Selasa, 23 Maret 2021

PANTAI MANGGAR BALIKPAPAN YANG BIKIN GEMES

Dalam rangka Hari Jadi Kota Balikpapan ke-124 saya ingin curhat tentang Pantai Manggar. Ini lokasi andalan pariwisata Balikpapan, Tapi apakah pantai itu sudah memenuhi ekspektasi? Jawabannya : belum. Pantai Manggar punya potensi tapi belum cukup menarik. Masih bikin gemes. Belum bikin kangen banget untuk datang lagi dan lagi. 

Cobalah ke sana. Saya sudah puluhan kali ke sana di rentang 10 tahun ini, terakhir pekan lalu. Benar, wajah Manggar sudah jauh berbeda beberapa tahun terakhir. Lebih baik. Akses jalan pun lebih bagus.

Tapi, itu semua tidak cukup jika kita Balikpapan harus “menjual” pantai itu.  Suka tidak suka, Pantai Manggar belum menarik perhatian orang luar Balikpapan. Saya misalnya, pernah mengajak beberapa kawan dari Jawa ke sana. Respons mereka : kalem saja.

Mereka pernah ke banyak pantai di penjuru negeri. Bagi mereka, Manggar ya biasa. Tak butuh waktu lama di pantai tersebut karena sepertinya memang tidak ada yang bisa dinikmati berjam-jam. Tidak ada yang benar-benar nampak unik.

Mari ke kondisi riil. Saya ke Pantai Manggar hari Minggu (21/3) lalu. Untuk kedua kalinya di tahun 2021. Harapan cukup besar seiring pemberitaan terkait Covid-19 yang sepertinya mulai agak reda. Harapan ingin melihat Manggar tampil beda.

Ternyata, harapan tinggal harapan. Dari pintu depan alias loket masuk, sudah nampak pemandangan dua arah. Kendaraan yang keluar diarahkan di jalan yang sama dengan kendaraan masuk. Bahkan beberapa motor yang masuk begitu saja, tak dicegat.

Menyusur ke arah timur, aspal jalan tak sampai ujung. Beberapa motor juga parkir leluasa, bukan di kantong-kantong parkir. Selepas hujan, sebagian area parkir yang belum diaspal, tergenang air di sana-sini. Mereka yang mobilnya sedan atau yang ground clearance-nya rendah, pasti bakal pusing mencari lokasi parkir.  

 Ruangan di sudut masuk jalan yang bertuliskan “Pusat Informasi” nampak kosong. Menuju ke sudut barat, ada area yang menandakan itu “play land” alias taman bermain. Tapi yang nampak di mata hanya “rangka” kayu kusam tak terawat.

Lupakan juga bersantai di tepian pantai, di bawah pohon cemara yang teduh. Dari ujung ke ujung, sudah kena “kapling”. Sudah digelar banyak tikar. Apakah menikmatinya gratis? Tentu saja tidak. Dompet mesti dibuka (lagi).  

Sewa satu tikar seharian, yang tanpa atap terpal, dibanderol Rp 30.000. Sedangkan yang memakai atap, Rp 50.000. Jadi, mari kita berkalkulasi. Berapa biaya piknik satu keluarga, sejumlah empat orang, yang naik motor ke Manggar. 

Di loket masuk, keluar uang Rp 40.000. Ditambah parkir satu motor Rp 5.000, maka pengeluaran sudah Rp 50.000. Begitu masuk lebih jauh ke pantai, mereka ingin duduk di hamparan pasir tepi laut. Tapi semua lokasi yang teduh, sudah terisi tikar (sewaan).

Mau tidak mau, mereka akan menyewa tikar. Tidak mungkin mereka hanya berdiri, mondar-mandir, atau duduk selonjoran begitu saja. Menyewa satu tikar, berarti Rp 30.000. Barulah mereka bisa bersantai. Tanpa beli camilan, pun, satu keluarga ini sudah menghabiskan uang Rp 80.000.  

Sayangnya lagi, menikmati pemandangan pantai masih terusik dengan sampah di sana-sini. Begitu mudah saya melihat aneka sampah plastik, dari tas kresek (kompek), botol air mineral, plastik bening sisa isi salome, hingga bungkus camilan.  Belum lagi puntung rokok.

Jangan berharap banyak bisa menemukan toilet yang benar-benar bersih. Bahkan, menemukan warung yang menyediakan menu ikan bakar pun, bisa jadi kita sulit menemukan. Beda kalau mencari menu mi instan, atau salome, banyak yang sedia.

Entah apa ini tentang selera atau apa. Tapi saya cukup yakin kalau menu makan di pantai mestinya ya tidak jauh-jauh amat dari isi laut. Apalagi pantai ini dekat dengan kampung nelayan. Mestinya menu laut yang jadi menu utama warung.

Apakah penilaian saya tentang Pantai Manggar ini berbeda? Saya iseng bertanya ke beberapa teman. Salah satunya Chita, wiraswasta, yang juga ibu satu anak. Ternyata hasil pengamatan kami, lebih kurang sama. Manggar kurang menarik.

Saya gemes lihat Manggar, begitu juga Chita. Kalau dikasih level gemas 1-10 (minimal ke maksimal), maka rasa gemas saya ada di posisi 8. Tapi Chita malah memberi level 9. Malah kata dia lagi, Pantai Manggar tidak ramah anak.

Adanya banana boat pun, tidak menggoyahkan pemberian peringkat oleh Chita itu. Bahkan, katanya, ia lebih memilih ke Pantai Lamaru yang notabene “tetangga” Manggar. Terlepas dari harga tiket, saya juga sepakat sama dia.

Demi acara piknik yang lebih bisa dinikmati, saya yakin orang rela mengeluarkan uang lebih. Terlebih mereka yang memang suka pantai. Manggar tetap punya daya tarik. Orang luar Balikpapan banyak yang berwisata ke sana. Pantai ini masih punya magnet.

Tinggal sekali lagi apa terobosan dilakukan Pemkot Balikpapan agar pantai yang nama lengkapnya “Pantai Manggar Segara Sari “ ini berubah jadi menarik. Berubah menjadi pantai yang benar-benar bikin kangen, untuk datang lagi dan lagi. Bukan pantai yang bikin gemes setiap kali kita ke sana.

Banyak pekerjaan rumah harus digarap agar Pantai Manggar berbenah. Tidak perlu terlalu jauh memikirkan apa wahana yang akan dibuat. Cukup benahi dulu apa yang ada. Saya rasa itu bukan hal yang mustahil. Demi pariwisata.

Pantai Manggar memang sepi acara di masa pandemi. Tapi setidaknya juga jangan berarti sepi pembenahan. Saya yakin, Pemkot Balikpapan sudah melakukan banyak cara untuk mempercantik Manggar agar semakin menyamankan pengunjung.

Ribuan orang ke pantai ini setiap pekan. Artinya ada potensi besar menarik wisatawan dalam jumlah yang lebih banyak jika Pantai Manggar dibikin lebih menarik. Lebih menarik secara visual, lebih asyik secara kenyamanan, dan lebih tertata.

Semoga ke depan Pantai Manggar tidak semakin bikin gemes. Tapi bikin saya, kita, juga wisatawan luar kota, ketagihan untuk datang lagi dan lagi. Memakai momentum Hari Jadi Kota Balikpapan ke-124 tahun ini, semoga pihak terkait, semakin memberi perhatian ke Pantai Manggar. Banyak harapan juga ke teman-teman di Ekraf Balikpapan terus mendukung kota ini.

Selamat Hari Jadi Kota Balikpapan ke-124 .Jaya selalu.

 

2 komentar: