Minggu, 30 November 2014

I NEED WATER, PLEASE....


     Pengalaman dua bulan menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Gunung Buthak, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, mengajarkan saya banyak hal. Salah satunya untuk menghargai air. Warga sana tidak ada yang keberatan hujan turun deras sewaktu-waktu. Hujan, adalah air.
     Sekarang, 15 tahun berselang, saya kembali mendapat pengalaman, soal susahnya air. Ceritanya gini, Balikpapan diterpa krisis air dalam tiga bulan terahir. Menurut kawan saya, pemerhati lingkugan, juga warga Balikpapan, ini krisis air terparah yang dialami Balikpapan. Waduh.
    Berawal dari kerusakan pada waduk Manggar, disusul hujan yang ogah turun, diperparah kebakaran lahan di provinsi sebelah, berimbas pada tidak adanya air hujan yang turun mengisi Waduk Manggar. Padahal ini waduk sumber utama air baku PDAM.  
     Air waduk pun menyusut drastis. Sampai pada akhirnya 13 Oktober, PDAM terpaksa menerapkan penggiliran jadwal distribusi. Sebab waduk tinggal terisi seperempat. Debit juga musti dipangkas separuh. Itu semua agar air "aman" hingga Desember.
    Dengan penggiliran itu, menurut kalkulasi PDAM, air di kawasan rumah saya akan mengalir pada Kamis-Minggu. Namun faktanya, air mengalir seminggu sekali, tepatnya sehari. Diruncingkan lagi, tidak sampai 24 jam. Itu pun mengucur pelan, seiprit demi seiprit.
    Masalah pun dimulai, dan segera bertubi-tubi. Semua aktivitas yang berhubungan dengan air, langsung terbengkalai. Yang mesti dibasuh air, terpaksa hanya ditumpuk, dan diselesaikan dalam satu "kedipan mata" ketika air mengalir. Biasanya malam hari. Acara memasak juga berantakan level atas.
    Mencuci pakaian, mengepel lantai, membersihkan kamar mandi, hingga menyentor garasi, tidak lagi menjadi agenda wajib yang jamnya baku. Semua aktivitas tadi, akhirnya harus dirampungkan dari malam sampai menjelang subuh, berkejaran dengan waktu karena esok pagi air kembali berhenti.
    Saking paranoid-nya saya, semua yang bisa untuk menampung air, bergegas dikerahkan. Dari jeriken besar-kecil, ember, panci, toples, sampai botol air kemasan plastik. Mungkin, hanya tinggal sendok dan gelas saja yang tidak dipakai.
   Saat masa terparah krisis air, untunglah, saya mendapat tugas kerja ke luar kota. Lumayan bisa cebar-cebur sepuasnya meski hanya empat hari. Merasakan nikmatnya dinginnya air yang menerpa badan, seakan satu hal fantastis. 
   Kembali ke kota, yang masih dilanda krisis air bersih, ini menjadi fenomena yang menunjukkan Balikpapan masih gelagapan ketika terjadi masalah air. Waduk cuma sebiji, jika tak terisi, mau apa coba? Hujan tak bisa dibeli, jeh.
    Mau nyiduk sumber air ke mana, coba? Waduk Teritip, yang diproyeksikan untuk menemani tugas Waduk Manggar, baru selesai dibangun tahun 2017. Sumur-sumur dalam PDAM hanya bisa memasok maksimal seperempat pelanggan.
    Tetangga kanan kiri sudah pada kulakan air, tetapi saya tetap bertahan. Bertekad tidak bakalan menebus air yang setandon 1.000 liter dibanderol Rp 150.000. Untunglah, ada tandon di rumah walaupun hanya khusus untuk air cuci-cuci. Bukan air untuk memasak.
    Karena itu, sebagai konsekuensinya, frekuensi mandi mau tka mau dipangkas. Dua hari sekali, kini cukup. Cadangan air disiapkan seperti tentara bersiaga mempertahankan benteng. Galon air mineral diisi penuh, siap dituang.
    Kondisinya begitu sampai sekarang. Memang setidaknya dua pekan terakhir, air sudah mengalir mulai Jumat malam. Meski diselingi Sabtu kembali mati selama sekian jam. Mati air, masih ditambahi bonus sesekali mati listrik. Ah.
    Kembali ke air, pada Hari Minggu, matinya juga sekian jam. Mengucurnya juga “nyantai”. Padahal, hari Minggu adalah hari kerja bakti massal, bukan? Tetapi, yah, dalam kondisi ini, setidaknya, krisis airnya tak sengeri bulan lalu.

    Semoga segera hujan, ya, Tuhan Yesus..



Jumat, 14 November 2014

ANGKRINGAN OH ANGKRINGAN -- TULISAN I

     Angkringan. Warung dengan ciri khas gerobak dorong, atap terpal seadanya, dan menu andalan teh panas, plus aneka gorengan dan baceman ini, ternyata masih eksis. Semakin eksis malah. Menyebar luas dari asalnya, Klaten, Jawa Tengah.
     Di Kota Balikpapan, Kaltim, angkringan bisa dibilang tumbuh telat banget. Baru muncul pertengahan 2012. Lokasinya di tepi jalan, di kawasan Sepinggan, satu km dari bandara. Penjualnya masih muda, orang Jogja, dan suka pakai blangkon. "Ben kethok seko Jowo," gitu kata si penjual. 
      Warung ini sempat menjadi lokasi favorit saya untuk “ngangkring” di malam hari. Dari sekian menu, sebenarnya, teh nasgitel (panas legi kenthel) yang saya cari. Bukankah angkringan dilihat dari kualitas teh nasgitel-nya?
       Dari angkringan Sepinggan ini, warung serupa secepat kilat bermunculan. Selang beberapa bulan kemudian, angkringan kedua nongol ke permukaan. Barangkali, dalam setahun itu, ada 5-6 angkringan baru. Opsi makin banyak.
       Saat ini, setidaknya dua bulan terakhir, saya memperkirakan terdapat 10 lebih warung angkringan seantero Balikpapan. Dengan menu sama tapi masaknya berbeda. Alhasil rasa gorengan tempe dan tahu pun tidak seragam.
     Dari sekadar tempat makan skala ringan, ditambah nongkrong, angkringan bergeser fungsi menjadi tempat tujuan makan malam. Angkringan juga jadi pilihan ketika saya lagi mati gaya mati ide mau memasak apa. 
       Angkringan menjadi bagian tak terpisahkan. Memang, tak bisa dimungkiri, angkringan menghadirkan (lagi) sejumput keceriaan saat kuliahan dulu. Ketika berkerumun, duduk berimpitan dengan posisi kaki nabrak roda gerobak. 
        Tapi zaman memang sudah berubah. Demikian juga kafe ceret telu (kafe dengan tiga buah ceret/teko), alias angkringan, yang akhirnya terseret juga untuk bertransformasi. Baik dari sisi tampilan, suasana, maupun menu.
      Dulu, angkringan identik dengan makan yang murah. Kantong menuju saldo nol, angkringan jawabannya. Beruntung, dulu, menu angkringan cukup cihui walau dibanderol murah.
       Namun sekarang, makan di angkringan tidak bisa dikatakan murah. Apalagi di Balikpapan ini. Sekali ngangkring, dengan jumlah peserta dua orang, kocek bisa terkuras minimal Rp 25.000. Tanpa ngambil sate telur, lho.
     Kalau lagi lapar total, uang melayang Rp 35.000-Rp 40.000. Mungkin di Jogja, sekarang, masih selisih Rp 10.000-Rp 15.000 lebih murah dari Balikpapan. 
       Tetapi, yang bikin dongkol adalah, menu angkringan tidak lagi nyamleng. Dulu, hampir setiap angkringan menyajikan teh enak-dan tentu saja panas. Tapi sekarang kondisinya tidak seasyik itu. Teh hanya sebatas menu. 
      Tumbuh dari keluarga Jawa ketika ibu selalu menghidangkan teh kualitas prima-ya nasgitel itu, saya cukup faham bagaimana rasa teh semestinya. Saya paham mana teh enak, mana yang tidak. Apalagi istri saya yang lebih Jogja "totok".
      Karena itulah, urusan minum teh bisa jadi masalah yang lumayan menggangu. Persis seperti peminum kopi sejati yang diberi segelas kopi instan. Dahi pasti mengernyit.
      Suatu kali saya pernah nongkrong di salah satu angkringan. Bapak penjualnya tanya, saya orang mana. Obrolan berlanjut sampai segelas teh hadir. Rasanya "ajaib". 
       Lha, rasa tehnya cemplang abis. Bagimana tehnya?” tanya si bapak setelah satu seruputan selesai. Saya dan istri saling pandang. Dengan terpaksa saya jawab,” Kurang nasgitel, Pak,” 
     Teh tersebut lalu diambil, dan akan direvisi rasanya oleh pembantunya si bapak itu. Tapi, hasilnya pun masih mengecewakan. Sekali lagi dengan terpaksa saya bilang,"Kurang mantap,".
      Tidak hanya satu angkringan yang seperti itu, tapi ketika hampir semua angkringan tidak sanggup menyajikan teh rasa istimewa, saya tidak lagi tertarik ngangkring.
      Semakin sulit menemukan kepuasan di angkringan. Barangkali, tinggal satu-dua angkringan yang menyajikan teh dengan rasa yang masih saya tolerir. Meski tetap dengan "catatan", karena menu angkringan tak hanya sekadar teh, bukan?
     Keasyikan nongkrong sembari nyeruput teh nasgitel, idealnya ditunjang dengan si penjual yang aktif berinteraksi. Komunikasi dua arah terjalin, semua saling kenal.     
      Sayangnya, kondisi sekarang tidak seperti itu lagi. Si penjual bisa jadi cuek, tanpa membuka obrolan. Demikian juga pembeli, masuk ke angkringan ya hanya untuk makan. Atau langsung mengambil sego kucing dan gorengan, lalu pulang. Jika dulu angkringan adalah tempat ngumpul dengan suasana bersahaja, sekarang lebih terkesan seperti warung lesehan. Benar-benar lesehan, karena menunya mulai beragam.
      Minuman sachet dan mi instan ikut dimasukkan.  Perubahan zama tidak bisa disalahkan. Namun hasrat ingin menikmati angkringan klasik ala tempo dulu, tidak bisa ditendang begitu saja dari kepala. Jadi, saya masih mendambakan angkringan yang cukup ideal. Parameternya memang bisa subyektif, karena berhubungan dengan selere. Orang Jogja suka menu teh nasgitel, gorengan tempe ala mendoan, juga tahu berisi tauge, wortel, dan kubis.
     Jadi ketika ada angkringan menyediakan tahu isi (bakmi) so'on, itu adalah sebuah "kesalahkaprahan" bagi saya. Atau angkringan jualan ayam goreng, ya agak gimana, gitu. 
Garis besar dari curhat soal angkringan ini adalah, belum ada angkringan di Balikpapan yang memuaskan saya hingga 100 persen. Yah, memang tiada yang sempurna.   (keluh)

Senin, 10 November 2014

AKHIRNYA MENEMUKAN GUDEG

      Akhir-akhir ini sambalbawang keranjingan gudeg. Sebagai orang Jogja, makanan itu memang bercita rasa "Jogja banget" alias manisnya enggak ketulungan--bagi orang luar Jogja. Kangen gudeg ternyata harus jauh dari sumbernya, dan urusannya menjadi tidak mudah jika itu di Balikpapan.

    Enggak mudah menemukan gudeg yang rasanya pas di lidah--wong Jogja. Ada tiga warung gudeg yang pernah saya sambangi di Kota Minyak itu. Warung pertama, gudegnya enggak manis. Oh.. tidaaak. “Ini gudeg apaan, kok dominan asin-gurih. Piye, sih, bikinnya.. Harusnya gudeg itu ..bla, bla, bla…,” begitu komentar kawan karib yang juga pernah mencicipi.

   Sambalbawang akhirnya sepakat sama dia. Ikut manggut-manggut, sembari memberi sedikit argumentasi, bahwa memang terjadi penyesuaian rasa gudeg di luar Jogja. Mau tak mau, ketimbang gudegnya tidak laku, atau hanya dibeli orang Jogja--dan sekitarnya. 

     Kondisi ini tak terelakaan mengingat komposisi warga Balikpapan yang orang Jawa-nya hanya seperempat jumlah penduduk. Itu pun mayoritas dari Jawa Timur. Separuh Jawa timur di arah timur, jelas tidak terbiasa mencicip manis yang "terlalu".  


    Argumentasi kedua--untuk menghibur diri--mungkin yang jual gudeg bukan orang Jogja. Kami yang wong Jogja ini, atau setidaknya nyaris seumur hidup tinggal di sana, mengenal betul cita rasa manis gudeg sejati. 
   
     "Level manisnya makanan di Jogja ini, lebih manis dari standar manis daerah lain di Indonesia," begitu kata Murdijati Gardjito, pakar makanan tradisional dari UGM, pernah menjelaskan, saat sambalbawang tanya, beberapa tahun lalu.

    Seberapa manis rasa gudeg, kalau mau digambarkan, sebanding dengan level pedas keripiknya Mbokde Maicih, oleh-oleh khas dari Bandung, Jawa Barat. Kalau keripik Maicih, pedas sempurna itu dipatok pada level 10. Demikian juga untuk gudeg, skala manisnya wajib level 10, atau setidaknya 9. Alamak.


     Kita tinggalkan warung pertama, dan beranjak ke warung gudeg kedua. Ini lebih tepat seperti warung nasi biasa, dan gudeg hanya salah satu menu, dan bukan menu utama. Secara khusus, warung kedua lebih mirip angkringan. Gudegnya ditaruh di sebuah panci alumunium. Kita akan diambilkan nasi setangkep sama si penjual, trus dituangin gudegnya. 

    Merasa ada yang kurang, mata segera celingak-celinguk ke segenap penjuru. Mencari kuah areh, item wajib dalam menu gudeg, karena tak tergantikan. Blaiiiik, bang bayiik, kok tidak nampak. Si penjual menjawab gini, "Gudeg ya nggak pakai areh..”  Gubrak... Lutut langsung gemetar, bergetar, tenggorokan tercekat. Oh Tuhan.
    
    Sejenak kemudian, barulah pengendalian diri mengambil kesadaran yang sempat "meregang". Dipikir-pikir, si penjual ya tidak salah. Menjual apa, kan ya suka-suka dia. Mana tau juga dia belum pernah mencicip gudeg di sumbernya.

     Mungkin pula dia belajar masak gudeg ya sudah salah. Okelah, jika demikian, apa boleh buat. Tapi sambalbawang kan tetap ngebet gudeg sejati. Gudeg yang disiram areh kuah santan kelapa yang kental, yang manisnya nyaris maksimal itu, hu-hu-hu.

     Beranjak ke warung ketiga, sebersit asa mulai menyeruak. Aha, syukurlah, gudegnya lumayan mewakili cita rasa Jogja. Lupakan sejenak tampilan dan wajah gudeg Wijilan Jogja, gudeg di warung ketiga ini, lumayan enak.
     
     Gudegnya mungkin hanya mencapai level 7 untuk rasa manis, namun secara tampilan dan komposisi, cukup pas. Hanya saja, tetap ada satu yang kurang, yakni kerupuk ndeso.

Kapan pulang Jogja (lagi) ya untuk maem gudeg... (hiks)..


catatan: 
    Dari salah satu warung, saya baca tentang sejarah gudeg. Salah satu varian cerita tentang asal muasal gudeg, sepertinya Kira-kira begini kisahnya. Konon, gudeg adalah masakan seorang istri yang bersuamikan pria Inggris. Nah karena bingung mau masak apa, si istri teringat resep turun-temurun keluarga. 

    Maka, memasaklah ia, dengan bahan utama nangka muda.
Tak disangka, sang suami suka masakannya. “Good, Dek,” kata si bule. Dalam bahasa Inggris, “Good” berarti “bagus” atawa “top markotop” dalam bahasa gaul kita. 

    Sedangkan “Dek” dalam bahasa Jawa berarti panggilan untuk adik. Atau dengan kata lain, “Dek” itu sama dengan sapaan “Dik”. Dan dari lontaran kata “Good, Dek” itulah maka lalu tercipta kata “Gudeg”. 


Minggu, 09 November 2014

IKUT LOMBA KOOR GEREJA (LAGI)


Setelah bertahun-tahun nggak pernah ikut lomba koor di gereja, akhirnya saya melakoni itu lagi, Sabtu (8/11) malam kemarin. Hebatnya, dan asyiknya, hasilnya ternyata happy ending karena menyabet posisi juara dua. Bangga donk, yo'i, so pasti.  

Ehem, tapi sebenarnya apa yang terjadi dan apa gerangan? Jadi, begini garis besar ceritanya. Dalam rangka ultah Paroki Gereja St Theresia, Balikpapan, dihelat aneka lomba untuk memeriahkannya. Salah satunya adalah lomba paduan suara.

Nah, Lingkungan (kring) saya, "Maria Imacullata, Balikpapan Baru", menjadi salah satu pesertanya. Pak Halim, atau yang kadang saya sapa Om Halim, sang ketua kring, menampakkan semangat perjuangan demi lomba ini. Semangatnya menular, om, hehe.
Lagi pula, ikut lomba.. why not? Siapa takut? Sudah 15-an tahun mungkin, saya nggak pernah lomba koor, sejak terakhir kali dalam perayaan HUT Gereja Kumetiran Yogyakarta. Pengen menjajal lagi kemampuan diri. Ciee.

Dan, jadilah saya terdaftar sebagai anggota koor untuk lomba. Aturan tidak tertulisnya, sih, kudunya rutin latihan. Tetapi karena latihan koor-nya berbarengan dengan jam deadline ngetik berita, saya jadi sering absen. Maaf ya

Persiapan untuk lomba, lumayan lama. Latihan koor sudah direntang hampir dua bulan lamanya.  Serius beneran, neh. Lha iya, lah, namanya juga mau lomba. Bahkan, saya mengajukan cuti sehari agar bisa ikut koor dengan tenang. Duile, banget kan?
Sering bolong saat latihan, tiga latihan terakhir saya bela-belain datang. Lagunya untuk lomba ada dua, judulnya "Ekaristi" dan "Kumenghadap Allah Sang Maha Cinta". Seperti biasa, saya memilih posisi di kategori pria bersuara tinggi alias tenor.

Tantangan pertama, adalah lepas teks. Enggak boleh ngintip lirik. Jiaaaa, tidaaaak.  Sekian lama hanya ngikut koor misa mingguan, yang nyanyinya sambil pegang kertas teks, maka, urusan lepas teks ini menjadi tidak mudah.

Sepertinya, selalu saja ada yang salah. “Kuhaturkan puji syukur” kadang terpeleset jadi “Kuhaturkan puji sembah” gara-gara bait sebelumnya ada lirik “menghaturkan puji sembah”. Ada tiga bait di lagu Kumenghadap… itu, yang kadang kebalik.
Sedangkan lagu satunya, Ekaristi, bikin saya megap-megap mengambil nafas. Beberapa kali salah waktu ambil nafas. Imbasnya, lirik jadi tidak terbaca karean sudah kehabisan oksigen di tengah perjalanan. Haduh.
“Harus cermat dan cepat mencuri nafas,” begitu seru Bayu, anggota lingkungan yang didapuk sebagai pelatih. Oleh dia, kami diajari teknik “menggumam” yang membuat mulut dan area sekitar mulut bergetar. Memfokuskan suara.
Juga dikenalkan (diingatkan) lagi cara membuka mulut agar kebiasaan menyanyi dengan mulut direntang ke samping, dihilangkan. Suara harus keras, tapi jangan sampai pecah. Ada kalanya dinyanyikan lembut, tapi tetap terdengar.
Perhatikan lirik mana yang harus dinyanyikan secara lembut, mengeras, melembut, dan seterusnya.  “Juri mungkin akan mengernyitkan dahi untuk membuat kita grogi dan merasa ada yang salah,” begitu kata Bayu.
“Jadi, kalau misalnya ada yang merasa nyanyinya salah saat lomba nanti, sebaiknya menampakkan ekspresi biasa. Tapi ya jangan lalu malah memilih nggak menyanyi pada nada-nada atau bagian yang nggak hapal,” lanjut Bayu lagi.
Haduuh, tambah makin grogi saja sepertinya. Bayangan altar gereja yang akan menjadi TKP lomba, suasananya, para juri yang menatap tajam, ditonton orang, hingga kemungkinan "demam panggung", akhirnya menari-nari di kepala.
Tetapi layar sudah terkembang, perahu harus berlayar. Pantang balik kanan. Ciee.... Jadi saya mesti berusaha keras, ehem, yang dimulai dengan menghapal lirik. Dua hari terakhir, saya banyak berdendang di semua tempat.
Dan, tibalah “hari penghakiman” itu, jreng-jreng-duer. Supaya napas plong-bolong, tak lupa pagi hari saya membeli permen pelega tenggorokan. Untuk meminimalisir grogi, siang hari saya milih jalan-jalan sanntai dan hura-hura sejenak.
Pukul 19.00, begitu misa selesai, lomba siap digelar. Sembari memacu motor, sepanjang perjalanan menuju gereja, mulut saya komat-kamit baca mantra, eh lirik lagu. Jangan sampai lupa, jangan sampai lupa.

Sebentar lagi naik panggung, masih sedikit grogi melanda. Jurinya ada tiga, pakar semua, mulai dikenalkan satu per satu. Satu juri berasal dari Keuskupan Agung Samarinda. Romo Paroki juga ternyata ikut nonton. A,a,a..
Dan, tibalah saat untuk tampil. Kaki mulai melangkah masuk ke dalam gereja, menuju ke altar. Naik satu anak tangga, lantas berbaris. Deg, jantung berdetak kencang. Tiga juri menatap dengan sorot mata yang tajam. Deg. Apakah saya bisa hapal liriknya? Deg.
Kalau nanti saya nyanyinya salah nada, gimana? Kalau salah lirik gimana? Deg, lagi. Bagaimana bisa melantangkan suara jika masih rada grogi gini? Deg, deg. Bagaimana jika… dan  gimana jika….. Deg, deg, deg.
Tiba-tiba saya bisa mensugesti diri sendiri. “Mbok ya sudah nyanyi, saja. Kan dulu juga pernah lomba gini, dan bisa” begitu bisik-bisik suara hati yang nangkring di kepala. Dan, bernyanyilah saya sampai bumi bergetar....
Selesai. Dua lagu sudah usai dinyanyikan. Semua lirik, saya hapal. Semua nada bisa saya lahap, aseek. Tidak sia-sia saya merapal mantra sepanjang hari itu.  Tidak juga ada keringat bercucuran deras seperti perkiraan saya sejam sebelumnya.

Anggota kring pun bersorak ketika juri mengumumkan hasilnya. Juara kedua. Menyenangkan dan hore banget. Lombanya sih sebenarnya, hanya diikuti empat kring, hiks, karena hanya empat kring itulah yang sanggup menjadi peserta lomba.
Tapi tak mengapa. Bukan juara berapa yang terpenting dalam lomba koor seperti ini. Ini kan bukan acara semacam Hell Kitchen? Melainkan kemampuan menumbuhkan kepercayaan diri. Ternyata nggak gampang bernyanyi sesuai patokan baku.
Demam panggung, adalah kendala terbesar untuk lomba-lomba seperti ini. Demam panggung, menurut analisis saya, berperan sampai 80 persen terhadap hasil lomba. Demam yang kayak gitu, bias membuyarkan konsentrasi.
Syukurlah saya tidak demam panggung. Setidaknya, kalau itu diukur dari kondisi keringatan dan level gemetar lutut. Kalau diukur dari indicator itu, berarti saya demam begitu usai turun panggung. Keringat mulai bercucuran.

Ternyata perut mulai lapar..... Padahal belum dua jam perut diisi mi instan dan sepotong lumpia.  Yah begitulah, lomba rupanya membuat perut keroncongan. Untunglah ada nasi kotak, dan gudeg yang dimpor langsung dari kotanya. Nyam.
*thanks atas support rekan-rekan se-kring

Sabtu, 08 November 2014

HIMA

Berawal dari obrolan ngalor-ngidul soal sepeda, akhirnya mengerucut pada tawaran dari seorang bapak sepuh. Ada sepeda dijuwal, milik temannya. Sepeda itu adalah sepeda lawas a.k.a onthel, alias pit jowo. Kalau gini sih, pucuk dicinta ulam tiba.


Dengan “janji” si bapak yang katanya harga sepedah tidak  bakalan mahal, tawaran menggiurkan ini jelas langsung saia sambar. Katanya, sepeda lawas itu enak dikendarai dan tangguh. Lagipula, sebelum sepeda-sepeda lawas yang sip, diembat kolektor *lirik kanan-kiri-atas-bawah*.. boleh dong atu saia embat, please...
Akhirnyaaa, benda campuran baja-besi itu sampai juga ke rumah. Diantar langsung oleh sang bapak. Tongkrongan sang sepeda, gagah. Meski yaa dipeluk karat di sana-sana, tak mengapalah. Waktu itu, masih belom tahu merek sepedah ini. Maklum, wawasan soal onthel masih level beginner.
Ditambah tidak ada emblem pertanda apa merek sepedah di rangka depan, mana tahu ini sepeda merek apa. Tebak-tebak buah manggis, jadinya. Namun, jika ditilik dari aspek kenyamanan dikendarai, sepedah ini nyaman. Jangan-jangan ini...ehem..Gazelle. Cleguk…
Selang sekian bulan setelah tanya kesana-kemari ke banyak onthelist, akhirnya dipastikan sepeda ini bukan Gazelle.. Mamaaaa… Secara ngebet banget ama 'tuh sepeda. Siapa sih yang enggak kenal Gazelle. Tapi otak langsung mengritik : Ya iyalah secara harganya saja ndak sampe Rp 300.000.

Singkat cerita, merek sepedah ini Hima. Makhluk apa pula itu Hima. Nama “Hima” sejenak mengingatkan pada serial film kartun jadul zama saia masih teka. Wkwkwkw.. Usut punya usut, Hima ternyata sepedah bikinan Belande.

Konoooon, ya konon, sepedah jenis yang ini, buatan tahun 1925-1940. Himaa itu, katanyaaaa, ya memang tidak senyaman Gazelle, tidak segagah sepedah Simplex, tidak semasyur Humber atau Raleigh.

Juga tidak sekeren Batavus, atawa selegendaris Burgers dan Fongers. Bahkan Hima pun masih kalah tenar ketimbang Phillips, Cyrus Venlo, Hercules, BSA, Rudge, Norton, Goricke, Gruno, maupun Magneet.
Waduuh. Hem, tapi tunggu dulu. Kalau sepedanya nyaman, berarti tetep terkenal donk (ngotot). Akhirnyaa, selang dua tahun kemudian, saya mendapat sejumput “pencerahan” usai membaca buku Pit Onthel 2010 Indische Fietsen.

Ini buku terbitan Bentara Budaya Yogyakarta-dan wihiii, sepedah saya ikut nongol di buku itu. Penggema pit onthel, wajib baca ini buku. Wajib, wajib, wajib, wajib.
Jadi, dari buku ituw, saia jadi tahu bahwa Hima adalah sepeda yang pernah diidam-idamkan oleh polisi era tahun 1950-an. Yup, Hima adalah sepeda dinas para pak polisi. Jadi mereka dulu puter-puter patroli sambil genjot. Sehaaaat bener, yak.
Pak Samidjo, eks prajurit KNIL, dikisahkan dalam buku itu begitu bangga mendapat Hima. Pak Samidjo bilang, betapa gagahnya dia waktu berkeliling pakai Hima, dan diliatin orang sekampung.
Kembali ke Hima saia, ehem, nggak tahu sih siapa polisi yang dulu menyemplaknya. Tapi jelas sepedah ini terawat cukup, meski tingkat ori-nya tinggal 70 persen. Kan sudah lebih separuh abad usianya.
Hati semakin melonjak-lonjak ketika di suatu malam, di saat sibuk-sibuknya ngejar ketikan di kantor, saia ditelepon seseorang. “Mas, saya dengar sampeyan punya Hima. Ini saya punya stangnya. Tulisan ‘Hima’-nya masih jelas terbaca,”. Langsung saya jawab “Bungkus!”.
Setang lama diparkir, setang asli Hima terpasang. Tetap ada karatnya sih, tapi noproblemo. Perburuan setang berakhir dengan “buruan” nya yang datang sendiri. Hore.
Bagi para onthelist (sejati), memiliki sepedah lawas yang orisinil, adalah sebuah kepuasan tak terkira. Nongkrongin ke rumah si pemilik pun, berkali-kali, bahkan berbulan-bulan, bisa jadi dilakoni. Sudah seabrek kisah perburuan itu sampai ke telinga saya, sampai bikin saya geleng-geleng.
Sejatinyaaa, punya kegemaran itu sah-sah saja. Seperti seseorang yang berburu aksesoris untuk disematkan ke mobilnya yang baru. Atau seperti pehobi yang meretro kendaraan lawasnya. Atawa maniak buku yang sampai mati-matian mengalokasikan uang demi buku. Or orang yang cinta mati sama nonton film.
Sambalbawang termasuk menggemari sepeda lawaas, meski bukan termasuk pemburu orisinalitas. Cukup dapat onthel lawas yang lumayan ori, selesai. Bukanlah yang terpenting adalah sepeda itu waras saat digenjot?
Daan, Hima ini masih bersemayam di rumah Jogja saat ini. Karena dengan pertimbangan tertentu, yang sambalbawang angkut ke Balikpapan adalah sohibnya si Hima yang duulu diparkir dalam satu garasi.
Hm... jika bener tahun kelahiran kamu 1925, Hima, maka 10-11 tahun lagi kamu bakal mencapai umur seabad. Makasih sama pak pulisi atau siapa pun yang dulu menyemplak Hima ini, karena telah merawatnya…

>>salam onthelist…
BACA JUGA :
LEBIH BAIK NAIK VESPA
NGGUDEG DULU
7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA
BASA WALIKAN
10 BREGADA KERATON YOGYAKARTA YANG KEREN
AGNETHA FALTSKOG vs ANNI-FRID FRIDA LYNGSTAD ABBA
LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK
MENGAPA HARUS NGEBLOG






Jumat, 07 November 2014

PENGEMIS BBM SUBSIDI

Sambalbawang tidak pernah benar-benar memperhatikan soal Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi sebelum bekerja sebagai jurnalis. Duluu, yaa, dulu,, setahu saia, bensin itu sering dibilang murah. Seliter bensin lebih murah dari minuman kemasan seliter.

Tak pernah serumit sekarang memikirkan bensin. Tinggal tuang. Ingatan melayang zaman awal-awal kuliah dulu, ketika bensin subsidi masih seharga Rp 450 per liter. Ah...

Seiring usia, sial.. ternyata urusan BBM memang smakin memusingkan kepala dan dompet. Beberapa tahun terakhir, antrean di SPBU menimpa semua daerah. Di Kota Balikpapan, Kaltim, BBM subsidi jenis solar, yang paling susah dicari.

Antrean mengular di semua SPBU.  Begitu stok datang dan solar dituang ke tanki penyimpanan, tak lebih enam jam SPBU sudah memasang papan bertuliskan "solar habis" maupun "solar dalam pengiriman".
Cuma bensin subsidi yang masih manusiawi panjang antreannya. Sebab masih ada peluang mendapat, meski tipis.

Pemerintah akhirnya menyadarkan warga Indonesia bahwa BBM bukan barang murah dan mudah didapat. Lupakan era ketika Indonesia masih jadi negara pengekspor BBM, sebab masa-masa itu sudah lama berlalu.
Sekarang kita mengimpor BBM dalam jumlah se "ho-hah" banyaknya. Apa yang salah?

Beberapa hari terakhir, negeri ini juga "digoyang" lagi isu kenaikan harga BBM subsidi. Eh, bukan isu, sih, karena jelas akan terjadi. Mayoritas publik bersikap menentang. Alasannya, BBM berkawan akrab dengan semua harga barang dan jasa. Jadi, kalau harga BBM subsidi naik, harga barang lainnya bakalan ngikut naik tidak terkira.

Tapi, alasan pemerintah bahwa subsidi BBM salah sasaran, ya sangat logis. Sangat masuk akal, karena itulah yang terjadi selama puluhan tahun. Lalu, apa yang harus dilakukaan? Menurut saya, hapus saja subsidi BBM, karena yang menikmati (kebanyakan) bukan orang miskin.

Gampangnya, coba kita lihat "peserta" antrean bensin subsidi di SPBU. Benarkan orang miskin yang antre BBM subsidi? Iseng-iseng kali ini sambalbawang memantau pesertanya. Di bagian mobil, ada Jazz, Mazda2, Innova, Juke, CRV, Livina, Lancer, Focus, Fiesta, Avanza, Xenia, March, Ertiga, Picanto, Visto, hingga mobil klangenan macam Kodok, Hartop, dan Mercy Tiger.

Sedangkan di deretan motor, ada Tiger, Scorpio, Byson, Jupiter MX, Vixion, hingga aneka varian skutik yang mesinnya sudah mengadopsi sistem injeksi. Lalu, antrean solar subsidi, peserta rutin di SPBU adalah Ranger, Hilux, Strada, Pajero, Triton, hingga Panther yang masih kinyis-kinyis. Apakah kendaraan itu, layak diisi BBM subsidi? .Jelas tidak.

Tentu, sambalbawang masih memakai bensin subsidi, meski hanya untuk satu motor-yakni skuter-dan satu mobil lansiran 90-an. Satu dua kali, kehabisan bensin, tak terhindarkan seturut ingatan yang semakin pelupa. Tepatnya lupa melirik indikator bahan bakar.

Meski demikian, bensin subsidi kadang sambalbawang oplos dengan pertamax perbandingan 1:1. Mesin tua, kompresi rendah, rada-rada nggak cocok jika dituangin BBM oktan tinggi semacam pertamax. Tapi bisa jadi cukup oke jika perpaduan BBM subsidi dan pertamax.

Sejatinya juga, pertamax sudah telanjur akrab. Panca indera memberi informasi bahwa mesin kendaraan terdengar lebih merdu dan tarikan makin enteng tatkala dikasih minum pertamax. Artinya lagi, ya menyukai pertamax ketimbang bensin.

Jadi, kapan ya subsidi BBM dicabut? .

BACA JUGA

LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK
LEBIH BAIK NAIK VESPA
MENGAPA HARUS NGEBLOG