Pengalaman dua bulan menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Gunung Buthak, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, mengajarkan saya banyak hal. Salah satunya untuk menghargai air. Warga sana tidak ada yang keberatan hujan turun deras sewaktu-waktu. Hujan, adalah air.
Sekarang, 15 tahun berselang, saya kembali mendapat pengalaman, soal susahnya air. Ceritanya gini, Balikpapan diterpa krisis air dalam tiga bulan terahir. Menurut kawan saya, pemerhati lingkugan, juga warga Balikpapan, ini krisis air terparah yang dialami Balikpapan. Waduh.
Berawal dari kerusakan pada waduk Manggar, disusul hujan yang ogah
turun, diperparah kebakaran lahan di provinsi sebelah, berimbas pada tidak adanya air hujan yang turun mengisi Waduk Manggar. Padahal ini waduk sumber utama air baku PDAM.
Air waduk pun menyusut drastis. Sampai pada akhirnya 13 Oktober,
PDAM terpaksa menerapkan penggiliran jadwal distribusi. Sebab waduk
tinggal terisi seperempat. Debit juga musti dipangkas separuh. Itu semua agar air "aman" hingga Desember.
Dengan penggiliran itu, menurut kalkulasi PDAM, air di kawasan rumah saya akan mengalir pada Kamis-Minggu. Namun faktanya, air mengalir seminggu sekali,
tepatnya sehari. Diruncingkan lagi, tidak sampai 24 jam. Itu pun mengucur pelan, seiprit demi seiprit.
Masalah pun dimulai, dan segera bertubi-tubi. Semua aktivitas yang berhubungan dengan
air, langsung terbengkalai. Yang mesti dibasuh air, terpaksa hanya ditumpuk, dan diselesaikan dalam satu "kedipan mata" ketika air mengalir. Biasanya malam hari. Acara memasak juga berantakan level atas.
Mencuci pakaian, mengepel lantai, membersihkan kamar mandi, hingga menyentor garasi, tidak lagi menjadi agenda wajib yang jamnya baku. Semua aktivitas tadi, akhirnya harus dirampungkan dari malam sampai menjelang subuh, berkejaran dengan waktu karena esok pagi air kembali berhenti.
Mencuci pakaian, mengepel lantai, membersihkan kamar mandi, hingga menyentor garasi, tidak lagi menjadi agenda wajib yang jamnya baku. Semua aktivitas tadi, akhirnya harus dirampungkan dari malam sampai menjelang subuh, berkejaran dengan waktu karena esok pagi air kembali berhenti.
Saking paranoid-nya saya, semua yang bisa untuk menampung air, bergegas dikerahkan. Dari jeriken besar-kecil, ember, panci, toples, sampai botol air kemasan
plastik. Mungkin, hanya tinggal sendok dan gelas saja yang tidak dipakai.
Saat masa terparah krisis air, untunglah, saya mendapat tugas kerja
ke luar kota. Lumayan bisa cebar-cebur sepuasnya meski hanya empat hari.
Merasakan nikmatnya dinginnya air yang menerpa badan, seakan satu hal fantastis.
Kembali ke kota, yang masih dilanda krisis air bersih, ini menjadi fenomena yang menunjukkan Balikpapan masih gelagapan ketika terjadi masalah air. Waduk cuma sebiji, jika tak terisi, mau apa coba? Hujan tak bisa dibeli, jeh.
Mau nyiduk sumber air ke mana, coba? Waduk Teritip, yang diproyeksikan untuk menemani tugas Waduk Manggar, baru selesai dibangun tahun 2017. Sumur-sumur dalam PDAM hanya bisa memasok maksimal seperempat pelanggan.
Tetangga kanan kiri sudah pada kulakan air, tetapi saya tetap bertahan. Bertekad tidak bakalan menebus air yang setandon 1.000 liter dibanderol Rp 150.000. Untunglah, ada tandon di rumah walaupun hanya khusus untuk air cuci-cuci. Bukan air untuk memasak.
Karena itu, sebagai konsekuensinya, frekuensi mandi mau tka mau dipangkas. Dua hari sekali, kini cukup. Cadangan air disiapkan seperti tentara bersiaga mempertahankan benteng. Galon air mineral diisi penuh, siap dituang.
Kondisinya begitu sampai sekarang. Memang setidaknya dua pekan terakhir, air sudah mengalir mulai Jumat malam. Meski diselingi Sabtu kembali mati selama sekian jam. Mati air, masih ditambahi bonus sesekali mati listrik. Ah.
Kembali ke kota, yang masih dilanda krisis air bersih, ini menjadi fenomena yang menunjukkan Balikpapan masih gelagapan ketika terjadi masalah air. Waduk cuma sebiji, jika tak terisi, mau apa coba? Hujan tak bisa dibeli, jeh.
Mau nyiduk sumber air ke mana, coba? Waduk Teritip, yang diproyeksikan untuk menemani tugas Waduk Manggar, baru selesai dibangun tahun 2017. Sumur-sumur dalam PDAM hanya bisa memasok maksimal seperempat pelanggan.
Tetangga kanan kiri sudah pada kulakan air, tetapi saya tetap bertahan. Bertekad tidak bakalan menebus air yang setandon 1.000 liter dibanderol Rp 150.000. Untunglah, ada tandon di rumah walaupun hanya khusus untuk air cuci-cuci. Bukan air untuk memasak.
Karena itu, sebagai konsekuensinya, frekuensi mandi mau tka mau dipangkas. Dua hari sekali, kini cukup. Cadangan air disiapkan seperti tentara bersiaga mempertahankan benteng. Galon air mineral diisi penuh, siap dituang.
Kondisinya begitu sampai sekarang. Memang setidaknya dua pekan terakhir, air sudah mengalir mulai Jumat malam. Meski diselingi Sabtu kembali mati selama sekian jam. Mati air, masih ditambahi bonus sesekali mati listrik. Ah.
Kembali ke air, pada Hari Minggu, matinya juga sekian jam. Mengucurnya juga “nyantai”. Padahal, hari Minggu adalah hari kerja bakti massal, bukan? Tetapi, yah, dalam kondisi ini, setidaknya, krisis airnya tak sengeri bulan lalu.
Semoga segera hujan, ya, Tuhan Yesus..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar