Jumat, 07 Maret 2014

DAGING-DAGINGAN VS DAGING BENERAN

    
Sering, sangat sering saya ditanya soal vegetarian. Dari sekian pertanyaan itu, ada beberapa yang menggelitik. Cukup "menantang" bagaimana cara dan apa jawabannya. Pertanyaan soal "daging-dagingan". 

Bole dong sedikit saya kerucutkan pertanyaan itu, menjadi kira-kira begini: "Tapi menjadi vegetarian kan berarti mengeluarkan biaya makan yang lebih mahal? Karena makannya daging-dagingan.."  

Lalu pertanyaan yang biasanya menggeling untuk mengikutinya adalah : “Mengapa daging-dagingan di warung vegetarian itu harus dibentuk seperti olahan atau daging betulan ?"

Untuk pertanyaan yang pertama, beneran membuat saya pengin ketawa. Bukan menertawakan yang bertanya, loh. Namun itu semakin menegaskan bahwa ada kondisi dan latar belakang yang mengilhami pertanyaan mereka.

Memang, tidak saya pungkiri, perihal "daging-dagingan" itu adalah pertanyaan menohok. Ibarat petinju, seperti memahami benar di mana harus melancarkan kepalan di bagian mana dari lawannya.

Begitulah pertanyaan yang kerap ditujukan kepada para vegetarian. (Hm perlu ditekankan, dalam beberapa hal, saya rada tidak terlalu cihui memakai istilah vegetarian-mendingan penyantap sayur-mayur). 

Tapi, saya pun tidak terlalu suka dengan istilah daging-dagingan. Kesannya seperti daging palsu yang tidak bisa disantap, padahal kenyataannya daging-dagingan itu lebih lezat ketimbang daging beneran. He.

Meski begitu, menjadi pusing juga memikirkan mengapa para penyantap sayuran dianggap selalu makan daging-dagingan. Seakan tidak bisa hidup tanpa benda itu. Seakan lupa bahwa banyak menu selain daging maupun ikan.

Untunglah, saya selalu paham, bahwa mereka bukan vegetarian. Dalam arti yang memang belum pernah bersinggungan dekat dengan para sayur mania. Dunia mereka adalah dunia yang masih menyantap satwa.

Wajar jika pertanyaan mereka ya demikian. Mereka yang tidak makan daging/ikan, akan dianggap aneh. Lha semua orang (nampaknya) suka sesuatu yang kenyal-amis begitu, masa saya tidak suka. 

Tentu, ketika melihat ada daging nabati (istilah resmi daging-dagingan), otak mereka merespons. Kok vegetarian masih makan benda yang bukan daging tapi dibentuk dan dibumbui seperti daging?

Semakin menemukan pembenaran ketika semua warung makan dan restoran vegetarian punya menu andalan “daging-dagingan”. Ada yang dibentuk bakso, sate, ikan, hamburger, sarden, seafood, sampai tempura. 

“Kayak sate betulan. Tapi nggak amis,” begitu pendapat seorang kawan yang selanjutnya cukup rutin menyantap menu tersebut. Dia sampai sekarang bukan vegetarian, tapi menyukai menu vegetarian.

Dengan harga yang dibanderol di atas rata-rata tarif warung makan umum, daging nabati adalah opsi menu. Dibeli ketika kocek masih lumayan terisi. Jadi, anggapan bahwa daging-dagingan mahal, memang benar.

Bagaimana tidak mahal, kalau sebagian adalah barang impor, antara lain bikinan Taiwan, China (Tiongkok), dan Malaysia. Makin mahal pula, karena daging-dagingan itu semuanya dikemas beku.

Pernah saya bandingkan, harga daging-dagingan yang semacam nugget, dengan skala berat gram yang sama, harganya mencapai 1,5-2 x lipat dari nugget betulan yang terbuat dari olahan daging ayam dan sapi. Gile.

Nah, barangkali itulah yang “terbaca” dan “terlihat” oleh mereka yang tidak vegetarian. Nggak salah koq. Hanya saja mungkin, itu tidak seperti yang terbaca dan terlihat.

Namun urusan mahal ini jadi hal relatif ketika sudut pandangnya berbeda. Bagi saya, itu adalah opsi menu. Sampeyan punya uang banyak, ya bisa beli daging-dagingan. Kalau lagi rada tongpes, sayur opsi menarik.

Menurut pendapat saya, apa pun yang dibeli adalah sama, yakni kebutuhan dan keinginan, setelah menimbang manfaat dan sekian aspek lainnya. Tapi, intinya, sama-sama mengeluarkan uang, bukan? 
Mana yang lebih mahal, antara membeli daging betulan dan daging nabati? Jika itu dilontarkan ke saya, saya akan menjawab lebih murah membeli daging nabati. 

Alasan pertama, lebih enak. Alasan kedua, saya tidak doyan daging dan ikan. Alasan ketiga, daging nabati tidak amis, dan tidak bikin darah tinggi, juga kolesterol.

Yah tentu saja saya juga mengamini jika ada yang tidak setuju itu. Mereka, mungkin menjawab dan menimpali dengan kalimat begini; “Daging-dagingan ada juga pengawetnya, seperti nugget dan frozen food lain, dst..”.

Saya setuju. Namun sudut pandang saya tentu dan sah-sah saja berbeda dengan mereka yang masih karnivora. Bagi saia, daging-dagingan hanya sebatas menu. Karena itu saya juga masih cukup sering membelinya.

Di satu warung vegetarian, saya nggak protes harga bakso seporsi kecil dibanderol Rp 14.000. Kalau mau nambah sebutir bakso yang terbuat dari olahan batang jamur itu, harganya Rp 1.000 sebutir. 

Biasanya nambah lima butir, jadi seporsi bisa hampir Rp 20.000. Makan bersama istri, total jendral Rp 40.000. Ditambah minum, dan kerupuk, maksimal Rp 50.000 harus dipaksa keluar dari dompet.

Tapi saya tidak protes harganya. Kondisi ini, sebenarnya kan sama seperti semua orang juga nggak pernah protes pada mahalnya harga bakso daging yang seporsi Rp 10.000-Rp 20.000. Atau seloyang pizza yang dipatok Rp 70.000 dengan tambahan topping.

Orang-orang juga nggak protes dengan harga seporsi menu kepiting yang dibanderol Rp 150.000-Rp 160.000. Ditambah makannya pun ribet, harus memakai pemotong. Kita juga tidak protes dengan harga secangkir kopi di warung cafĂ© yang minimal Rp 15.000.

Lalu, tentang hal berikutnya, mengapa daging-dagingan dibentuk sama seperti daging betulan. Susah juga menjawab, karena saya juga kadang memandang heran pada udang-udangan dan ikan-ikanan. 
Okelah kalau itu bakso, karena memang mau dibikin gimana lagi kalau nggak bundar. Namun saya pernah terperangah juga melihat ada ikan nabati yang dibentuk seperti ikan utuh. Warnanya pun dibikin mirip.

Namun, karena sudut pandang saya beda, saya melihat itu sebagai kehebatan membuat makanan olahan. Jujur, saya nggak melihat pada bentuk, tapi memang daging-dagingan itu enak dan cihui. 

Tapi itu juga saya lihat sebatas strategi menarik konsumen. Ini kan seperti bagaimana sepotong daging kambing yang amis, akhirnya bisa tersaji indah di piring. Dan semua tahu bahwa keamisan dagingnya tertutup karena proses pengolahan dan pembumbuan.

Sah-sah saja strategi mengolah bahan baku makanan. Tak ada yang harus diributkan. Pada akhirnya, semua berpulang ke perut masing-masing. Jadi karena ini perut saya, terserah mau saya masukkan apa ke dalamnya.
Sesimpel itu saja, kok.






Rabu, 05 Maret 2014

LEBIH BAIK NAIK VESPA

        Motor itu akhirnya sampai, setelah nyaris setahun teraih, namun terhambat sejenak untuk memboyongnya. Akhirnya sukses mengoleksi si semok berpelat AB. Vespa !! Skuter langsung distempel kirim ke Balikpapan, urusan balik nama menyusul belakangan.


       Pagi hari, bergegas saya ke menuju kantor pos. Menjumpai si semok terbalut karung goni yang dijahit di sana-sini, dan tempelan busa di banyak sudut. Si semok terparkir diam di sudut ruangan. Tjakep. Tetapi begitu hendak dituntun, tuas rem-nya ketahuan patah. 
      Tambah berkerut nih kening, ketika melongok ke kolong, melihat bensin bercampur oli pun menetes kencang dari mulut knalpot.
      Ah, proses pengiriman berdampak mengewakan. Sudah diduga, sih, meski ini melebihi perkiraan. Tak mungkin "jemari" Vespa Sprint 77 patah begitu saja, kalau nggak jatuh lumayan keras. Ah, bapak-nya di sana, jelas tak mungkin disalahkan. 
    "Dicari saja ya barang itu, nanti nota bisa diklaimkan," begitu katanya bapak petugas dengan ramah. Hedeh, ya sutra-lah, apa boleh buat. Resiko mengirim benda berbahan besi-baja-kaku-berat macam semok memang kayak gini. Lebih dari 120 kg berat si Semok, rentan cidera di perjalanan.
    Namun masalah tidak selesai di sana. Semok skuter ini nggak mau menyalak galak seperti gonggongan anjing di deket rumah, meski starter sudah dipancal sampai sol sandal menipis dan dengkul menuju pegel. Mesinnya tiarap. Dicekoki seliter bensin plus oli campur, tetap bungkam.
    Terpaksa berkeliaran dulu mencari bengkel, yang akhirnya ketemu setelah sekian jam kemudian. Doi segera masuk "UGD" untuk mencari akar masalahnya di mana. Dua hari menjalani opname bedah tulang dan perut, kuda besi lumayan sehat. Meski tuas rem belum terpasang. 
     Agenda berikut adalah berburu tuas rem itu. Untunglah bisa menemukan. "Asli, yang ini bikinan Danmotor," kata seorang teman yang punya usaha aksesoris Vespa di kawasan Kampung Timur, Balikpapan. 
     Malam itu juga saya sambangin ke rumah si mas itu. Tuas didapat, esoknya langsung mencelat ke bengkel. Satu tuas patah, dan satu tuas sebelahnya disimpan. Tuas baru yang mengkilat karena sapuan krom ini, terpasanglah sudah.
     Vespa sembuh. Setidaknya cukup waras diajak jalan-jalan santai. Namun, karena dilahirkan 37 tahun silam, kondisinya perlu perbaikan di sana-sini. Apalagi dapatnya seken, dari seseorang yang tentu tak diketahui standar perawatannya.
     Perkabelan, yang jelas, perlu dibereskan agar tidak kusut dan semrawut. Jantung karbu pun perlu disetel manis, agar tidak pilek dan bersin. Demikian juga detak pengapian di platina, musti presisi. 
     Seorang kawan merekomendasikan sebuah bengkel. Tidak ada salahnya dicoba. Maka, meluncurlah saya ke bengkel itu, dan meninggalkan si Vespa seharian untuk dibedah. Menjelang senja, saatnya membawa pulang. 
      Namun baru 400 meter melaju, mesinnya mendadak ngadat. Memaksa saya menuntun benda seberat lebih 130 kg ini melewati tanjakan yang menguras stamina dan energi. Jadi cukup paham mengapa Vespa kurang populer di kota ini dan nggak terlalu diminati anak muda.
     "Platinanya beres, juga karbu dan kelistrikannya" ujar salah satu mekanik di bengkel itu, setelah mengutak-atik 30-an menit. "Coba dicopot mblenduknya, mungkin konslet," kata teman si mekanik itu.
     Benar saja, doi nurut dan langsung menyalak riang. Kedua mekanik yang sudah kenyang pengalaman ngubrek Vespa itu pun lalu tertawa. beberapa kabel yang mungkin berpotensi konslet, dibalut plester.  Ah, cuma perlu gituan...
     Si bapak mekanik lalu menepuk-nepuk kepala dan tebeng doi. "Masih kaleng. Tadi sudah ada yang menawar. lho, Mas. Tapi nampaknya nggak bakal dilepas," ujar si bapak tertawa. "Sampeyan tentu menyukai Vespa,". 
    Hm tidak salah si bapak ini. Saya kenal Vespa sejak kecil. Bapak miara endog 61 sejak zama SMA. Lalu si endog inilah yang rutin saya bawa saat kuliah di kampus selatan Selokan Mataram. Saya nggak jago utak-atik mesin sih. Tapi bapak yang cukup mahir berbengkel ria ala rumahan.
     Kembali ke cerita awal. Usai dari bengkel, malam hari itu juga doi kembali berulah. Sempat ngadat di halaman parkir sebuah minimarket. Dikasih bensin, masih ogah menyala. Setelah sekian menit merenung, iseng saya tarik tuas chooke lebih panjang. Dan, mesin pun menyala.    Vespa memang motor yang aneh. Terlebih lagi vespa keluaran jaman 60-80 yang belum ber-CDI maupun belum ber-sein. Kendaraan ini sangat ribet jika diandalkan harian. Mesti inget menuang oli ketika bensin disetor ke tangki, bersihin busi, sampai nyetel kabel kopling. Mesti sedia tali kopling cadangan pula.
     Saat melewati lubang, Vespa pun rentan terguling karena ukuran rodanya kecil. Kalau hujan juga mesti ekstra hati-hati, sebab rem tromol-nya bisa jadi (mendadak) tidak terlalu pakem. Grip gas dan kopling pun bisa ikutan licin.     Belum lagi ditambah ketiadaan lampu sein depan belakang, dan spion yang posisinya kurang ideal-karena menyesuaikan dudukan baut di setang. Mesin di bokong kanan, juga butuh penyeimbang karena pantat mesti rada digeser ke kiri. Itulah mengapa penampakan skuteris dari belakang seperti "berat" ke kiri.
       Seorang teman nyeletuk mengapa benda lawas ini tetap nekat saya beli. Semakin masuk akal juga jika mengingat ongkos kirimnya pun sejuta lebih. Tentang ini, susah menjelaskan. Urusan selera, sering rumit diterangkan, bukan?
      Memelihara benda uzur ini, yah bisa dibilang adalah semata kegemaran, bukan kebutuhan. Untuk pembenaran diri, ehm, barangkali analoginya saya miripkan dengan mereka pengoleksi bokeka figure.
       Atau seperti penggemar tas atau game PS. Vespa ini paling harganya hanya 25-30 kali lipat dari boneka figure termurah yang ukurannya cuma setinggi ponsel candybar. Juga lebih mahal dikit dari game PS.
    Jadi, sah-sah saja kok saya memiliki motor dari negara asal pizaa tersebut. Lagipula, ada unsur memorinya. Banyak, malah. Meski jika dipresisikan, memorinya bersentuhan dengan Vespa lain.
     Oya, si print 77 "berkawan" dengan si endog. Pernah satu garasi. Bedanya, si endog, a.k.a Vespa 61 ini, duluan menghuni rumah sejak tahun 1961. Dulunya, endog dibawa bapak sejak SMA hingga kuliah. Sementara itu, si Sprint ditebus tahun lalu. Bedanya lagi, si endog di Jogja, sedangkan si Sprint mangkal di Balikpapan.
     Teramat banyak memori terkait endog yang satu itu. Saking banyaknya bingung mana yang paling asyik diceritakan. Dulu si endog kawan kuliah, sekarang kawan mengukur jalan jika pas mudik saja. Kang Adi wedhok alias istri selalu ngotot membonceng vespa itu karena sensasinya dapat. Ahai.     Sebenarnya, dulu, tak ada orang yang melirik Vespa 61 ini. Ketika saya menungganginya, perasan sih, tidak ada cewek yang menoleh dan minta diapelin. Jangankan itu, minta diboncengin aja, tidak ada yang mendaftar
    Apalagi kalau penyemplaknya sering jongkok akibat Vespa mogok. Ya saya itu, hehe. Apalagi juga ketika melihat lelaki itu mengunci Vespa tersebut di parkiran kampus, dengan ...kunci mobil yang berbentuk tongkat.
     Istri saya saja masih suka terbengong-bengong kala mendengar cerita itu. "Beneran tuh skuter endog pernah dikunci pakai kunci stang stir mobil?" tanya dia. "Lalu mobilnya mana, kan ada kuncinya?" tanya dia lagi. Emang punya kunci mobil harus punya mobil?
     Ah, dia tidak tahu bagaimana dulu Vespa telah menemani saya. Sama seperti si biru Yamaha 75 mengiringi. Dari mengantar kuliah, praktikum, hangout, sampai membawa mesin ketik. Pernah juga saya bawa untuk apel ke rumah seorang cewek. Macet persis di gang rumahnya.      Vespa adalah tentang kerepotan dan mesin yang suka mogok. Tetapi, anehnya, saya bisa menikmati semua itu. Meskipun, tentu saja harus "iklas" karena sandal semakin tipis dan pergelangan tangan pegal.
     Alasan ini tak mudah dipahami sebagian orang. Kecuali mereka yang pernah dalam hidupnya memelihara benda itu. Dan merasakan unik hentakannya serta tatapan mata pengendara lain. Setidaknya itu "pembenaran" para skuteris. 
     Bagi kami, motor Yamaha memang Semakin Di Depan, Honda Lebih Unggul, Suzuki adalah The Way of Life, sedagkan Kawasaki Let The Good Times Rolls,... tetapi..Lebih Baik Naik Vespa... Dan inilah penampakan vespa masterpiece itu, dan tentu saja bersama penyemplak sejati Vespa, my lovely dad



BACA JUGA :

LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK 
NGGUDEG DULU
7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA     
AKU DI BELAKANGMU, TIGER
LINTAS GENRE, SATU LAGI KUALITAS MUSIK ABBA
THE AQUARIAN ?