Rabu, 04 April 2018

DI RELUNG KAMARKU

Aku harus tahu di mana rumahmu. Cukup sudah ku bermimpi.

Motor bututku segera ku pacu menuju terminal, usai jam sekolah. Segera ku bersembunyi di balik angkot-angkot kusam yang catnya sudah mengelupas, sebelum dirimu sampai ke tempat ini. 

Gadis manis dengan rambut hitam tergerai sebahu itu, pun, muncul. Setelah bertukar canda dengan karibmu, dirimu segera meloncat masuk ke angkot.

Angkot tua itu bergerak pelan keluar terminal, dan semakin menambah lajunya saat di jalanan. Asap hitan knalpot menerpa wajahku yang bersembunyi di balik helm. Dari balik kaca angkot aku melihat engkau yang sedang melamun. Ah, sepasang mata yang manja dan jenaka. Kadang tatapan matamu mengarah ke belakang, membuatku menunduk, menyembunyikan wajah pucatku.

Sekali lagi ku bergegas menepi ketika dirimu turun, berganti menunggu bus antarkota. Hanya terentang jarak tak lebih 20 meter darimu sekarang. Oh Tuhan, jangan sampai aku ketahuan. Doa baru terkabul sepuluh menit kemudian ketika sebuah bus antarkota menepi saat kau melambaikan tangan.

Laju bus kuimbangi dengan tersengal-sengal. Sungguh bukan hal mudah berpacu dengan bus yang tidak juga berhenti jika dibawah kaki ini tersemat mesin kecil dari sebuah motor keluaran tahun 70-an. Drama kejar-kejaran ini akhirnya berakhir.

Kakimu ringan meloncat ke luar, dan segera berjalan bergegas. Inilah barangkali saat-saat mendebarkan, paling mendebarkan dalam hidupku yang baru hidup 17 tahun di dunia ini. Oh Tuhan, pintaku lagi, jangan kau buat dia menengok ke belakang.

Seperempat jam berjalan, gadis berseragam putih abu-abu ini kemudian berbelok ke kiri, menuju ke pekarangan rumah yang luas. Pohon nusa indah terhampar di sudutnya. Pohon rambutan dan mangga di sudut lainnya.

Aku membayangkan akan berbincang-bincang seru dengannya. Tentang kaset Nirvana yang baru dia beli dan sempat kulihat itu dipamerkan ke kawan-kawannya. Tentang kesukaannya membaca novel dan komik-komik. Juga tentang lagu kesukaanmu, “Di Relung Kamarku” yang dinyanyikan Katon Bagaskara.

Atau juga tentang sedikit luka gores di siku yang kamu dapat bulan lalu, karena terjatuh saat bermain basket. Mungkin tentang keceriaanmu di sekolah. Bahkan aku pun mau hanya mendengarkanmu seharian bercerita tentang kisah-kisahmu.

Tapi sekarang aku harus mengetuk pintu rumah ini. Bulatkan tekad. Baiklah. Tiga ketukan di pintu dan seraut wajah itu sudah di depan mataku. Aku ingin memeluk, menciumnya, namun lamunanku langsung buyar seketika. Matanya terbelalak. “Kamu ngapain ke sini? Kamu membuntutiku?”

Kuyakin wajah ini sudah pucat pasi. Bukan ini yang kuharapkan, Tuhan. Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu selain hanya tertunduk malu. Lesu. Aku tidak ingin kamu menolakku. Aku ingin berbicara denganmu. Aku meneriakkan itu keras-keras, dalam hati. 

“Aku enggak punya waktu,” katamu, dan tentu saja aku tahu itu bohong. Aku adalah teman sekolahmu. Jadwal pelajaran kita sama, bukan? “Kau dengar tidak? Aku tidak punya waktu,” ucapmu lagi.

Aku dengar. Aku sadar. Aku disuruhnya pulang saat itu juga. Dengan keberanian terakhir, aku mengangkat wajah 'tuk memandangimu. Memberanikan diri memandang seraut wajah nan ayu, yang barangkali diwariskan oleh ibumu.

Mata yang bundar, menawan, indah, nan sayu. Tubuh yang mungil semampai. Sayang, gadis di depanku ini tak membolehkanku bertamu walau sejenak. Aku membalikkan badan, segera berlalu tanpa kata. Lunglai. Aku tidak mau enerima kekalahan.

"Aku bisa membuatmu jatuh hati kepadaku. Entah kapan, tapi pasti suatu saat nanti," janjiku dalam hati.

Mungkin aku akan ke rumah ini nanti. Untuk bercerita lagi tentang apa mimpi-mimpiku, kepadamu. Mungkin kamu akan mulai tertarik padaku, atau setidaknya pada ceritaku. Tentang setumpuk mimpiku, berboncengan denganmu naik motor butut ini, membelah malam di kaki Merapi.

s
Aku bisa mengiringi dirimu bernyanyi lagu yang kamu sukai. Bukankah kau menyukai lagu ini? “Tidak kah kau tahu, kuselalu mencari waktu, tuk bertemu denganmu. Lihatlah kedua mataku bersinar resah, dan jiwaku 'tlah lelah”.

Mungkin nanti, 20-an tahun kemudian, dirimu 'kan mencari waktu, tuk sekadar sejenak bertemu diriku. Saat itu kamu akan tahu seberapa gilanya aku karenamu. Saat itu kamu mungkin merasa menyesal pernah melukaiku.


(cerpen)