Kamis, 31 Oktober 2013

DARI GPS, PETA, SAMPAI "ILMU PURBA"

     Gara-gara ponsel belum bisa--atau tidak bisa--diinstal aplikasi GPS, sambalbawang pernah sebulan penuh mengukur jalanan Jakarta mengandalkan peta manual. Ini peta dalam bentuk lembaran yang ukuran hampir semeter persegi.  Repot dan ribet, tapi lumayan. 
      Sayangnya peta tetap tidak menyeluruh. Gambarnya "dikorting". Ketika sambalbawang bersama seorang teman hendak menuju kawasan Meruya, Jakarta Barat, gambar peta mentok sampai pertigaan jalan. Entah jalan mana. 
      Dengan kata lain, masih jauuuuh dari tujuaan. Peta ini sepertinya hanya menggambarkan sekitar 30 persen wilayah Jakarta Barat. Sampai tujuan, sih, iya. Tapi mesti banyak bertanya dan kesasar-sasar. Untung pakai brompit (motor).
     Hari berikutnya, sambalbawang berencana meluncur ke arah Condet, Jaktim. Sebelumnya  sudah memelajari peta tersebut. Tapi entah mengapa, lokasinya tetap tidak ketemu. Tidak semua area Jakarta Timur nongol di peta. Cuma dapat garis besar menuju kesana. Akhirnya, mengandalkan lagi cara lama: bertanya ke orang-orang. Barulah sampai tujuan. 
      Kembali lagi menerapkan "ilmu purba": tanya-tanya orang. Benar juga peribahasa bilang malu bertanya sesat di jalan. Jadi, secara teknis, bertanya yang paling efektif itu begini: sebelum motor sampai persimpangan jalan, wajib bertanya. Ini Jakarta, bung. Salah belok,a tau telanjur bablas, bisa lama dan jauh putar baliknya.
       Contoh kesasar-sasar lain, tak perlu dituang semua di blog. Kebanyakan, lha wong hampir tiap hari mengalami. Beginilah nasib "orang daerah" di ibu kota, yang tidak punya jalan tol dan jalan yang bertumpuk-tumpuk. 
        Membahas soal alamat yang tidak ketemu kala mengacu peta, sempat sambalbawang curiga lokasi (jalan) itu tersembunyi di kotak "Legenda". Kota ini ada di sisi kanan bawah peta. Lumayan gede, yang menutup mungkin area satu kelurahan.
     Jadi, kesimpulannya, peta itu "curang" terhadap sambalbawang. Judul peta itu, "Jakarta" mestinya diubah menjadi "75-80 Persen Jakarta" biar enggak memberi harapan palsu. Atau saatnya beralih ke GPS? 
      Teman saya nyeletuk, "Mbok ya menginstal GPS, toh, ya. Lumayan bener, dan cukup mudah memelajarinya. Enggak ribet,". Nampaknya harus begitu. Akhirnya terinstallah GPS di ponsel, tepatnya salah satu program (aplikasi) penunjuk rute. 
       Setelah mempelajari semalaman, dan menerapkan esok hari, saya tetap kesasar-sasar. Apa yang salah? Agaknya sambalbawang tidak mahir membaca peta digital.  Jadi, akhirnya, kembali bermotor-ria di Jakarta dengan mengandalkan "ilmu purba". 
       "Bisa juga kan pakai aplikasinya. Enak?" tanya kawan itu begitu sambalbawang balik. "Enggak bisa pakai," jawabku. "Lho kok bisa sampai dan bisa pulang?" tanya dia lagi. "Itulah hebatnya aku," jawab sambalbawang.

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
BASA WALIKAN
BLOGER BALIKPAPAN RAYAKAN HARI BLOGER NASIONAL 2019

Senin, 07 Oktober 2013

JIAN, KAPOKMU, KAPAN ?

     "Jiaan, ... kapokmu kapan,"  begitu celetuk seorang kawan, ketika dia membungkus cindera mata berukuran besar, dengan berbekal beberapa lembar koran dan selotip. Sembari mengucapkan itu, tangannya menepuk bungkusan. Saya yang kebetulan ikut nimbrung mbantuin membungkus, sejenak tercenung...
     Sudah sekian tahun saya tidak mendengar ada (orang  Jawa) yang bilang "kapokmu kapan".. Kangen betul mendengar kata yang nyaris punah itu. Dalam bahasa Jawa, kapokmu kapan itu, dimaksudkan sebagai bentuk celetukan terhadap sesuatu/seseorang yang berulah/ribet, namun akhirnya kena batunya, atau bisa kita taklukkkan.
    Nah, kawan saya, yang adalah kakak kelas yang mendaftar kuliah 10 tahun lebih duluan itu, mengucapkan "kapokmu kapan" setelah dia berhasil membuntel, menyelimuti cinderamatanya dengan koran. 
     Plus, mengakali agar cenderamata lain yang juga berukuran lumayan besar, bisa nempel pula. Cenderamata lain itu sempat terlepas, tapi bisa disematkan lagi. Akhirnya, kemasannya emang secara visual memang acakadut, tapi pokoknya bisa kebungkus.        
    Kapokmu kapan juga bisa dialamatkan pada orang jahil/usil/bandel/nyebai yang akhirnya kena batunya. Misalnya ada anak yang suka ngebut pakai motor, dan akhirnya kecelakaan sehingga opname. Nah si ortu yang merasa nasehatnya dulu enggak pernah didengar, kemudian ngomong ke anaknya itu," kapokmu kapan"
    Saya jadi tiba-tiba ingin mengingat kata-kata (bahasa Jawa) sejenis dari kapokmu kapan itu. Saya menemukan beberapa. Misalnya: edan taun, tobat encit, horohtoyoh, mbligung, sontoloyo, trondolo, kicat-kicat, (yang lain lupa-menyusul deh-janji).
     Itu semua dari bahasa Jawa, dan saya belum merunut itu, apakah berasal dari kawasan Jawa Tengah, Barat atawa Timur. Namun mari coba kita telusur artinyaa, hihi.. (menurut analisis saya, sih).   
       Pertama  edan taun. Ini seperti celetukan "edan" yang berarti gila. Namun "taun" nya berarti banget. Dengan kata lain, edan taun itu artinya edan banget yang benar-benar tak terpikirkan. 
   Lalu tobat encit. Ini berarti ucapan bermakna tobat (kapok) sampai benar-benar tobat tingkat dewa. Tobat yang telah mencapai level sempurna, sehingga pelakunya pun nggak bakalan melakukan kesalahan/hal serupa.
    Ada lagi "Horohtoyoh" . Ini celetukan bagi orang lain (yang kita lihat), sedang kesulitan dan mendadak kena masalah (tambahan). Misalnya saia lihat si Anu lagi mbawa dua karung beras. Saya menawarkan. 
     Percakapannya kira-kiri gini: Need a help, friend? No, thanks, begitu jawab si Anu. Dan tiba-tiba, si Anu kepeleset dan kebetulan saya melihat. Saya pun ikut terkejut. Maka saya nyeletuk horohtoyoh..
   Kemudian, Mbligung, artinya : kondisi tidak pakai pakaian (tapi masih bercelana). Namun tak hanya itu. Orang tersebut biasanya dalam posisi tidur-tiduran nyantai dan badannya agak keringatan. Biasanya lagi, si orang itu lagi ngisis (menikmati angin). Dan kita agak risi memandangnya. Nah, dia itu  kita sebut sedang mbligung.
    Sontoloyo, ini berarti kurang ajar. Dikasih tugas apapun, endak pernah mengerjakan. Disuruh ingat sesuatu, lupa terus. Diajak ngomong, sulit nyambung. Nggak bisa dipercaya dalam hal apa saja. Dia berarti sontoloyo.
   Trondolo, artinya kira-kira adalah orang yang menjengkelkan. Namun levelnya masih bisaaa agak terampuni. Karena bentuk menjengkelkannya itu masih bisa ditoleransi. Misalnya sering lupa. Kadang bikin onar dan bikin orang seisi rumah blingsatan nyari dia. Dia orang yang trondolo.
   Lanjut, adalah Kicat-kicat. Menurut saya, ini level panasnya air yang paling tinggi. Teman saya yang tinggal di Gunung Bakaran, pernah diskusi sama saya soal kicat-kicat. Dan kami sepakat bahwa kicat-kicat ini adalah keadaan air mendidih yang paling puanas.
     Kalau air mendidih 100 derajat celcius, naa kicat-kicat ini pas 100 derajat itu. Kicat-kicat lebih merujuk ke air mendidih sempurna (maksimal) yang untuk dijadikan minuman (misalnya teh). 
     Meski sempat ditiap-tiup, lidah kita segera kerasa kebakaar begitu bibir tersentuh air panas itu. Itulah panas yang kicat-kicat. Naah, level panas di bawah kicat-kicat ini, ada banyak lho.  Misalnya, ada anget, rodok panas, umep, moah-moah. 
      Hm, merenungi itu semua, ternyata bahasa ibu (di semua daerah), benar-benar luar biasa. Permenungan saya berakhir pada pertanyan: apakah generasi penerus, sudah kita bekali dengan kosakata "ajaib-jenaka-wagu" seperti kata-kata tersebut? ...(kepala menunduk)...


BACA JUGA :
CHINMI JAGOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN 
"MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK 
BASA JAWA (3) DARI MECUCU SAMPAI NYANDRA
LEBIH BAIK NAIK VESPA
THE AQUARIAN ? 
PELUKAN (CERPEN)
TENTANG HONDA (2) DARI ASTREA 700 KE ASTREA 800
7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA
AKU DI BELAKANGMU, TIGER WONG
ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA
MAMMA MIA ! HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
HORE IKUT LELANG HAPE JADUL