Motor itu akhirnya sampai, setelah nyaris setahun teraih, namun terhambat sejenak untuk memboyongnya. Akhirnya sukses mengoleksi si semok berpelat AB. Vespa !! Skuter langsung distempel kirim ke Balikpapan, urusan balik nama menyusul belakangan.
Pagi hari, bergegas saya ke menuju kantor pos. Menjumpai si semok terbalut karung goni yang dijahit di sana-sini, dan tempelan busa di banyak sudut. Si semok terparkir diam di sudut ruangan. Tjakep. Tetapi begitu hendak dituntun, tuas rem-nya ketahuan patah.
Tambah berkerut nih kening, ketika melongok ke kolong, melihat bensin bercampur oli pun menetes kencang dari mulut knalpot.
Ah, proses pengiriman berdampak mengewakan. Sudah diduga, sih, meski ini melebihi perkiraan. Tak mungkin "jemari" Vespa Sprint 77 patah begitu saja, kalau nggak jatuh lumayan keras. Ah, bapak-nya di sana, jelas tak mungkin disalahkan.
"Dicari saja ya barang itu, nanti nota bisa diklaimkan," begitu katanya bapak petugas dengan ramah. Hedeh, ya sutra-lah, apa boleh buat. Resiko mengirim benda berbahan besi-baja-kaku-berat macam semok memang kayak gini. Lebih dari 120 kg berat si Semok, rentan cidera di perjalanan.
Namun masalah tidak selesai di sana. Semok skuter ini nggak mau menyalak galak seperti gonggongan anjing di deket rumah, meski starter sudah dipancal sampai sol sandal menipis dan dengkul menuju pegel. Mesinnya tiarap. Dicekoki seliter bensin plus oli campur, tetap bungkam.
Terpaksa berkeliaran dulu mencari bengkel, yang akhirnya ketemu setelah sekian jam kemudian. Doi segera masuk "UGD" untuk mencari akar masalahnya di mana. Dua hari menjalani opname bedah tulang dan perut, kuda besi lumayan sehat. Meski tuas rem belum terpasang.
Agenda berikut adalah berburu tuas rem itu. Untunglah bisa menemukan. "Asli, yang ini bikinan Danmotor," kata seorang teman yang punya usaha aksesoris Vespa di kawasan Kampung Timur, Balikpapan.
Malam itu juga saya sambangin ke rumah si mas itu. Tuas didapat, esoknya langsung mencelat ke bengkel. Satu tuas patah, dan satu tuas sebelahnya disimpan. Tuas baru yang mengkilat karena sapuan krom ini, terpasanglah sudah.
Vespa sembuh. Setidaknya cukup waras diajak jalan-jalan santai. Namun, karena dilahirkan 37 tahun silam, kondisinya perlu perbaikan di sana-sini. Apalagi dapatnya seken, dari seseorang yang tentu tak diketahui standar perawatannya.
Perkabelan, yang jelas, perlu dibereskan agar tidak kusut dan semrawut. Jantung karbu pun perlu disetel manis, agar tidak pilek dan bersin. Demikian juga detak pengapian di platina, musti presisi.
Seorang kawan merekomendasikan sebuah bengkel. Tidak ada salahnya dicoba. Maka, meluncurlah saya ke bengkel itu, dan meninggalkan si Vespa seharian untuk dibedah. Menjelang senja, saatnya membawa pulang.
Namun baru 400 meter melaju, mesinnya mendadak ngadat. Memaksa saya menuntun benda seberat lebih 130 kg ini melewati tanjakan yang menguras stamina dan energi. Jadi cukup paham mengapa Vespa kurang populer di kota ini dan nggak terlalu diminati anak muda.
"Platinanya beres, juga karbu dan kelistrikannya" ujar salah satu mekanik di bengkel itu, setelah mengutak-atik 30-an menit. "Coba dicopot mblenduknya, mungkin konslet," kata teman si mekanik itu.
Benar saja, doi nurut dan langsung menyalak riang. Kedua mekanik yang sudah kenyang pengalaman ngubrek Vespa itu pun lalu tertawa. beberapa kabel yang mungkin berpotensi konslet, dibalut plester. Ah, cuma perlu gituan...
Si bapak mekanik lalu menepuk-nepuk kepala dan tebeng doi. "Masih kaleng. Tadi sudah ada yang menawar. lho, Mas. Tapi nampaknya nggak bakal dilepas," ujar si bapak tertawa. "Sampeyan tentu menyukai Vespa,".
Hm tidak salah si bapak ini. Saya kenal Vespa sejak kecil. Bapak miara endog 61 sejak zama SMA. Lalu si endog inilah yang rutin saya bawa saat kuliah di kampus selatan Selokan Mataram. Saya nggak jago utak-atik mesin sih. Tapi bapak yang cukup mahir berbengkel ria ala rumahan.
Kembali ke cerita awal. Usai dari bengkel, malam hari itu juga doi kembali berulah. Sempat ngadat di halaman parkir sebuah minimarket. Dikasih bensin, masih ogah menyala. Setelah sekian menit merenung, iseng saya tarik tuas chooke lebih panjang. Dan, mesin pun menyala. Vespa memang motor yang aneh. Terlebih lagi vespa keluaran jaman 60-80 yang belum ber-CDI maupun belum ber-sein. Kendaraan ini sangat ribet jika diandalkan harian. Mesti inget menuang oli ketika bensin disetor ke tangki, bersihin busi, sampai nyetel kabel kopling. Mesti sedia tali kopling cadangan pula.
Saat melewati lubang, Vespa pun rentan terguling karena ukuran rodanya kecil. Kalau hujan juga mesti ekstra hati-hati, sebab rem tromol-nya bisa jadi (mendadak) tidak terlalu pakem. Grip gas dan kopling pun bisa ikutan licin. Belum lagi ditambah ketiadaan lampu sein depan belakang, dan spion yang posisinya kurang ideal-karena menyesuaikan dudukan baut di setang. Mesin di bokong kanan, juga butuh penyeimbang karena pantat mesti rada digeser ke kiri. Itulah mengapa penampakan skuteris dari belakang seperti "berat" ke kiri.
Seorang teman nyeletuk mengapa benda lawas ini tetap nekat saya beli. Semakin masuk akal juga jika mengingat ongkos kirimnya pun sejuta lebih. Tentang ini, susah menjelaskan. Urusan selera, sering rumit diterangkan, bukan?
Memelihara benda uzur ini, yah bisa dibilang adalah semata kegemaran, bukan kebutuhan. Untuk pembenaran diri, ehm, barangkali analoginya saya miripkan dengan mereka pengoleksi bokeka figure.
Atau seperti penggemar tas atau game PS. Vespa ini paling harganya hanya 25-30 kali lipat dari boneka figure termurah yang ukurannya cuma setinggi ponsel candybar. Juga lebih mahal dikit dari game PS.
Jadi, sah-sah saja kok saya memiliki motor dari negara asal pizaa tersebut. Lagipula, ada unsur memorinya. Banyak, malah. Meski jika dipresisikan, memorinya bersentuhan dengan Vespa lain.
Oya, si print 77 "berkawan" dengan si endog. Pernah satu garasi. Bedanya, si endog, a.k.a Vespa 61 ini, duluan menghuni rumah sejak tahun 1961. Dulunya, endog dibawa bapak sejak SMA hingga kuliah. Sementara itu, si Sprint ditebus tahun lalu. Bedanya lagi, si endog di Jogja, sedangkan si Sprint mangkal di Balikpapan.
Teramat banyak memori terkait endog yang satu itu. Saking banyaknya bingung mana yang paling asyik diceritakan. Dulu si endog kawan kuliah, sekarang kawan mengukur jalan jika pas mudik saja. Kang Adi wedhok alias istri selalu ngotot membonceng vespa itu karena sensasinya dapat. Ahai. Sebenarnya, dulu, tak ada orang yang melirik Vespa 61 ini. Ketika saya menungganginya, perasan sih, tidak ada cewek yang menoleh dan minta diapelin. Jangankan itu, minta diboncengin aja, tidak ada yang mendaftar.
Apalagi kalau penyemplaknya sering jongkok akibat Vespa mogok. Ya saya itu, hehe. Apalagi juga ketika melihat lelaki itu mengunci Vespa tersebut di parkiran kampus, dengan ...kunci mobil yang berbentuk tongkat.
Istri saya saja masih suka terbengong-bengong kala mendengar cerita itu. "Beneran tuh skuter endog pernah dikunci pakai kunci stang stir mobil?" tanya dia. "Lalu mobilnya mana, kan ada kuncinya?" tanya dia lagi. Emang punya kunci mobil harus punya mobil?
Ah, dia tidak tahu bagaimana dulu Vespa telah menemani saya. Sama seperti si biru Yamaha 75 mengiringi. Dari mengantar kuliah, praktikum, hangout, sampai membawa mesin ketik. Pernah juga saya bawa untuk apel ke rumah seorang cewek. Macet persis di gang rumahnya. Vespa adalah tentang kerepotan dan mesin yang suka mogok. Tetapi, anehnya, saya bisa menikmati semua itu. Meskipun, tentu saja harus "iklas" karena sandal semakin tipis dan pergelangan tangan pegal.
Alasan ini tak mudah dipahami sebagian orang. Kecuali mereka yang pernah dalam hidupnya memelihara benda itu. Dan merasakan unik hentakannya serta tatapan mata pengendara lain. Setidaknya itu "pembenaran" para skuteris.
Bagi kami, motor Yamaha memang Semakin Di Depan, Honda Lebih Unggul, Suzuki adalah The Way of Life, sedagkan Kawasaki Let The Good Times Rolls,... tetapi..Lebih Baik Naik Vespa... Dan inilah penampakan vespa masterpiece itu, dan tentu saja bersama penyemplak sejati Vespa, my lovely dad
BACA JUGA :
LILAC, SEPENGGAL CERITA TENTANG PASSION BERMUSIK
NGGUDEG DULU
7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA
AKU DI BELAKANGMU, TIGER
LINTAS GENRE, SATU LAGI KUALITAS MUSIK ABBA
THE AQUARIAN ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar