Senin, 04 Januari 2016

BASA JAWA (2) BEDA KONDISI, BEDA KUANTITAS, BEDA TEMPERATUR, BEDA BAHASA

Bahasa Jawa dialek Yogyakarta punya segudang kisah nan lucu, unik, menarik, sekaligus ribet. Namun saya lebih suka membingkainya dengan satu kata: kaya. Apa saja itu, wah sampai saya jenggoten pun tak bakal habis dibahas.

Maka dari itu, coba saya urai satu demi satu “kekayaan” itu. Yang pertama adalah tentang sesuatu kejadian atau hal yang sama, namun bisa berbeda bahasanya, karena kuantitas dan kondisinya. Apa contohnya?

Kondisi suhu sebuah minuman misalnya. Sering kita dengar orang menyebut “wedangan” yang berarti aktivitas minum. Namun bukan sembarang apa yang diminum karena itu berkonotasi dengan minuman yang hangat dan minuman panas.

Ngobrolin tentang kondisi panas sebuah minuman, Bahasa Jawa pun mengenal beberapa tingkatan sesuai suhu (temperatur) maupun kuantitasnya. Kondisi minuman yang panas biasa dan bisa langsung diseruput tanpa sensasi lidah terbakar, itu, bisa diistilahkan sebagai “kemepyar”.

Kondisi kemepyar ini setidaknya tergambar pada minuman teh yang disajikan oleh warung angkringan atau warung teh yang “serius”. Efek kemepyar itu adalah kepala terasa enteng, pandangan mata menjadi terang, dan sedikit keringat mengalir dari dahi serta kulit kepala.

Kalau lebih panas lagi, panas yang “mongah-mongah”. Entah suhunya berapa namun saya cukup yakin itu hampir 100 derajat Celcius. Air mesti diciduk memakai sendok dulu, lalu ditiup sampai kondisi “kemepyar” tadi. Namun seingat saja, kondisi mongah-mongah ini bisa berlaku pula pada kuah, seperti kuah bakso yang baru dituang penjualnya ke mangkok.

Nah, di atas level mongah-mongah tadi, ada “kicat-kicat”. Yang ini kondisi air atau minuman yang panasnya maksimal. Misalnya si penjual merebus air sampai mendidih maksimal, lalu airnya kita ambil pakai sendok dan kita cicipin. Lidah langsung seperti kebas dan terbakar. 
Itulah kondisi minuman pada level kicat-kicat.

Kondisi panas pun bisa berbeda bahasa Jawa-nya, jika itu untuk sesuatu yang bukan minuman. Misalnya panas sinar matahari. Jika panasnya lumayan terik, dan mulai bikin haus, kondisi itu sering diistilahkan "panas ndrandang". Ketika sengatan sinar mentari menjadi sangat terik, berimbas sampai ke ubun-ubun, hingga bikin kepala pusing menjadi seketika, maka, diistilahkan dengan “ngenthang-enthang”. 

Selain tentang minuman itu, hujan (udan dalam Bahasa Jawa) juga punya klasifikasi sesuai kuantitas. Jika rintik-rintik tahap pertama hujan mulai turun-yang biasanya butiran air hujannya masih besar, dan masih bisa dihitung suaranya saat menyentuh genteng, hujan yang demikian dinamakan “tlethik”.

Nah, kalau hujan sudah turun menuju deras, dan butiran hujannya mulai kecil-kecil (lembut menerpa wajah), itu dinamakan “gerimis”. Lalu jika sudah deras dan semakin deras, disebut “udan deres”. Tetapi ketika hujannya mulai mereda, tinggal gerimis skala kecil, kondisi itu dinamakan “trenceng”.

Menangis (bahasa Jawa ngoko: nangis), juga ada tingkatannya, lho, sesuai kuantitas dan kencangnya suara yang ditimbulkan. Saya hanya tahu tingkatannya antara lain “mbrambangi”, “mbrebes mili”, “mewek”, “ngguguk”, “mbeker-mbeker” dan “gero-gero”. 

Untuk "mbrambangi",ini adalah kondisi menangis yang masih dalam tahap berkaca-kaca, persis seperti efek mengiris bawang merah (brambang, dalam bahasa Jawa). Berikutnya, "mbrebes mili", sejauh yang saya tahu, adalah kondisi menangis yang baru mengalir air mata turun ke pipi, namun mulut belum bersuara. 

Level selanjutnya adalah "mewek". Ini kondisi menangis di mana mulut belum bersuara, namun mulut sudah posisi terbuka-mengkerut ke bagian bawah-untuk mengirim pesan siap menangis bersuara. Di atas mewek itu, ada nangis “ngguguk”, yakni kondisi menangis tersedu-sedu. 

Jika sudah melewati tahap ngguguk dan tangisan menjadi lebih keras dan mulai menarik perhatian, kondisinya diistilahkan “mbeker-mbeker”. Sekadar catatan, bayi dan anak kecil biasanya si “pemilik” tangisan yang mbeker-mbeker ini. Hihihi. Semoga saya benar.

Kemudian, jika tangisan mulai lebih keras terdengar, dan terkadang seperti lenguhan keras, itulah nangis “gero-gero”. Durasi gero-gero ini bisa lama bisa sebentar, tergantung stamina. Sebab, level tangisan yang satu ini bisa bikin nafas pendek dan tersengal-sengal. Bahkan bisa berujung sampai pingsan.

Selain sekian level nangis itu, saya masih menemukan satu lagi yakni nangis “keloro-loro”. Ini kondisi menangis yang cukup kencang, berirama mendayu-dayu sedih, dan menyayat hati. Jenis nangis keloro-loro ini, biasanya bernuansa sakit hati akibat perlakuan tidak adil atau tidak menyenangkan.

Rumit, kan, Bahasa Jawa. Hahaha....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar