Minggu, 20 September 2015

SURAT ( cerpen - 3 )

Tujuh tahun aku tidak membuka amplop yang berwarna putih ini. Isinya adalah sepucuk surat. Ya, itu surat yang kutulis tujuh tahun lalu untuk seorang teman. Ah, ya, tentu saja, dia adalah perempuan. Teman perempuan. Berkulit gelap, rambut sebahu-berponi, mata sedikit sipit, wajah tirus, dan badan yang kurus menuju ceking.

Dia tidak termasuk dalam daftar gadis-gadis modern di kampus yang berpakaian modis. Ataupun gadis idola kampus. Malah, mungkin rada jauh dari itu. Dia adalah gadis yang tampil biasa, kalem, dan seadanya. Sapuan bedak di wajahnya pun, kadang terlihat tidak rata. Dia tak terlalu suka berdandan. Namun dia menawan bagiku, setidaknya saat itu, ketika gairah muda menggelora.

Awal mengenal, kami sempat sering bertukar sapa dan canda. Namun segala sesuatu menjadi kaku setelah tiga tahun aku mengenalnya. Tepatnya, sejak aku memberanikan diri mengantarkannya pulang. Sejak itu, tawanya seakan bukan lagi untukku, meski masih ditebar seantero kampus. Senyumnya pun demikian, tidak menuju ke arahku. Cerianya pun seakan dialamatkan pada yang lain.

Tentu saja, semua pasti ada alasan dan penjelasannya. Beberapa petunjuk mulai terlacak olehku. Seseorang, lelaki berperawakan tinggi yang jika ke kampus menyemplak motor keluaran terbaru, terpantau sebagai pihak yang paling sering mendapat perhatiannya. Aku tidak terlalu kenal dengan lelaki itu, meski kampus kami hanya saling berseberangan. Saya hanya tahu namanya. Namun kami pernah bertemu di lorong kampus dan hanya bertegur sapa. "Hei.,,".

Itu saja. Garing, memang. Namun formula garing itulah yang paling tepat kuracik untuk memberi bumbu bagaimana kisah segitiga ini terjalin. Ups, maaf,  bukan kisah segitiga sih, sebenarnya, karena lebih tepatnya kisah cinta searah seperti jalan tol yang tidak ada putar baliknya. Namun istilah "garing" inilah yang kurasa tepat untuk membingkai sekian peristiwa selama aku mengenal mereka.
 
Satu hal yang kuhindari adalah melihat dia bersama dengan temen perempuan pujaan hatiku ini. Namun tampaknya harapan tak sesuai realitas. Aku malah sering menjumpai mereka, sedang berdua. Apakah sulit melihatnya? Tidak juga sih. Hanya saja, yang tersulit itu membalas lambaian tangan mereka. Dan kalau sudah begitu, aku hanya bisa menggerutu. "Ngapain pula aku lewat jalan ini?"

Namun dari semua peristiwa, tidak semuanya garing, kok. Ada juga kisah yang bisa membuatku tersenyum meski bukan senyum ikhlas. Aku pernah dikirimi kartu ucapan selamat tahun baru, meski itu karena mungkin aku mengirimnya duluan. Aku pernah duduk berdua di ruang tamu rumahnya, walau itu lebih sebatas aku mengembalikan buku catatannya.

Tapi agaknya aku paling ingat saat-saat dia membiarkanku membelai rambutnya. Tubuhku basah kuyup waktu itu, karena nekat menerobos hujan datang ke rumahnya. Mantel yang sudah bertahun-tahun kupakai, mulai sobek di sana-sini, sehingga tak kuasa lagi menahan terjangan air.

Aku membelai rambutnya, dengan jari-jemari tangan yang mengkerut dan gigi yang menggeletuk, saking dinginnya malam itu dan derasnya hujan. Dia membiarkanku melakukan itu, namun tak lebih semenit. Sebelum tangannya memegang tanganku dan menurunkannya. "Kau tahu, aku tidak bisa...." ucapmu. Aku mencoba membelai keningmu, tapi kamu sudah menarik tubuh ke belakang.

Suara kakakmu dari dalam rumah mengerem langkahku. Aku kecewa. Aku pun tak ingat lagi apa perkataanmu setelah kalimat itu. Aku terlalu kedinginan karena menerabas hujan deras sejauh 15 km dengan motor bututku. Aku memilih pulang, dan tak mau melihat lagi tatapanmu. Kurasa engkau juga tidak tahu kalau aku meraung menangis di sepanjang perjalanan pulang.

Malam itu pula, aku memutuskan mengurungkan menyerahkan amplop ini kepadamu. Tak perlu kukatakan apa isi amplop itu, meski kamu pun mungkin juga tak bisa 100 persen menebak apa yang kutulis. Tapi baiklah jika pada suatu saat nanti kamu memaksaku untuk mengatakannya.

Meski begitu,aku tidak yakin kamu akan memintaku untuk mengatakannya. Karena toh kamu juga tidak tahu bahwa aku menulis surat ini untukmu, bukan? Cukuplah beberapa suratku yang kulayangkan untukmu. Tak perlu ditambahi lagi oleh satu surat ini.

Hm, baiklah, sekarang, tujuh tahun sejak aku memasukkan surat ke dalam amplop ini, aku akan membacakannya untukmu. Semoga, yah, semoga saja, angin malam yang dingin, dan hujan rintik di luar sana, bisa membawa gema suaraku ke telingamu.

Perlahan, aku merobek sisi samping amplop ini dan mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya. Sudah agak lusuh, tapi lipatannya masih cukup rapi. Perlahan aku membaca surat itu, sembari menyeruput teh tubruk, dan duduk di teras rumah. Tak ada yang terucap. Surat ini tak mencantumkan barang satu huruf pun maupun goresan tinta.

Butuh lima menit aku "membaca" surat yang tak ada isinya itu. Sekian helaan nafas disertai tegukan teh hangat yang melapangkan tenggorokan. Memang tiada pesan yang ingin aku sampaikan kepadamu melalui surat itu, beberapa tahun lalu. Sekian surat yang kusampaikan padamu, sudah cukup bercerita, bukan?

1 komentar: