Selasa, 23 Maret 2021

RUTIN GANTI MASKER SAMPAI MINUM JAHE, KEBIASAAN BARU SELAMA PANDEMI COVID-19

Pengen nulis lagi ah, tentang apa yang berbeda seiring kita yang kini dipaksa “berdampingan” dengan Covid-19. Tak hanya tentang pekerjaan yang terganggu, tapi kebiasaan baru pun ternyata muncul. Memakai masker, sering ganti baju, rutinitas mencuci meningkat, dan minum jahe.

Sengaja saya tidak bahas cuci tangan atau memakai hand sanitizer. Agar topiknya tidak terlalu melebar. Oke, saya bahas dulu tentang masker. Saya punya sekitar 20 masker di rumah. Aneka jenis dan warna. Sebagian masker hasil jahitan sendiri. Maklum saya dan istri kan menjalankan usaha jahit baju. Bikin masker sih, tinggal mencet pedal mesin jahit.

Masker juga kami jual. Tapi di artikel ini saya enggak bicara tentang jualan masker. Tapi kebiasaan bermasker yang akhirnya jadi rutinitas, khususnya kalau bepergian. Sebelum pandemi Covid-19 saya paling diribetkan urusan ponsel dan kaca mata. Biasa, sering lupa meletakkan.

Nah, di masa pandemi, keribetan itu bertambah satu, yakni memakai masker. Urusan ini pun, menginjak bulan ketiga atau keempat virus merajalela, semakin kompleks. Cukup saya bilang kalau itu adalah tentang gonta-ganti masker.

Entah paranoid atau seratus persen taat protokol kesehatan, saya mengartikan bahwa memakai masker ini ada penjelasan rincinya. Yakni, masker mesti sering diganti. Di bulan pertama pandemi, sehari masih (cukup) satu masker.

Tapi perlahan intensitas pemakaian meningkat. Terutama di enam bulan terakhir, sehari bisa “habis” dua masker, bahkan lebih. Kondisi ini tentu saja lantaran semakin seringnya saya harus ke luar rumah. Work from Home (WFH) 24 jam sehari, 7 kali seminggu, tentu tidak bisa.

Bahan jahit meski dibeli. Urusan lain juga butuh dilakukan. Bersamaan masker, maka baju pun ikut gonta-ganti. Kadang, sekali keluar rumah, ganti baju dan ganti masker. Setidaknya, dalam benak saya, itu bisa memimalkan resiko penularan virus.

Sering ganti masker dan baju, tentu berimbas ke intensitas mencuci. Hampir tiap hari, kini saya pasti mencuci sejumlah masker dan baju. Untuk yang terakhir, perubahan memang sangat drastis. Tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Saya termasuk malas ganti baju. Dulu, satu baju bisa dipakai dari pagi sampai tidur. Mau ke mana saja, ya itu-itu saja bajunya. Sekarang, minimal dua baju sehari seperti hukum wajib. Kostum di rumah, beda sama kostum saat keluar rumah.

Jadilah pemandangan rutin di rumah adalah jemuran. Kalau lagi malas, saya menjemur masker-masker di kamar mandi. Sehari, biasanya juga kering. Pakai pengharum, maka hasil jemuran masker—juga baju-- tidak apek. Masalah sepertinya selesai.

Nah, karena sering mencuci baju, lambat-laun semua yang masih bernama “kain” jadi ikut banyak kecuci. Jika dulu selimut dan jaket lebih sering dicuci di tempat laundry, sekarang atau sekian bulan terakhir, cuci sendiri. Tanggung, sih.

Hasilnya ya lebih indah karena keranjang tempat baju kotor, lebih sering nampak “lega”. Dulu, bisa jadi sampai bertumpuk tak karuan, bahkan sampai ke keranjang kedua, karena nyaris seminggu semua baju tidak dicuci. Jadi kalau pas mencuci, seabreg.

Dampak lain yang tidak penting dibahas tapi lumayan menarik adalah saya bisa gonta-ganti merek deterjen. Jadi tahu mana deterjen paling murah harganya. Sama seperti stok teh dan gula pasir, stok detergen di rumah kini juga dilarang habis.

Urusan memakai masker yang berkaitan intensitas mencuci adalah hal penting. Karena bau masker itu akan melekat selama saya memakai. Memakai masker yang harum (karena pakai pewangi), bisa berkorelasi dengan ketenangan bermasker. Hehehe.

Tapi yang lebih penting lagi, sebisa mungkin mengganti rutin masker setiap pergi memang perlu. Ini karena saya masih punya kebiasaan menaruh masker di saku celana atau jaket. Satu lokasi dengan kunci motor, ponsel, juga duit recehan. Resiko, bukan?

Kita sudahi dulu soal masker, baju, dan cuci-mencuci. Sekarang ke kebiasaan baru lainnya, yakni minum jahe. Tepatnya minum air rebusan atau seduhan jahe dalam kondisi hangat atau panas. Sebelum pandemi, minum jahe ini adalah aktivitas kadang-kadang.

Sekarang, minum jahe bisa dikatakan hampir tiap hari. Entah rebusan jahe murni tanpa gula, atau variannya. Seperti jahe susu, jahe plus madu, jahe campur kopi, teh campur jahe, teh jahe susu, dan susu coklat jahet. Bahkan memasak oseng tempe pun, kadang saya pakai air jahe.

Kebiasaan minum jahe lebih sering ini muncul di bulan pertama pandemi merebak, April tahun lalu. Karena tidak cukup paham bagaimana melawan virus dari sisi asupan minum, maka jahe menjadi pilihan pertama untuk ditenggak.

Saya yakin kalau jahe bisa meningkatkan imun tubuh. Minimal bikin hangat dan lega saluran pernafasan. Juga menyamankan perut. Jadilah saya minum jahe sampai dua kali sehari. Entah mengapa, secara psikologis, itu pun bikin tenang hati.

Masih ingat ketika di masa-masa awal virus mulai bikin panik orang-orang, saya kesulitan membeli jahe, terutama jahe merah. Kios-kios sayur, kehabisan stok jahe. Bisa-bisanya ya. Tapi itulah yang terjadi. Sisa jahe di rumah, pun, saya iris-iris kecil agar bisa untuk bahan baku dua hari.

Jahe biasanya saya uleg, lalu direbus. Tapi sesekali saya hancurkan pakai blender. Kalau sedang ingin versi “tubruk” maka potongan atau serpihan jahe saya masukkan sekalian ke gelas. Versi lainnya, jahe disaring sehingga air jahe terlihat bening.

Apakah kebiasaan minum jahe ini pernah kelupaan. Sebenarnya tidak pernah. Tapi pernah beberapa kali bosan minum jahe. Opsi pun jatuh ke jamu, terutama kunir asem. Sesekali juga bikin beras kencur. Setelah itu, kembali lagi ke jahe.

Untung saja saya tidak kesulitan mencari jahe di Balikpapan. Tapi entah juga apakah selepas pandemi, saya mengurangi intensitas minum jahe. Sepertinya sih, tidak. Begitulah.



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar