Rabu, 30 Desember 2015

NGGUDEG DULU

       Berawal dari "kegelisahan" mencari gudeg di kota minyak ini, yang sesuai standar lidah, dan sayangnya belum nemu, akhirnya sambalbawang mbikin gudeg sendiri. Bukan gudeg yang komplet, sih, mengingat sambalbawang dan saudara bojo enggak menyantap daging. Suwiran daging, dan krecek, skip..skip..
      Setelah berselancar mencari informasi, akhirnya diputuskan bahwa yang mesti dibeli adalah...panci presto. Cacahan nangka konon lebih cepet empuk jika dikurung di panci jenis itu, sembari disembur api. Satu panci pun diangkut dari toko. 
       Hasil akhir gudeg yang kami bikin itu tidak terlalu mengecewakan, untuk kali pertama membuat masakan tersebut. Akhirnya bisa menikmati gudeg bercita rasa Jogja yang manisnya bikin ketap-ketip. Dan.. tentu saja, gudeg yang diguyur kuah areh, alias kuah santan yang kental.
       Sodara bojo memfoto gudegnya, jadi gini penampakannya.
       

       Rasanya tentu saja belum sempurna. Namun sudah lebih dari lumayan untuk menuntaskan kangen gudeg yang terkunkung lama ini, myehehe.  Akhirnya bikin gudeg pun jadi ketagihan. Repot memakai panci presto, akhirnya pilihan jatuh ke slow cooker.
       Seperti falsafah orang Jawa, alon-alon waton kelakon. Pelan-pelan yang penting terlaksana. Kira-kira begitulah penggambaran dari memasak gudeng menggunakan slow cooker. Memang slow bingit. Nyaris dua hari durasi total memasaknya.
      Karena sambalbawang tidak diperkenankan mencampuri racikan bumbu oleh saudara bojo, maka tugas saya dalam memasak lebih pada abdi dalem angkat-junjung dan iris-iris. Intruksi bojo cuma satu, yakni bikin sambal pedas mampus.
      Tengah malam duduk bersimpuh sembari mengupas brambang-bawang dan seluruh ubarampe-nya itu, sesuatu banget. Meramu sambal bawang yang bikin cacing perut saya nyaris kolaps, juga sesuatu banget. Demikian pula merebus dan mengupas satu demi satu telur. Pekerjaan massal, pokoknya.
      Salah satu sebabnya, karena kami pun menggelar openhouse gudeg dengan mengundang sejumlah kawan. Sekaligus menjajal skil bikin gudeg, yang asyiknya, lumayan mendapat respons positi. Jadi kepikiran, bisa jadi besuk buka warung gudeg. 
      Nah, gara-gara memasak gudeg ini, menu makan kami selama 2-3 hari adalah gudeg dan gudeg. Pokoknya gudeg mulu, gudeg mulu. Tapi "cobaan" itu tetap terasa membahagiakan, karena cita rasa gudeg  makin enak kala disimpan. Namun menginjak hari keempat, gudeg mulai tidak lagi menarik.
      Krupuk ndeso bervetsin tinggi pun tidak lagi mempan menemani. Maka mendoan dan gembus pun digoreng tepung sebagai kawan bersantap. Telur mata sapi pun terkadang ikut dihamparkan di atas nasi gudeg. Begitulah.
     Setelah sekian minggu absen memasak gudeg, biasanya keinginan memasak lagi, muncul. Diawali dari glenak-glenik menatap warung gudeg. Mudah ditebak. Sekian kali membeli gudeg, dorongan untuk memasak gudeg semakin tinggi. Dan, saudara bojo selalu punya tandem memasak gudeg yang militan. Yup, itu adalah saya, sambalbawang.

BACA JUGA ARTIKEL LAIN  :

MUSIC ZAMAN DAHULU VS ZAMAN NOW, MANA YANG BERKUALITAS?
10 BREGADA KERATON YOGYAKARTA YANG KEREN
HOMPIMPA ALAIUM GAMBRENG UNYIL KUCING
MAMMA MIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN      
"MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA         
BANYAK MOTOR SEDIKIT MEREK, SEDIKIT MOBIL BANYAK MEREK       

      

Senin, 30 November 2015

WELCOMING DAYS WITH SAMANTHA PROJECT


Sekali lagi, kami menjadi peserta pameran. Setelah lumayan sukses mengisi Look Pop Up Market 1-4 Oktober lalu, sekaligus menjadi pengalaman pertama, kali ini kami, tepatnya saudara bojo, mengikuti pameran bertajuk "Welcoming Days" yang dihelat pada 28-29 November. Nyam.

Kabar bahwa Samantha Project, lini usaha modiste-clothing line kami, diminta berpartisipasi di acara pengenalan Telkomsel 4G-LTE itu, langsung disambar. Ada 36 tenan, dan asyiknya, banyak partisipan yang sebelumnya juga peserta Look Pop Up Market. Aha, ada temennya.

Seperti sebelumnya, seputar jahit-menjahit tetap dipromosikan, meski sebenarnya mayoritas pengunjung mengira kami hanya sebatas jualan kain. Tapi it's oke, karena itu merupakan kondisi yang tidak terhindarkan, dan tidak usah dihindari. Karena, memang kalau dipikir-pikir, saya pun belum pernah lihat ada penjahit berpameran.


Karena itulah, urusan properti, kekompletannya jadi minim. Namanya penjahit, "senjata" yang dimiliki kan hanya mesin jahit, obras, metlen, pembuat kancing buntel, sama jarum. Sebelumnya, di Look Pop Up Market, stand ukuran 2 meter x 4 meter, setidaknya oke untuk ditaruh lemari besar, lemari susun, manekin, hingga sepeda onthel sebagai pemanis.

Tapi yang pameran terakhir ini, stannya lebih lapang, berukuran 2,5 meter x 5 meter. Agar tidak nampak kosong, diputuskan mengangkut Sprint 77 ke arena. Onthel masih sama, diangkut ke stan, untuk dipasangi papan "Samantha Project".

Dua hari pameran, memeriahkan acara peluncuran Telkomsel 4G-LTE itu, tidak secapek pameran sebelumnya yang digelontor empat hari. Kami masih bisa ketawa-ketiwi saat pulang. Asyiknya lagi ada mas penyedia jasa angkutan yang ramah dan tarifnya murah. Seorang kawan juga membantu bongkar-muat barang.

Pameran kedua ini, lebih ramai pengunjung. Mungkin karena faktor lokasi, di parkiran eWalk mal Balikpapan Super Block, jadi kebanjiran orang. Meski, tentu saja, stan kuliner yang lalu cepat sold out dagangannya.


Stan fashion seperti kami, memang hanya diseliweri sekian orang. Namun bagi kami, itu sudah cukup, dan malah sudah melebihi ekspektasi. Menyenangkan melihat lini usaha kami ternyata membantu banyak orang untuk lebih fashionable. hehe.

"Mbak, kalau beli kain di sini, njahitnya gimana ya," ujar mbak-mbak ke istri saya. "Ke saya saja, bisa," sahut saudara bojo. Pucuk dicinta ulam tiba. Yup, bawa atau pilih sendiri kainmu, jahitkan ke Samantha Project. Tagline kami "pantes lan prayogi". Monggo,,,,


yang ini foto saudara bojo sama genk peserta pameran.. myehehe.

BACA JUGA
LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK 
MUSIK ZAMAN DAHULU VS ZAMAN NOW, MANA YANG BERKUALITAS?
TEH VS KOPI
MAMMA MIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
BANYAK MOTOR SEDIKIT MEREK, SEDIKIT MOBIL BANYAK MEREK


Minggu, 22 November 2015

BASA JAWA (1) BAHASA YANG (MUNGKIN) TERUMIT


Bahasa Jawa barangkali bahasa yang paling rumit di muka bumi. Tingkatannya berlapis-lapis, dan penggunaannya pun sesuai kondisi dan lawan bicara. Berbahasa Jawa, tidak hanya sekadar bisa berbahasa Jawa, namun juga tentang menghargai orang lain.

Nah, dalam blog ini, saya nggak akan membahas tinjauan yang sulit-njelimet itu, karena saya hanya orang awam yang kebetulan wong Jogja.Ntar salah, kan malah berabe, Jadi, saya cuman menyentil sedikit tentang Bahasa Jawa dialeg Yogyakarta.

Sejak kecil, dari mulai merangkak, saya dikenalkan dengan bahasa ibu, ya Bahasa Jawa ini. Beruntungnya saya, bapak-ibu orang Jogja, jadi ya seperti meneruskan keseharian saja. Untungnya lagi, saya bebas mengolah Bahasa Jawa, terutama ucapan, dengan batasan yang "cair". Sebisa mungkin berbahasa Jawa yang halus kepada yang sepuh. Namun jika sudah mentok, ya masih dibolehkan mencampurnya dengan Bahasa Indonesia.

Meski demikian, untungnya sekali lagi, pelajaran sewaktu SD hingga SMP, lumayan memberikan bekal. Memang hanya sebatas tahu dan (sekarang) mengingat. Yah, meski hanya sebatas paham apa saja tingkat tutur Bahasa Jawa ini, yakni ngoko, madya, krama, kedaton (bagongan), dan kasar. Kelima tingkat itu masih direntangkan lagi, menjadi 13 tingkatan, dengan level terhalus adalah "Krama Hinggil" dan level terkasar adalah "kasar".

Untuk Krama Hinggil ini, diposisikan sebagai bahasa yang diucapkan orang muda kepada orang tua yang sudah sepuh, atau setidaknya "tokoh" teladan. Seperti saya jika berbicara dengan eyang maupun eyang buyut. Meski dalam praktik, saya lebih sering berbahasa Indonesia kepada eyang buyut saya (almarhum), juga orangtua, karena takut salah.

Urusan salah memakai "tingkat" berbahasa ini. bagi orang Jawa, boleh dibilang cukup memalukan. Saya pernah dijiwit ibuk karena salah melontarkan. Nah dari sekian tingkat itu, yang paling familiar alias sering saya gunakan adalah "ngoko lugu". Ini tingkat bahasa sesama "kasta", seperti antarteman.

Saya paling menyukai (meski tidak menguasai) kala menyimak "bagongan", bahasa di lingkup keraton yang menurut saya paling indah dan "ber-lagu". Kalau tidak salah-semoga saya benar-tingkatan keraton ini dipakai hanya pada situasi tertentu. Selain di lingkungan keraton, tentu saja. juga tersaji dalam wayang orang, ketoprak, maupun sendratari. Satu lagi, dalam pernikahan adat Jawa-yang dibawakan oleh MC.

Generasi saya, sayangnya adalah generasi pertama atau kedua yang perlahan "mengubur" kekayaan bahasa Jawa. Sebagai wong Jogja yang masih mencoba "fanatik" dengan Bahasa Jawa, saya merasakan dengan pilu betapa satu demi satu kosa kata mulai hilang dan terlupa.


BACA JUGA  :
BASA JAWA (3) DARI MECUCU SAMPAI NYANDRA
BASA JAWA (2) BEDA KONDISI KUANTITAS TEMPERATUR BAHASA
10 BREGADA KERATON YOGYAKARTA YANG KEREN
TEH NASGITEL PET
SARADAN







Minggu, 15 November 2015

KAU SATU TERINDAH

Benar kata orang, kalau membuat itu lebih susah ketimbang mengkreasi apa yang sudah ada. Setidaknya itu terjadi pada saya, yang beberapa bulan terakhir mencoba membuat lagu. Tepatnya, mengingat lagu-lagu yang pernah saya buat.

Dahulu kala, ketika perasaan jiwa masih melow dan labil-meski tetap menyimpan optimistis-di era akhir 90-an dan awal 2000, sejumlah lagu pernah saya bikin. Berbekal gitar bolong dan dukungan beberapa bala kurawa.

Mungkin sudah 20 -anlagu yang sambalbawang bikin. Sebagian besar "menguap" alias banyak yangt idak direkam. Hanya tertinggal 7 lagu yang masih melekat di kepala, dan 5 lagu di antaranya yang masih sering saya nyanyikan.

Satu lagu pernah saya ditampilkan dalam sebuah audisi kecil-kecilan yang pada akhirnya juga tidak tembus. Kami berempat waktu itu, mencoba sejumput peruntungan. Grup kami, yang kami beri nama "Opus", akhirnya bubar seiring aktivitas masing-masing anggota.

Sebelumnya, level pentas saya cuma sebatas upacara 17 Agustus, mengisi acara di gereja, hingga acara mudika-mudiki. Pernah nyoba jadi gitaris, bassis, sampai vokalis. Jangan membahas soal skil ya, karena jelas di bawah standar, hahaha.

Pekerjaan akhirnya merentang jarak semakin jauh dari aktivitas bermusik. Menggenjreng pun menjadi hanya sesekali, sesempatnya. Satu demi satu gitaran lagu yang pernah dikuasai, terbang entah kemana. Hanya tersisa segelintir.

Beberapa pekan ini, saya coba menggali lagi lagu-lagu itu. Menyanyikan lagi berkali-kali dan mencoba merasakan semangat ala muda dahulu. Jujur saja, spiritnya memang sudah beda karena seiring waktu, banyak kejadian bukan? Tapi, tak mengapa, lah.


"....Kau satu terindah yang sempat kupuja di hati.." gitu deh sejumput bocoran lirik salah satu lagu yang saya bikin tahun 2002-2003 lalu, untuk someone di sana yang barangkali enggak menyangka pernah jadi inspirasi bagi sambalbawang untuk bikin.

Mungkin, dan mungkin, lagu ini kelak bisa sempat dinyanyikan anak saya saat pentas di acara sekolahan. Semoga saja. Who knows?

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK
MUSIK ZAMAN DAHULU VS ZAMAN NOW, MANA YANG BERKUALITAS?
PELUKAN (CERPEN)
MENGAPA HARUS NGEBLOG
CHINMI JAGOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN

Rabu, 04 November 2015

MAAFKAN KAMI, GENERASI PENGEMIS SUBSIDI

Semingguan ini, "kelangkaan" elpiji ukuran 3 kg menyeruak di seantero Kota Balikpapan. Isu "kelangkaan" yang kesekian, tepatnya. Tidak lagi cukup menarik. Bukan karena saya ndak makai elpiji "melon" itu, tapi karena kondisi riil yang ada.

Mengapa saya beri tanda kutipan untuk kelangkaan, ya karena saya yakin itu nggak langka. Fenomena, ciee, kondisi ini kan persis BBM subsidi. Ada orang tidak mampu yang nggak bisa dapat barang subsidi, sebaliknya banyak orang mampu memburu barang subsidi.

Saya lebih suka mengistilahkan mereka sebagai "pengemis" subsidi. Empat tahun lalu, saya "menemukan" satu rumah yang punya stok elpiji melon sampai 4-5 biji. Ada juga rumah yang punya elpiji 12 kg, tapi cadangannya elpiji melon 2 tabung.

Lalu ada warung tempel yang nyetok 10 tabung melon di dapurnya. Saya mikir, warung kecil aja bisa nyimpen segitu, apalagi warung gede. Lagi, ada juga temen cerita kalau ada toko yang elpiji melonya masih ada. "Majangnya sih dikit. Tapi elpijinya ada terus...."

Seorang pengantre elpiji melon, pernah saya lihat datang membawa motor sport. Ndak nampak dia orang yang butuh disubsidi, meski dia bilang elpiji melon untuk dirinya. "Lha karena murah, saya beli,...".. Eaaa..

Nah, lho. Gemana penjelasan terkait itu. Yaaa persis kondisi BBM subsidi. Tidak ada aturan tegas sejak awal, tak ada yang mengawasi serius, akhirnya sebagian warga terombang-ambing ketidakpastian stok.

Kalau sudah begini, tak ada yang mau disalahkan, kan? Ya iyalah, Tapi saya mau disalahkan, atas nama generasi saya. Maafkanlah kami generasi penerus. Karena kami pengemis subsidi, mungkin kalian yang nanti kena getahnya.

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
BLOGER BALIKPAPAN RAYAKAN HARI BLOGER NASIONAL 2019

Minggu, 18 Oktober 2015

BAWA KAINMU, JAHITKAN KE SAMANTHA PROJECT




        Jadi, ceritanya, begini: saya beneran mengikuti pameran. Look Pop Up Market, gitu judul pameran yang berlokasi di halaman parkir Mal Fantasy Balikpapan Baru, Balikpapan, 1-4 Oktober lalu. Seorang kawan yang dulunya wartawan, menginformasikan itu kepada saya.
       Tujuh bulan lalu, saya dan saudara bojo memulai usaha modiste dan clothing line yang kami beri judul "Samantha Project". Jadi, kabar adanya pameran langsung menjadi topik pembahasan serius berhari-hari di antara kami.




       Tidak punya properti apapun selain mesin jahit, ditambah waktu yang hanya tersisa tiga minggu, maka dimulailah hari-hari super sibuk. Merancang tempat display kain, menjahit sejumlah contoh baju dan blus, hingga meminta saran dari kanan-kiri.
       Tante dari saudara bojo ikut menyambut riang dan langsung sepakat mengirimkan tas-tas kualitas premium untuk menyemarakkan isi stan. Tempat memajang kain, berupa lemari portable yang bisa dibongkar pasang, dua rak bambu, akhirnya terkumpul. Termasuk papan kayu "Samantha Project" yang nanti dipajang di atas sepeda.





      Seorang kawan mesti dipanggil untuk ikut bolak-balik berjibaku mengusung aneka properti itu ke arena stan pada H-1. Termasuk juga waktu selesai pameran. Saudara bojo selama hampir tiga pekan memulai nge-gas dengan mesin jahit listriknya. Antara merampungkan order pesanan baju hingga membuat sejumlah baju untuk dipajang.
      Empat hari pameran yang super melelahkan, terhampar. Tentu berbeda halnya ketika tahun 2010 lalu saya mengikuti pameran sepeda onthel di Yogyakarta yang hanya tinggal menyiapkan dua sepeda dan tidak menunggui selama pameran.
     Keputusan mengambil cuti selama empat hari, memang tepat. Saudara bojo seharian berjibaku mengurusi pengunjung dan beramah-tamah, sementara saya kebagian tugas wira-wiri. Termasuk keluyuran dari stan ke stan.



      Semua berjalan lumayan "aman" sampai ketika di malam pada hari ketiga, saya diberi tahu bahwa panitia memutuskan menggelar fashion runway, peragaan busana skala kecil-kecilan. What? Nggak salah denger nih? Tapi, okelah.
     Namun yang bikin panik adalah acara itu dihelat pada esok malam, alias tinggal tersisa kurang dari sehari. Lima model cewek sudah disiapkan dan malam itu mereka menggelar gladi resik. Waduh, ini serius. Hm, baiklah. Kesempatan musti disikat, bukan?
     Singkat kata, acaranya sukses. Namun yang asyik, ini ajang pertama saudara bojo naik panggung dan sedikit cuap-cuap menjelaskan apa itu Samantha Project. Inilah kali pertama saya melihat bojo yang punya kebiasaan "demam panggung" ini, beneran berdiri di atas panggung.
    Sejumlah kain terjual, sekian order jahit berdatangan, dan setumpuk calon pelanggan yang berpotensi jadi klien, menjadi imbas yang menyenangkan dari pameran. Sepeda onthel yang ikutan dipajang pun sempat ditawar pengunjung. Aha...




    Jadi, bawa sendiri kain pilihanmu, kemudian jahitkan ke kami, Samantha Project, hadir untuk memberi perbedaan. Simpel namun menarik. Pantes lan prayogi.,, Myehehe..





     

Minggu, 27 September 2015

EVEREST

Seorang teman, dengan antusias, mengajak saya menonton film Everest. “Jarang ada film tentang pendaki gunung seperti ini. Paling, kita hanya kenal dengan dua film yang bercerita soal pendakian, yakni Cliff Hanger dan Vertical Limit,” demikian kata temen saya itu.

Baiklah, keputusan diambil yakni nonton. Kembali ke dua film sebelumnya itu, saya sih pernah menontonnya, namun sungguh lupa detil bagaimana penceritaan di situ. Maklum bukan anak mapala, sih, jadi tidak ngeh dengan film soal pendakian.

Dengan embel-embel based on true story, Everest ingin menghadirkan bagaimana alam lebih berkuasa ketimbang manusia. Everest mengangkat sekelumit kisah seorang pemandu pendakian bernama Robert Edwin Hall-diperankan Jason Clarke.

Singkatnya, seorang cowok bernama Robert alias Rob, membuka jasa pemandu pendakian bertajuk Adventure Consultan. Kliennya adalah para pendaki amatir. Meski sebenarnya bukan amatir sih karena mereka yang nekat ke Everest tentu pernah naik gunung. Jadi, singkatnya, mereka membayar Rob untuk memandu ke Everest. 

Namun pada pendakian di awal 1996 itu, musibah terjadi. Sekelompok pendaki mencoba menggapai puncak gunung itu. Satu yang saya ingat adalah Yasuko-diperankan Naoko Mori-cewek Jepang berumur 47 tahun yang sudah mendaki enam gunung tertinggi dunia. Kurang satu yang belum, yakni Everest, gunung tertinggi, 8.848 meter di atas permukaan air laut ini. 

Ada juga seorang jurnalis cowok bernama Krakauer, yang difilm ini diperankan oleh Michael Kelly.
Lalu Beck (diperankan Josh Brolin), pria paruh baya yang katanya lupa mengabari istrinya ketika hendak berangkat mendaki. Kemudian, ada tukang pos bernama Doug-diperankan John Hawkes. Kombinasi para pendaki yang menarik. 

Dari sinilah kisah bergulir. Sang sutradara berupaya membangun Everest agar tidak hanya bisa dinikmati para pendaki gunung. Saya merasa salah satunya. Mendaki gunung satu pun belum pernah, dalam arti serius beneran mendaki. Jadi, sebelum film dimulai, saya sudah ancang-ancang menebak gimana film ini.

Untuk mendaki Everest yang suhunya ekstrem dingin ini, tekad membara enggak cukup. Di sini, Rob harus mengalah menghadapi sisi keras kepala pendaki gunung, ciee. Sayangnya, Rob “terpancing” dengan ulah para kliennya ini. Misalnya ketika membantu anggota timnya untuk menapak puncak, padahal rombongan sudah turun.

Rob akhirnya terjebak dalam badai yang buruk. Yang dibantunya pun mulai berhalusinasi, seiring oksigen yang menipis. Saya jadi tahu bahwa pendaki bisa merasa kepanasan-bahkan sampai melepas jaket-jika terhantam badai nan dingin menusuk tulang. Saya juga jadi tahu bahwa tabung oksigen wajib tersedia di titik-titik tertentu.

Di penghujung film, Rob akhirnya meninggal. Badai yang tak berkesudahan menghalangi tim penyelamat untuk menemukan dirinya. Ending kisah Rob, sudah saya ketahui.  Namun yang menarik bagi saya adalah kisah Beck. Merasa tenaganya habis, Beck menuruti saran Rob untuk berhenti. Beck pun sempat dianggap sudah mati. Namun Beck yang sudah membiru-menghitam ini, “hidup” kembali dan sanggup berjalan menuju tenda.

Sebenarnya bukan film yang menurut saya luar biasa. Tapi lumayan bagus untuk menggambarkan tentang pendakian gunung kepada orang awam. Penonton diajak untuk memotret sisi emosional-psikologis para pendaki.

Dari sisi dramatisasi, Everest bisa menjadi film yang simpel. Sanggup mengerem agar tak menjelma sebagai film melankolis yang meratapi insiden tersebut. Everest bisa menanamkan kenyataan bahwa alam tidak bisa dilawan, meski oleh pendaki hebat sekalipun. Karena itu, tak semua pendaki sukses mendaki Everest.

Beck memang tidak sampai puncak, namun kembali ke rumah adalah kemenangan besar baginya. Ah, inilah intisari yang saya sukai. Tekad Beck untuk bertahan hidup dengan turun gunung, lebih besar ketimbang tekadnya menaklukkan puncak. Asik.

Kalau pun toh ada yang menganggu terkait film ini, hanya soal penontonnya. Sial, karena saya melihat seorang penonton memanggul tas ransel ala pendaki gunung. Melihat cepatnya dia berjalan ke kursi, mudah ditebak tasnya kosong...dan sepertinya baru dibeli. Ah, sampai sebegitunya.


BACA JUGA
"MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA
MAMMA MIA ! HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
HOMPIMPA ALAIUM GAMBRENG UNYIL KUCING

Selasa, 22 September 2015

MENIKMATI HIDUP

Menikmati hidup itu boleh dibilang susah-susah gampang. Setiap orang tentu berbeda mengartikan. Penjelasannya terlampau banyak, dengan setumpuk argumen yang tak kalah rumit. Seorang teman menjawab, hidup perlu dinikmati dengan berwisata. Halaman fesbuknya penuh dengan foto selfie dirinya di tempat-tempat wisata.

Satu teman saya lagi, berpendapat, menikmati hidup dengan mengayuh sepeda. Menikmati sesuatu yang berjalan melambat. Di tengah hiruk-pikuk pekerjaan dan semua yang bergerak cepat, kita perlu melambatkan ritme. Baiklah.

Yang lain dengan mantap menjawab bahwa naik gunung patut dijajal untuk aktivitas menikmati hidup. Mendaki ramai-ramai dan berkemah. Jika sudah sampai di puncak gunung, akan terbentang semesta yang membuat manusia tampak kecil nan kerdil.

"Hei, mengapa kamu tidak memperdalam bakat musikmu?" ujar seorang kawan yang pernah saya perdengarkan lagu ciptaan saya. Musik bisa melampiaskan hasrat. Saya setuju. Namun entah pada akhirnya musik hanya saya nikmati, tidak saya mainkan.

Jika ingin menikmati hidup, lakukan apa yang kamu mau. Itu ujar satu teman lagi sembari menyeringai. Aha. Fantasi akan tubuh perempuan, memang sudah menjadi jalurnya. Menyenangkan, memang, mungkin. Namun saya ingin lebih menikmati hidup.

"Menikmati hidup itu, adalah, mari berpikir saja tentang kita. Ayo melakukan apa yang aku dan kamu inginkan, meski itu harus melepas rupiah cukup banyak. Hanya aku dan kamu," ujar istri saya, sembari menyeruput teh.

Aku mengangkat gelasku, ikut menyeruput teh. Ah, jadi begitulah menikmati hidup dari kaca mata perempuan yang menjadi bagian hidupku. Aku setuju denganmu. Mari kita bersiap dan berkemas.

Minggu, 20 September 2015

SURAT ( cerpen - 3 )

Tujuh tahun aku tidak membuka amplop yang berwarna putih ini. Isinya adalah sepucuk surat. Ya, itu surat yang kutulis tujuh tahun lalu untuk seorang teman. Ah, ya, tentu saja, dia adalah perempuan. Teman perempuan. Berkulit gelap, rambut sebahu-berponi, mata sedikit sipit, wajah tirus, dan badan yang kurus menuju ceking.

Dia tidak termasuk dalam daftar gadis-gadis modern di kampus yang berpakaian modis. Ataupun gadis idola kampus. Malah, mungkin rada jauh dari itu. Dia adalah gadis yang tampil biasa, kalem, dan seadanya. Sapuan bedak di wajahnya pun, kadang terlihat tidak rata. Dia tak terlalu suka berdandan. Namun dia menawan bagiku, setidaknya saat itu, ketika gairah muda menggelora.

Awal mengenal, kami sempat sering bertukar sapa dan canda. Namun segala sesuatu menjadi kaku setelah tiga tahun aku mengenalnya. Tepatnya, sejak aku memberanikan diri mengantarkannya pulang. Sejak itu, tawanya seakan bukan lagi untukku, meski masih ditebar seantero kampus. Senyumnya pun demikian, tidak menuju ke arahku. Cerianya pun seakan dialamatkan pada yang lain.

Tentu saja, semua pasti ada alasan dan penjelasannya. Beberapa petunjuk mulai terlacak olehku. Seseorang, lelaki berperawakan tinggi yang jika ke kampus menyemplak motor keluaran terbaru, terpantau sebagai pihak yang paling sering mendapat perhatiannya. Aku tidak terlalu kenal dengan lelaki itu, meski kampus kami hanya saling berseberangan. Saya hanya tahu namanya. Namun kami pernah bertemu di lorong kampus dan hanya bertegur sapa. "Hei.,,".

Itu saja. Garing, memang. Namun formula garing itulah yang paling tepat kuracik untuk memberi bumbu bagaimana kisah segitiga ini terjalin. Ups, maaf,  bukan kisah segitiga sih, sebenarnya, karena lebih tepatnya kisah cinta searah seperti jalan tol yang tidak ada putar baliknya. Namun istilah "garing" inilah yang kurasa tepat untuk membingkai sekian peristiwa selama aku mengenal mereka.
 
Satu hal yang kuhindari adalah melihat dia bersama dengan temen perempuan pujaan hatiku ini. Namun tampaknya harapan tak sesuai realitas. Aku malah sering menjumpai mereka, sedang berdua. Apakah sulit melihatnya? Tidak juga sih. Hanya saja, yang tersulit itu membalas lambaian tangan mereka. Dan kalau sudah begitu, aku hanya bisa menggerutu. "Ngapain pula aku lewat jalan ini?"

Namun dari semua peristiwa, tidak semuanya garing, kok. Ada juga kisah yang bisa membuatku tersenyum meski bukan senyum ikhlas. Aku pernah dikirimi kartu ucapan selamat tahun baru, meski itu karena mungkin aku mengirimnya duluan. Aku pernah duduk berdua di ruang tamu rumahnya, walau itu lebih sebatas aku mengembalikan buku catatannya.

Tapi agaknya aku paling ingat saat-saat dia membiarkanku membelai rambutnya. Tubuhku basah kuyup waktu itu, karena nekat menerobos hujan datang ke rumahnya. Mantel yang sudah bertahun-tahun kupakai, mulai sobek di sana-sini, sehingga tak kuasa lagi menahan terjangan air.

Aku membelai rambutnya, dengan jari-jemari tangan yang mengkerut dan gigi yang menggeletuk, saking dinginnya malam itu dan derasnya hujan. Dia membiarkanku melakukan itu, namun tak lebih semenit. Sebelum tangannya memegang tanganku dan menurunkannya. "Kau tahu, aku tidak bisa...." ucapmu. Aku mencoba membelai keningmu, tapi kamu sudah menarik tubuh ke belakang.

Suara kakakmu dari dalam rumah mengerem langkahku. Aku kecewa. Aku pun tak ingat lagi apa perkataanmu setelah kalimat itu. Aku terlalu kedinginan karena menerabas hujan deras sejauh 15 km dengan motor bututku. Aku memilih pulang, dan tak mau melihat lagi tatapanmu. Kurasa engkau juga tidak tahu kalau aku meraung menangis di sepanjang perjalanan pulang.

Malam itu pula, aku memutuskan mengurungkan menyerahkan amplop ini kepadamu. Tak perlu kukatakan apa isi amplop itu, meski kamu pun mungkin juga tak bisa 100 persen menebak apa yang kutulis. Tapi baiklah jika pada suatu saat nanti kamu memaksaku untuk mengatakannya.

Meski begitu,aku tidak yakin kamu akan memintaku untuk mengatakannya. Karena toh kamu juga tidak tahu bahwa aku menulis surat ini untukmu, bukan? Cukuplah beberapa suratku yang kulayangkan untukmu. Tak perlu ditambahi lagi oleh satu surat ini.

Hm, baiklah, sekarang, tujuh tahun sejak aku memasukkan surat ke dalam amplop ini, aku akan membacakannya untukmu. Semoga, yah, semoga saja, angin malam yang dingin, dan hujan rintik di luar sana, bisa membawa gema suaraku ke telingamu.

Perlahan, aku merobek sisi samping amplop ini dan mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya. Sudah agak lusuh, tapi lipatannya masih cukup rapi. Perlahan aku membaca surat itu, sembari menyeruput teh tubruk, dan duduk di teras rumah. Tak ada yang terucap. Surat ini tak mencantumkan barang satu huruf pun maupun goresan tinta.

Butuh lima menit aku "membaca" surat yang tak ada isinya itu. Sekian helaan nafas disertai tegukan teh hangat yang melapangkan tenggorokan. Memang tiada pesan yang ingin aku sampaikan kepadamu melalui surat itu, beberapa tahun lalu. Sekian surat yang kusampaikan padamu, sudah cukup bercerita, bukan?

Kamis, 20 Agustus 2015

30 LAGU BARAT TERBAIK SEPANJANG MASA

Setelah mencoba mengurutkan mana saja motor-motor terbaik versi sendiri, ehem, sekarang giliran tema lainnya saya luncurkan. Apa itu? Cuma lagu saja, kok. Biar gampang, maka, untuk edisi pertama tulisan ini, hehe, saya batasi dulu hanya pada lagu-lagu barat.

Ngemeng-ngemeng soal lagu, mana saja yang bagus, jelas mengarah soal selera. Karena memang sudah ditakdirkan demikian, pilihan lagu maupun genre musik yan paling "ter...", menjadi sangat subyektif. Belum tentu saya sepaham sama yang lain.

Jadi, di sini saya membatasi lagu terbaik hanya 30 lagu saja. Enggak perlu banyak-banyak karena makin susah memilih dan mengurutkan. Kriterianya simpel saja, yakni lagu itu tak lekang dimakan waktu, easy listening tapi bukan lagu murahan. Dan tentu saja, lagunya dikenal oleh banyak orang.

Ada 30 lagu yang saya anggap terbaik, dari genre rock dan pop, juga campuran keduanya. Dimulai dari nomer urut 30 ya, lalu menuju ke nomer 1 sebagai lagu terbaik sepanjang masa pilihan saya.

30. Wherever I May Roam (Metallica)
29. Teenage Senorita (Teddy Randazzo)
28. Sweet Child O'Mine (Guns N Roses)
27. How Do You Do (Roxette)
26. Ode To My Family (Cranberries)
25. Making Love Out Of Nothing At All (Air Supply)
24. The Man Who Sold The World (Nirvana)
23. November Rain (Guns N Roses)
22. Nikita (Elton John)
21. Heal The World (Michael Jackson)
20. Smells Like Teen Spirit (Nirvana)
19. In These Arms (Bon Jovi)
18. Just As I Am (Air Supply)
17. If It Wasn't For The Night (ABBA)
16. Even The Night Are Better (Air Supply)
15. Imagine (John Lennon)
14. Hasta Manana (ABBA)
13. And Your Bird Can Sing (The Beatles)
12. One (Metallica)
11. Let It Be (The Beatles)
10. Love of My Life (Queen)
09. If I fell (The Beatles)
08. The Ballad of John and Yoko (The Beatles)
07. A Kind of Magic (Queen)
06. Hasta Manana (ABBA)
05. La Isla Bonita (Madona)
04. Something (The Beatles)
03. Dancing Queen (ABBA).
02. I want To Break Free (Queen).
01. Bohemian Rhapsody (Queen).

Selesai. Jadi begitulah, 30 lagu barat terbaik pilihan saya. Kalau ada yang tidak cocok, ya muaap, kan selera orang berbeda, seperti sudah dipaparkan di atas. Hoho. Tapi yakinlah, milih 30 lagu itu saja, juga sulit. Maklum ada ratusan kandidat. Oh ya satu lagi, mungkin saja 30 lagu di atas ini besok bisa berubah.
Jadi, jangan ke mana-mana. Tetap pantengin sambalbawangkangadi.

BACA JUGA

LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK
MAMA by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
HANACARAKA AKSARA JAWA YANG INDAH
BASA JAWA (3) DARI MECUCU SAMPAI NYANDRA

Selasa, 04 Agustus 2015

TEMPE BACEM BU DINI

Bu Dini, begitu sambalbawang memanggilnya. Perempuan berumur 60-an tahun, berperawakan kecil, keriput di wajah dan sapaan yang hangat. Dia penjual tempe - tahu bacem terenak di muka bumi ini, setidaknya itu pendapat saya dulu. Menu andalannya, tempe bacem.

Hampir tiap pagi, sebelum ngacir ke sekolah, sambalbawang rutin menyambangi Bu Dini, yang warung jualannya hanya warung tempel-beratap seng yang nempel di tembok Alun-Alun Selatan, Yogyakarta. Bersama suaminya dia mengelola usaha tersebut.

Bisa dibilang sambalbawang-lah peserta rutin di warungnya kala pagi. Tempe bacem Bu Dini yang paling saya suka, dan itulah yang sering sambalbawang beli. Tentu dengan instruksi orang tua dan rupiahnya. Cukup berlari 15-20 detik, sudah sampai di warungnya.

Bu Dini tidak membuka warung makan, karena hanya berjualan di tempat. Sebuah wajan berukuran besar menjadi alat masak Bu Dini, dan bangku kayu kecil (dingklik) yang sudah kucel, menjadi tempat duduk khusus buat saya untuk menunggu Bu Dini menggoreng tempe bacemnya.

Tempe bacemnya sangat lezat. Diangkat dari panci usai dibacem saya sudah bikin saya berkejab-kejab, Apalagi ketika mulai diluncurkan ke wajan berisi minyak goreng mendidih. Bau harum menyeruak, menguar, membuat saya tak sabar.

Bu Dini paham kalau sambalbawang suka tempe bacem. Karena itu dia sering memberi bonus tempe bacem ke saya. Biasanya tempe bacem yang bocel, yang bentuknya tidak sempurna akibat proses membacem berjam-jam. Tapi tak masalah, yang penting enak.

Bonus tempe bacem itu, tentu saja tak masuk hitungan yang dibawa pulang kerumah, karena pasti sambalbawang habiskan di TKP. Bu Dini meletakkan tempe bacem itu di atas piring blek (seng) kecil, Dan sambalbawang biasanya duduk di bangku kayu kecil, persis dekat wajan, menunggu tempe matang.

Biasanya tempe bonus ini diberikan kalau saya harus menunggu beberapa kloter penggorengan. Maklum, tempe bacem Bu Dini sudah kesohor enaknya. Jika kebetulan sedang kehabisan, Bu Dini seperinya tidak sampai hati mengatakan.

Ibu sangat paham level kegemaran sambalbawang akan tempe bacem. Artinya, menyuruh membeli tempe bacem, bukan sesuatu yang sulit. Sering sambalbawangb bahkan sudah meloncat lari, sebelum ibu membuka dompet. Dan uang disusulkan belakangan ke Bu Dini.

Oh ya satu tempe bacem ini harganya Rp 25. Murah bukan? Tentu saja, lha wong itu harga tahun 1985-an. Ibarat kecanduan, saya tidak berenergi jika tidak menyantap tempe bacem Bu Dini. Bau harum bacemannya itu saja sudah bikin saya tergaga-gaga, dan mengangkat hidung. Endus-endus.

Saking ngefansnya sama tempe bacem Bu Dini, sambalbawang pernah sampai tidak masuk sekolah. Atau tepatnya pulang pagi. Ceritanya, saya menghabiskan 10 tempe bacem. Alhasil, belum genap sejam di sekolah, jadi terserang diare. Ibu pun menceritakan ke para guru tentang 10 tempe bacem itu yang semuanya sambalbawang makan. Betapa malunya...

Tempe bacem Bu Dini menemani sepanjang sambalawang duduk di bangku SD, minus 1,5 tahun ketika saya meneruskan sekolah ke Ambon. Selepas SD, atau sewaktu SMP, sambalbawang sudah tidak menjumpai lagi warung Bu Dini. Tak ada yang bisa menjelaskan ke mana Bu Dini pergi, atau pindah ke mana warung kecilnya itu. Ah.

Warungnya kembali menjadi  padang ilalang seluas 60-an meter persegi. Lalu ketika duduk di bangku SMA, lahan itu sudah ditumbuhi rumah. Beberapa kali melintasi gang di depan lokasi itu, sambalbawang membayangkan aktivitas pagi 30-an tahun silam.

Di sana, yah, di dingklik kayu itu, pernah ada seorang pria kecil, yang saban pagi duduk. Bermenit-menit, menunggu tempe bacem selesai digoreng. Dan kadang juga diselingi nasehat dari Bu Dini bahwa sambalbawang mesti rajin belajar. Ah (lagi)..

Sampai sekarang sambalbawang belum menemukan tempe bacem seenak tempe bacem Bu Dini itu...

BACA JUGA

MUSIK ZAMAN DAHULU VS ZAMAN NOW, MANA YANG BERKUALITAS?
KOKORO NO TOMO
10 BREGADA KERATON YOGYAKARTA YANG KEREN
TEH VS KOPI
BLOGER BALIKPAPAN RAYAKAN HARI BLOGER NASIONAL 2019

Jumat, 24 Juli 2015

GENERASI BAHAGIA


       Setiap generasi pasti punya pengalaman yang hepi-hepi. Banyak orang sudah menuliskan versi bahagia generasi mereka masing-masing, baik itu mereka yang lahir di era 70, 80, hingga 90. Jadi, boleh juga dong saya ikut-ikutan, hehe. 
     Kami adalah bagian dari generasi bahagia yang lahir menjelang tahun 1980. Kamilah mungkin generasi terakhir yang berangkat dan pulang sekolah dengan cerita, tak terbebani pelajaran, meski pekerjaan rumah ya tetap ada. Untunglah, tidak sampai dalam level overdosis yang membelenggu acara bermain.
      Kami generasi terakhir yang masih menjumpai tanah lapang dan sering menyambanginya. Kamilah juga sering sengaja keluar rumah hanya untuk berhujan-hujan bersama teman-teman. "Pasukan" bermain kami cukup komplet, karena tidak ada yang ikut les. Sore hari itu, kalau nggak bermain, ya bermain.
      Sepertinya, kami generasi terakhir yang menguasai banyak permainan tradisional. Kamilah mungkin generasi terakhir yang hapal dan tahu banyak soal lagu anak-anak, rutin mendengarkan sandiwara radio, dan mengoleksi kaset Sanggar Cerita.
      Kami juga generasi terakhir yang (dipaksa) harus tertib sebelum menonton TV. Harus mandi dulu, lalu sisiran, duduk manis, dan masih ditambahi aturan agar tidak ribut. Jarak TV dan posisi duduk setidaknya 3 meter. Lucu juga sih, karena hanya untuk nonton TV layar 14 inchi saja, kami harus begitu. 
     Oh iya, kami juga generasi terakhir yang pernah meneriaki helikopter untuk meminta koran. Aneh, bukan? Meski ketika gede, saya semakin sangsi, apakah suara saya waktu itu terdengar sampai kabin helikopter. Setidaknya kami, atau segelintir secuil dari kami, pernah melakukan itu.  
      Kami generasi yang masih dibolehkan menikmati sinar matahari, debu, sungai, dan lumpur, sampai kulit menghitam (bisa dilihat dari foto-foto kami). Dan mungkin karena itulah kami "tangguh" saat upacara bendera, seterik apapun, pantang "tumbang".
       Kami sepertinya generasi terakhir yang masih merasakan asyiknya berkirim surat kepada sang pujaan hati. Memakai kertas yang wangi, tentu saja. Juga berkirim salam pesan ke stasiun radio agar diputarkan lagu tertentu. Karena itulah, kami terlatih antre, karena itulah "sesi latihan" kami di depan telepon umum.
       Kami pula generasi terakhir yang masih merasakan hukuman dari guru yakni berdiri di depan kelas, menghadap tembok, dengan satu kaki diangkat. Sepertinya, dan bisa jadi, karena itulah, kami hapal nama dan wajah menteri kabinet pembangunan IV.
       Dan kami generasi yang tahu apa itu "mencongak" dan terlatih untuk tidak kagetan. Kami pula yang pertama kali terkagum-kagum dengan kehadiran penghapus tinta pena berupa cairan putih yang ternyata belakangan bernama tipex. Oh ya, kami pula generasi terakhir yang masih memakai mesin ketik untuk mengerjakan tugas-tugas perkuliahan. 
     Buku tulis kami juga mengasyikkan. Bergambar bintang film di sampul depannya, dan jadwal pelajaran di sampul belakangnya.
Saya dan semua teman-teman, juga punya diari, dengan kunci gembok sederhana. Diari itu akan berputar seantero teman-teman, dan bisa menjadi memori 25 tahun kemudian. 
    Kami generasi yang menikmati serunya bermain ding-dong di pusat perbelanjaan, juga generasi pertama (anak-anak) penikmat game watch (gembot), video kaset Betamax, hingga game-game legendaris seperti Mario Bross, Tetris, dan Street Figter.
       Kami generasi pertama yang melintasi teknologi yang cepat, baik itu era komputer, gadget, TV, ataupun player. Kami yang pertama menikmati tayangan parabola, dan merasakan satu RT dilayani hanya dengan satu parabola. Kami juga menikmati pergantian era telepon koin ke telepon kartu, hingga pager. 
      Kami belajar "menaklukkan" program bintang kata-kata a.k.a Wordstar. Juga generasi pengoleksi disket di dalam tas. Kami mulai mencoba “nakal” via chatting di dunia maya saat MIRC hadir. Kami juga generasi pertama yang patungan untuk menyewa internet di warnet. Karena itu kami memandang kehadiran modem sebagai "keajaiban" hahaha.  
       Kami generasi yang hidup di era keemasan musik yang nampaknya sulit untuk terulang. Dari Metallica, GNR, Bonjovi, Roxette, White Lion, MLTR, hingga Nirvana. Dari Trio Libels, Kla Project, Slank, Dewa, Gigi, Sheila, hingga Padi. 
    Kami barangkali adalah generasi terakhir yang mungkin masih (diharuskan) untuk membukakan pintu gerbang untuk guru. Juga sesekali mengelap sepeda mereka. Dan kami pula generasi terakhir yang masih memijat orang tua saat mereka kecapaian. 
     


    Kami menikmati era kami, era di mana urusan sekolah dan tugas sekolah jangan sampai mengorbankan waktu bermain dan kumpul bareng temen-temen. Tidak ada, atau sangat jarang, ada yang berani membolos bermain kelereng, hanya karena demi les, atau bahkan ulangan esok harinya.
      Tapi kami juga generasi yang sedih karena banyak hal. Salah satunya adalah, kami mungkin generasi terakhir yang bisa berbahasa daerah dengan cukup benar. Tapi sayangnya, melakukan "kesalahan fatal" ketika tak mewariskan itu, ke adik-adik kami.
    Ah...



Selasa, 21 Juli 2015

PERHAPS... ( cerpen - 2)

        "Mungkinkah kita bisa bersua?". Lirih, nyaris tak terdengar suaramu sehingga aku harus memintamu mengulangi kalimat itu agar tak salah dengar. "Mungkinkah kita ketemu?" katamu lagi. "Sejam saja, atau beberapa menit. Atau semenit saja, jika hanya itu yang bisa,.."
       Aku menggeleng, dan baru kusadari engkau tak bisa melihatku. Kita terbentang ruang, terpenjara waktu, dan tersekat oleh kabel. "Sepertinya tidak," sahutku, yang ternyata juga seperti suara tercekat. Suasana pun kembali hening.
       Telepon selulerku mulai terasa panas. Kulihat durasi kami berbicara: 50 menit. Belum ada tanda-tanda selesai.. Ini tahap ketiga kami berbicara setelah sebelumnya saya menelponnya 15 menit, lalu dia balik menelpon 20 menit,
       "Aku sudah tahu kalau akhirnya begini, tapi bodohnya aku melakukan itu lagi," sambungmu. "Tak ada yang bodoh, baik aku atau kamu," jawabku mencoba menghibur. "Ah, engkau pasti hanya akan bilang kalau waktu tak berpihak padamu, kan?" begitu suara di seberang. Ada nada putus asa, atau entah apa.
        Beberapa menit berlalu, sebelum akhirnya kujawab pelan, "Iya, Memang waktu tak pernah berpihak padaku. Sekali berpihak pun, tetap saja aku tidak merasa berada di pihak yang diuntungkan, meski juga tak dirugikan. Mungkin,".
      "Ah....," katamu dengan nada penuh kecewa. Suara gemerisik terdengar. Kamu menangis, aku tahu itu. Beberapa menit terisi suara-suara itu, kadang pelan, kadang terhenti, kadang sesunggukan, sampai kemudian kamu membuka suara lagi. "Sudah,lah. Tapi tolong kembalikan senyumku, besok..."
      "Ah..."

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
MAMAMMIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN

Rabu, 15 Juli 2015

TEH NASGITEL-PET

Tidak semua orang bisa bikin minuman teh yang enak. Apakah susah teh? Sebenarnya sih tidak, meski juga enggak bisa dibilang gampang. Kalau enggak percaya, bolehlah sesekali menyambangi warung-warung. Saya cukup yakin, banyak warung menyajikan citarasa teh yang "memprihatinkan".  Gregetan, kan?


Baiklah, selera menyoal citarasa teh, maka jelas berbeda menurut benak masing-masing orang. Namun semua nampaknya sepakat bahwa teh yang terlalu encer dan terlampau manis, pasti bukan teh yang mantap. Teh yang enak, ya akan enak kalau diseruput dalam kondisi panas, maupun dingin. 

Sayangnya, banyak warung, juga orang yang tidak memikirkan pentingnya citarasa teh. Cenderung mbikin teh secara asal-asalan, pokoknya asal jadi, asal cepet. Malah banyak yang pakai teh celup, dan "hajar" dengan takaran gula overdosis. Masih diperparah karena sepertinya satu teh celup dipaksa untuk "mewarnai" dua gelas.

Sudah puluhan kali sambalbawang iseng melongok isi dapur warung dan melihat bagaimana mereka meramu dan menyiapkan teh. Kesimpulannya, ya kembali ke tadi. Teh masih saja tidak terpikirkan untuk dibikin serius. Ambil contoh, teh yang disajikan dalam gelas plastik, menurut saya, jelas tak termaafkan..

Oke, teh memang tak serumit kopi. Namun bikin teh enggak bisa sembarangan. Mereka yang bukan penikmat teh, barangkali tak keberatan dengan teh celup yang encer serta rasa manis kebangeten. Atau sudah cukup puas dengan sajian teh yang cuma apik visual luarnya :  diwadahi poci tanah liat dan dipadu gula batu. 

Bagi mereka yang bukan penikmat teh, maka teh hanyalah satu dari sekian minuman. Cuma minuman untuk mengguyur tenggorokan supaya dahaga hengkang, maka bereslah sudah. Namun tidak bisa (atau sangat sulit) bagi seorang penikmat teh untuk menyeruput asal teh. Apalagi jika sang penikmat teh ini cukup piawai meramu teh.   

Artinya pula, bagi penikmat teh seperti saya, juga istri, minumah teh harus istimewa. Dengan kata lain, rasa dan tampilan teh yang seadanya adalah hal yang cukup fatal. Semakin kecewa karena tak mungkin menyalahkan si pemilik warung yang mendulang rupiah dengan cara menjual teh encer.

Bagi sambalbawang, adalah"haram" hukumnya jika teh rasanya nanggung. Sebab, rasa teh yang enak dan "benar" sudah melekat di lidah (mungkin) sejak sambalbawang belajar merangkak. Ibu selalu menyediakan teh sehari dua kali. Ada semacam "tea time" di rumah, meski kadang tidak rutin. Tapi lumayan sering.  Kakak sambalbawang, lumayan jago bikin teh yang sip.

Kesukaan pada teh, saat dewasa, ternyata berimbas pada perburuan teh. Tak terhitung berapa merek teh sambalbawang coba. Mungkin lebih 50 merek. Dari merek-merek teh yang sudah kesohor dan merupakan andalan keluarga, hingga merek teh "biasa".  Satu per satu sudah diseduh. Beberapa dioplos alias diracik. 

Secara garis besar, hasilnya begini. Ada teh yang rasanya "kacau", meski orang lain bilang itu enak. Pernah juga sambalbawang meracik teh "kacau" itu dengan skill meracik teh seperti biasa. Rasanya mmm..tidak terlampau buruk, meski juga nggak bisa dibilang enak. Hahahaha. Tapi, sepertinya teh-teh yang kayak gini, mesti saya evakuasi dari dapur.

Keasyikan meracik adalah, seni mengoplos satu merek dengan merek lain. Pernah sambalbawang mencampur sampai 4 merek teh untuk membikin satu gelas teh. Pernah juga tiga merek dioplos. Tapi lebih sering cukup 2 merek saja disatukan. 

Tentang merek, memang lagi-lagi subyektif. Tergantung selera orang. Namun pernah seorang kawan, yang kampung halamannya Banjarmasin, Kalsel, sepakat dengan sambalbawang soal teh yang enak ketika menyeruput bersama di angkringan. Hm, bukankah itu membuktikan kalau rasa teh bisa juga universal?

Cerita lainnya, ada penjual angkringan di Balikpapan (berasal dari Jawa) berdiskusi sama saya dan istri soal teh. Ketika teh terhidang, rasanya njut-enjutan. Nampaknya dia enggak paham gimana bikin teh. Tapi urusan nggak paham bikin teh juga ada di kampung saya, Yogyakarta, dan juga di angkringan. Bingung? 

Kembali ke warung makan, satu hal yang saya pantengin adalah, banyak yang menghidangkan teh supermanis, yang standar manisnya level dewa. Sudah dituangin air putih separuh gelas pun, rasa manisnya tetap aduhai gila. 

Kalau enggak gitu, ada juga teh yang rasanya malah seperti "sabun". Entah terlalu wangi, atau gimana, yang jelas, teh "sabun" itu terlalu aneh rasanya. Bukan berasa sabun, dalam arti sabun sebenarnya, tetapi teh yang terlampau wangi. Tapi ya itu, sekali lagi, kan urusan selera personal. 

Termasuk juga soal gula. Memang, teh akan terasa dasyat jika dipadukan dengan gula batu. Namun bisa disubstitusi dengan gula pasir. Susah lho mencari gula batu yang enak. Apalagi di Balikpapan. Belum lagi harganya. Hm.

Balik ke teh. Berbeda dengan minuman lain, teh adalah minumal yang jelas (relatif) murah. Kalau murah, harusnya ya bisa enak. Iya nggak, iya nggak? Tapi sayang seribu sayang, itu pun hanya sebatas mimpi, karena kenyataannya, teh (yang rasanya dataaar banget pun) tetap dibanderol mahal. 

Kalau dihitung, harga teh yang super enak saja hanya Rp 5.000-Rp 6.000 per bungkus. Ukuran segitu, cukup untuk bikin 10 gelas (yang kentalnya pooool). Nggak mahal, kan? Nah, gimana dengan harga bahan baku lainnya?

Untuk membuat segelas teh, diperlukan 1-2 sendok makan teh, yang itu mungkin hanya Rp 500. Jika ditambah gula, katakanlah maksimal Rp 1.000, biaya gas elpiji Rp 500, serta air Rp 1.000, maka ongkos segelas teh jadi Rp 3.000. Muriih, kan? Okelah kalau di warung dilego Rp 4.000 per gelas. Masih wajar. 

Artinya jika harga segelas teh Rp 4.000, dan masih mendapat teh yang datar rasanya, ya berarti pemilik warung tak peduli apa yang dihidangkannya apakah sudah memuaskan konsumen atau tidak. Pembeli masih saja "dihajar" dengan teh yang encer dan kebanyakan gula, dan kadang gelas yang belum bersih.

Jelas sudah, bahwa meskipun teh adalah komponen termurah dalam sebuah sajian teh, tapi tidak ditempatkan dalam keinginan menghidangkannya sebagai minuman teh terbaik. Kalau sudah gitu, mending nggak usah pesan teh di warung sembarang. Lha memang iya, itulah yang saya lakukan hampir 4 th.

Jika bersantap di warung, dan ingin nyeruput teh, mendingan mengambil teh botol dan teh dalam kemasan kotak. Setidaknya itu lebih berasa teh. Suka tidak suka, daripada pesan es teh atau teh panas, tapi malah bikin kecewa dan bete seharian.

Karena ada istilah "tea time" maka saya yakin kalau teh harus disajikan sebaik mungin, seenak mungkin. Karena itulah, saya menempatkan teh dalam strata tertinggi yang dalam bahan dan pembuatannya harus sip. Teh yang sedap adalah yang nasgitel, alias panas legi kentel. Tambah satu lagi, sepet. Jadi teh "Nasgitel-pet"

Sebab, hanya teh nasgitel-pet yang sanggup menghadirkan sensasi "kemepyar" yang sulit dilukiskan dengan kata. Kemepyar (bahasa Jawa) ini berarti menciptakan efek antara lain mata jadi melek, keluar keringat, dan sensasi segar. Dunia seakan menjadi "terang". Rasa sepet pun melekat di langit-langit mulut.

Lalu berimbas pada kepala yang jadi cespleng. Mungkin mengangguk-angguk kecil. Oh ya kemepyar ini, adalah ketika level panas air 90-an derajat Celcius. Kalau untuk es teh, gimana? Gini, sensasi kemepyar tidak didapat dalam es teh. Seger dan bikin "nyandu", itulah yang didapat dalam es teh.

Kalau mau disimpulkan, teh yang nasgitel-pet, itu, gini rumusannya: Ada aroma mantap daun-batang teh yang khas, berpadu dengan rasa sepet (bukan pahit) yang eksotis, harum wangi bunga melati yang kalem, serta sensasi manis gula pasir (atau gula batu) yang takarannya sedikit di atas rata-rata.

Satu dari faktor itu tidak ada, maka bukan teh nasgitel-pet. Salam teh ! 


BACA JUGA :
LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK
HAPPY MOTHER'S DAY 2019, LIVE ACCOUSTIC "MAMA"
"MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
10 BREGADA KERATON YOGYAKARTA YANG KEREN
TEH vs KOPI
HANACARAKA AKSARA JAWA YANG INDAH
LAGU-LAGU ABBA, LIRIK DAN VIDEO
MAMMA MIA ! HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
MENGAPA HARUS NGEBLOG
THE AQUARIAN ?