Bahasa Jawa dialek Yogyakarta punya segudang kisah nan lucu,
unik, menarik, sekaligus ribet. Namun saya lebih suka membingkainya dengan satu
kata: kaya. Apa saja itu, wah sampai saya jenggoten pun tak bakal habis
dibahas.
Maka dari itu, coba saya urai satu demi satu “kekayaan” itu. Yang
pertama adalah tentang sesuatu kejadian atau hal yang sama, namun bisa berbeda
bahasanya, karena kuantitas dan kondisinya. Apa contohnya?
Kondisi suhu sebuah minuman misalnya. Sering kita dengar orang
menyebut “wedangan” yang berarti aktivitas minum. Namun bukan sembarang apa
yang diminum karena itu berkonotasi dengan minuman yang hangat dan minuman
panas.
Ngobrolin tentang kondisi panas sebuah minuman, Bahasa Jawa pun
mengenal beberapa tingkatan sesuai suhu (temperatur) maupun kuantitasnya. Kondisi
minuman yang panas biasa dan bisa langsung diseruput tanpa sensasi lidah
terbakar, itu, bisa diistilahkan sebagai “kemepyar”.
Kondisi kemepyar ini setidaknya tergambar pada minuman teh yang
disajikan oleh warung angkringan atau warung teh yang “serius”. Efek kemepyar
itu adalah kepala terasa enteng, pandangan mata menjadi terang, dan sedikit
keringat mengalir dari dahi serta kulit kepala.
Kalau lebih panas lagi, panas yang “mongah-mongah”. Entah
suhunya berapa namun saya cukup yakin itu hampir 100 derajat Celcius. Air mesti
diciduk memakai sendok dulu, lalu ditiup sampai kondisi “kemepyar” tadi. Namun
seingat saja, kondisi mongah-mongah ini bisa berlaku pula pada kuah, seperti kuah
bakso yang baru dituang penjualnya ke mangkok.
Nah, di atas level mongah-mongah tadi, ada “kicat-kicat”. Yang
ini kondisi air atau minuman yang panasnya maksimal. Misalnya si penjual
merebus air sampai mendidih maksimal, lalu airnya kita ambil pakai sendok dan
kita cicipin. Lidah langsung seperti kebas dan terbakar.
Itulah kondisi
minuman pada level kicat-kicat.
Kondisi panas pun bisa berbeda bahasa Jawa-nya, jika itu untuk sesuatu
yang bukan minuman. Misalnya panas sinar matahari. Jika panasnya lumayan terik, dan mulai bikin haus, kondisi itu sering diistilahkan "panas ndrandang". Ketika sengatan sinar mentari menjadi sangat terik, berimbas sampai ke ubun-ubun, hingga
bikin kepala pusing menjadi seketika, maka, diistilahkan dengan “ngenthang-enthang”.
Selain tentang minuman itu, hujan (udan dalam Bahasa Jawa) juga
punya klasifikasi sesuai kuantitas. Jika rintik-rintik tahap pertama hujan mulai
turun-yang biasanya butiran air hujannya masih besar, dan masih bisa dihitung
suaranya saat menyentuh genteng, hujan yang demikian dinamakan “tlethik”.
Nah, kalau hujan sudah turun menuju deras, dan butiran hujannya
mulai kecil-kecil (lembut menerpa wajah), itu dinamakan “gerimis”. Lalu jika
sudah deras dan semakin deras, disebut “udan deres”. Tetapi ketika hujannya
mulai mereda, tinggal gerimis skala kecil, kondisi itu dinamakan “trenceng”.
Menangis (bahasa Jawa ngoko: nangis), juga ada tingkatannya,
lho, sesuai kuantitas dan kencangnya suara yang ditimbulkan. Saya hanya tahu tingkatannya antara lain “mbrambangi”, “mbrebes mili”, “mewek”,
“ngguguk”, “mbeker-mbeker” dan “gero-gero”.
Untuk "mbrambangi",ini adalah kondisi
menangis yang masih dalam tahap berkaca-kaca, persis seperti efek mengiris
bawang merah (brambang, dalam bahasa Jawa). Berikutnya, "mbrebes mili", sejauh yang saya tahu, adalah kondisi
menangis yang baru mengalir air mata turun ke pipi, namun mulut belum bersuara.
Level selanjutnya adalah "mewek". Ini kondisi menangis di mana mulut belum
bersuara, namun mulut sudah posisi terbuka-mengkerut ke bagian bawah-untuk
mengirim pesan siap menangis bersuara. Di atas mewek itu, ada nangis “ngguguk”, yakni kondisi
menangis tersedu-sedu.
Jika sudah melewati tahap ngguguk dan tangisan menjadi
lebih keras dan mulai menarik perhatian, kondisinya diistilahkan “mbeker-mbeker”.
Sekadar catatan, bayi dan anak kecil biasanya si “pemilik” tangisan yang mbeker-mbeker
ini. Hihihi. Semoga saya benar.
Kemudian, jika tangisan mulai lebih keras terdengar, dan terkadang seperti lenguhan
keras, itulah nangis “gero-gero”. Durasi gero-gero ini bisa lama bisa sebentar,
tergantung stamina. Sebab, level tangisan yang satu ini bisa bikin nafas pendek
dan tersengal-sengal. Bahkan bisa berujung sampai pingsan.
Selain sekian level nangis itu, saya masih menemukan satu lagi
yakni nangis “keloro-loro”. Ini kondisi menangis yang cukup kencang, berirama mendayu-dayu
sedih, dan menyayat hati. Jenis nangis keloro-loro ini, biasanya bernuansa
sakit hati akibat perlakuan tidak adil atau tidak menyenangkan.
Rumit, kan, Bahasa Jawa. Hahaha....
BACA JUGA
BASA JAWA (3) DARI MECUCU SAMPAI NYANDRA
"MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
TEH VS KOPI
BASA JAWA (3) DARI MECUCU SAMPAI NYANDRA
"MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
TEH VS KOPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar