD LASER SONIC - BALADA FORDI (1)
AVANZA VS WULING VS EXPANDER

Senin, 19 September 2016

NGGAK MAU BIKIN TEH ENAK, BIKIN SIRUP SAJA, SANA

Entah mengapa, belakangan ini, atau tepatnya empat tahun terakhir, saya anti minum es teh di warung. Bukan lagi soal tehnya beraroma vanila, tetapi lebih ke si penjual yang nggak mau denger permintaan konsumen.

Saya, sebagai konsumen, sebetulnya berhak menentukan "rasa", ketika sudah ngomong "tehnya panas, manis, kental", dan sudah diiyakan si penjual. Dalam hal ini, saya sudah menghilangkan keinginan citarasa "sepet".

Komposisi teh yang sejati, ya empat unsur tadi. Jika ingin sempurna, ya tehnya beraroma melati. Nasgitelpet, panas-legi-kentel-sepet. Rumus bakunya gitu. Dan, saya sudah lumayan berdamai ketika mau menerima teh rasa vanila-jika itu yang terhidang.

Namun, teh yang dihidangkan di warung, 90 persen sepertinya "asal teh". Lebih ke air segelas yang kecemplungan secara tidak ikhlas oleh teh celup. Bahkan kalau boleh berpendapat, teh celup bikinan saya, pun, masih jauh lebih enak.

Oke, jika penjual memilih minuman sebagai "tambang uang", daripada makanan. Namun tidak bisa donk teh dihidangkan asal-asalan. Bahkan, "sembarang" teh pun, masih masuk akal, bagi saya, daripada "sembarang" cara bikin teh.

Alasannya, semua teh bisa dibikin enak. Menjadi tidak enak jika cara bikinnya salah. Airnya kebanyakan, takaran tehnya kelewat pelit, airnya sudah nggak segar, diseduh tidak dalam kondisi mendidih, terlalu lama disimpan,

Diperparah lagi kalau takaran gulanya, kelewatan. Maksud saya, untuk ukuran saya yang terbiasa minum teh manis saja, tarakarannya tetap kelewatan. Kebangetan. Kebayang, kan? Teh yang nikmat memang manis, tapi ingat, itu setelah ada faktor "nas-tel-pet"nya, yang terpenuhi. Kalau hanya manis doang, ya tidak enak. Apalagi jika satu teh celup untuk empat gelas.

Jika syarat teh enak diabaikan, teh akan terasa ambyar. Celakanya lagi, salah satu "benteng" terakhir penjual teh di Balikpapan, yakni warung angkringan, nyaris tidak ada yang menganggap teh itu minuman penting.

"Teh (rasa ambyar) seperti ini saja, laku. Ngapain repot bikin teh yang repot," sepertinya itu pikiran banyak penjual dari tingkat warung, restoran, hingga angkringan. "Mbikin teh itu, ya repot," begitu kata salah satu pedagang angkringan yang syukurlah, masih resah jika teh bikinannya gagal-dan tidak berani menyajikan teh asal ke saya.

Karena teh seperti "candu", maka, jika makan di warung, saya tetap membeli minuman teh. Tapi teh botol, atau teh dalam kemasan kotak. Setidaknya, keduanya, baik teh botol maupun teh yang dikemas kotak itu, rasanya masih lebih serius daripada teh yang "asal teh" itu.

Kalau mau rasa teh yang enak, ya mesti mau repot. Sedikit repot, tepatnya. Mau tahu kerepotan lain? Teh itu nggak enak jika diwadahi gelas plastik, maupn diaduk memakai sendok plastik. Nah, jadi, kalau mau mudah, ya bikin minuman sirup saja. Atau bikin es batu. Ho, oh, kan?