Sepak bola
Italia seakan kiamat tahun 1990 lalu, tatkala pesta akbar empat tahunan Piala
Dunia dihelat di negeri pizza itu mencapai babak semifinal. Italia harus takluk atas
Argentina lewat adu penalti. Padahal saat itu Italia tim bertabur bintang. Benar, ada Maradona di Argentina. Tapi ada Baresi,
Roberto Baggio, Carlo Ancelotti, sampai Walter Zenga, di Italia.
Namun
ternyata Italia lebih “kiamat” lagi nasibnya di Piala Dunia 1994 Amerika Serikat.
Kembali “hantu” adu penalti memupus mimpi Italia di babak final. Sang bintang, Roberto
Baggio, seakan menjadi tertuduh tunggal, lantaran sepakannya jauh terbang tinggi
di atas mistar gawang tim Brasil yang dijaga Taffarel.
Di kedua
piala dunia itu, tim Italia dan juga sepak bola Italia lagi bagus-bagusnya. Setidaknya
siaran langsung liga-nya yang menyita perhatian dunia, jadi parameter termudah
bagi penggila bola yang haus akan tontontan. Tetapi, Italia memang belum
beruntung.
Kiamat
sepertinya sudah menyingkir dari “Gli Azzuri” ketika trophy Piala Dunia 2006
digenggam, usai membekap Perancis. Hebatnya, Italia menang di babak tos-tosan dengan
skor 5-3. David Trezeguet, eksekutor keempat Perancis, gagal. Sedangkan lima
algojo Italia, sukses, yakni Pirlo, Materazzi, De Rossi, Del Piero, dan Grosso.
Dua Piala
Dunia selanjutnya, 2010 dan 2014, Italia tidak banyak berbicara. Sampai tibalah
pada babak playoff Piala Dunia 2018. Dan di sinilah kiamat Italia yang
(mungkin) sebenarnya. Tepatnya, sepak bola Italia kiamat lagi setelah 50 tahun
lalu juga kiamat. Italia, pada Piala Dunia 1958 di Swedia, juga absen.
Hanya saja,
cerita kiamatnya Gli Azzuri kali ini lebih tragis rasanya. Kalah oleh Swedia
yang bahkan sudah ditinggalkan sang bintang Ibrahimovic lantaran pensiun. Leg
pertama Italia takluk 0-1 di Swedia. Leg kedua, skor kaca mata 0-0 di Italia.
Benar Swedia kalah kelas, tapi menang permainan.
Menonton
laga Swedia versus Italia seperti makan kacang garing yang tidak asin rasanya.
Tidak menggigit serangan italia. Swedia yang bahkan beberapa kali membuat degup
jantung fans Italia tak karuan. Mungkin Pirlo yang nonton laga itu, akan membanting
gelas. Mungkin Pirlo agak menyesal karena barusan memilih pensiun.
Tak ada
jendral di lapangan tengah yang mengoordinir permainan timnas negara asal Vespa
dan Fiat ini. Italia era 90-an punya Baggio. Sesudah itu ada Pirlo. Sesudah
Pirlo, yang membawa Italia merengkuh jawara
dunia 2006 serta finalis Piala Eropa 2012, tak ada yang menggantikan.
Hanya
tersisa satu pemain berkharisma di skuat Italia. Dia adalah Gianluigi Buffon,
yang jadi opsi utama di bawah mistar gawang Italia sejak tahun 1999. Gigi—panggilannya---kini
berusia 39 tahun. Piala Dunia 2018 mestinya menjadi Piala Dunia keenamnya dan akhir kariernya tapi
sayang rekor itu tak jadi terpatri.
Siapapun
yang menyaksikan laga, pasti sepakat, kegagalan Italia bukan salah Buffon sang kapten tim. Bahkan, mungkin hanya dia saja pemain Italia di atas lapangan Stadion San Siro yang
tampil bagus. Tak ada yang menyalahkan Buffon atas penampilan monoton nan
menjemukan yang disajikan para pemain Italia.
Wajar ketika
Buffon menangis di akhir laga. Kiper Juventus ini tentu tidak menangisi pensiunnya tapi absennya Italia di Rusia tahun depan. Seiring tangisan Buffon, penggila bola pun melongo, seakan
tak percaya Italia absen tahun depan di Rusia.
"Lalu siapa yang akan
mengalahkan Jerman,” kata seorang kawan yang yakin banget hanya Italia yang
sanggup mengimbangi bahkan mengandaskan Jerman.
Tapi
pertanyaan besarnya, adalah Piala Dunia 2018 bakalan cemplang jika
Italia tidak berpartisipasi. Masih agak gampang membayangkan Belanda yang
absen. Tapi membayangkan Italia tidak masuk putaran final di Rusia nanti, tidak
mudah. Baggio pun mungkin juga masih tak percaya. Bahkan juga Maradona.
Sang
pelatih, Gian Piero Ventura, jadi kambing hitamnya. Permintaan maafnya, pun,
tak cukup bagi publik Italia. Dia pelatih pertama Italia yang barangkali masih
akan dihujat sampai bertahun-tahun ke depan. Pelatih tanpa prestasi di level
atas, karena prestasi terbesarnya “hanya” membawa Lecce juara Serie-C1,
kompetisi kasta lapis ketiga Italia.
Satu-satunya
hal positif dari kegagalan Italia adalah, kita akan melihat Italia yang jauh
berbeda, mungkin 2-3 tahun lagi. Permainan catenaccio alias gerendel andalan
Italia yang terlihat “porak-poranda” di era Ventura, bisa jadi akan kembali
dimunculkan. Tapi bisa juga Italia menjelma menjadi tim yang offensif nan
efektif seperti Jerman. Bukankah pengalaman adalah guru paling berharga.
Apalagi kalau pengalamannya termasuk pahit.
Italia tak
pernah kekurangan talenta. Italia hanya kekurangan jenderal lapangan tengah
yang kharismatik dan jadi panutan. Buffon barangkali bisa melakukan itu jika ia
adalah seorang gelandang. Jika saya adalah pelatih Italia, dan bisa membawa
Italia masuk putaran Piala Dunia 2022, Buffon harus masuk tim. Meski ia harus
berstatus sebagai kiper ketiga. Setuju, kan?
foto mencomot dari internet...
Baca juga :
Mencari Trio Belanda, Belum Ketemu
ENGGAK PERNAH BISA TIKI TAKA
KILAUMU BAGAIKAN MUTIARA
AKU DI BELAKANGMU, TIGER WONG
MAMMA MIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar