Selasa, 04 Agustus 2015

TEMPE BACEM BU DINI

Bu Dini, begitu sambalbawang memanggilnya. Perempuan berumur 60-an tahun, berperawakan kecil, keriput di wajah dan sapaan yang hangat. Dia penjual tempe - tahu bacem terenak di muka bumi ini, setidaknya itu pendapat saya dulu. Menu andalannya, tempe bacem.

Hampir tiap pagi, sebelum ngacir ke sekolah, sambalbawang rutin menyambangi Bu Dini, yang warung jualannya hanya warung tempel-beratap seng yang nempel di tembok Alun-Alun Selatan, Yogyakarta. Bersama suaminya dia mengelola usaha tersebut.

Bisa dibilang sambalbawang-lah peserta rutin di warungnya kala pagi. Tempe bacem Bu Dini yang paling saya suka, dan itulah yang sering sambalbawang beli. Tentu dengan instruksi orang tua dan rupiahnya. Cukup berlari 15-20 detik, sudah sampai di warungnya.

Bu Dini tidak membuka warung makan, karena hanya berjualan di tempat. Sebuah wajan berukuran besar menjadi alat masak Bu Dini, dan bangku kayu kecil (dingklik) yang sudah kucel, menjadi tempat duduk khusus buat saya untuk menunggu Bu Dini menggoreng tempe bacemnya.

Tempe bacemnya sangat lezat. Diangkat dari panci usai dibacem saya sudah bikin saya berkejab-kejab, Apalagi ketika mulai diluncurkan ke wajan berisi minyak goreng mendidih. Bau harum menyeruak, menguar, membuat saya tak sabar.

Bu Dini paham kalau sambalbawang suka tempe bacem. Karena itu dia sering memberi bonus tempe bacem ke saya. Biasanya tempe bacem yang bocel, yang bentuknya tidak sempurna akibat proses membacem berjam-jam. Tapi tak masalah, yang penting enak.

Bonus tempe bacem itu, tentu saja tak masuk hitungan yang dibawa pulang kerumah, karena pasti sambalbawang habiskan di TKP. Bu Dini meletakkan tempe bacem itu di atas piring blek (seng) kecil, Dan sambalbawang biasanya duduk di bangku kayu kecil, persis dekat wajan, menunggu tempe matang.

Biasanya tempe bonus ini diberikan kalau saya harus menunggu beberapa kloter penggorengan. Maklum, tempe bacem Bu Dini sudah kesohor enaknya. Jika kebetulan sedang kehabisan, Bu Dini seperinya tidak sampai hati mengatakan.

Ibu sangat paham level kegemaran sambalbawang akan tempe bacem. Artinya, menyuruh membeli tempe bacem, bukan sesuatu yang sulit. Sering sambalbawangb bahkan sudah meloncat lari, sebelum ibu membuka dompet. Dan uang disusulkan belakangan ke Bu Dini.

Oh ya satu tempe bacem ini harganya Rp 25. Murah bukan? Tentu saja, lha wong itu harga tahun 1985-an. Ibarat kecanduan, saya tidak berenergi jika tidak menyantap tempe bacem Bu Dini. Bau harum bacemannya itu saja sudah bikin saya tergaga-gaga, dan mengangkat hidung. Endus-endus.

Saking ngefansnya sama tempe bacem Bu Dini, sambalbawang pernah sampai tidak masuk sekolah. Atau tepatnya pulang pagi. Ceritanya, saya menghabiskan 10 tempe bacem. Alhasil, belum genap sejam di sekolah, jadi terserang diare. Ibu pun menceritakan ke para guru tentang 10 tempe bacem itu yang semuanya sambalbawang makan. Betapa malunya...

Tempe bacem Bu Dini menemani sepanjang sambalawang duduk di bangku SD, minus 1,5 tahun ketika saya meneruskan sekolah ke Ambon. Selepas SD, atau sewaktu SMP, sambalbawang sudah tidak menjumpai lagi warung Bu Dini. Tak ada yang bisa menjelaskan ke mana Bu Dini pergi, atau pindah ke mana warung kecilnya itu. Ah.

Warungnya kembali menjadi  padang ilalang seluas 60-an meter persegi. Lalu ketika duduk di bangku SMA, lahan itu sudah ditumbuhi rumah. Beberapa kali melintasi gang di depan lokasi itu, sambalbawang membayangkan aktivitas pagi 30-an tahun silam.

Di sana, yah, di dingklik kayu itu, pernah ada seorang pria kecil, yang saban pagi duduk. Bermenit-menit, menunggu tempe bacem selesai digoreng. Dan kadang juga diselingi nasehat dari Bu Dini bahwa sambalbawang mesti rajin belajar. Ah (lagi)..

Sampai sekarang sambalbawang belum menemukan tempe bacem seenak tempe bacem Bu Dini itu...

BACA JUGA

MUSIK ZAMAN DAHULU VS ZAMAN NOW, MANA YANG BERKUALITAS?
KOKORO NO TOMO
10 BREGADA KERATON YOGYAKARTA YANG KEREN
TEH VS KOPI
BLOGER BALIKPAPAN RAYAKAN HARI BLOGER NASIONAL 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar