Jumat, 24 Juli 2015

GENERASI BAHAGIA


       Setiap generasi pasti punya pengalaman yang hepi-hepi. Banyak orang sudah menuliskan versi bahagia generasi mereka masing-masing, baik itu mereka yang lahir di era 70, 80, hingga 90. Jadi, boleh juga dong saya ikut-ikutan, hehe. 
     Kami adalah bagian dari generasi bahagia yang lahir menjelang tahun 1980. Kamilah mungkin generasi terakhir yang berangkat dan pulang sekolah dengan cerita, tak terbebani pelajaran, meski pekerjaan rumah ya tetap ada. Untunglah, tidak sampai dalam level overdosis yang membelenggu acara bermain.
      Kami generasi terakhir yang masih menjumpai tanah lapang dan sering menyambanginya. Kamilah juga sering sengaja keluar rumah hanya untuk berhujan-hujan bersama teman-teman. "Pasukan" bermain kami cukup komplet, karena tidak ada yang ikut les. Sore hari itu, kalau nggak bermain, ya bermain.
      Sepertinya, kami generasi terakhir yang menguasai banyak permainan tradisional. Kamilah mungkin generasi terakhir yang hapal dan tahu banyak soal lagu anak-anak, rutin mendengarkan sandiwara radio, dan mengoleksi kaset Sanggar Cerita.
      Kami juga generasi terakhir yang (dipaksa) harus tertib sebelum menonton TV. Harus mandi dulu, lalu sisiran, duduk manis, dan masih ditambahi aturan agar tidak ribut. Jarak TV dan posisi duduk setidaknya 3 meter. Lucu juga sih, karena hanya untuk nonton TV layar 14 inchi saja, kami harus begitu. 
     Oh iya, kami juga generasi terakhir yang pernah meneriaki helikopter untuk meminta koran. Aneh, bukan? Meski ketika gede, saya semakin sangsi, apakah suara saya waktu itu terdengar sampai kabin helikopter. Setidaknya kami, atau segelintir secuil dari kami, pernah melakukan itu.  
      Kami generasi yang masih dibolehkan menikmati sinar matahari, debu, sungai, dan lumpur, sampai kulit menghitam (bisa dilihat dari foto-foto kami). Dan mungkin karena itulah kami "tangguh" saat upacara bendera, seterik apapun, pantang "tumbang".
       Kami sepertinya generasi terakhir yang masih merasakan asyiknya berkirim surat kepada sang pujaan hati. Memakai kertas yang wangi, tentu saja. Juga berkirim salam pesan ke stasiun radio agar diputarkan lagu tertentu. Karena itulah, kami terlatih antre, karena itulah "sesi latihan" kami di depan telepon umum.
       Kami pula generasi terakhir yang masih merasakan hukuman dari guru yakni berdiri di depan kelas, menghadap tembok, dengan satu kaki diangkat. Sepertinya, dan bisa jadi, karena itulah, kami hapal nama dan wajah menteri kabinet pembangunan IV.
       Dan kami generasi yang tahu apa itu "mencongak" dan terlatih untuk tidak kagetan. Kami pula yang pertama kali terkagum-kagum dengan kehadiran penghapus tinta pena berupa cairan putih yang ternyata belakangan bernama tipex. Oh ya, kami pula generasi terakhir yang masih memakai mesin ketik untuk mengerjakan tugas-tugas perkuliahan. 
     Buku tulis kami juga mengasyikkan. Bergambar bintang film di sampul depannya, dan jadwal pelajaran di sampul belakangnya.
Saya dan semua teman-teman, juga punya diari, dengan kunci gembok sederhana. Diari itu akan berputar seantero teman-teman, dan bisa menjadi memori 25 tahun kemudian. 
    Kami generasi yang menikmati serunya bermain ding-dong di pusat perbelanjaan, juga generasi pertama (anak-anak) penikmat game watch (gembot), video kaset Betamax, hingga game-game legendaris seperti Mario Bross, Tetris, dan Street Figter.
       Kami generasi pertama yang melintasi teknologi yang cepat, baik itu era komputer, gadget, TV, ataupun player. Kami yang pertama menikmati tayangan parabola, dan merasakan satu RT dilayani hanya dengan satu parabola. Kami juga menikmati pergantian era telepon koin ke telepon kartu, hingga pager. 
      Kami belajar "menaklukkan" program bintang kata-kata a.k.a Wordstar. Juga generasi pengoleksi disket di dalam tas. Kami mulai mencoba “nakal” via chatting di dunia maya saat MIRC hadir. Kami juga generasi pertama yang patungan untuk menyewa internet di warnet. Karena itu kami memandang kehadiran modem sebagai "keajaiban" hahaha.  
       Kami generasi yang hidup di era keemasan musik yang nampaknya sulit untuk terulang. Dari Metallica, GNR, Bonjovi, Roxette, White Lion, MLTR, hingga Nirvana. Dari Trio Libels, Kla Project, Slank, Dewa, Gigi, Sheila, hingga Padi. 
    Kami barangkali adalah generasi terakhir yang mungkin masih (diharuskan) untuk membukakan pintu gerbang untuk guru. Juga sesekali mengelap sepeda mereka. Dan kami pula generasi terakhir yang masih memijat orang tua saat mereka kecapaian. 
     


    Kami menikmati era kami, era di mana urusan sekolah dan tugas sekolah jangan sampai mengorbankan waktu bermain dan kumpul bareng temen-temen. Tidak ada, atau sangat jarang, ada yang berani membolos bermain kelereng, hanya karena demi les, atau bahkan ulangan esok harinya.
      Tapi kami juga generasi yang sedih karena banyak hal. Salah satunya adalah, kami mungkin generasi terakhir yang bisa berbahasa daerah dengan cukup benar. Tapi sayangnya, melakukan "kesalahan fatal" ketika tak mewariskan itu, ke adik-adik kami.
    Ah...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar