Kamis, 11 Juni 2015

KRETEEEEK, KRETEEEEK,.... NIKMATNYA

    Entah sejak kapan sambalbawang punya kebiasaan melakukan cracking atau membunyikan tulang-tulang dan sendi demi sebuah sensasi kelegaan sesaat tatkala mendengar bunyi “kreeek” atau "kleteek".
     Serentetan bunyi yang ritmis dan melodis. Juga terkadang hanya bersuara lirih “tik..” atau "tak" yang bersumber dari relung-relung tulang kaki, tangan, punggung, dan leher. Atau kadang malah bersuara "kraaaak" seperti dahan patah terinjak. Tidak bisa dibilang merdu, tapi sedap terasa.
    Mungkin sejak duduk di bangku TK, sambalbawang rutin melakukan cracking secara tidak sengaja, untuk sekedar membunyikan jari-jemari yang pegal karena capek main kelereng. Namun kebiasaan ini semakin menjadi-jadi kala remaja dan dewasa, bahkan sampai sekarang belum sembuh. Ada sejumput kelegaan terpancar begitu selesai melantunkan “orkestra” tulang ini.
    Setiap hari, mungkin malah tiap jam jika tidak dalam kondisi tidur, sambalbawang melakukan cracking. Sengaja maupun enggak. Dari sekadar merentang ruas tulang jari tangan dan kaki, hingga memutar pinggang. Dari menekan punggung kaki, mendonggakkan kepala, hingga “mematahkan” leher. Ketika menunduk mencari pulpen jatuh, pun, juga kadang merasa perlu lencari cara untuk memunculkan bunyi “tik-klutuk-ctak,” dari punggung.
    Keahlian craking makin bertambah ketika kuliah. Diajari oleh sohib saya bernama Pay a.k.a Fahruddin, yang kini menjadi pegawai negeri sipil di ibu kota. Dulu, sembari mendengarkan lagu Iwan Fals di kos-nya, Pay menurunkan "ajiannya" ke saya. Adegan selanjutnya, gantian tulang-tulang dia yang saya remukkan. Haha. 
    Memang, skill untuk urusan gini, tidak penting. Namun, jujur aja, cracking memang mengasyikkan. Di kemudian hari, "ajian" itu saya tularkan ke sohib sambalbawang lainnya. Meski, ya tetap belum ada yang level ilmnya setingkat sambalbawang. Hihi.
   Balik ke belakang, cara mengkretek si-Pay itu, sebenarnya menganut falsafah yang kalem. Korban, eh, yang dipijit, tinggal telungkup, tangan diletakkan disamping, bukan di depan dada. Posisi badan rilek, kepala "lempar" ke kiri/kanan.  
   Sementara itu, posisi "pelaku" nangkring di atas punggung "korban". Tempatkan tapak tangan di kedua sisi punggung korban, tapi awas jangan mengenai tulang belakang. Lalu, mencari titik terbaik, untuk merasakan susunan pertulangan. Nah ini yang butuh jam terbang. Kalau sudah cocik, tekan dengan kekuatan sedang. 
   Kreeeek. kreteeek... Suara seperti tulang yang diremuk, atau kadang mirip tulang yang patah, pun, terdengar. Seiring dengan itu, lenguhan kenikmatan pun terlagukan. "Ini hari apa? Aku siapa, kamu siapa," begitu kata seorang teman menggambarkan sensasi betapa kretekan ini sungguh nikmat. 
    Cracking memang cihui. Seakan-akan sanggup melonggarkan otot dan sendi yang pegal dan kaku. Tulang yang penat seperti ditarik ceria, dan dibikin lega. Namun ternyata cracking tidaklah seindah rasanya, jika ditengok dari sisi kesehatan.
    Suara "kreteek" itu sebetulnya apa? Dari sejumlah literatur disebutkan persendian manusia mempunyai cairan dan gas yang jika ditekan/didorong akan mengeluarkan suara “kretek-kretek”. Kok bisa ya suaranya gitu, entah.
    Cracking tidak berbahaya jika tidak sering dilakukan, tapi jangan jadi kebiasaan. Sayangnya inilah yang terjadi pada saya yang fana ini. padahal, dampaknya, bisa saja terjadi trauma ringan pada tulang dan pergeseran jaringan ikat. Haduhlala...
    Cracking pada leher disebut-sebut yang paling berbahaya. Area leher, mestinya tak dibengkok-bengkokkan gitu. Namun celakanya itu kok yang paling aduhai rasanya. Sebagai jalan tengah solusi, ya memang kudu dilakukan hati-hati. 
    Tapi sekali lagi, itu kok ya sulit. Sejenak melihat rekaman video di youtube, ternyata banyak orang yang cara meng-cracking leher-nya lebih “ganas” ketimbang saya. Asal puntir, bahkan sampai ada yang berbunyi "klak". Ngerinya.
   Beberapa waktu terakhir, sambalbawang mencoba lebih kalem dalam mengkretek diri, tapi kadang bablas juga, mesti tak sengeri tayanya di youtube. Setidaknya, satu tangan masih menopang dagu ketika tangan lain "mengekseskusi" batang leher.
    Ketika leher terasa pegal, maka otomatis mesti ditarik perlahan ke samping. Karena tidak bunyi-bunyi juga, nariknya dikuatin. Lho, mana bunyi itu? Kok masih enggak bunyi juga nih leher, maka level dorongan ditambah. Akhirnya satu sentakan menuntaskan sekian hentakan yang gagal tadi. 
   Terdengarlah bunyi “kreek” disertai efek “dueeeng” yang membuat kepala ini sedikit “berdentang”. Selama 1-2 detik berikutnya, seakan hilang sehelai kesadaran dan mata ini hanya bisa ketap-ketip. Sejumput penyesalan pun datang belakangan, karena takut leher patah. 
    Namun segera kenikmatan menerpa, menyelubungi jiwa. Kelegaan melingkupi, seperti terlepas dari beban berat. Kecemasan tadi, mendadak lalu tertutup kenekatan sesaat demi meraih sensasi aneh yang ngeri-ngeri sedap ini.
   Berulang kali, sambalbawang mencoba menghentikan kebiasan cracking ini. Memang sudah berkurang jauh, mengingat usia sudah menuju uzur dan tulang tak seleastis dulu. Namun tetap saja tiap hari tulang ini harus diremukin. Setidaknya jemari tangan, kaki, punggung kaki, pinggang, dan leher. Lho kok semua?
   Sungguh tidak mudah menghentikan kebiasaan ini. Hanya sebatas mengurangi dan membatasi, yang sepertinya paling logis bisa sambalbawang lakukan. Sambil menulis ini pun, sudah dua kali tulang-tulang jari "bernyanyi". Kreteeeek.... Nikmatnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar